“Kenapa belum pulang? keburu macet parah, Dek?” tanya Galuh saat menyambangi ruangan Yudith sebelum pulang.
“Sudah macet kali Bang dari tadi. Nanti dululah mau lempengin punggung,” kekeh Yidith. Punggung kamu kenapa memangnya, bengkok? Atau habis lembur semalam suntuk?” kelakar Galuh. “Tahu saja kamu, Bang.” Yudith sengaja menimpali candaan sepupunya, ia sejujurnya satu minggu ini pulang lebih larut lantaran malas harus bertemu Rajendra di rumah. Sudah satu minggu Rajendra selalu pulang ke rumah selepas bekerja. Setelah masa cuti tiga harinya yang membuat Yudith senewen karena Rajendra berkeliaran di dalam rumah lebih banyak tanpa menggunakan atasan. Lebih sering memakai celana kolor, Yudith sudah pernah menegur untuk memakai setidaknya kaos namun hanya di jawab iya tanpa dilaksanakan. “Aku akan ke rumah sana,” ucap Rajendra pada Yudith yang baru pulang. “Hem,” jawab Yudith. Yudith paham maksud dari rumah sana, rumah tempat istri pertama suaminya yang tengah hamil berada. “Kamu tidak perlu pura-pura lembur setiap hari agar pulang larut karena aku berada di rumah ini.” Perkataan Rajendra diucapkan sambil lalu memasuki mobil hitam besarnya. Yudith menoleh sebentar, rupanya Rajendra mengetahui bahwa lembur hanya alasannya selalu pulang larut malam. Yudith baru meninggalkan ruangannya setelah kantor sudah sangat sepi, dan sampai rumah lebih dari jam sembilan setelah ia mampir beli kopi dan camilan. Yudith mengangkat bahunya acuh dan masuk ke dalam rumah segera, ia sangat capek sesungguhnya dan ingin segera menenggelamkan diri di balik selimut. Gerak tangan yang akan membuka kulkas untuk mengambil air dingin terhenti kala melihat meja makan terdapat beberapa mangkuk dan piring tertutup rapat. “Sudah dibilang jangan pesan makan banyak-banyak yang akhirnya dibuang.” Yudith mendesah saat membuka penutup makanan satu persatu dengan hela nafas panjangnya. “Dia bisa masak nasi ternyata?” Dengus Yudith saat melihat penanak nasinya menyala padahal ia tidak masak nasi saat berangkat bekerja tadi pagi. Yudith sebenarnya sudah membeli beberapa kudapan untuk makan malamnya, namun melihat banyaknya makanan yang dibeli Rajendra ia jadi tidak tega mengabaikan makanan di meja. Mengambil piring bersih, Yudith mengisinya dengan sedikit nasi, udang dan capcai. Biarlah nanti sisanya ia masukkan kulkas. Pukul satu siang usai jam istirahat kantor selesai, Yudith kedatangan kawannya yang beberapa bulan lalu ia temui secara pribadi untuk memeriksakan reproduksinya dan yang memberitahukan bahwa ia belum hamil. “Ganggu enggak, serius aku tanyanya loh.” Wanita muda berkemeja biru muda di hadapan Yudith melayangkan pertanyaan. “Enggak, Luisa. Jangan bilang kamu membolos ya lagi praktik,” kelakar Yudith. Wanita cantik bernama Luisa tersebut melepas tawa dengan melambaikan tangannya akan canda yang dilempar kawannya. “So ... Dokter Luisa yang membolos kerja, ada apa gerangan?” Yudith mengulas senyumnya setelah meneguk minuman yang ia suguhkan untuk