Antusiasnya hari pertama kerja, membuat Linda lalai melakukan kewajibannya mengurus dahulu keluarganya. Dia bangun pagi sekali dan langsung sibuk berdandan habis-habisan sampai kemudian taksi yang menjemputnya tiba di depan rumah.
Sebenarnya Bimo sudah menawarkan diri untuk mengantarkannya ke kantor tempat dimana dia diterima kerja. Namun Linda menolak dengan berbagai alasan. Bimo tidak heran, karena kali ini karena dia hanya bisa mengantarkan istrinya itu naik motor. Linda memang paling tidak suka dibonceng dengan kendaraan roda dua itu. Menggandeng Tiara kembali ke dalam rumah setelah melepas kepergian istrinya, Bimo melihat ibunya sedang sibuk di dapur. "Lhoh, ibu ngapain?" tanyanya tak enak hati. Seharusnya sebagai orang yang menumpang, Linda tadi bisa menyiapkan walau hanya sekedar minuman hangat untuk suami dan ibu mertuanya. Namun dari sejak wanita itu bangun sampai kemudian taksi menjempunya, Linda tak beranjak dP.O.V Metta "Mah, itu papa kan?" Ibas membuyarkan konsentrasiku ke jalanan di depanku saat malam itu kami baru saja pulang dari toko buku untuk membeli beberapa referensi untuk belajarnya."Mana sih? Bukan ah, Bas. Ngapain papa malam-malam begini di sini?" sanggahku cuek.Sebenarnya aku tak terlalu memperhatikan tempat yang ditunjuknya tadi karena merasa tempat ini lumayan jauh dari rumah ibu mertuaku. Sepertinya tidak mungkin mas Bimo malam-malam keluyuran sampai ke sini.Baru kemarin aku mendapat info dari tim pengacara bu Farah bahwa mas Bimo dan istri barunya itu telah menjual rumah dan pindah tinggal bersama ibunya. Sepertinya mereka benar-benar sedang kesulitan keuangan sampai-sampai harus menjual rumah yang telah mereka cicil selama beberapa tahun itu."Iya, bener papa kok, Mah. Lihat itu, Mah! Berhenti dulu Mah, berhenti!" Ibas menepuk-nepuk bahu k
"Si Linda kok jadi ngeselin gitu sih? Berani beraninya nyuruh-nyuruh ibu," Nani mengomel sepanjang jalan pulang melihat apa yang dilakukan adik iparnya di rumah ibunya tadi."Aku juga nggak nyangka, mana ibu disuruh-suruh juga nurut aja. Si Bimo tuh apa nggak bisa sih ngajarin istrinya biar bener?" Norma menanggapinya dengan bersungut juga. "Coba tadi aku nggak lagi nagih hutangnya Bimo, udah kuomelin dia, Nan. Eh, kamu telpon si Bimo gih. Kita bilangin aja apa yang Linda lakuin di rumah ibu tadi.""Ah palingan dia udah tahu, Mbak. Bimo kan memang anaknya gitu. Lemot banget jadi laki. Sama si Metta aja dia kalah, apalagi ini nih sama kuntilanak satu nih.""Si Linda kamu sebut kuntilanak, Nan? Hahaha." Norma tertawa lebar mendengar itu."Lah, apa coba sebutan yang bener buat dia, udah numpang kelakuannya sok sok an kayak majikan gitu? Nyesel aku mbak dukung dia nikah sama Bimo waktu itu, tangisannya bener-ben
"Alhamdulillah." Bimo mengusap mukanya bahagia sore itu setelah mendengar bunyi notifikasi di dari aplikasi perpesanan di ponselnya."Ada apa, Bim?" Ibunya yang sedang menemani Tiara bermain di teras rumah sontak menoleh."Kabar dari Metta, Bu. Uangnya sudah dikirim ke rekeningku.""Uang penjualan rumah kalian itu?" tanya ibunya dengan raut sedikit kecewa."Iya, Bu.""Apa sudah ada keputusan dari pengadilan tentang perceraian kalian, Bim?" tanya ibunya lagi. Nampaknya berita keputusan sidang perceraian Bimo tak membuatnya bahagia."Sudah kemarin, Bu.""Ya sudah kalau begitu, syukurlah semuanya lancar. Ibu hanya berharap semoga Metta masih mau berkunjung ke sini bersama Ibas setelah ini," kata wanita tua itu 0enuh harap."Tentu saja, Bu. Mereka pasti main ke sini kapan-kapan. Metta juga sudah bilang kok kalau aku boleh bawa Ibas
"Metta? Ibas?"Wanita tua itu bergegas menuruni tangga kecil rumahnya saat melihat sebuah mobil berhenti di halaman. Dia masih hafal betul bahwa mobil yang berhenti di depannya itu adalah mobil yang dulu sering dipakai anak lelakinya jika sedang berkunjung ke rumahnya itu.Metta mengembangkan senyumnya melihat sambutan bahagia mantan mertuanya, diikuti oleh anak lelakinya yang juga langsung menghambur ke arah wanita tua itu."Nenek!" sapanya sambil memeluk neneknya."Nenek kangen kamu, Sayang," ucap wanita tua itu sambil menciumi gemas pipi cucunya yang sudah beberapa waktu tak dijumpainya."Apa kabar, Bu? Sehat?" tanya Metta, yang kemudian dijawab anggukan bahagia oleh sang mantan ibu mertua."Ibu merasa lebih baik lagi melihat kalian datang," jawab wanita tua itu sambil menggandeng tangan mantan menantunya untuk diajaknya memasuki rumah.&nbs
