“Ada tamu? Siapa? saya enggak ada janji.” Yudith mengerutkan kening saat asistennya mengatakan ada tamu di lobi bawah kantornya dan mencari dirinya.
“Ibu Clara Amelia katanya, Bu,” jawab sang asisten. Yudith melebarkan mata mendengar sebuah nama yang haram hukumnya ia sebut, mendatangi kantornya. Apakah wanita itu sudah gila sampai berani sekali menemuinya. Apakah Rajendra tahu jika Clara berada di kantornya. Terlalu banyak pertanyaan dalam benak Yudith namun apa pun alasan kedatangan istri pertama suaminya tersebut, ia harus segera menyeret keluar agar tidak ada satu pun mencurigai. “Ikut saya ke luar.” Yudith berbisik saat berhadapan dengan wanita cantik jelita dengan heels tinggi menjulang. Clara hari itu mengenakan celana pensil membungkus kaki jenjangnya, beserta blus berkerah pendek tanpa lengan. Rambut hitam legam panjangnya tergerai indah sampai punggung. Melangkah anggun di belakang Yudith dengan pakaian kerja semi formalnya. “Kenapa jauh sekali sih, memangnya kantor kamu enggak punya tempat duduk?” Protes Clara. “Itu di depan ada tempat mengopi.” Yudith menjawab tanpa menoleh ke belakang. Yudith mendengar dengus kencang di balik punggungnya, namun ia tidak hiraukan. Memilih tempat duduk yang tidak terlihat dari pintu masuk, Yudith duduk dengan tenang. Tangannya bergerak cepat mengetik di ponselnya sebelum mengangkat pandangan ke arah lawan bicaranya. “Ada apa sampai ke kantor saya?” Yudith langsung melayangkan pertanyaan setelah melihat Clara selesai memesan sebuah minuman sementara ia enggan memesan apa-apa.Clara berdecap sebal. “Kamu enggak bisa basa-basi ya, bukankah ini pertama kalinya kita bicara?” “Basa-basi untuk apa? saya enggak ada urusannya sama kamu, bukan?” Yudith menjawab malas. “Tentu saja ada. Ok mari berhenti beramah-tamah sama kamu, karena kamu sepertinya cukup menyebalkan. Apa kamu sudah hamil?” Clara to the point bertanya pada Yudith “Kamu tidak ada wewenang bertanya apa saya sudah hamil atau belum. Jadi itu maksud tujuan kamu ke sini?” Yudith tidak akan menjawab pertanyaan Clara. “Kamu harus jawab karena jawaban kamu adalah salah satu kunci masa depan saya. Kalau kamu hamil ... kan cepat itu urusan kamu sama suami aku selesai. Aku sudah kesal saja tiap minggu ditinggal untuk pulang ke rumah kamu itu. Padahal juga di rumah kamu pasti hanya tidur kan? lagian kenapa sih orang tua kamu harus datang tiap minggu padahal jelas kamu bukan anak-anak yang butuh disuapi.” Sindiran Clara membuat Yudith meremas kuat celana bagian pahanya yang tertutup meja besi. “Bukankah harusnya SUAMI saya sudah memberikan kamu informasi yang akurat? Jika kamu masih datang menemui saya dan menanyakan hal ini. Maka saya jadi ragu, benarkah mas Rajendra seterbuka itu sama kamu? Atau banyak hal yang dia sembunyikan dari kamu? kalian tinggal bersama selama enam hari dalam seminggu?” Yudith dengan hati sakit masih dapat terlihat tenang saat memberikan pukulan balik pada wanita berbibir merah merona di depannya. Dengusan kencang kembali terdengar pada telinga Yudith, ia menyunggingkan senyum kemenangan karena membuat Clara diam dalam sekejap. Namun prediksi Yudith kurang tepat, ia berpikir Clara akan berhenti, rupanya justru wanita dengan liontin tetesan air tersebut menyeringai untuk melempar tembakan menyakitkan kembali pada Yudith. “Jangan merasa spesial, Yudith. Rajendra hanya bertugas membuat kamu hamil lalu menceraikan kamu setelah melahirkan. Kamu hanya batu sandungan bagi hubungan