“Tadi tamu terakhir kan?” tanya Rajendra.
“Iya, Mas,” jawab Yudith. “Akhirnya, astaga tiga hari setelah resepsi dan tamu masih banyak. Keluarga kamu besar sekali ya? atau kamu mengundang satu kampung. Sudahlah capek resepsi dua hari, belum bisa istirahat juga sampai lima hari,” gerundel Rajendra. “Keluarga mama papa memang banyak, dan aku anak satu-satunya sudah pasti semua diundang. Kamu istirahatlah, biar sisanya aku yang temui.” Yudith menghela nafas akan keluhan suaminya selama hampir lima hari terakhir ia dengar. “Aku mau tidur sampai malam, jangan bangunkan ya. Kamu buatlah alasan kalau mama kamu dan keluarga yang masih di sini tanya,” pesan Rajendra. “Iya Mas,” jawab Yudith. Yudith menutup pintu kamarnya yang untuk sementara mereka gunakan sebelum menempati rumah baru pemberian dari suami karena tidak ingin pernikahan rumit mereka terendus oleh mama Yudith. Tamu keluarganya memang silih berganti berdatangan karena tidak semua tinggal di Jakarta jadi sekalian melepas rindu mereka menginap di hotel dan siang hari akan bercengkerama dengan keluarga lainnya di kediaman Yudith. “Mas bangun dulu, makan malam dulu. Nanti kamu bisa tidur lagi.” Yudith membangunkan suaminya yang terlelap pulas sedari sore. “Aku masih mengantuk, kamu makan dulu saja.” Rajendra menepis tangan di bahunya. “Mama sudah memasak dan menunggu di bawah, makan dulu nanti bisa dilanjutkan tidur.” Yudith sabar membujuk, ia tidak mungkin mengatakan pada mamanya jika menantunya malas makan malam bersama. “Ya Tuhan, Yudith,” geram Rajendra. “Enggak bisa banget lihat orang istirahat, memangnya harus banget aku ikut makan? kan bisa duluan. Aku akan makan saat merasa lapar,” gerutu Rajendra. “Kamu mau aku bilang ke mama kalau kamu capek dan memilih tidur dari pada menikmati masakan mama?” tanya Yudith. “Astaga ... kamu berani mengancam rupanya?” Rajendra menyibak selimut dengan kesal dan turun dari ranjang besar menuju kamar mandi, tidak lagi menghiraukan di punggungnya Yudith menarik nafas panjang. Mereka makan malam di kediaman Yudith sebelum esok menempati rumah baru mereka sesuai rencana awal permintaan mama Yudith untuk tinggal lima hari dahulu di rumah tersebut sebelum putrinya benar-benar meninggalkan rumah ikut suami. “Kamu yang menyetujui ya, Yudith. Jangan menuntut macam-macam dari aku saat kamu benar-benar hamil nanti. Aku tidak ingin kamu meminta ini itu dengan dalih mengidam.” Ucapan pertama Rajendra saat sampai rumah baru mereka. “Aku bisa melakukan apa pun sendiri, aku wanita mandiri. Kamu tidak perlu berulang kali mengatakan hal itu.” Yudith akhirnya kesal dengan ucapan penuh peringatan di setiap keadaan oleh laki-laki berstatus suaminya. “Baguslah kalau begitu, mari kita selesaikan malam ini. Kamu bisa bersiap-siap, siapa tahu kamu takut melakukan malam pertama,” sindir Rajendra telak. Yudith menghela nafas panjang, memilih mengabaikan ucapan sang suami dan melanjutkan merapikan isi kopernya. Ia tidak membawa semua pakaiannya di rumah orang tuanya karena akan ia cicil perlahan untuk memindahkannya nanti. Yudith mengerutkan kening saat suaminya masuk