"Buuuu!" teriakan keras Linda membuat ibu mertuanya terburu-buru menghampirinya."Ada apa, Lin? Ibu baru selesai dari kamar kecil," ucap wanita tua itu dengan terbata."Ngapain aja sih di kamar mandi? Lama banget deh. Tolong jagain Tiara dong, Bu. Aku sedang buru-buru nih.""Buru-buru mau kemana? Ini kan hari minggu, Lin? Apa kamu masuk kerja?""Ada acara lah pokoknya. Ibu kok mau tau urusan orang aja sih? Dah, aku titip Tiara dulu ya, Bu. Mas Bimo masih tidur, nggak usah dibangunin," kata wanita itu cepat, lalu melangkah ke luar dengan tergesa pula.Ibu mertuanya melirik jam di dinding rumahnya sekilas. Baru jam 7 pagi dan ini adalah hari minggu. Apa iya menantunya itu masuk kerja di hari libur begini?Dengan penasaran, wanita itu melangkah ke ruang tamu dan mengintip keluar dari gordyn jendela rumahnya. Mobil yang sama yang setiap hari mengantar sang
Lelaki berperawakan tinggi atletis itu baru saja keluar dari kamar mandi dengan balutan handuk di pinggang saat dilihatnya Linda sedang sibuk dengan ponselnya di tepi ranjang."Apa yang kamu lakukan dengan ponselku?" tanya lelaki itu sedikit panik sambil merebut ponsel yang masih ada di tangan sekretarisnya itu. Walaupun dia tahu bahwa wanita itu tak akan pernah bisa membuka kunci sidik jari yang dia aplikasikan di benda pipih miliknya itu, namun wajahnya tetap saja terlihat gusar."Sorry, Sayang. Tadi ada panggilan masuk dari istri kamu. Aku hanya melihat saja," jawab Linda sedikit takut melihat wajah atasannya yang menatapnya kurang suka."Hei, sudah berapa kali aku bilang kan, jangan pernah sentuh benda apapun milikku," kata lelaki itu mengingatkan."Iya maaf, aku salah, Sayang. Jangan marah ya?" rajuk wanita itu kemudian."It's okay, kalau gitu kemarilah. Aku sudah sa
Malam sudah kian larut dan entah sudah berapa puluh kali Norma membuka gordyn jendela ruang tamunya hanya untuk melihat apakah suaminya sudah pulang.Hatinya bertambah gelisah saat nomer ponsel suaminya mandadak tak bisa dihubungi, padahal baru beberapa menit yang lalu masih didengarnya nada sambung walaupun panggilannya tak diangkat.Jam dinding besar di ruang tamu sudah menunjuk angka 1. Dan selama ini Beni tak pernah pulang setelat ini ke rumah.Sebagai istri, Norma bukannya tak menyadari bahwa ada yang berubah beberapa bulan belakangan dengan suaminya. Beni sudah bisa dihitung dengan jari hanya berapa kali dalam sebulan dia menyentuhnya.Ini seperti bukan kebiasaan suaminya. Belum lagi, Beni mulai telat pulang. Jika biasanya paling lambat jam 9 malam dia pasti sudah sampai di rumah dan berkumpul dengannya, sudah sebulan lebih ini dia sering pulang di atas jam 10 malam.&n
Nani mengernyit menatap layar ponselnya. Tidak biasanya kakak perempuannya itu menolak panggilan telepon darinya. Bahkan seringnya Norma adalah orang yang paling antusias menjawab teleponnya selama ini.'Ada apa dengan mbak Norma?' batinnya.Diletakkannya kembali ponsel ke meja di depannya saat melihat suaminya pulang siang itu dengan wajah kusut tak bersemangat seperti hari-hari sebelumnya."Sudah pulang, Mas?"Dito, suaminya, hanya mengangguk lemah menanggapi pertanyaan sang istri."Masih belum dapat kerjaan lagi?" tanya Nani lagi."Belum, Nan. Tadi wawancara di satu perusahaan juga gagal. Banyak sekali saingannya dan rata-rata yang mereka butuhkan orang-orang yang fresh graduate."Nani menarik nafas berat. Memandang suaminya yang nampak kelelahan. Dia tahu mencari kerja di usia suaminya sekarang ini memang tidak akan mudah, karena