kita. Rajendra jelas menikahi kamu karena mamanya yang sakit-sakitan, dia tidak pernah mencintai kamu apalagi menginginkan kamu. Apa dia menyebut nama kamu saat kalian bercinta?” Seringai lebar terlukis dari bibir Clara. Yudith semakin kencang mengepalkan tangannya di bawah meja, apakah suaminya sampai menceritakan hal tersebut pada Clara? Batin Yudith bergolak hebat.Clara tertawa sinis. “Enggak rupanya, oh iya kan kalian hanya berhubungan sekali. Sudah pasti dia menyebut nama aku pas di puncak. Yang dia bayangkan pasti aku. Ok selamat kamu pernah bobok sekali sama suami aku. Karena dia tidak sudi lagi menyentuh kamu, right.” Yudith masih diam, kini rahangnya mengetat sempurna. Tidak pernah ia merasa dipermalukan sebesar ini, terlebih lagi oleh laki-laki bukan lain adalah suami sahnya di mata agama dan negara. “Sial, kamu mengatakan sama Rajendra kalau aku menemui kamu? Gila ... wanita macam apa yang jadi istri kedua suami aku ini? tukang mengadu, pengecut.” Clara dengan emosi membuka dompet.Meninggalkan selembar uang berwarna merah di meja dengan kencang dan memberikan dengusan kencang dengan tatap tertuju pada Yudith sebelum meninggalkan coffe shop seberang gedung kantor milik Yudith.“Shit.” Yudith mengumpat pelan dengan kepala menunduk dalam.Semua ucapan menyakitkan yang dilontarkan Clara yang paling menancap adalah ia diremehkan karena suaminya bahkan membayangkan istri pertamanya ketika bercinta dengan dirinya. Yudith bagai tidak punya harga diri sedikitpun direndahkan seperti itu oleh Clara.“Apa kamu harus bercerita pada Clara apa yang terjadi di malam pertama kita?” Yudith langsung mengkonfrontasi begitu suaminya pulang padahal bukan Sabtu sore seperti perjanjian mereka dikarenakan.“Tentu saja enggak, aku sudah cukup menerima amukan Clara karena permintaan konyol kamu yang meminta aku lebih dulu menidu-ri kamu dari pada dia,” bantah Rajendra.“Menidu-ri? Kamu sungguh menganggap seperti itu? aku istri sah kamu, Mas. Aku berhak dapatkan hal itu dari suami aku. Bukan keterpaksaan seperti yang kamu katakan, terlepas alasan dan perjanjian pernikahan kita yang sungguh menyedihkan. Aku tetap istri sah kamu.” Yudith hilang kendali karena satu kata menidu-ri.Rajendra menghela nafas panjang dengan menyugar rambutnya menjadi lebih berantakan dari saat ia tiba di rumah mereka masih dengan pakaian kerja.“Kamu harus ingat jika misi aku menikahi kamu memang hanya untuk membuat kamu hamil. Lebih dari itu kamu tidak perlu ikut campur bagaimana aku mengatakannya pada Clara.” Rajendra menatap berapi-api pada Yudith.“Iya aku tahu, kamu tidak perlu senantiasa mengingatkan hal itu. Bukan aku di sini yang ikut campur, melainkan Clara yang ikut campur urusan kita dan aku tidak suka dia mendatangi kantor aku,” geram Yudith.Itu adalah pertengkaran pertama mereka setelah satu bulan usia pernikahan mereka. Definisi pertengkaran sesungguhnya dengan saling menaikkan nada bicara dan menarik urat leher mereka masing-masing.