"Si Linda kok jadi ngeselin gitu sih? Berani beraninya nyuruh-nyuruh ibu," Nani mengomel sepanjang jalan pulang melihat apa yang dilakukan adik iparnya di rumah ibunya tadi.
"Aku juga nggak nyangka, mana ibu disuruh-suruh juga nurut aja. Si Bimo tuh apa nggak bisa sih ngajarin istrinya biar bener?" Norma menanggapinya dengan bersungut juga. "Coba tadi aku nggak lagi nagih hutangnya Bimo, udah kuomelin dia, Nan. Eh, kamu telpon si Bimo gih. Kita bilangin aja apa yang Linda lakuin di rumah ibu tadi." "Ah palingan dia udah tahu, Mbak. Bimo kan memang anaknya gitu. Lemot banget jadi laki. Sama si Metta aja dia kalah, apalagi ini nih sama kuntilanak satu nih." "Si Linda kamu sebut kuntilanak, Nan? Hahaha." Norma tertawa lebar mendengar itu. "Lah, apa coba sebutan yang bener buat dia, udah numpang kelakuannya sok sok an kayak majikan gitu? Nyesel aku mbak dukung dia nikah sama Bimo waktu itu, tangisannya bener-ben"Alhamdulillah." Bimo mengusap mukanya bahagia sore itu setelah mendengar bunyi notifikasi di dari aplikasi perpesanan di ponselnya."Ada apa, Bim?" Ibunya yang sedang menemani Tiara bermain di teras rumah sontak menoleh."Kabar dari Metta, Bu. Uangnya sudah dikirim ke rekeningku.""Uang penjualan rumah kalian itu?" tanya ibunya dengan raut sedikit kecewa."Iya, Bu.""Apa sudah ada keputusan dari pengadilan tentang perceraian kalian, Bim?" tanya ibunya lagi. Nampaknya berita keputusan sidang perceraian Bimo tak membuatnya bahagia."Sudah kemarin, Bu.""Ya sudah kalau begitu, syukurlah semuanya lancar. Ibu hanya berharap semoga Metta masih mau berkunjung ke sini bersama Ibas setelah ini," kata wanita tua itu 0enuh harap."Tentu saja, Bu. Mereka pasti main ke sini kapan-kapan. Metta juga sudah bilang kok kalau aku boleh bawa Ibas
"Metta? Ibas?"Wanita tua itu bergegas menuruni tangga kecil rumahnya saat melihat sebuah mobil berhenti di halaman. Dia masih hafal betul bahwa mobil yang berhenti di depannya itu adalah mobil yang dulu sering dipakai anak lelakinya jika sedang berkunjung ke rumahnya itu.Metta mengembangkan senyumnya melihat sambutan bahagia mantan mertuanya, diikuti oleh anak lelakinya yang juga langsung menghambur ke arah wanita tua itu."Nenek!" sapanya sambil memeluk neneknya."Nenek kangen kamu, Sayang," ucap wanita tua itu sambil menciumi gemas pipi cucunya yang sudah beberapa waktu tak dijumpainya."Apa kabar, Bu? Sehat?" tanya Metta, yang kemudian dijawab anggukan bahagia oleh sang mantan ibu mertua."Ibu merasa lebih baik lagi melihat kalian datang," jawab wanita tua itu sambil menggandeng tangan mantan menantunya untuk diajaknya memasuki rumah.&nbs
"Buuuu!" teriakan keras Linda membuat ibu mertuanya terburu-buru menghampirinya."Ada apa, Lin? Ibu baru selesai dari kamar kecil," ucap wanita tua itu dengan terbata."Ngapain aja sih di kamar mandi? Lama banget deh. Tolong jagain Tiara dong, Bu. Aku sedang buru-buru nih.""Buru-buru mau kemana? Ini kan hari minggu, Lin? Apa kamu masuk kerja?""Ada acara lah pokoknya. Ibu kok mau tau urusan orang aja sih? Dah, aku titip Tiara dulu ya, Bu. Mas Bimo masih tidur, nggak usah dibangunin," kata wanita itu cepat, lalu melangkah ke luar dengan tergesa pula.Ibu mertuanya melirik jam di dinding rumahnya sekilas. Baru jam 7 pagi dan ini adalah hari minggu. Apa iya menantunya itu masuk kerja di hari libur begini?Dengan penasaran, wanita itu melangkah ke ruang tamu dan mengintip keluar dari gordyn jendela rumahnya. Mobil yang sama yang setiap hari mengantar sang