tamu. “Iya aku harus bertemu langsung sama kamu ketimbang tanya lewat telepon. Kamu menemui dokter kandungan lain selain aku di rumah sakit tempat aku bekerja?” Luisa bertanya ringan, ia tidak marah atau tersinggung tapi ingin tahu apakah kawannya ini mengalami masalah atau tidak. “Enggak ... aku hanya menemui kamu saja sekali itu. Kenapa, Luisa?” Yudith mengendus ada yang tidak beres. “Lah kemarin aku panggil-panggil pantas enggak menoleh. Aku pikir kalian tidak dengar, lalu siapa yang bersama suami kamu di rumah sakit dan menemui dokter Margareta? Beliau dokter kandungan senior di sana.” Luisa melebarkan mata mendengar jawaban Yudith. “Kemarin? Rajendra?” tegas Yudith. “Aku yakin enggak salah lihat itu suami kamu, yang wanita aku hanya lihat punggungnya saja. Apa suami kamu punya saudara perempuan?” Luisa menanyakan kemungkinan lainnya. “Enggak, Jendra anak tunggal sama seperti aku. Kalau sepupu cewek ada beberapa. Pukul berapa kamu melihatnya? Tanya Yudith.Luisa menghela nafas panjang dan menyandarkan punggungnya. “Masih lumayan pagi, pukul sembilan lebih. Rajendra tidak bilang apa-apa sama kamu?” “Enggak, atau mungkin belum. Dia sangat sibuk dengan proyek barunya.” Yudith cepat memberi alasan agar tidak sampai dicurigai oleh Luisa. “Aku pikir kamu mencari opsi lain untuk memeriksa, aku merasa di khianati,” kekeh Luisa. “Tentu saja enggak, aku bahkan minta konsultasi kamu saat cek up. Nanti aku tanya sama Rajendra, kemungkinan sepupunya mungkin ya. Ada yang baru menikah juga soalnya.” Yudith kembali menyesap minumannya dengan mengukir senyuman hangat. Yudith berupaya keras agar Luisa menerima tanpa curiga alasannya. Ia tidak ingin siapa pun mengendus rumah tangganya berada dalam masalah besar. “Syukurlah kalau begitu, kamu enggak cek lagi? atau masih menikmati masa bermesraan berdua suami?” Luisa melempar guyonan kecil pada temannya.Yudit melepas tawa dan mengangguk. “Iya, kami menikmati waktu kebersamaan kami dulu, kalaupun memang nanti hamil, bersyukur. Kalaupun belum hamil kami tidak masalah.” “Iya bagus seperti itu, rileks tidak terlalu terbebani. Nikmati saja pacaran sambil menikah, jalan-jalan berdua. Bagaimana kabar tante? duh lama enggak main ke rumah kamu.” Luisa membelokkan obrolan ke hal lain setelah memastikan kawannya baik-baik saja. Yudith menghela nafas panjang, mengirimkan sebuah pesan pada Rajendra usai Luisa meninggalkan kantornya. Meminta Rajendra pindah lokasi rumah sakit dan dokter jika memeriksakan Clara karena Luisa mencurigai mereka. Melempar ponsel ke meja ruang kerja di kantornya, Yudith tidak menggubris balasan yang masuk ke ponselnya. Yudith melangkah lunglai menuju mobilnya, ia akan pulang setelah melewati meeting alot dengan beberapa klien. Kepalanya berdenyut kencang, ia memijat sebentar dengan mata terpejam sebelum menyalakan mobilnya. Tersentak kaget saat kaca mobilnya di ketuk dua kali. “Apa?” Yudith bertanya setelah menurunkan kaca mobil putihnya. “Kamu pindah ke samping, aku yang bawa