“Kamu tidak berhak marah dengan apa pun yang aku ceritakan pada Clara karena dari awal kita sudah memiliki perjanjian tugas aku sampai mana. Hamil tidak hamil, maka sembilan bulan aku akan menceraikan kamu.” Rajendra menendang kursi makan tempat di mana mereka berdebat dengan kepul di kepala masing-masing sebelum melenggang keluar dengan sebuah umpatan berengsek. Yudith tergugu di lantai dingin rumah sunyi mereka usai suami pergi meninggalkannya dengan amarah meledak-ledak. Memeluk kakinya, Yudith menangis sendirian. Seperti inikah rumah tangga karena keputusannya sendiri? Belum reda tangisannya, ponselnya berdering dengan menampilkan nama mama di layarnya. Yudith tidak mengangkat karena mamanya pasti akan tahu ia sedang tidak baik-baik saja hanya dari suaranya. Setelah panggilannya dimatikan sang mama, sebuah pesan masuk dari nomor yang sama. “Sayang ... Mama lihat Rajendra di PIM kemarin. Bukankah kamu bilang kalian ada di rumah makan malamnya?” Tangis Yudith semakin pilu membaca pesan mamanya.“Sehat Sayang? aduh ini kantung mata.” Mama Yudith memberikan pelukan dan ciuman pada sang putri saat kedatangannya di rumah. “Melembur terus, Ma. Padahal aku sudah berkali-kali bilang jangan lembur tiap malam, bandel dia.” Rajendra melayangkan canda dengan mengacak kepala Yudit penuh senyuman. “Oh ya ... kan Mama sudah bilang, limpahkan sebagian pekerjaan kamu sama Galuh, Sayang. Dengarkan nasehat suami kamu dong, Nak.” Mama mencubit lembut hidung Yudith sebelum memberikan pelukan hangat pada menantunya dan di balas sama eratnya oleh Rajendra. “Iya Ma, nanti aku pikirkan untuk bagi tugas sama Bang Galuh. Mama sehat?” Yudith berjalan beriringan dengan mamanya masuk ke dalam rumah dengan Rajendra di belakang mereka. “Sehat, Mama sehat Sayang. Kalian datang ,Mama sudah siapkan masakan kesukaan kalian, Rajendra kata ibu suka semur daging kan?” Mama Yudith menoleh ke belakang di mana menantu kesayangannya berada
“Di bunuh? Apa maksud kamu?” Yudith syok sekali mendengar Clara yang menerobos masuk begitu ia membuka pintu dan menutupnya dengan sekujur tubuh gemetaran. “Rajendra tidak ingin aku hamil sebelum kamu hamil, itu perjanjian kita agar kita dapat melegalkan pernikahan setelah perceraian kalian. Aku sudah suntik tapi enggak tahu kenapa malah hamil.” Clara menjelaskan dengan kecepatan kilat. Yudith menunduk, memijat keningnya yang langsung berdenyut kencang dan urat lehernya kaku semua dalam hitungan detik. Bom yang ia terima terlalu besar dan ia tidak memiliki cadangan rencana untuk menghadapinya agar tidak hancur berkeping-keping. Kini bukan lagi hancur berkeping-keping, ia lebur bersama luka. “Kenapa kamu ke sini? kamu tahu aku membenci kamu kan?” Yudith mengangkat wajah menelisik Clara yang sembab. “Iya aku tahu, aku pun sangat membenci kamu, Yudith. Karena menikahi kamu, Rajendra jadi memberikan perjanjian
“Sudah dua hari kamu di sini, Dek,” desah Galuh. “Kalau kamu enggak berniat pulang, maka setidaknya cerita ada apa? biar bisa aku goreng itu si Rajendra. Kan mau aku samperin dan gebuki juga kalau enggak tahu apa yang dibela jadinya kampret banget. Tell me, hem?” Galuh membelai kepala adik sepupunya yang berbaring miring di kamar tamu dalam apartemennya sejak sudah dua hari lamanya. “Ok aku akan pulang saja kalau Abang keberatan aku di sini.” Yudith melempar bantal gulinh ke sisi lain tempatnya berbaring. “Astaga ya Tuhan ... aku enggak mengusir kamu, Dek.” Galuh menahan lengan Yudith yang hendak berlari ke luar kamar tamu. “Aku akan pulang kalau sudah ingin pulang, Bang. Dan Abang enggak perlu melakukan apa-apa. Sudah diam saja pokoknya,” dumel Yudith. “Bagaimana bisa aku hanya diam melihat adik manis aku menangis terus dan hanya tidur saja di kasur. Panggilan suami kamu enggak kamu angkat
