Seorang perempuan mengenakan jilbab pashmina warna salem senada dengan kemeja dan roknya, menghirup segarnya udara negara tempat dimana dia dilahirkan namun sudah ditinggalkannya selama dua puluh tahun. Mahreen Fathiya, seorang perempuan muda yang baru saja bercerai dengan suaminya seorang pria berkewarganegaraan asli Italia.
Mahreen tidak punya keluarga ataupun teman di Indonesia. Waktu dia berusia lima tahun, kedua orangtuanya meninggal karena kecelakaan mobil dan Mahreen saat itu kebetulan berada dirumah bersama pengasuhnya sehingga selamat dari kecelakaan mobil tersebut. Semua asset kekayaan mendiang ayahnya diambil alih oleh pamannya yang merupakan adik dari sang ayah. Sejak usia lima tahun itu pula, Mahreen dibawa ke Italia dan hidup disana sampai usianya menginjak dua puluh lima tahun.
Perempuan cantik itu masih duduk di kursi setelah koper berhasil diambilnya dari mesin berjalan. Mahreen tidak tahu harus kemana. Dia tidak punya rumah dan teman untuk dijadikan teman berbicara. Beruntung, Mahreen masih bisa berbahasa Indonesia karena sehari-hari disana, Mahreen selalu menggunakan bahasa Indonesia dengan pamannya, disamping bahasa Italia.
“Assalammualaikum, kamu Mahreen?” Seorang lelaki muda yang usianya mungkin sebaya dengan Mahreen, mengenakan kemeja lengan pendek warna biru navy dan celana jeans warna hitam, menghampirinya.
“Wa’alaikumussalam, anda siapa?” Mahreen mengerutkan alisnya. Dia yakin dia tidak punya teman atau keluarga yang akan menyambutnya. Tapi, kenapa ada seorang lelaki yang menghampirinya dan tahu namanya? Gumamnya dalam hati.
“Perkenalkan, namaku Zikri Athalla. Aku sepupu jauhmu. Lebih tepatnya lagi aku adalah anak dari saudara nenekmu dari pihak ibu. Pokoknya nenek kita adik kakak lah. Nenek kamu itu adiknya nenek aku.” Jawab Zikri dengan wajah yang tampak bingung menjelaskan. Lelaki yang cukup rapih dan tampan. Namun sayang, Mahreen sudah tertutup hatinya untuk lelaki manapun. Bahkan semua actor Turki yang biasa ditontonnya itu, kini tidak membuatnya tertarik lagi.
“Oh, begitu.” Mahreen hanya bisa menganga mengiyakan karena dia juga tidak tahu apakah semua ucapan lelaki ini benar atau tidak.
“Aku diminta paman Naval untuk menjemputmu.” Mendengar nama pamannya disebut, Mahreen mendongakkan kepalanya lagi.
“Benarkah? Apa buktinya kalau beliau memintamu untuk menjemputku?” Mahreen tidak ingin percaya begitu saja dengan ucapan pria asing yang baru ditemuinya.
Lelaki itu menghela napasnya dan mengambil sesuatu dari balik saku kemejanya. Ternyata dia mengeluarkan ponsel dan memberikannya kepada Mahreen untuk dibaca. Mahreen mengernyitkan alis dan mengambil ponsel itu lalu melihat apa yang tampak di layarnya.
Sebuah pesan berupa email dari pamannya, Naval Ghazali kepada Zikri Athala yang menyatakan untuk menjemput Mahreen Fathiya pada jam sekian dan nomer penerbangan sekian yang diperkirakan akan datang pada jam tersebut. Mahreen sedikit bisa bernafas lega kalau memang pamannya yang meminta lelaki ini untuk menjemputnya.
“Paman Naval yang memintamu ya? Lalu, kamu akan membawaku kemana?” Mahreen berkata sambil menyerahkan kembali ponsel milik lelaki itu yang bernama Zikri.