mobilnya.” Rajendra dengan pakaian kantornya membuka pintu kemudi untuk meminta istrinya pindah duduk. Yudith yang tengah sakit kepala tidak punya keinginan mendebat segera turun untuk berpindah duduk ke kursi samping kemudi. Mobil melaju perlahan meninggalkan pelataran parkir kantor Yudith. “Aku lupa kalau dokter kamu bekerja di sana. Apa saja yang dia katakan?” tanya Rajendra. “Enggak banyak, hanya tanya kenapa aku periksa ke dokter lain. Saat aku bilang bukan aku, dia jadi banyak tanya siapa-siapanya. Lain kali hati-hatilah, kamu bebas ke mana saja nanti saat kita bercerai. Pakai topeng saja sekalian biar enggak ada yang kenali kamu,” dengus Yudith. “Teman kamu enggak bocor kan?” tanya Rajendra. “Kenapa kamu cemaskan teman aku bocor apa enggak? yang harus kamu lakukan adalah berhati-hati memainkan sandiwara kita ini. Jika tidak ingin kolega kaku maupun kamu sampai tahu dan kamu tahu sendiri akibatnya bagaimana di dunia bisnis.” Yudith kembali menerocos panjang dengan satu tangan memijat keningnya yang semakin berdenyut. “Kamu sakit?” Rajendra bukan menanggapi perkataan Yudith melainkan malah bertanya kondisinya.“Kamu bisa membantah aku lagi nanti saat sudah enggak sakit, bisa? kepala kamu sakit bukan?” Rajendra mengerang pelan saat tangannya berulang kali disentak kala ia memegang bahu istrinya yang sempoyongan turun dari mobil. Yudith tidak menjawab dan terus menangkis tangan Rajendra yang ingin memapahnya. Ia memilih berjalan sendiri menuju kamarnya di balik hela nafas kesal suaminya. Mengunci pintu kamar, Yudith menjatuhkan diri di ranjang. Ia yakin hanya butuh tidur dan akan kembali baik, akan tetapi prediksinya salah besar. Ia bangun setelah tidur panjangnya dengan kepala yang semakin berdenyut-denyut, sakit sekali. Dengan memaksa kaki melangkah keluar, Yudith menuju kotak obat di ruang keluarga. “Kamu yakin tidak ingin periksa? sepertinya tidak membaik.” Rajendra membuntuti Yudith yang berjalan pelan menuju dapur setelah mendapatkan sebutir obat sakit kepala di tangan. “Enggak.” Yudith menjawab, mengisi gelas dengan air puti
“Kamu pasti enggak menjaga anak Ibu dengan baik, sibuk sama pekerjaan terus.” Ibu Rajendra yang mendatangi rumah sakit saat mendengar menantu kesayangannya dirawat langsung datang menyalahkan anaknya.Rajendra meringis kecil. “Iya Bu, nanti aku akan lebih baik lagi menjaga Yudith.” “Yudith juga terlalu banyak lembur, Bu Nugroho. Anak-anak kita memang sepertinya tergila-gila sama pekerjaan mereka,” timpal mama Yudith. “Iya sepertinya begitu ya, bagaimana hasil laboratorium?” tanya Ibu Rajendra. “Belum keluar Bu, jam sembilan nanti katanya sama dokter datang periksa. Mama sama Ibu sudah sarapan? Mau dibelikan makanan?” tawar Rajendra. “Enggak usah Rajendra, kamu sudah makan belum? kamu juga harus makan. Enggak boleh sampai sakit juga, Mama nanti buatkan makan ya untuk kalian. Tadi buru-buru pas dengar Yudith masuk rumah sakit langsung ke sini.” Mama menyentuh kaki Yudith yang tertutup selimut.