Hari itu rumah pengusaha Fabian Wiguno terlihat sangat ramai. Pesta kecil sengaja digelar khusus untuk menyambut kedatangan saudara perempuan serta dua anaknya yang rencananya akan kembali dari Amerika untuk berlibur.Amanda Wiguna dengan dua anaknya, Darryl dan Hannah memang telah lama menetap di America. Anak-anak Amanda meminta untuk dipindahkan sekolahnya ke luar negeri setelah ketok palu pengadilan memutuskan hukuman untuk ayah mereka. Amanda sendiri awalnya hanya bermaksud menemani dua buah hatinya menimba ilmu sekaligus ingin melupakan segala permasalahan yang terjadi di masa lalu mereka. Namun rupanya Amanda terlanjur nyaman berada di negeri paman Sam itu.Metta yang melakukan semua persiapan untuk menyambut kedatangan saudara perempuan suaminya. Dia sendiri juga begitu rindu ingin bertemu dengan sang ipar. Tak lupa, Metta juga mengundang ke empat sahabat mereka; Devita, Ayu, Rani, dan Revi. Bagi Metta, kepulangan Amanda kali in
"Sudah siap?" Fabian melongok dari arah pintu kamar.Metta yang sedang menyelesaikan dandanannya di deoan meja rias pun menoleh."Bentar lagi, Mas. Sini deh, Mas." Dilambaikannya jari-jari lentiknya ke arah sang suami."Kenapa, Sayang?""Sebenarnya mas mau ajak aku kemana sih? Dati kemarin nggak mau cerita ih." Metta membalikkan badan menghadap sang suami. Namun Fabian hanya tersenyum penuh misteri, seolah membiarkan istrinya dihantui rasa penasarannya sendiri.Semalam tiba-tiba saja Fabian mengatakan ingin mengajak Metta ke suatu tempat. Anehnya lelaki itu tidak mau mengatakan akan kemana."Kalau kukasih tahu jadinya nggak surprise dong," selalu begitu jawab suaminya."Hmmm baiklah. Daripada penasaran, kita berangkat sekarang aja kalau gitu."Dengan raut pura-pura kesal, Metta pun bangkit dan berjalan ke luar kamar sembari menggandeng
Berhari-hari Bimo selalu teringat pertemuannya dengan Linda di penjara. Tentang bagaimana nampak tertekannya wanita itu, juga pertanyaan Linda tentang pernikahan.Di banding kondisi Linda sekarang, Bimo merasa jauh lebih beruntung. Linda memang telah salah langkah. Terpuruknya kehidupan mereka di masa lalu tak membuat Linda jadi insyaf dan mengambil hikmah dari semua itu. Justru wanita itu semakin gila dengan harta dan kemewahan.Seandainya saja dulu Linda tidak meninggalkannya untuk lelaki kaya bernama Rexiano itu karena silau dengan hartanya, mungkin saat ini mereka berdua masih menjadi sepasang suami istri meskipun hidup dalam kesederhanaan.Tapi nasi memang telah menjadi bubur. Semua yang telah dilakukan Linda harus dipertanggung jawabkan di dalam penjara.Entah kenapa, pertanyaan Linda tentang apakah dia sudah menikah adalah yang paling membekas di hati Bimo beberapa hari terakhir. Seolah i
"Papa pulang!" teriak Tiara seperti biasa saat melihat Bimo datang dengan menggunakan ojek online. Lelaki itu memang sengaja pergi dan pulang kantor menggunakan transportasi umum agar sepeda motornya tetap bisa dipakai oleh kakaknya berjualan.Norma yang sedang menyuapi Tiara sore itu pun ikut girang. Sudah dua bulan ini Bimo bekerja di kantor Wiguna Group dengan gaji yang lumayan menurut mereka."Kok sore gini udah pulang, Bim?" tanyanya seketika setelah melirik jam di dinding yang baru menunjuk pukul 4 sore."Iya, Mbak. Kebetulan hari ini kerjaannya yidak begitu banyak. Tapi mungkin besok malah lembur sampai malam.""Oooh gitu. Ya sudah sana bersihin badan kamu dulu. Habis itu makanlah, aku sudah masak tadi.""Pa, Tiara boleh minta sesuatu nggak?" Tiara yang melihat Bimo akan beranjak, tiba-tiba langsung meraih tangannya lelaki itu."Boleh dong. Tiara mau minta ap
"Kamu serius, Bim?" Norma membelalakkan mata usai mendengar cerita adiknya."Serius, Mbak. Aku juga kaget tadi waktu dia mengatakan itu."Norma menggeleng-gelangkan kepalanya dan berkali-kali berdecak."Kok ada ya Bim, orang sebaik pak Fabian itu. Metta benar-benar wanita yang sangat beruntung bisa jadi istri lelaki seperti itu. Trus ... trus, kamu jawab apa waktu dia nawarin itu? Kamu menerimanya kan?""Aku belum mengatakan apa-apa, Mbak. Aku masih bingung. Aku sudah lama sekali nggak kerja kantoran. Aku nggak yakin aku masih bisa.""Jadi kamu nolak tawaran pak Fabian? Ya ampun Bimoooo. Kamu itu gimana sih?""Belum, Mbak. Aku belum bilang menolak. Aku bilang masih bingung. Tapi besok kalau aku bersedia, aku disuruh datang langsung ke kantornya."