ke dalam kamar dengan membawa dua gelas entah berisi apa. “Walau aku terlihat sangat jahat sama kamu, tapi aku menghargai keputusan kamu yang ingin berbakti sama orang tua. Jadi mari kita lakukan dengan nyaman,” papar Rajendra akan keanehannya tiba-tiba bersikap baik dan lembut pada istrinya. Yudith terdiam menerima gelas hangat lemon teh dari aromanya, memandang paras tenang Rajendra lebih dalam. Sungguhkan yang di depannya adalah laki-laki menyebalkan yang dikenalkan almarhum papa padanya? “Kamu benar siap? masih bisa menolak.” Rajendra bertanya saat mereka hendak melakukan hubungan suami istri untuk pertama kalinya. Yudith mengangguk tanpa suara, ia bisa apa kali ini. Ia yang mengambil keputusan menerima pernikahan gila ini dengan sadar. Ia yakin ia tidak mencintai laki-laki bernama Rajendra Dallas Oberto. Ia akan bisa bertahan selama satu tahun, Yudith sangat yakin akan hal itu. Ia hanya cukup mengandung janin Rajendra dan semua akan selesai dengan cepat. “Clara ... honey .... “ Rajendra menyerukan sebuah nama wanita lain saat ia mencapai puncak. Bukan nama Yudith yang ia sentuh sedari satu jam lalu, bukan nama Yudith yang memberikannya kepuasan yang disebutkan olah suaminya. Sakit yang ia rasakan pada pangkal kakinya karena memang ia tidak pernah berhubungan sebelum pernikahan, tidak sebanding dengan sakit di hatinya. “Thank you honey, amazing right?” Rajendra berbisik pada sosok tubuh yang membeku di bawahnya. Yudith tidak pernah membayangkan jika bercinta dengan suami yang ia harapkan akan membahagiakan dulu, karena ia menjaga dirinya dengan amat baik hingga tidak membolehkan siapa pun menyentuhnya jika bukan suaminya kelak. Kini bagai pisau belati menyayat-nyayat bukan hanya tubuhnya, tapi hidup Yudith sepenuhnya. Sakit luar biasa terasa hingga ia menggigil memeluk lututnya sendiri saat Rajendra dengan kejamnya meninggalkan dirinya yang belum baik sepenuhnya bahkan tanpa menyelimuti tubuh polosnya. Tiada yang lebih menyakitkan dari itu seumur hidup Yudith. “Aku akan tinggal di tempat Clara, tugas aku sudah selesai. Sabtu sore aku akan pulang ke sini dan minggu sore ke sana. Seperti itu jadwalnya, jangan menghubungi aku jika bukan urusan orang tua kita. Karena kamu sudah kaya raya, maka tidak perlu lagi kan uang nafkah dari aku, kan. Aku pergi sekarang.” Kekejaman Rajendra lainnya pada sang istri. Yudith tidak menjawab, tangannya yang sedang mengisi dua gelas teh dan sudah menyiapkan sarapan berhenti di udara. Rajendra bahkan tidak melirik atau menyentuh sedikit saja apa yang sudah ia siapkan. Pernikahan neraka baginya segera di mulai. Yudith adalah anak tunggal sekaligus pewaris kerajaan bisnis almarhum papanya. Ia wanita mandiri dan berpendidikan, ia bisa melakukan segala hal kecuali menolak permintaan terakhir papanya dan menjadi begitu lemah dengan perlakuan kejam Rajendra padanya. Bukan pernikahan seperti ini yang ia impikan sedari dulu. “Mama akan datang minggu pagi sama Ibu kamu, sebaiknya kamu pulang.” Yudith mengirimkan pesan untuk Rajendra setelah menerima panggilan dari mamanya dan ibu mertuanya bahwa mereka