"Nduk, kenapa bicara begitu dengan ibunya Arman, mereka bisa dendam dan sakit hati karena perkataanmu."Ibu mendekat padaku saat kedua suami istri orang tua Arman menjauh dari rumah kami."Mereka harus dibuat dibuat sadar, dengan mengetahui yang sebenarnya mereka tidak akan bicara yang tidak tidak lagi! Mas Renaldi memang direktur utama dan dia bebas menentukan calon karyawan yang akan bekerja di kantornya. Lagi pula Arman terus mengganggu hidupku jadi kami semua sudah bosan!""Jika sudah menikah nanti, pindahlah ke rumah suamimu atau pergilah ke tempat yang lebih baik agar kau dapatkan ketentraman.""Lalu bagaimana dengan ibu, kalau aku tinggalkan?""Jangan khawatirkan kami. Lagian kamu berdua pasti akan berkunjung 'kan?""Itu pasti.""Kalau begitu menjauhlah dari jangkauan Arman dan keluarganya agar kau bisa menikmati kehidupan rumah tangga dan membesarkan anak-anakmu dengan perasaan damai.""Iya Bu, aku yakin nanti suamiku pasti akan lakukan yang terbaik untuk kami." "Hmm, sekaran
"Ibu tidak melarangmu untuk bergaul dengan anak ibu, tapi kau juga harus memberi waktu untuk air Man agar dia bisa mengurus dirinya sendiri dan keluarganya."Wanita itu semakin menjadi-jadi saja tangisannya mendengar ibu mertua menjawabnya, dia semakin tidak membendung air mata malas sekarang ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya lalu menangis semakin pilu. "Sejujurnya ini tidak seperti yang ibu dengarkan, aku jarang bertemu Arman. Paling hanya sekali atau dua kali dalam sebulan, kami hanya sering berhubungan lewat chat karena dia membantu keuanganku." Wanita itu terus mengadu mengusap air mata dan meminta perhatian ibu mertua.Aku benci padanya karena ia begitu tidak tahu diri dan egois, seakan dunia berputar tentang kebutuhan dia saja sehingga dia merasa bahwa suamiku harus menafkahinya. "Oh ya? dalam seminggu saja bisa lebih dua kali pertemuan kalian! bahkan ke manapun mba pergi, suamiku selalu menjadi supirmu. Hari Minggu kemarin seharusnya kami menghadiri syukuran ayahku y
Setelah ayah dan ibunya Arman menjauh dari rumah calon mertuaku, calon ibu mertua hanya mendesahkan napasnya lalu memberi isyarat kepada suaminya untuk masuk kembali ke dalam rumah sementara aku dan Mas Renaldi akan pulang. "Ayo masuk Pi, biar anak-anak pulang.""Iya, Mi." Pria yang hampir 60 tahun itu menepuk bahuku sambil tersenyum lalu dia mengikuti langkah istrinya. Aku agak tertegun dengan reaksi mereka, tidak menyangka kalau mereka akan diam saja, tidak memperpanjang perdebatan, bahkan mempertanyakan atau mengoceh lebih jauh lagi. Mungkin pikiran mereka sudah begitu terbuka, juga tak mau buang waktu padahal hal-hal yang sudah pernah dibahas sebelumnya. Jadi, aku lega sekali. "Apa tadi kau takut?" tanya Mas Renaldi."Sebenarnya iya. Aku tidak khawatir untuk hukuman pada diriku sendiri, tapi aku menjaga perasaanmu, Mas. Bagaimana kalau pernikahan ini batal gara-gara aku? Gara-gara masalah yang seharusnya sudah kita lupakan tapi masih diungkit-ungkit lagi.""Itu tidak akan b
Seperti drama Korea yang selalu datang pengganggu pada puncak kebahagiaan aktor utama, aku merasa familiar dan sedikit klise dengan kejadian hari ini. Kupikir semuanya akan berjalan lancar tanpa penghalang, tapi sekarang aku melihat sebuah tembok besar bernama Lorena yang dari tatapan matanya sudah bersiap-siap untuk menghancurkan hidupku. Dari cara dia bicara sepertinya wanita itu menyukai calon suamiku dan dia akan menyulitkan diri ini. Dan wow, dia bilang dia akan ada di kantor Mas Renaldi sepanjang hari, bahkan dia tidak langsung pulang ke rumahnya atau ke hotel setelah perjalanan jauh dari Amerika. Dia ingin bertemu Mas Renaldi dan kupikir baginya calon suamiku adalah orang penting. Kalau tidak tahu apa yang harus kulakukan jadi kuraih ponselku dan kuhubungi Mas Renaldi. Lelaki yang sedang dalam perjalanan itu menjawab panggilanku."Assalamualaikum Sayang. Ada apa?""Waalaikumsalam. Mas sepupumu sudah datang dari Amerika, dia sudah menyapaku di kantorku dan sekarang dia berada