“Kenapa kamu ada di rumah?” Yudith mengerutkan kening saat pulang bekerja dan mendapati ada mobil Rajendra serta pemiliknya berada di rumah. “Ini rumah aku juga kalau kamu lupa,” acuh Rajendra. “Aku tahu ini memang rumah kamu, tapi ini bukan Sabtu sore.” Yudith membuka sepatu dan meletakannya di rak sepatu dan berjalan menuju kamarnya tanpa menunggu jawaban dari Rajendra. “Ya memang, harusnya tidak jadi masalah aku mau berada di rumah ini kapan saja. Aku sedang cuti bekerja untuk mengurusi——“ Rajendra terperangah mendengar sebuah pintu di tutup, Yudith masuk kamar tanpa mendengar ucapannya yang belum selesai. Yudith meletakkan tas dan melepas blazer dan melemparnya ke ranjang sebelum menjatuhkan diri telentang di tengah ranjang rapi berwarna putih. Memandangi langit-langit kamarnya yang polos berwarna coklat muda dengan hela nafas panjang. “Sial, ngapain sih pakai tinggal di sini kalau cuti?
“Kenapa belum pulang? keburu macet parah, Dek?” tanya Galuh saat menyambangi ruangan Yudith sebelum pulang. “Sudah macet kali Bang dari tadi. Nanti dululah mau lempengin punggung,” kekeh Yidith. Punggung kamu kenapa memangnya, bengkok? Atau habis lembur semalam suntuk?” kelakar Galuh. “Tahu saja kamu, Bang.” Yudith sengaja menimpali candaan sepupunya, ia sejujurnya satu minggu ini pulang lebih larut lantaran malas harus bertemu Rajendra di rumah. Sudah satu minggu Rajendra selalu pulang ke rumah selepas bekerja. Setelah masa cuti tiga harinya yang membuat Yudith senewen karena Rajendra berkeliaran di dalam rumah lebih banyak tanpa menggunakan atasan. Lebih sering memakai celana kolor, Yudith sudah pernah menegur untuk memakai setidaknya kaos namun hanya di jawab iya tanpa dilaksanakan. “Aku akan ke rumah sana,” ucap Rajendra pada Yudith yang baru pulang. “Hem,” jawab Yudith.
“Kamu bisa membantah aku lagi nanti saat sudah enggak sakit, bisa? kepala kamu sakit bukan?” Rajendra mengerang pelan saat tangannya berulang kali disentak kala ia memegang bahu istrinya yang sempoyongan turun dari mobil. Yudith tidak menjawab dan terus menangkis tangan Rajendra yang ingin memapahnya. Ia memilih berjalan sendiri menuju kamarnya di balik hela nafas kesal suaminya. Mengunci pintu kamar, Yudith menjatuhkan diri di ranjang. Ia yakin hanya butuh tidur dan akan kembali baik, akan tetapi prediksinya salah besar. Ia bangun setelah tidur panjangnya dengan kepala yang semakin berdenyut-denyut, sakit sekali. Dengan memaksa kaki melangkah keluar, Yudith menuju kotak obat di ruang keluarga. “Kamu yakin tidak ingin periksa? sepertinya tidak membaik.” Rajendra membuntuti Yudith yang berjalan pelan menuju dapur setelah mendapatkan sebutir obat sakit kepala di tangan. “Enggak.” Yudith menjawab, mengisi gelas dengan air puti
“Kamu pasti enggak menjaga anak Ibu dengan baik, sibuk sama pekerjaan terus.” Ibu Rajendra yang mendatangi rumah sakit saat mendengar menantu kesayangannya dirawat langsung datang menyalahkan anaknya.Rajendra meringis kecil. “Iya Bu, nanti aku akan lebih baik lagi menjaga Yudith.” “Yudith juga terlalu banyak lembur, Bu Nugroho. Anak-anak kita memang sepertinya tergila-gila sama pekerjaan mereka,” timpal mama Yudith. “Iya sepertinya begitu ya, bagaimana hasil laboratorium?” tanya Ibu Rajendra. “Belum keluar Bu, jam sembilan nanti katanya sama dokter datang periksa. Mama sama Ibu sudah sarapan? Mau dibelikan makanan?” tawar Rajendra. “Enggak usah Rajendra, kamu sudah makan belum? kamu juga harus makan. Enggak boleh sampai sakit juga, Mama nanti buatkan makan ya untuk kalian. Tadi buru-buru pas dengar Yudith masuk rumah sakit langsung ke sini.” Mama menyentuh kaki Yudith yang tertutup selimut.