akan berkunjung di minggu pagi. “Ok.” Singkat balasan dari Rajendra. “Hallo Mas?” Yudith menerima panggilan Rajendra setelah jeda beberapa menit dari balasan singkatnya. “Orang tua kita enggak menginap, kan?” Rajendra langsung menembak pertanyaan begitu panggilannya di angkat oleh Yudith. “Aku enggak tahu dan enggak tanya juga, mama hanya bilang akan menengok sama ibu kamu,” jawab Yudith. “Runyam kalau mereka sampai menginap, aku malas bersandiwara. Aku akan tanya sama ibu aku saja buat pastikan mereka sebentar saja ke rumah.” Rajendra kembali mengakhiri sepihak. "Runyam kamu bilang? Mereka keluarga aku, dan tidak mungkin aku usir keluarga yang jauh-jauh datang untuk memberikan doa," bantah Yudith.“Ada tamu? Siapa? saya enggak ada janji.” Yudith mengerutkan kening saat asistennya mengatakan ada tamu di lobi bawah kantornya dan mencari dirinya. “Ibu Clara Amelia katanya, Bu,” jawab sang asisten. Yudith melebarkan mata mendengar sebuah nama yang haram hukumnya ia sebut, mendatangi kantornya. Apakah wanita itu sudah gila sampai berani sekali menemuinya. Apakah Rajendra tahu jika Clara berada di kantornya. Terlalu banyak pertanyaan dalam benak Yudith namun apa pun alasan kedatangan istri pertama suaminya tersebut, ia harus segera menyeret keluar agar tidak ada satu pun mencurigai. “Ikut saya ke luar.” Yudith berbisik saat berhadapan dengan wanita cantik jelita dengan heels tinggi menjulang. Clara hari itu mengenakan celana pensil membungkus kaki jenjangnya, beserta blus berkerah pendek tanpa lengan. Rambut hitam legam panjangnya tergerai indah sampai punggung. Melangkah anggun di belakang Yudith dengan pa
“Sehat Sayang? aduh ini kantung mata.” Mama Yudith memberikan pelukan dan ciuman pada sang putri saat kedatangannya di rumah. “Melembur terus, Ma. Padahal aku sudah berkali-kali bilang jangan lembur tiap malam, bandel dia.” Rajendra melayangkan canda dengan mengacak kepala Yudit penuh senyuman. “Oh ya ... kan Mama sudah bilang, limpahkan sebagian pekerjaan kamu sama Galuh, Sayang. Dengarkan nasehat suami kamu dong, Nak.” Mama mencubit lembut hidung Yudith sebelum memberikan pelukan hangat pada menantunya dan di balas sama eratnya oleh Rajendra. “Iya Ma, nanti aku pikirkan untuk bagi tugas sama Bang Galuh. Mama sehat?” Yudith berjalan beriringan dengan mamanya masuk ke dalam rumah dengan Rajendra di belakang mereka. “Sehat, Mama sehat Sayang. Kalian datang ,Mama sudah siapkan masakan kesukaan kalian, Rajendra kata ibu suka semur daging kan?” Mama Yudith menoleh ke belakang di mana menantu kesayangannya berada
“Di bunuh? Apa maksud kamu?” Yudith syok sekali mendengar Clara yang menerobos masuk begitu ia membuka pintu dan menutupnya dengan sekujur tubuh gemetaran. “Rajendra tidak ingin aku hamil sebelum kamu hamil, itu perjanjian kita agar kita dapat melegalkan pernikahan setelah perceraian kalian. Aku sudah suntik tapi enggak tahu kenapa malah hamil.” Clara menjelaskan dengan kecepatan kilat. Yudith menunduk, memijat keningnya yang langsung berdenyut kencang dan urat lehernya kaku semua dalam hitungan detik. Bom yang ia terima terlalu besar dan ia tidak memiliki cadangan rencana untuk menghadapinya agar tidak hancur berkeping-keping. Kini bukan lagi hancur berkeping-keping, ia lebur bersama luka. “Kenapa kamu ke sini? kamu tahu aku membenci kamu kan?” Yudith mengangkat wajah menelisik Clara yang sembab. “Iya aku tahu, aku pun sangat membenci kamu, Yudith. Karena menikahi kamu, Rajendra jadi memberikan perjanjian