“Kita tinggal bersama orangtuaku. Mereka sudah menunggu kedatanganmu sejak kemarin. Rumahku dari sini sekitar 1 jam perjalanan. Apa kita bisa berangkat sekarang?” Zikri melemparkan senyum manisnya berharap perempuan dengan ekspresi datar ini mau menerima bantuannya agar segera meninggalkan bandara.
Mahreen masih ragu-ragu. Dia takut kalau lelaki ini berniat jahat. Karena Mahreen tidak punya siapa-siapa di negara ini yang bisa dipercaya. Namun Mahreen tidak punya pilihan lain. Sambil menghela napasnya, perempuan berjilbab itu pun mengucapkan Bismillah dan mengangguk setuju untuk segera sampai dirumah yang akan ditujunya pertama kali datang ke Indonesia.
Zikri sangat senang dan dia pun segera menarik kopernya namun lelaki yang ternyata tingginya hampir menyamai mantan suaminya itu, menawarkan bantuan untuk menarik kopernya. Marheen pun mengiyakan dan dia berjalan dibelakang Zikri mengikuti kemana langkah lelaki itu membawanya pergi.
“Mobilku disana. Ayo, lebih cepat sampai rumah, lebih cepat kamu beristirahat setelah penerbangan yang sangat lama.” Ujar Zikri. Marheen mengangguk sambil tersenyum tipis. Zikri langsung menyukai Marheen sejak pertama bertemu karena pembawaanya yang santun dan wajahnya yang cantik dan lembut. Namun, tidak ada yang mengira dibalik wajah dan penampilannya yang lembut, perempuan ini pernah menikah dan mengalami hidup yang mengenaskan.
Mahreen duduk di sebelah kursi pengemudi sementara Zikri menyetir sendiri mobilnya. Mobil Jeep itu pun melaju meninggalkan bandara menuju sebuah perumahan cukup elit di kawasan ibukota. Selama perjalanan, Mahreen tidak pernah membuka percakapan ataupun bertanya ini itu. Hanya jika Zikri bertanya maka Mahreen akan menjawab. Selebihnya, suasana kembali hening dan sunyi. Bahkan suara music yang biasa disetel Zikri didalam mobill, kini tidak terdengar karena lelaki itu bahkan lupa untuk menyetel musik.
Dan, kini mobil mereka pun sampai di depan sebuah pagar tinggi menjulang yang terbuat dari besi kokoh. Seorang petugas keamanan berlari kecil menuju pintu gerbang untuk membukanya. Mobil Zikri pun masuk dan berhenti di sebuah pintu depan rumah bagian utama. Mahreen tidak mengharapkan ada yang menyambutnya tapi kenyataanya, seorang pria dan wanita paruh baya dan seorang perempuan muda berdiri di depan pintu rumah.
“Mereka adalah kedua orangtuaku. Yang perempuan itu adikku. Aku anak pertama dan cuma punya satu adik.” Ujar Zikri kepada Mahreen yang kebingungan, sebelum keluar membuka pintu mobil.
“Ohh.” Begitu jawaban singkat ala Mahreen yang sudah melekat diingatan lelaki ini.
“Assalammualaikum,” Perempuan dengan pashmina warna salem itu mengucapkan salam terlebih dahulu.
“Wa’alaikumussalam. Mahreen? Kamu semakin cantik saja, sayang. Ayo masuk-masuk. Biar pelayan yang membawakan kopermu.” Ujar seorang wanita yang dipastikan itu adalah ibu dari Zikri dan perempuan muda yang menyambutnya ramah.
Mahreen pun masuk kedalam rumah dengan dikawal tiga orang pemilik rumah dan Zikri yang berada di belakang mereka.