Yudith menerima uluran tangan Rajendra saat turun dari ranjang rawat, ia hendak pulang setelah menjalani perawatan empat hari. Empat hari paling menyebalkan untuk Yudith karena harus 24 jam bersama Rajendra. “Jangan bekerja dulu beberapa hari, kamu masih butuh pemulihan.” Rajendra meletakan tas perlengkapan Yudith di samping ranjang wanita bersweater coklat tersebut. “Iya, terima kasih,” jawab Yudith. Rajendra menoleh ke arah Yudith dengan menghentikan langkah kakinya. “Rupanya sakit bisa membuat kamu mengucapkan kata itu ya,” cibir Rajendra. “Aku bukan orang yang tidak tahu terima kasih. Kamu sudah menemani aku selama di rumah sakit, tentu saja aku harus bilang terima kasih. Terlepas entah apa sesungguhnya alasan kamu.” Yudith mengedikan bahunya.Rajendra berdecap sebal. “Memang kamu tidak pernah bisa berpikir positif.” Yudith memilih enggan menjawab, bagaimana bisa ia berpiki
“Ada acara dansanya,” bisik Rajendra usai menemui pemilik acara dan mengucapkan selamat, mereka duduk di salah satu kursi tamu-tamu. “Oh ya?” tanya Yudith.Rajendra mengangguk. “Mau turun nanti?” Yudith memicingkan mata dengan mengulum senyum, mengendus maksud tersembunyi laki-laki di sebelahnya. “Aku enggak mau terjadi tragedi gaun atau kaki terinjak dan jatuh di atas pasir.” Yudith menjawab dengan masih menahan senyum pada bibir merahnya.Rajendra berdecap. “Kamu pikir aku seamatir itu? jadi mau ya, indah sekali sunsetnya pasti romantis deh. Ini semacam acara pernikahan dari pada acara peresmian perusahaan ekspor.” “Antimainstream pemiliknya,” jawab Yudith lugas. “Rajendra .... “ “Iya.” Rajendra menoleh ke arah wanitanya ketika mendengar panggilan. “Aku yang enggak bisa dance,” kekeh Yudith. Rajendra meraih tangan Yudith, menggenggam lembut
“Besok kita belanja saja kebutuhan mandi kamu, menumpang mandi kok setiap hari. Harum badan kamu jadi kaya aku karena pakai sabun aku.” Yudith membawa hair dryer karena melihat rambut basah dengan harum sampo miliknya yang dipakai Rajendra. Rajendra melepas tawa, pindah duduk ke bawah sofa bersandar kaki sofa. Membiarkan rambutnya dikeringkan oleh Yudith yang duduk di sofa. “Aku seperti cium diri sendiri,” canda Yudith. “Sabun sampo kamu enak segar harumnya, jadi enggak masalah aku wangi sabun kamu. Besok pulang kerja saja ya beli sabunnya, eh tapi besok aku ada tender di Senopati pasti sampai malam. Kamu belikan saja bagaimana?” Rajendra memejamkan mata saat bisingnya hair dryer menyeruak di antara mereka. “Mana uangnya?” tanya Yudith iseng. Rajendra membalikkan badan, kembali memejamkan mata dengan melingkarkan kedua lengan pada kaki Yudith sementara sang wanita mengeringkan rambut depann