“Sudah dua hari kamu di sini, Dek,” desah Galuh. “Kalau kamu enggak berniat pulang, maka setidaknya cerita ada apa? biar bisa aku goreng itu si Rajendra. Kan mau aku samperin dan gebuki juga kalau enggak tahu apa yang dibela jadinya kampret banget. Tell me, hem?” Galuh membelai kepala adik sepupunya yang berbaring miring di kamar tamu dalam apartemennya sejak sudah dua hari lamanya. “Ok aku akan pulang saja kalau Abang keberatan aku di sini.” Yudith melempar bantal gulinh ke sisi lain tempatnya berbaring. “Astaga ya Tuhan ... aku enggak mengusir kamu, Dek.” Galuh menahan lengan Yudith yang hendak berlari ke luar kamar tamu. “Aku akan pulang kalau sudah ingin pulang, Bang. Dan Abang enggak perlu melakukan apa-apa. Sudah diam saja pokoknya,” dumel Yudith. “Bagaimana bisa aku hanya diam melihat adik manis aku menangis terus dan hanya tidur saja di kasur. Panggilan suami kamu enggak kamu angkat
“Kenapa kamu ada di rumah?” Yudith mengerutkan kening saat pulang bekerja dan mendapati ada mobil Rajendra serta pemiliknya berada di rumah. “Ini rumah aku juga kalau kamu lupa,” acuh Rajendra. “Aku tahu ini memang rumah kamu, tapi ini bukan Sabtu sore.” Yudith membuka sepatu dan meletakannya di rak sepatu dan berjalan menuju kamarnya tanpa menunggu jawaban dari Rajendra. “Ya memang, harusnya tidak jadi masalah aku mau berada di rumah ini kapan saja. Aku sedang cuti bekerja untuk mengurusi——“ Rajendra terperangah mendengar sebuah pintu di tutup, Yudith masuk kamar tanpa mendengar ucapannya yang belum selesai. Yudith meletakkan tas dan melepas blazer dan melemparnya ke ranjang sebelum menjatuhkan diri telentang di tengah ranjang rapi berwarna putih. Memandangi langit-langit kamarnya yang polos berwarna coklat muda dengan hela nafas panjang. “Sial, ngapain sih pakai tinggal di sini kalau cuti?
“Kenapa belum pulang? keburu macet parah, Dek?” tanya Galuh saat menyambangi ruangan Yudith sebelum pulang. “Sudah macet kali Bang dari tadi. Nanti dululah mau lempengin punggung,” kekeh Yidith. Punggung kamu kenapa memangnya, bengkok? Atau habis lembur semalam suntuk?” kelakar Galuh. “Tahu saja kamu, Bang.” Yudith sengaja menimpali candaan sepupunya, ia sejujurnya satu minggu ini pulang lebih larut lantaran malas harus bertemu Rajendra di rumah. Sudah satu minggu Rajendra selalu pulang ke rumah selepas bekerja. Setelah masa cuti tiga harinya yang membuat Yudith senewen karena Rajendra berkeliaran di dalam rumah lebih banyak tanpa menggunakan atasan. Lebih sering memakai celana kolor, Yudith sudah pernah menegur untuk memakai setidaknya kaos namun hanya di jawab iya tanpa dilaksanakan. “Aku akan ke rumah sana,” ucap Rajendra pada Yudith yang baru pulang. “Hem,” jawab Yudith.