"Titip Ibas ya, Mas. Minggu siang nanti kita jemput," ucap Metta saat akhirnya dia dan suaminya berpamitan pada Bimo."Jangan siang, Ma. Sore aja," sahut Ibas. Metta agak melebarkan mata pada anak lelakinya mendengar itu. Namun bibirnya tetap saja harus menampakkan senyum."Kalau Ibas pulangnya kesorean nanti gak cukup istirahatnya, Sayang. Kan senin sudah harus masuk sekolah lagi. Mama jemput siang aja ya?""Iya deh kalau gitu, Ma.""Jangan khawatir, Met. Bimo nggak akan pergi kemana-mana kok hari ini. Nanti biar aku sendiri aja yang jualan. Biar Ibas bisa puas maen sama papanya." Norma seolah tahu kekhawatiran Metta."Iya, Met. Jangan khawatir. Ibas akan baik-baik saja di sini," lanjut Bimo."Ya udah. Makasih ya, mbak Norma, Mas Bimo. Kami pamit dulu kalau gitu. Ibas baik-baik ya. Jangan rewel dan ngrepoti
Kehidupan Metta bersama Fabian masih sangat hangat sebagai sepasang pengantin baru walaupun ini adalah pernikahan kedua bagi keduanya.Di hari-hari awal pernikahan mereka, Metta bahkan sedikit kaget karena ternyata keseharian Fabian agak jauh dari bayangannya. Fabian yang seorang pengusaha, dalam bayangan Metta adalah orang yang sangat sibuk dan mungkin tak akan bisa memiliki banyak waktu untuk dirinya dan Ibas. Namun ternyata, dugaan Metta keliru. Fabian bahkan jauh lebih perhatian dibanding dulu saat dirinya menjalani awal pernikahannya dengan Bimo.Fabian sangat jauh berbeda dengan Bimo. Rupanya statusnya sebagai pengusaha sukses tak lantas membuatnya menomorduakan keluarga. Metta dan Ibas tetap menjadi prioritas utama bagi pria itu saat ini.Hari demi hari mereka lalui dengan kehangatan sebuah keluarga. Mungkin kegagalan keduanya dalam pernikahan sebelumnya menjadi pelajaran ya
Usai hari pernikahan, Fabian memboyong Metta ke sebuah rumah besar nan mewah. Rupanya lelaki itu sudah menyiapkan sebuah istana untuk sang istri. Metta bahkan belum pernah menginjakkan kaki di rumah semegah itu sebelumnya, selain rumah sahabatnya yang sekarang jadi adik iparnya, Amanda. Bik Marsih yang ikut diboyong Metta ke rumah barunya sampai terbengong kala mobil yang membawa mereka memasuki gerbang yang baru saja dibukakan oleh seorang satpam. Halaman yang luas dengan taman indah, air mancur di tengah-tengah halaman, persis seperti rumah-rumah yang hanya pernah dilihatnya di dalam tayangan sinetron di televisi lokal. Berulang kali wanita baya itu berdecak kagum. Tak jauh beda dengan bik Marsih, Ibas pun nampak seperti sedang dibawa jalan-jalan ke nengeri dongeng. "Ini ru
Malam itu Bimo, Norma, Nani dan suaminya sudah bersiap untuk pergi ke pesta pernikahan Metta. Bimo telah menyewa sebuah mobil untuk membawa rombongan itu ke sana. Saat akhirnya mereka berangkat, Norma tiba-tiba menyuruh Bimo untuk membelokkan mobil ke arah yang tak seharusnya. "Lhoh, jalannya itu ke arah sana mbak, kok minta belok?" tanya Bimo keheranan. "Udah belok dulu, sebentar aja kok, Bim. Nggak lama," sahut Norma. Nani juga jadi mengerutkan dahi melihat tingkah kakak sulungnya itu. "Mau kemana dulu sih kita memangnya, Mbak?" tanyanya kemudian dari kursi belakang. "Udaah jangan pada cerewet. Nanti juga tau." Lagi-lagi norma menyuruh adik-adiknya untuk diam.&n