“Kamu boleh bekerja selama enam bulan kedepan. Atau, aku akan mengurungmu disini sampai kamu melahirkan. Tinggal pilih, mau yang mana?” Ujar Mateo memberi pilihan pada sang istri. Mahreen menelan saliva susah payah. Kehidupan penuh kekangan sudah ada di depan matanya.Mahreen terbangun di tengah malam karena kehausan. Disebelahnya, Mateo masih pulas dalam tidurnya. Seperti yang sudah Mahreen duga, pria itu meminta haknya setelah sekian lama memendam rasa. Perempuan hamil itu berjalan mengendap menuju dapur. Sebuah lemari pendingin menjadi tujuan utamanya. Jam menunjukkan pukul 2 dini hari seperti yang ditunjukkan di jam dinding yang ada di dapur. Mahreen duduk di ruangan depan sambil menggenggam cangkir berisi air putih.Matanya mengedar ke seluruh ruangan yang ada di depan matanya. Sebuah hunian mewah yang aura Mateo melekat kuat disini. Berkali-kali Mahreen menarik napas lalu menghela napas panjang. Dia pun mencari posisi nyaman untuk selonjoran di sofa panjang warna putih bersih ya
Seorang perempuan mengenakan jilbab pashmina warna salem senada dengan kemeja dan roknya, menghirup segarnya udara negara tempat dimana dia dilahirkan namun sudah ditinggalkannya selama dua puluh tahun. Mahreen Fathiya, seorang perempuan muda yang baru saja bercerai dengan suaminya seorang pria berkewarganegaraan asli Italia.Mahreen tidak punya keluarga ataupun teman di Indonesia. Waktu dia berusia lima tahun, kedua orangtuanya meninggal karena kecelakaan mobil dan Mahreen saat itu kebetulan berada dirumah bersama pengasuhnya sehingga selamat dari kecelakaan mobil tersebut. Semua asset kekayaan mendiang ayahnya diambil alih oleh pamannya yang merupakan adik dari sang ayah. Sejak usia lima tahun itu pula, Mahreen dibawa ke Italia dan hidup disana sampai usianya menginjak dua puluh lima tahun.Perempuan cantik itu masih duduk di kursi setelah koper berhasil diambilnya dari mesin berjalan. Mahreen tidak tahu harus kemana. Dia tidak punya rumah
“Aku mandi dan istirahat dulu, tante. Kalau boleh. Aku sudah makan di dalam pesawat dan masih kenyang.” Jawab Mahreen dengan ramah.“Baiklah kalau begitu. Nayra, antarkan kakakmu kekamarnya ya.” Ujar Maira.“Iya ma,”“Sebelumnya, aku ingin mengucapkan terima kasih pada om dan tante yang masih mau menampung aku tinggal disini. Aku pasti akan membalas kebaikan om dan tante.” Jawab Mahreen sebelum meninggalkan ruangan tempat berkumpul tersebut.“Sudahlah, kita semua bersaudara. Itulah pentingnya untuk saling mengenal saudara satu sama lain jadi kita bisa saling membantu. Mami kamu sangat supel meskipun papi kamu super sibuk tapi mami kamu selalu rajin berkumpul dengan keluarga besar. Sekarang pergi istirahat. Nanti kita ngobrol lagi.” Ucap Maira lagi dengan senyum tulusnya.“Baik tante, aku permisi dulu kalau begitu.” Mahreen pun meninggalkan tiga orang yang ada diruangan tamu dan
Mahreen senang ilmunya terpakai juga pada akhirnya. Saat di Italia dan sebelum menikah, Mahreen sempat bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak dibidang interior namun setelah menikah, ilmunya langsung terkubur dalam-dalam bersama peraturan ketat dari sang suami yang tidak menginginkan istrinya untuk bekerja di luar rumah.Tapi, Mahreen tidak menggunakan nama aslinya untuk email dan korespondensi. Nama Armala dipilihnya yang artinya janda dalam bahasa Arab. Tante Maira pun menyetujuinya. Maira tahu kalau keponakannya ini tidak ingin suatu saat bertemu lagi dengan mantan suaminya kalau masih menggunakan nama yang sama.Mahreen mengoptimalkan laptopnya untuk kebutuhan bekerjanya dari rumah. Om dan tantenya memfasilitasi Mahreen meja dan kursi bekerja didalam ruangan khusus yang memang dibuat untuk tante Maira bekerja. Kini, ruangan itu menambah satu meja lagi untuk Armala alias Mahreen.“Sayang, besok tante mau ke Kuala Lumpur s