“Kamu bisa membantah aku lagi nanti saat sudah enggak sakit, bisa? kepala kamu sakit bukan?” Rajendra mengerang pelan saat tangannya berulang kali disentak kala ia memegang bahu istrinya yang sempoyongan turun dari mobil. Yudith tidak menjawab dan terus menangkis tangan Rajendra yang ingin memapahnya. Ia memilih berjalan sendiri menuju kamarnya di balik hela nafas kesal suaminya. Mengunci pintu kamar, Yudith menjatuhkan diri di ranjang. Ia yakin hanya butuh tidur dan akan kembali baik, akan tetapi prediksinya salah besar. Ia bangun setelah tidur panjangnya dengan kepala yang semakin berdenyut-denyut, sakit sekali. Dengan memaksa kaki melangkah keluar, Yudith menuju kotak obat di ruang keluarga. “Kamu yakin tidak ingin periksa? sepertinya tidak membaik.” Rajendra membuntuti Yudith yang berjalan pelan menuju dapur setelah mendapatkan sebutir obat sakit kepala di tangan. “Enggak.” Yudith menjawab, mengisi gelas dengan air puti
“Kamu pasti enggak menjaga anak Ibu dengan baik, sibuk sama pekerjaan terus.” Ibu Rajendra yang mendatangi rumah sakit saat mendengar menantu kesayangannya dirawat langsung datang menyalahkan anaknya.Rajendra meringis kecil. “Iya Bu, nanti aku akan lebih baik lagi menjaga Yudith.” “Yudith juga terlalu banyak lembur, Bu Nugroho. Anak-anak kita memang sepertinya tergila-gila sama pekerjaan mereka,” timpal mama Yudith. “Iya sepertinya begitu ya, bagaimana hasil laboratorium?” tanya Ibu Rajendra. “Belum keluar Bu, jam sembilan nanti katanya sama dokter datang periksa. Mama sama Ibu sudah sarapan? Mau dibelikan makanan?” tawar Rajendra. “Enggak usah Rajendra, kamu sudah makan belum? kamu juga harus makan. Enggak boleh sampai sakit juga, Mama nanti buatkan makan ya untuk kalian. Tadi buru-buru pas dengar Yudith masuk rumah sakit langsung ke sini.” Mama menyentuh kaki Yudith yang tertutup selimut.
“Ada acara dansanya,” bisik Rajendra usai menemui pemilik acara dan mengucapkan selamat, mereka duduk di salah satu kursi tamu-tamu. “Oh ya?” tanya Yudith.Rajendra mengangguk. “Mau turun nanti?” Yudith memicingkan mata dengan mengulum senyum, mengendus maksud tersembunyi laki-laki di sebelahnya. “Aku enggak mau terjadi tragedi gaun atau kaki terinjak dan jatuh di atas pasir.” Yudith menjawab dengan masih menahan senyum pada bibir merahnya.Rajendra berdecap. “Kamu pikir aku seamatir itu? jadi mau ya, indah sekali sunsetnya pasti romantis deh. Ini semacam acara pernikahan dari pada acara peresmian perusahaan ekspor.” “Antimainstream pemiliknya,” jawab Yudith lugas. “Rajendra .... “ “Iya.” Rajendra menoleh ke arah wanitanya ketika mendengar panggilan. “Aku yang enggak bisa dance,” kekeh Yudith. Rajendra meraih tangan Yudith, menggenggam lembut
“Besok kita belanja saja kebutuhan mandi kamu, menumpang mandi kok setiap hari. Harum badan kamu jadi kaya aku karena pakai sabun aku.” Yudith membawa hair dryer karena melihat rambut basah dengan harum sampo miliknya yang dipakai Rajendra. Rajendra melepas tawa, pindah duduk ke bawah sofa bersandar kaki sofa. Membiarkan rambutnya dikeringkan oleh Yudith yang duduk di sofa. “Aku seperti cium diri sendiri,” canda Yudith. “Sabun sampo kamu enak segar harumnya, jadi enggak masalah aku wangi sabun kamu. Besok pulang kerja saja ya beli sabunnya, eh tapi besok aku ada tender di Senopati pasti sampai malam. Kamu belikan saja bagaimana?” Rajendra memejamkan mata saat bisingnya hair dryer menyeruak di antara mereka. “Mana uangnya?” tanya Yudith iseng. Rajendra membalikkan badan, kembali memejamkan mata dengan melingkarkan kedua lengan pada kaki Yudith sementara sang wanita mengeringkan rambut depann