“Mahreen, selamat datang kembali di Indonesia. Kami adalah saudara jauh kamu. Mungkin Zikri sudah cerita kalau nenek kamu dan nenek Zikri adalah saudara kandung. Aku adalah sepupu ibumu. Panggil saja aku tante Maira, dan ini om Hasan, dan yang centil ini adalah Nayra. Dia adalah adik bungsu Zikri.”Ujar Maira, ibu dari Zikri dan Nayra. Om Hasan dan Nayra tersenyum ramah dan mengangguk pelan.
“Kak Mahreen cantik sekali. Namaku Nayra. Mulai sekarang aku akan menemani kakak kemanapun kakak mau pergi.” Ujar Nayra dengan suara cerianya. Mahreen tersenyum. Hatinya sangat senang mendapatkan keluarga baru yang begitu baik dan menyukainya.
“Nayra, kamu tunjukkan ke kak Mahreen kamarnya. Biarkan kak Mahreen beristirahat dulu. Pasti kamu capek sekali setelah penerbangan jauh. Kamu mandi lalu istirahat. Nanti, waktunya makan akan kami panggil keluar. Atau, kamu mau makan sekarang?” Ucap Maira, ibu dari Zikri dan Nayra.
“Aku mandi dan istirahat dulu, tante. Kalau boleh. Aku sudah makan di dalam pesawat dan masih kenyang.” Jawab Mahreen dengan ramah.
“Aku mandi dan istirahat dulu, tante. Kalau boleh. Aku sudah makan di dalam pesawat dan masih kenyang.” Jawab Mahreen dengan ramah.“Baiklah kalau begitu. Nayra, antarkan kakakmu kekamarnya ya.” Ujar Maira.“Iya ma,”“Sebelumnya, aku ingin mengucapkan terima kasih pada om dan tante yang masih mau menampung aku tinggal disini. Aku pasti akan membalas kebaikan om dan tante.” Jawab Mahreen sebelum meninggalkan ruangan tempat berkumpul tersebut.“Sudahlah, kita semua bersaudara. Itulah pentingnya untuk saling mengenal saudara satu sama lain jadi kita bisa saling membantu. Mami kamu sangat supel meskipun papi kamu super sibuk tapi mami kamu selalu rajin berkumpul dengan keluarga besar. Sekarang pergi istirahat. Nanti kita ngobrol lagi.” Ucap Maira lagi dengan senyum tulusnya.“Baik tante, aku permisi dulu kalau begitu.” Mahreen pun meninggalkan tiga orang yang ada diruangan tamu dan
Mahreen senang ilmunya terpakai juga pada akhirnya. Saat di Italia dan sebelum menikah, Mahreen sempat bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak dibidang interior namun setelah menikah, ilmunya langsung terkubur dalam-dalam bersama peraturan ketat dari sang suami yang tidak menginginkan istrinya untuk bekerja di luar rumah.Tapi, Mahreen tidak menggunakan nama aslinya untuk email dan korespondensi. Nama Armala dipilihnya yang artinya janda dalam bahasa Arab. Tante Maira pun menyetujuinya. Maira tahu kalau keponakannya ini tidak ingin suatu saat bertemu lagi dengan mantan suaminya kalau masih menggunakan nama yang sama.Mahreen mengoptimalkan laptopnya untuk kebutuhan bekerjanya dari rumah. Om dan tantenya memfasilitasi Mahreen meja dan kursi bekerja didalam ruangan khusus yang memang dibuat untuk tante Maira bekerja. Kini, ruangan itu menambah satu meja lagi untuk Armala alias Mahreen.“Sayang, besok tante mau ke Kuala Lumpur s