Yudith menerima uluran tangan Rajendra saat turun dari ranjang rawat, ia hendak pulang setelah menjalani perawatan empat hari. Empat hari paling menyebalkan untuk Yudith karena harus 24 jam bersama Rajendra. “Jangan bekerja dulu beberapa hari, kamu masih butuh pemulihan.” Rajendra meletakan tas perlengkapan Yudith di samping ranjang wanita bersweater coklat tersebut. “Iya, terima kasih,” jawab Yudith. Rajendra menoleh ke arah Yudith dengan menghentikan langkah kakinya. “Rupanya sakit bisa membuat kamu mengucapkan kata itu ya,” cibir Rajendra. “Aku bukan orang yang tidak tahu terima kasih. Kamu sudah menemani aku selama di rumah sakit, tentu saja aku harus bilang terima kasih. Terlepas entah apa sesungguhnya alasan kamu.” Yudith mengedikan bahunya.Rajendra berdecap sebal. “Memang kamu tidak pernah bisa berpikir positif.” Yudith memilih enggan menjawab, bagaimana bisa ia berpiki
“Pesan hotel sana kalian berdua, astaga.” Suara tawa membahana mengakhiri jalinan bibir keduanya yang semakin intens. Rajendra terkekeh saat Yudith mendorong dadanya begitu suara menggema Galuh terdengar mereka berdua. Yudith mengumpat dalam hati saat suami menenggelamkan kepalanya dalam pelukan. Menyembunyikan wajah merah padamnya yang ketahuan menikmati ciuman dalam Rajendra tanpa ia sadari. Sungguh sangat memalukan ia habis mendebat semua perkataan menyudutkan Rajendra, namun bibirnya malah menikmati ciuman lembut nan lihai si berengsek. “Ada apa, Bang? aduh ganggu saja elu Bang, padahal lagi di puncak,” kelakar Rajendra mendapat cubitan maut dari Yudith pada pahanya. Yudith berdehem sekali melepas dekapan suami dengan wajah masih merah padam memberi jarak duduk mereka yang bahkan sangat melekat satu sama lain. “Yaelah Dek, habis menikmati kok di siksa suaminya. Maaf ya memutus aktivitas panas kalian. Sum
“Bagaimana?” serbu Yudith begitu sampai di depan UGD. “Siapa yang kamu bawa?” Bukan menjawab pertanyaan istrinya, Rajendra justru memberi atensi serius pada laki-laki yang turut berjalan di belakang punggung Yudith. “Teman kuliah, bagaimana?” Yudith mengulangi pertanyaannya yang belum dijawab oleh laki-laki bercelana pendek dan kaos hitam di depannya. “Dokter belum keluar,” jawab Rajendra singkat. “Kenapa bisa pendarahan?” tanya Yudith. “Enggak tahu, tiba-tiba teriak dari kamar mandi.” Rajendra menyugar rambutnya hingga semakin berantakan. “Apa mungkin kepleset?” gumam Yudith pada dirinya sendiri. “Oh ... Marlo terima kasih ya sudah antar aku ke sini, kamu bisa kan pulang pakai taksi? mobil kamu masih di Supermarket kan?” ringis Yudith. “It’s ok tidak masalah, berkabar ya nanti.” Marlo menepuk bahu Yudith sebelum mengangguk kecil pada Rajendra
“Rajendra belum pulang bertugas juga, Dek?” tanya Galuh. Galuh menyambangi kediaman Yudith tanpa memberitahukan adik sepupunya yang ia dapati hanya mengenakan celana pendek dan kaos polos dengan lambang hati merah di dada kirinya. “Abang kenapa enggak bilang kalau mau ke sini?” Yudith bukan menjawab melainkan melipat tangan di dada dengan tampang kesal. “Memangnya seorang abang harus banget izin kalau mau mengunjungi adiknya?” Galuh melebarkan mata dengan melayangkan sentilan pelan pada kening Yudith. “Iya dong, karena aku sudah berumah tangga.” Yudith mendesah pelan merapikan rambutnya yang ia gelung asal, ia sedang bermalas-malasan di minggu pagi, belum mandi dan sangat tidak layak menerima tamu.“Enggak boleh masuk? Padahal sudah dibawakan bubur ayam mang Hilman.” Galuh mengangkat bungkusan di tangan dan berdecap mendorong bahu Yudith yang masih berdiri di tengah pintu terbuka menghalangi dirinya untuk m