“Yudith ... sudah jam satu, aku pulang ya.” Rajendra membelai kepala Yudith dalam pelukan, keduanya meringkuk dalam kamar sang wanita yang sudah berubah warna menjadi coklat muda. Yudith tidak menjawab namun mengeratkan pelukannya, berhimpitan meringkuk di balik selimut tebal. “Besok Subuh saja pulangnya,” lirih Yudith. “Boleh memangnya menginap di sini?” Pertanyaan Rajendra dijawab anggukan dengan mata terpejamnya. “Nanti digerebek enggak? aku takut dipenggal Galuh,” tukas Rajendra. “Enggak akan, diamlah ... aku mengantuk.” Yudith menggesekkan hidung pada dada bidang Rajendra. “Baiklah ... mari tidur, benar-benar tidur.” Rajendra daratkan kecupan pada kepala Yudith sebelum turut memejamkan matanya. Yudith terlelap dengan cepat, setelah beberapa hari ia mengalami kesulitan tidur, malam ini ia benar-benar pulas bahkan tidak terbangun sekalipun hingga pagi tiba
“Berhenti melihat aku begitu, Sayang. Nanti kamu menyesal,” kekeh Rajendra.Yudith melepas tawa kecil. “Ok ... aku memilih mengizinkan kamu memanggil sayang dari pada aku nanti menyesal.” “Kenapa sih enggak mau sekali dipanggil sayang? maunya apa memang? baby? Honey? Sweety?” tanya Rajendra. “Entahlah enggak ada alasan spesifik.” Yudith menaikkan kedua bahunya acuh. “Teringat aku memanggil wanita lain ya?” terka Rajendra. Yudith menarik kedua sudut bibirnya samar, namun dapat tertangkap indra mata Rajendra dari balik kemudi. “Ya sudah aku panggil Yudith saja biar kamu enggak ingat-ingat lagi.“ Rajendra memanjangkan tangannya membelai pipi kanan Yudith dengan punggung tangannya. Yudith menahan tangan hangat tersebut, mengaitkannya sesaat sebelum ia tepuk punggung tangan Rajendra dua kali. “Ke rumah?” Tawaran Yudith yang sangat amat jarang terlepas dari bibirny
“Masa iya Bu Yudith mau ya sama laki-laki doyan sama banyak wanita begitu? cantikan juga ibu Yudith, sudah pasti kaya tujuh turunan juga.” Ucap seorang wanita berpakaian rapi dengan sepatu merah pada sudut lobi kantor. “Mungkin sudah cinta mati? Atau jangan-jangan bu Yudith kena guna-guna?” timpal wanita lainnya di depan si sepatu merah. “Ah jaman seperti sekarang masih ada guna-guna? Enggak mempan ah, apa mungkin alasan mereka dulu bercerai karena suaminya banyak wanita lain ya? tapi kalau iya, masa mau diulang sama laki-laki seperti itu?” jawab wanita sepatu merah. Yudith berdehem sekali, kedua wanita di sana langsung menoleh ke belakang punggung mereka. Mata mereka melebar sempurna dan keduanya langsung menganggukkan kepala dengan wajah pucat pasi melihat wajah dingin atasan yang mereka gunjingkan sedari tadi. “Eh selamat siang Ibu Yudith,” sapa si sepatu merah terbata-bata. “Kalian suda