“Maaf, saya mau bertemu dengan ibu Eve. Nama saya Armala, saya sudah buat janji dengan beliau.” Mahreen menghampiri meja resepsionis dan berkata dengan sopan dan penuh kelembutan.“Oh, iya. Bu Eve sudah menunggu. Silahkah ikuti saya.” Perempuan yang merupakan seorang resepsionis itu, meminta Mahreen mengikutinya masuk kedalam sebuah ruangan khusus menerima tamu.“Mohon tunggu sebentar, saya akan panggil bu Eve.” Mahreen mengangguk dan memberi senyuman ramahnya. Suasana didalam ruang tunggu yang sangat eksklusif dengan satu sofa panjang dan dua sofa single juga meja persegi yang panjangnya dengan sofa panjang. Tidak ada furniture tanpa fungsi diruangan ini. Hanya ada lampu yang menyala di siang hari dengan sinarnya yang hangat tidak menyilaukan.“Nona Armala? Saya Eve. Senang bertemu langsung dengan anda.” Eve, wanita metropolitan yang sangat cantik dengan usia sekitar 30an, setelan seragam eksekutif m
Setelah menekan tombol penghisap kloset, Mahreen menuju wastafel untuk cuci tangan dan mengelap mulutnya. Matanya menatap kaca besar yang ada didepannya. Sebuah kekhawatiran muncul tiba-tiba dan itu membuatnya ingin menangis.Mahreen mulai menghitung sesuatu dengan sepuluh jari tangannya. Dadanya sesak dan perempuan cantik itu pun bernapas dengan terengah-engah."Telat 2 minggu. Astaghfirullah Aladziim, pertanda apa ini? Terakhir aku berhubungan intim dengan dia sekitar ..." Bola mata Mahreen berputar mengingat-ngingat tanggal penting. "Satu bulan sebelum ketok palu.""Tidak tidak, aku pasti lagi masuk angin. Nanti sampai rumah, aku minta kerokan saja sama bi Darmi." Mahreen mencoba menenangkan jantungnya yang berdegup kencang.Setelah dirasa penampilannya sudah lebih segar dibandingkan saat masuk kamar mandi tadi, perempuan berhijab itu pun memaksakan tersenyum di pantulan kaca yang menampilkan sosok seorang perempuan yang tidak begitu ting
“Oh tidak, tidak. Aku baik-baik saja.” Ucap Mahreen sambil menatap wajah sang suami yang tersenyum penuh arti padanya.“Mateo, aku mau pulang saja. Percuma datang kesini juga tapi aku seperti manekin yang tidak boleh tersenyum, tidak boleh berbicara, dan tidak bisa makan yang aku mau. Hanya minum air putih saja, dirumah juga bisa.” Jawab Mahreen berbisik, setelah sepasang tuan rumah itu pergi berlalu.“Huh, kamu sudah mulai cerewet ya. Bersabarlah, kita akan pulang sebentar lagi. Tunggulah beberapa menit lagi. Pertunjukan intinya belum berlangsung.” Ujar Mateo sambil mengusap lembut pipi putih sang istri yang sebagian pipinya tertutup jilbab.“Pertunjukan inti? Apa maksud kamu?” Mahreen mengerutkan alisnya.“Karena itu, tunggulah sebentar lagi.” Ujar Mateo sambil menggenggam erat tangan sang istri seperti takut terlepas di keramaian. Mahreen tersenyum simpul melihat tingkah sang suami, yang awal
“Hei, berani juga kamu ya. Kalau bukan karena trik kotormu, Mateo tidak akan menolak aku yang cantik dan seksi ini.” Ucap Adriana dengan mata nyalang.Mahreen yang merasakan tangan perempuan Italia itu mencekik lehernya dan akan menaik jilbabnya, memegang tangan Adriana dengan kedua tangannya dan mendorongnya ke belakang sekuat tenaga hingga tubuh Andriana terlempar mengenai pintu kamar mandi.BRAKKK!“Kurang ajar!” Adriana hendak menyerang Mahreen lagi namun perempuan berjilbab itu sudah bersiap dengan ancang-ancang tangan terkepal. Sayangnya, kekuatan Adriana seorang perempuan seksi yang terbiasa dengan dunia gelap dan kejahatan, lebih kuat daripada Mahreen yang hanya berteman dengan buku, Alquran, dan tanaman-tanaman favoritnya. Jilbab Mahreen pun berhasil ditarik Adriana sehingga terlepas dari kepala Mahreen. Beruntung masih ada daleman jilbab warna hitam yang menutupi rambutnya. Mahreen gemas bukan kepalan