“Maaf, saya mau bertemu dengan ibu Eve. Nama saya Armala, saya sudah buat janji dengan beliau.” Mahreen menghampiri meja resepsionis dan berkata dengan sopan dan penuh kelembutan.“Oh, iya. Bu Eve sudah menunggu. Silahkah ikuti saya.” Perempuan yang merupakan seorang resepsionis itu, meminta Mahreen mengikutinya masuk kedalam sebuah ruangan khusus menerima tamu.“Mohon tunggu sebentar, saya akan panggil bu Eve.” Mahreen mengangguk dan memberi senyuman ramahnya. Suasana didalam ruang tunggu yang sangat eksklusif dengan satu sofa panjang dan dua sofa single juga meja persegi yang panjangnya dengan sofa panjang. Tidak ada furniture tanpa fungsi diruangan ini. Hanya ada lampu yang menyala di siang hari dengan sinarnya yang hangat tidak menyilaukan.“Nona Armala? Saya Eve. Senang bertemu langsung dengan anda.” Eve, wanita metropolitan yang sangat cantik dengan usia sekitar 30an, setelan seragam eksekutif m
Setelah menekan tombol penghisap kloset, Mahreen menuju wastafel untuk cuci tangan dan mengelap mulutnya. Matanya menatap kaca besar yang ada didepannya. Sebuah kekhawatiran muncul tiba-tiba dan itu membuatnya ingin menangis.Mahreen mulai menghitung sesuatu dengan sepuluh jari tangannya. Dadanya sesak dan perempuan cantik itu pun bernapas dengan terengah-engah."Telat 2 minggu. Astaghfirullah Aladziim, pertanda apa ini? Terakhir aku berhubungan intim dengan dia sekitar ..." Bola mata Mahreen berputar mengingat-ngingat tanggal penting. "Satu bulan sebelum ketok palu.""Tidak tidak, aku pasti lagi masuk angin. Nanti sampai rumah, aku minta kerokan saja sama bi Darmi." Mahreen mencoba menenangkan jantungnya yang berdegup kencang.Setelah dirasa penampilannya sudah lebih segar dibandingkan saat masuk kamar mandi tadi, perempuan berhijab itu pun memaksakan tersenyum di pantulan kaca yang menampilkan sosok seorang perempuan yang tidak begitu ting
“Oh tidak, tidak. Aku baik-baik saja.” Ucap Mahreen sambil menatap wajah sang suami yang tersenyum penuh arti padanya.“Mateo, aku mau pulang saja. Percuma datang kesini juga tapi aku seperti manekin yang tidak boleh tersenyum, tidak boleh berbicara, dan tidak bisa makan yang aku mau. Hanya minum air putih saja, dirumah juga bisa.” Jawab Mahreen berbisik, setelah sepasang tuan rumah itu pergi berlalu.“Huh, kamu sudah mulai cerewet ya. Bersabarlah, kita akan pulang sebentar lagi. Tunggulah beberapa menit lagi. Pertunjukan intinya belum berlangsung.” Ujar Mateo sambil mengusap lembut pipi putih sang istri yang sebagian pipinya tertutup jilbab.“Pertunjukan inti? Apa maksud kamu?” Mahreen mengerutkan alisnya.“Karena itu, tunggulah sebentar lagi.” Ujar Mateo sambil menggenggam erat tangan sang istri seperti takut terlepas di keramaian. Mahreen tersenyum simpul melihat tingkah sang suami, yang awal
“Hei, berani juga kamu ya. Kalau bukan karena trik kotormu, Mateo tidak akan menolak aku yang cantik dan seksi ini.” Ucap Adriana dengan mata nyalang.Mahreen yang merasakan tangan perempuan Italia itu mencekik lehernya dan akan menaik jilbabnya, memegang tangan Adriana dengan kedua tangannya dan mendorongnya ke belakang sekuat tenaga hingga tubuh Andriana terlempar mengenai pintu kamar mandi.BRAKKK!“Kurang ajar!” Adriana hendak menyerang Mahreen lagi namun perempuan berjilbab itu sudah bersiap dengan ancang-ancang tangan terkepal. Sayangnya, kekuatan Adriana seorang perempuan seksi yang terbiasa dengan dunia gelap dan kejahatan, lebih kuat daripada Mahreen yang hanya berteman dengan buku, Alquran, dan tanaman-tanaman favoritnya. Jilbab Mahreen pun berhasil ditarik Adriana sehingga terlepas dari kepala Mahreen. Beruntung masih ada daleman jilbab warna hitam yang menutupi rambutnya. Mahreen gemas bukan kepalan