Lelaki berperawakan tinggi atletis itu baru saja keluar dari kamar mandi dengan balutan handuk di pinggang saat dilihatnya Linda sedang sibuk dengan ponselnya di tepi ranjang."Apa yang kamu lakukan dengan ponselku?" tanya lelaki itu sedikit panik sambil merebut ponsel yang masih ada di tangan sekretarisnya itu. Walaupun dia tahu bahwa wanita itu tak akan pernah bisa membuka kunci sidik jari yang dia aplikasikan di benda pipih miliknya itu, namun wajahnya tetap saja terlihat gusar."Sorry, Sayang. Tadi ada panggilan masuk dari istri kamu. Aku hanya melihat saja," jawab Linda sedikit takut melihat wajah atasannya yang menatapnya kurang suka."Hei, sudah berapa kali aku bilang kan, jangan pernah sentuh benda apapun milikku," kata lelaki itu mengingatkan."Iya maaf, aku salah, Sayang. Jangan marah ya?" rajuk wanita itu kemudian."It's okay, kalau gitu kemarilah. Aku sudah sa
Malam sudah kian larut dan entah sudah berapa puluh kali Norma membuka gordyn jendela ruang tamunya hanya untuk melihat apakah suaminya sudah pulang.Hatinya bertambah gelisah saat nomer ponsel suaminya mandadak tak bisa dihubungi, padahal baru beberapa menit yang lalu masih didengarnya nada sambung walaupun panggilannya tak diangkat.Jam dinding besar di ruang tamu sudah menunjuk angka 1. Dan selama ini Beni tak pernah pulang setelat ini ke rumah.Sebagai istri, Norma bukannya tak menyadari bahwa ada yang berubah beberapa bulan belakangan dengan suaminya. Beni sudah bisa dihitung dengan jari hanya berapa kali dalam sebulan dia menyentuhnya.Ini seperti bukan kebiasaan suaminya. Belum lagi, Beni mulai telat pulang. Jika biasanya paling lambat jam 9 malam dia pasti sudah sampai di rumah dan berkumpul dengannya, sudah sebulan lebih ini dia sering pulang di atas jam 10 malam.&n
Nani mengernyit menatap layar ponselnya. Tidak biasanya kakak perempuannya itu menolak panggilan telepon darinya. Bahkan seringnya Norma adalah orang yang paling antusias menjawab teleponnya selama ini.'Ada apa dengan mbak Norma?' batinnya.Diletakkannya kembali ponsel ke meja di depannya saat melihat suaminya pulang siang itu dengan wajah kusut tak bersemangat seperti hari-hari sebelumnya."Sudah pulang, Mas?"Dito, suaminya, hanya mengangguk lemah menanggapi pertanyaan sang istri."Masih belum dapat kerjaan lagi?" tanya Nani lagi."Belum, Nan. Tadi wawancara di satu perusahaan juga gagal. Banyak sekali saingannya dan rata-rata yang mereka butuhkan orang-orang yang fresh graduate."Nani menarik nafas berat. Memandang suaminya yang nampak kelelahan. Dia tahu mencari kerja di usia suaminya sekarang ini memang tidak akan mudah, karena
"Mbak Nani tadi ke sini," Bimo menghampiri istrinya yang baru saja menyelesaikan mandinya malam itu. Linda baru saja pulang beberapa menit yang lalu dan langsung berpamitan untuk membersihkan diri."Ngapain?" tanya wanita itu sambil mulai mendudukkan diri di depan meja rias sambil mengeringkan rambut basahnya dengan handuk kecil."Mau pinjem uang, Lin. Mbak Nani kan lagi kesulitan sekarang."Pinjem uang?" Linda mengerutkan dahi ke arah suaminya. "Dari mana kakakmu itu tau sih kalau aku hari ini aku gajian? Langsung mau pinjem uang aja." Linda terkekeh ringan sembaru menggeleng-gelengkan kepalanya."Memangnya hari ini kamu gajian?" tanya Bimo."Iya. Ini kan udah sebulan aku kerja, Mas.""Oiya ya, nggak kerasa. Tapi aku tadi nggak bilang kalau mbak Nani mau pinjem uangnya sama kamu lho, Lin." Kali ini Bimo yang terkekeh."Trus sama siapa?" Li
"Mbak, kamu kenapa?" Nani panik saat melihat kakaknya turun dari motor dan langsung menangis sesenggukan masuk ke dalam rumahnya."Mbak." Nani berusaha mengajak bicara kakaknya yang mulai menangis lebih kencang setelah mendudukkan diri di sofa rumahnya itu.Dito, suaminya, yang hanya memperhatikan dua kakak beradik itu hanya mengedikkan bahu tak mengerti saat istrinya melemparkan pandangan penuh tanya ke arahnya.Karena kebingungan, beberapa saat lamanya Nani pun hanya bisa menepuk-nepuk punggung Norma lembut berusaha menenangkannya tanpa bisa berkata apa-apa lagi."Mbak Norma kenapa sih?" tanya Nani kemudian saat dilihatnya kakaknya sedikit lebih tenang."Mas Beni, Nan. Dia mau menceraikanku," ucapnya dengan terbata. Nani menutup mulut dengan telapak tangannya saking kagetnya."Lho tapi kenapa, Mbak?""Dia sudah berbuat serong,