Galuh mendesah. “Kamu mungkin bosan mendengarnya, tapi aku sungguh bisa menjaga cerita seburuk apa pun dan akan selalu berdiri paling depan jika ada yang menyakiti kamu sekalipun itu Rajendra. Mungkin aku enggak bisa memberikan pesan mengenai pernikahan, tapi kamu tahu ke mana harus berlari saat ada yang menyakiti kamu, Dek.” Yudith mengangguk, dadanya terasa amat sesak ingin menjeritkan pada Galuh bahwa ia tidak pernah sekalipun bahagia semenjak wali mengatakan sah saat pernikahannya. “Thanks Abang, Abang pasti yang pertama aku cari kalau aku menghadapi hal buruk. Karena Abang sudah manis sama aku, maka aku rela membuatkan sepiring steak tenderloin lengkap.” Yudith meletakan bantal sofa yang ia peluk dan berdiri untuk menuju dapur. “Enggak jadi deh, kita jalan saja yuk. Sudah lama enggak menonton sama kamu, makan dulu saja baru menonton. Aku traktir tenang saja, aku tahu kamu pelit,” cibir Galuh. “Sialan,” kekeh Yudith p
Galuh mengeratkan pelukan pada Yudith yang telah menyelesaikan cerita panjangnya setelah ia paksa bicara. Makian dan hantaman tinjunya ternyata tidak cukup untuk membayar sakit hati sang adik yang tidak ia ketahui selama enam bulan ke belakang. “Ya Tuhan, Dek ... kegilaan apa yang kalian mainkan ini,” gumam Galuh. Yudith tidak menjawab, entah bagaimana menceritakannya namun ia sungguh sedikit lega setelah menceritakannya. Walaupun Yudith tahu badai menggila siap menghadangnya setelah ini. “Bang Please jangan bilang mama dulu, hanya tiga bulan lagi. Aku akan selesaikan ini secepat mungkin,” pinta Yudith. “Cerai, langsung cerai sekarang tidak perlu menunggu tiga bulan lagi. Perjanjian konyol kalian tidak tertulis hitam di atas putih. Di sini kamu sungguh paling di rugikan. Kenapa kamu bodoh sekali sih Dek terima tawaran gila kunyuk itu? kamu adalah orang paling logis yang aku tahu. Kamu cantik, pintar, mandir
“Ada acara dansanya,” bisik Rajendra usai menemui pemilik acara dan mengucapkan selamat, mereka duduk di salah satu kursi tamu-tamu. “Oh ya?” tanya Yudith.Rajendra mengangguk. “Mau turun nanti?” Yudith memicingkan mata dengan mengulum senyum, mengendus maksud tersembunyi laki-laki di sebelahnya. “Aku enggak mau terjadi tragedi gaun atau kaki terinjak dan jatuh di atas pasir.” Yudith menjawab dengan masih menahan senyum pada bibir merahnya.Rajendra berdecap. “Kamu pikir aku seamatir itu? jadi mau ya, indah sekali sunsetnya pasti romantis deh. Ini semacam acara pernikahan dari pada acara peresmian perusahaan ekspor.” “Antimainstream pemiliknya,” jawab Yudith lugas. “Rajendra .... “ “Iya.” Rajendra menoleh ke arah wanitanya ketika mendengar panggilan. “Aku yang enggak bisa dance,” kekeh Yudith. Rajendra meraih tangan Yudith, menggenggam lembut
“Besok kita belanja saja kebutuhan mandi kamu, menumpang mandi kok setiap hari. Harum badan kamu jadi kaya aku karena pakai sabun aku.” Yudith membawa hair dryer karena melihat rambut basah dengan harum sampo miliknya yang dipakai Rajendra. Rajendra melepas tawa, pindah duduk ke bawah sofa bersandar kaki sofa. Membiarkan rambutnya dikeringkan oleh Yudith yang duduk di sofa. “Aku seperti cium diri sendiri,” canda Yudith. “Sabun sampo kamu enak segar harumnya, jadi enggak masalah aku wangi sabun kamu. Besok pulang kerja saja ya beli sabunnya, eh tapi besok aku ada tender di Senopati pasti sampai malam. Kamu belikan saja bagaimana?” Rajendra memejamkan mata saat bisingnya hair dryer menyeruak di antara mereka. “Mana uangnya?” tanya Yudith iseng. Rajendra membalikkan badan, kembali memejamkan mata dengan melingkarkan kedua lengan pada kaki Yudith sementara sang wanita mengeringkan rambut depann