Tatapan wanita itu membuatku risih, sekalipun ia sangat cantik, wangi dan elegan, aku seperti melihat seorang musuh yang punya dendam kesumat di hadapanku. Aku bisa tahu kalau dia membenciku, Dia tidak setuju aku dekat dengan sepupunya yang kaya raya serta sukses itu. Dari gestur dan gaya pertanyaannya sejak tadi, jelas saja ia menghina diri ini secara tersirat bahwa aku adalah orang rendahan, miskin, jauh dari mereka yang seakan-akan tidak pantas bersanding dengan Mas Renaldi. Aku tersinggung, tapi aku mencoba bersikap tenang demi menghargai calon suamiku. "Oh ya, anak kamu berapa?""Dua, Nyonya.""Tidak usah panggil aku nyonya. Panggil saja Lorena sebab aku dan suamimu adalah sepupu!""Baik." Aku tetap menjawab dengan tenang."Di SDN 12.""Oh sekolah negeri?""Iya.""Kenapa tidak pindahkan ke sekolah internasional?""Sebenarnya aku mau memindahkannya tapi Hanifah menolaknya.""Kenapa, apa kau merasa insecure dan khawatir kalau anak-anakmu tidak bisa menyesuaikan diri dengan anak
Sehari berikutnya. Rapat dengan beberapa divisi sepanjang hari membuat kepalaku betul-betul pusing. Belakangan ini Mas Renaldi memberiku lebih banyak tanggung jawab untuk mengambil keputusan dan mengelola beberapa departemen di tower ini. Aku harus berdiskusi dengan beberapa manajer, kepala cabang dan kepala staf agar segala sesuatu berjalan sesuai dengan harapan Direktur utama.Aku seperti mengelola sesuatu yang bukan tanggung jawabku tapi aku diharuskan untuk seperti itu. "Aku sedikit kewalahan tapi ini adalah tanggung jawab yang dipercayakan Mas Renaldi padaku,"ujarku pada Vina asistenku. "Kalau kewalahan mungkin bisa bagi tugas bu.""Tapi Tuan Renaldi menyuruhku untuk memastikannya secara langsung.""Tapi itu sama saja dengan memeras darah, apa Tuan Renaldi tidak tahu kalau bekerja itu ada batasnya. Namanya manusia juga pasti capek kan Bu?""Iya, tapi aku juga tahu perjuangannya. Ia juga lelah ke sana kemari membuat kesepakatan dan meyakinkan orang, aku yakin dia juga tidak k
"Iya saya tahu, saya cukup tahu diri untuk itu. Maksud saya di sini adalah agar kita semua bekerja sama dan kompak. Jika kita kompak maka segala sesuatu akan berjalan dengan lancar, benar begitu kan Mi?" Tanyaku pada ibu mertua, beliau sontak mengangguk dan menyetujui perkataanku. "Iya benar sekali, semua orang sudah ada di pos jabatan masing-masing jadi sebagai komisaris kami hanya ingin semua orang bekerja sesuai dengan tanggung jawabnya," jawab calon ayah mertuaku."Om ... apa yang akan kamu lakukan kalau Renaldi tidak bisa mengurus pekerjaannya dengan baik setelah menikah?" "Entahlah... mungkin aku harus membuat dia bekerja lebih baik atau mungkin akan kutambah pegawai untuknya." "Bagaimana kalau Om ganti direktur saja? Dia akan mulai sibuk dengan keluarga dan istrinya jadi mungkin fokusnya akan terpecah.""Tidak akan," balas calon suamiku sambil tertawa. "Kalau kau tidak becus aku bisa kapanpun mengambil jabatanmu!""Tidak bisa Lorena, aku sudah bekerja sejauh ini untuk ada d
Aku membeku, lidahku kelu untuk menjawab perkataannya. Langkah kaki yang tadinya akan keluar tiba-tiba seperti lengket di permukaan lantai. Aku tertegun kaget, membeku dan merasa terintimidasi dengan bagaimana cara dia menanyaiku. "Saya rasa, saya bekerja dengan baik.""Katakan padaku... Di bagian yang mana Renaldi bisa jatuh cinta padamu?""Saya tidak tahu," balasku pelan. Aku mencoba bersikap santun, nada bicaraku juga rendah sekali, berikut juga dengan tatapan mataku. "Kau tahu kau harus berhadapan denganku jika itu tentang Renaldi!""Aku tidak mengerti Bu, aku tidak mengerti maksud anda.""Kau jelas menangkap apa maksudku, dan aku rela bersaing denganmu untuk kembali bersama dengan lelaki itu!" Ucapannya seperti petir, seperti sesuatu yang sontak menghentikan detak jantungku. Aku terkesiap tapi aku tetap berusaha tenang dan tersenyum. "Apa Anda pernah punya hubungan dengannya?""Iya, ada hubungan itu lebih dari yang kau bayangkan." "Aku tidak merasa kecil hati karena itu hany