“Yudith ... sudah jam satu, aku pulang ya.” Rajendra membelai kepala Yudith dalam pelukan, keduanya meringkuk dalam kamar sang wanita yang sudah berubah warna menjadi coklat muda. Yudith tidak menjawab namun mengeratkan pelukannya, berhimpitan meringkuk di balik selimut tebal. “Besok Subuh saja pulangnya,” lirih Yudith. “Boleh memangnya menginap di sini?” Pertanyaan Rajendra dijawab anggukan dengan mata terpejamnya. “Nanti digerebek enggak? aku takut dipenggal Galuh,” tukas Rajendra. “Enggak akan, diamlah ... aku mengantuk.” Yudith menggesekkan hidung pada dada bidang Rajendra. “Baiklah ... mari tidur, benar-benar tidur.” Rajendra daratkan kecupan pada kepala Yudith sebelum turut memejamkan matanya. Yudith terlelap dengan cepat, setelah beberapa hari ia mengalami kesulitan tidur, malam ini ia benar-benar pulas bahkan tidak terbangun sekalipun hingga pagi tiba
“Berhenti melihat aku begitu, Sayang. Nanti kamu menyesal,” kekeh Rajendra.Yudith melepas tawa kecil. “Ok ... aku memilih mengizinkan kamu memanggil sayang dari pada aku nanti menyesal.” “Kenapa sih enggak mau sekali dipanggil sayang? maunya apa memang? baby? Honey? Sweety?” tanya Rajendra. “Entahlah enggak ada alasan spesifik.” Yudith menaikkan kedua bahunya acuh. “Teringat aku memanggil wanita lain ya?” terka Rajendra. Yudith menarik kedua sudut bibirnya samar, namun dapat tertangkap indra mata Rajendra dari balik kemudi. “Ya sudah aku panggil Yudith saja biar kamu enggak ingat-ingat lagi.“ Rajendra memanjangkan tangannya membelai pipi kanan Yudith dengan punggung tangannya. Yudith menahan tangan hangat tersebut, mengaitkannya sesaat sebelum ia tepuk punggung tangan Rajendra dua kali. “Ke rumah?” Tawaran Yudith yang sangat amat jarang terlepas dari bibirny
“Masa iya Bu Yudith mau ya sama laki-laki doyan sama banyak wanita begitu? cantikan juga ibu Yudith, sudah pasti kaya tujuh turunan juga.” Ucap seorang wanita berpakaian rapi dengan sepatu merah pada sudut lobi kantor. “Mungkin sudah cinta mati? Atau jangan-jangan bu Yudith kena guna-guna?” timpal wanita lainnya di depan si sepatu merah. “Ah jaman seperti sekarang masih ada guna-guna? Enggak mempan ah, apa mungkin alasan mereka dulu bercerai karena suaminya banyak wanita lain ya? tapi kalau iya, masa mau diulang sama laki-laki seperti itu?” jawab wanita sepatu merah. Yudith berdehem sekali, kedua wanita di sana langsung menoleh ke belakang punggung mereka. Mata mereka melebar sempurna dan keduanya langsung menganggukkan kepala dengan wajah pucat pasi melihat wajah dingin atasan yang mereka gunjingkan sedari tadi. “Eh selamat siang Ibu Yudith,” sapa si sepatu merah terbata-bata. “Kalian suda
“Dek ikut aku.” Galuh menarik tangan Yudith saat berpapasan di depan resepsionis untuk segera menaiki lift khusus pemilik perusahaan. “Ada apa astaga pelan-pelan Abang, sepatu aku hari ini tujuh senti,” gerundel Yudith. Galuh tetap menarik Yudith hingga pintu lift tertutup, membuka ponselnya dan memperlihatkan sebuah gambar pada sang adik sepupu. Mata Yudith melebar saat melihat sebuah foto. Foto Rajendra tengah berbaring dengan badan atas tanpa pakaian dan selimut hanya menutupi sampai pinggang. Bukan perkara tidurnya yang menjadi masalah melainkan siapa wanita di samping Rajendra, Clara. Bukan hanya satu foto itu, melainkan ada satu lagi foto lainnya. Posisi duduk namun Rajendra tengah memeluk leher wanita di sampingnya dengan pipi di cium, Reina. “Kok bisa ada foto itu di hp Abang?” desah Yudith. “Ini dari grup kantor, Dek,” geram Galuh. “Hah? bagaimana? grup kantor yang mana? siapa yang