“Yudith ... sudah jam satu, aku pulang ya.” Rajendra membelai kepala Yudith dalam pelukan, keduanya meringkuk dalam kamar sang wanita yang sudah berubah warna menjadi coklat muda. Yudith tidak menjawab namun mengeratkan pelukannya, berhimpitan meringkuk di balik selimut tebal. “Besok Subuh saja pulangnya,” lirih Yudith. “Boleh memangnya menginap di sini?” Pertanyaan Rajendra dijawab anggukan dengan mata terpejamnya. “Nanti digerebek enggak? aku takut dipenggal Galuh,” tukas Rajendra. “Enggak akan, diamlah ... aku mengantuk.” Yudith menggesekkan hidung pada dada bidang Rajendra. “Baiklah ... mari tidur, benar-benar tidur.” Rajendra daratkan kecupan pada kepala Yudith sebelum turut memejamkan matanya. Yudith terlelap dengan cepat, setelah beberapa hari ia mengalami kesulitan tidur, malam ini ia benar-benar pulas bahkan tidak terbangun sekalipun hingga pagi tiba
“Berhenti melihat aku begitu, Sayang. Nanti kamu menyesal,” kekeh Rajendra.Yudith melepas tawa kecil. “Ok ... aku memilih mengizinkan kamu memanggil sayang dari pada aku nanti menyesal.” “Kenapa sih enggak mau sekali dipanggil sayang? maunya apa memang? baby? Honey? Sweety?” tanya Rajendra. “Entahlah enggak ada alasan spesifik.” Yudith menaikkan kedua bahunya acuh. “Teringat aku memanggil wanita lain ya?” terka Rajendra. Yudith menarik kedua sudut bibirnya samar, namun dapat tertangkap indra mata Rajendra dari balik kemudi. “Ya sudah aku panggil Yudith saja biar kamu enggak ingat-ingat lagi.“ Rajendra memanjangkan tangannya membelai pipi kanan Yudith dengan punggung tangannya. Yudith menahan tangan hangat tersebut, mengaitkannya sesaat sebelum ia tepuk punggung tangan Rajendra dua kali. “Ke rumah?” Tawaran Yudith yang sangat amat jarang terlepas dari bibirny
“Masa iya Bu Yudith mau ya sama laki-laki doyan sama banyak wanita begitu? cantikan juga ibu Yudith, sudah pasti kaya tujuh turunan juga.” Ucap seorang wanita berpakaian rapi dengan sepatu merah pada sudut lobi kantor. “Mungkin sudah cinta mati? Atau jangan-jangan bu Yudith kena guna-guna?” timpal wanita lainnya di depan si sepatu merah. “Ah jaman seperti sekarang masih ada guna-guna? Enggak mempan ah, apa mungkin alasan mereka dulu bercerai karena suaminya banyak wanita lain ya? tapi kalau iya, masa mau diulang sama laki-laki seperti itu?” jawab wanita sepatu merah. Yudith berdehem sekali, kedua wanita di sana langsung menoleh ke belakang punggung mereka. Mata mereka melebar sempurna dan keduanya langsung menganggukkan kepala dengan wajah pucat pasi melihat wajah dingin atasan yang mereka gunjingkan sedari tadi. “Eh selamat siang Ibu Yudith,” sapa si sepatu merah terbata-bata. “Kalian suda