“Dek ikut aku.” Galuh menarik tangan Yudith saat berpapasan di depan resepsionis untuk segera menaiki lift khusus pemilik perusahaan. “Ada apa astaga pelan-pelan Abang, sepatu aku hari ini tujuh senti,” gerundel Yudith. Galuh tetap menarik Yudith hingga pintu lift tertutup, membuka ponselnya dan memperlihatkan sebuah gambar pada sang adik sepupu. Mata Yudith melebar saat melihat sebuah foto. Foto Rajendra tengah berbaring dengan badan atas tanpa pakaian dan selimut hanya menutupi sampai pinggang. Bukan perkara tidurnya yang menjadi masalah melainkan siapa wanita di samping Rajendra, Clara. Bukan hanya satu foto itu, melainkan ada satu lagi foto lainnya. Posisi duduk namun Rajendra tengah memeluk leher wanita di sampingnya dengan pipi di cium, Reina. “Kok bisa ada foto itu di hp Abang?” desah Yudith. “Ini dari grup kantor, Dek,” geram Galuh. “Hah? bagaimana? grup kantor yang mana? siapa yang
“Maksud kamu?” tergagap Reina bertanya dengan posisi sudah berdiri tegak di balik gaun membalut lekuk tubuhnya. “Bukankah kalian sudah bercerai? Tidak mungkin informan aku salah memberikan laporan.” Reina masih menyerukan ketidakpercayaannya. “Benar kok, informan kamu enggak salah kasih informasi. Hanya kurang lengkap saja yang dia cari tahu. Saya menemui kamu untuk bilang satu hal, kamu dan saya tidak ada hubungan apa pun lagi sejak bertahun silam. Jadi saya tegaskan jangan melakukan kebodohan berulang. Kami akan segera menikah, kamu salah memilih lawah jika masih mengusik Yudith.” Rajendra berkata dengan tatap tertuju pada wanita berambut panjang tergerai indah. “Kamu hanya bercanda seperti tahun-tahun lalu, right? Aku sangat mengenal kamu, Rajendra. Kamu hanya sedang bermain-main saja seperti sebelumnya.” Reina bersikukuh bahwa apa yang ia lihat bukanlah kebenaran.Yudith menghela nafas panjang. “Kamu selesaikan saja s
Yudith menunjukkan layar ponsel Rajendra kepada pemiliknya, sang pemilik mengerutkan kening membaca deretan pesan di sana. “Aku enggak tahu dia dapat nomor aku dari mana, blokir saja sudah.” Rajendra mengambil ponsel dari tangan Yudith akan tetapi Yudith mengelak justru meminta Rajendra membuka ponselnya. “Paswordnya tanggal lahir kamu. Balas apa saja terserah kamu,” tukas Rajendra tidak ingin repot-repot membalas sendiri. “Kamu enggak ada keinginan bilang sama dia? jelaskan sampai dia berhenti?” tanya Yudith lengkap dengan senyum tipis.Rajendra membalas tatap Yudith sesaat. “Sini, aku telepon balik.” Yudith berdiri di hadapan Rajendra dengan tatap tenang namun dalam, menunggu apa yang hendak laki-lakinya ucapan pada perempuan kegenitan bernama Reina. “Hallo Rei ... kabar baik, dapat nomor dari mana? oh ... bertemu? Boleh, besok siang ya di PIK jam makan siang. Ok.” Rajendra memutuskan pan
“Aurora cantik .... aunty datang.” Yudith berseru lantang memasuki rumah Galuh di minggu pagi pukul sembilan. “Hai aunty, aku sedang sarapan.” Mama Aurora balas menyapa hangat penuh senyuman, duduk berhadapan dengan si cantik Aurora yang duduk di babychair mengenakan bib silikon dan mulut celemotan. Aurora berseru Aunty lengkap kaki dan tangannya bergerak-gerak semangat meminta diangkat dari kursi tingginya. Yudith melepas tawa, meletakan tentengan di meja makan depan keponakan dan mamanya untuk menunduk mencium pipi gembil Aurora sebelum duduk. “Nanti ya gendongnya, makan dulu sampai habis. Nanti kita main, Aurora sama mama sehat?” Yudith mendaratkan tempel pipi pada mama si cantik seraya bertanya. “Sehat Aunty, hanya Aurora sedang tumbuh gigi sekali dua. Jadi makannya agak susah. Mamanya juga sehat, Aunty sehat? kok enggak sama om Jendra?” Mama Aurora membiarkan Yudith mengambil alih menyuapi si kecil yang masih tidak sabar ingin bangun dari baby chair. “Oh ya? geraham?” Yudith