“Maksud kamu?” tergagap Reina bertanya dengan posisi sudah berdiri tegak di balik gaun membalut lekuk tubuhnya. “Bukankah kalian sudah bercerai? Tidak mungkin informan aku salah memberikan laporan.” Reina masih menyerukan ketidakpercayaannya. “Benar kok, informan kamu enggak salah kasih informasi. Hanya kurang lengkap saja yang dia cari tahu. Saya menemui kamu untuk bilang satu hal, kamu dan saya tidak ada hubungan apa pun lagi sejak bertahun silam. Jadi saya tegaskan jangan melakukan kebodohan berulang. Kami akan segera menikah, kamu salah memilih lawah jika masih mengusik Yudith.” Rajendra berkata dengan tatap tertuju pada wanita berambut panjang tergerai indah. “Kamu hanya bercanda seperti tahun-tahun lalu, right? Aku sangat mengenal kamu, Rajendra. Kamu hanya sedang bermain-main saja seperti sebelumnya.” Reina bersikukuh bahwa apa yang ia lihat bukanlah kebenaran.Yudith menghela nafas panjang. “Kamu selesaikan saja s
Yudith menunjukkan layar ponsel Rajendra kepada pemiliknya, sang pemilik mengerutkan kening membaca deretan pesan di sana. “Aku enggak tahu dia dapat nomor aku dari mana, blokir saja sudah.” Rajendra mengambil ponsel dari tangan Yudith akan tetapi Yudith mengelak justru meminta Rajendra membuka ponselnya. “Paswordnya tanggal lahir kamu. Balas apa saja terserah kamu,” tukas Rajendra tidak ingin repot-repot membalas sendiri. “Kamu enggak ada keinginan bilang sama dia? jelaskan sampai dia berhenti?” tanya Yudith lengkap dengan senyum tipis.Rajendra membalas tatap Yudith sesaat. “Sini, aku telepon balik.” Yudith berdiri di hadapan Rajendra dengan tatap tenang namun dalam, menunggu apa yang hendak laki-lakinya ucapan pada perempuan kegenitan bernama Reina. “Hallo Rei ... kabar baik, dapat nomor dari mana? oh ... bertemu? Boleh, besok siang ya di PIK jam makan siang. Ok.” Rajendra memutuskan pan
“Aurora cantik .... aunty datang.” Yudith berseru lantang memasuki rumah Galuh di minggu pagi pukul sembilan. “Hai aunty, aku sedang sarapan.” Mama Aurora balas menyapa hangat penuh senyuman, duduk berhadapan dengan si cantik Aurora yang duduk di babychair mengenakan bib silikon dan mulut celemotan. Aurora berseru Aunty lengkap kaki dan tangannya bergerak-gerak semangat meminta diangkat dari kursi tingginya. Yudith melepas tawa, meletakan tentengan di meja makan depan keponakan dan mamanya untuk menunduk mencium pipi gembil Aurora sebelum duduk. “Nanti ya gendongnya, makan dulu sampai habis. Nanti kita main, Aurora sama mama sehat?” Yudith mendaratkan tempel pipi pada mama si cantik seraya bertanya. “Sehat Aunty, hanya Aurora sedang tumbuh gigi sekali dua. Jadi makannya agak susah. Mamanya juga sehat, Aunty sehat? kok enggak sama om Jendra?” Mama Aurora membiarkan Yudith mengambil alih menyuapi si kecil yang masih tidak sabar ingin bangun dari baby chair. “Oh ya? geraham?” Yudith