“Dek ikut aku.” Galuh menarik tangan Yudith saat berpapasan di depan resepsionis untuk segera menaiki lift khusus pemilik perusahaan. “Ada apa astaga pelan-pelan Abang, sepatu aku hari ini tujuh senti,” gerundel Yudith. Galuh tetap menarik Yudith hingga pintu lift tertutup, membuka ponselnya dan memperlihatkan sebuah gambar pada sang adik sepupu. Mata Yudith melebar saat melihat sebuah foto. Foto Rajendra tengah berbaring dengan badan atas tanpa pakaian dan selimut hanya menutupi sampai pinggang. Bukan perkara tidurnya yang menjadi masalah melainkan siapa wanita di samping Rajendra, Clara. Bukan hanya satu foto itu, melainkan ada satu lagi foto lainnya. Posisi duduk namun Rajendra tengah memeluk leher wanita di sampingnya dengan pipi di cium, Reina. “Kok bisa ada foto itu di hp Abang?” desah Yudith. “Ini dari grup kantor, Dek,” geram Galuh. “Hah? bagaimana? grup kantor yang mana? siapa yang
“Maksud kamu?” tergagap Reina bertanya dengan posisi sudah berdiri tegak di balik gaun membalut lekuk tubuhnya. “Bukankah kalian sudah bercerai? Tidak mungkin informan aku salah memberikan laporan.” Reina masih menyerukan ketidakpercayaannya. “Benar kok, informan kamu enggak salah kasih informasi. Hanya kurang lengkap saja yang dia cari tahu. Saya menemui kamu untuk bilang satu hal, kamu dan saya tidak ada hubungan apa pun lagi sejak bertahun silam. Jadi saya tegaskan jangan melakukan kebodohan berulang. Kami akan segera menikah, kamu salah memilih lawah jika masih mengusik Yudith.” Rajendra berkata dengan tatap tertuju pada wanita berambut panjang tergerai indah. “Kamu hanya bercanda seperti tahun-tahun lalu, right? Aku sangat mengenal kamu, Rajendra. Kamu hanya sedang bermain-main saja seperti sebelumnya.” Reina bersikukuh bahwa apa yang ia lihat bukanlah kebenaran.Yudith menghela nafas panjang. “Kamu selesaikan saja s
Yudith menunjukkan layar ponsel Rajendra kepada pemiliknya, sang pemilik mengerutkan kening membaca deretan pesan di sana. “Aku enggak tahu dia dapat nomor aku dari mana, blokir saja sudah.” Rajendra mengambil ponsel dari tangan Yudith akan tetapi Yudith mengelak justru meminta Rajendra membuka ponselnya. “Paswordnya tanggal lahir kamu. Balas apa saja terserah kamu,” tukas Rajendra tidak ingin repot-repot membalas sendiri. “Kamu enggak ada keinginan bilang sama dia? jelaskan sampai dia berhenti?” tanya Yudith lengkap dengan senyum tipis.Rajendra membalas tatap Yudith sesaat. “Sini, aku telepon balik.” Yudith berdiri di hadapan Rajendra dengan tatap tenang namun dalam, menunggu apa yang hendak laki-lakinya ucapan pada perempuan kegenitan bernama Reina. “Hallo Rei ... kabar baik, dapat nomor dari mana? oh ... bertemu? Boleh, besok siang ya di PIK jam makan siang. Ok.” Rajendra memutuskan pan
“Aurora cantik .... aunty datang.” Yudith berseru lantang memasuki rumah Galuh di minggu pagi pukul sembilan. “Hai aunty, aku sedang sarapan.” Mama Aurora balas menyapa hangat penuh senyuman, duduk berhadapan dengan si cantik Aurora yang duduk di babychair mengenakan bib silikon dan mulut celemotan. Aurora berseru Aunty lengkap kaki dan tangannya bergerak-gerak semangat meminta diangkat dari kursi tingginya. Yudith melepas tawa, meletakan tentengan di meja makan depan keponakan dan mamanya untuk menunduk mencium pipi gembil Aurora sebelum duduk. “Nanti ya gendongnya, makan dulu sampai habis. Nanti kita main, Aurora sama mama sehat?” Yudith mendaratkan tempel pipi pada mama si cantik seraya bertanya. “Sehat Aunty, hanya Aurora sedang tumbuh gigi sekali dua. Jadi makannya agak susah. Mamanya juga sehat, Aunty sehat? kok enggak sama om Jendra?” Mama Aurora membiarkan Yudith mengambil alih menyuapi si kecil yang masih tidak sabar ingin bangun dari baby chair. “Oh ya? geraham?” Yudith