“Tidak, kamu beritahu aku dulu! Ada apa dengan perubahan sikapmu itu? Aku tidak suka kalau aku dipaksa untuk menebak-nebak apa yang ada dalam hatimu.” Jawab Mateo lebih kuat lagi menahan tubuh Mahreen agar tidak bisa memunggunginya. Mahreen terdiam dan menatap suami Italianya itu. Bukan hal yang aneh jika lingkungan Mateo sejak kecil telah membentuknya menjadi pria yang tidak mengenal Tuhan. Di mata, hati, dan pikirannya yang ada hanyalah uang dan kekuasaan. Bisa jadi dia telah menganggap dua benda itu sebagai Tuhan. Jadi, ketika ada seseorang yang masuk kedalam kehidupannya, tidak akan semudah membalikkan telapak tangan untuk mengubah sifat dan kebiasaanya.“Mungkin aku terlalu berharap padamu. Tapi, bukan aku juga yang memilihmu. Aku dan kamu dipertemukan dan disatukan oleh takdir. Aku hanyalah manusia yang hanya bisa menjalankan takdir ini sebaik-baiknya. Tapi, aku juga wanita biasa yang tidak bisa bertahan terlalu lama dengan keadaan yang susah untuk dir
Kalau bukan karena paman yang sudah berbaik hati membesarkan dan menyekolahkannya, Mahreen tidak akan mau menikah dengan pria yang berprofesi sebagai mafia. “Kalau begitu, paman pergi dulu. Hari ini paman ingin menjemput tante dan sepupu kamu. Mereka sudah terlalu lama tinggal disana. Sudah waktunya mereka untuk pulang.” Naval bangkit berdiri. “Paman, aku ... harus kembali pulang dulu. Sudah cukup lama aku disini. Ada beberapa berkas yang tertinggal di rumah Mateo. Aku harus kesana mengambilnya agar aku bisa segera pulang ke Indonesia.” Mahreen berkata dengan suaranya yang lembut. Naval hanya bisa mengangguk-angguk setuju. “Mahreen, kamu hati-hatilah disana. Paman sudah berhutang budi padamu. Paman tidak ingin terjadi sesuatu padamu.” Jawab Naval. “Aku akan berhati-hati, paman. Aku akan menjaga diriku dengan baik.” Ujar Mahreen sambil tersenyum sekedar untuk menenangkan hati pamannya. Mahreen sudah mencari info pada pelayan yang
“Kamu boleh bekerja selama enam bulan kedepan. Atau, aku akan mengurungmu disini sampai kamu melahirkan. Tinggal pilih, mau yang mana?” Ujar Mateo memberi pilihan pada sang istri. Mahreen menelan saliva susah payah. Kehidupan penuh kekangan sudah ada di depan matanya.Mahreen terbangun di tengah malam karena kehausan. Disebelahnya, Mateo masih pulas dalam tidurnya. Seperti yang sudah Mahreen duga, pria itu meminta haknya setelah sekian lama memendam rasa. Perempuan hamil itu berjalan mengendap menuju dapur. Sebuah lemari pendingin menjadi tujuan utamanya. Jam menunjukkan pukul 2 dini hari seperti yang ditunjukkan di jam dinding yang ada di dapur. Mahreen duduk di ruangan depan sambil menggenggam cangkir berisi air putih.Matanya mengedar ke seluruh ruangan yang ada di depan matanya. Sebuah hunian mewah yang aura Mateo melekat kuat disini. Berkali-kali Mahreen menarik napas lalu menghela napas panjang. Dia pun mencari posisi nyaman untuk selonjoran di sofa panjang warna putih bersih ya
“Bagaimana mungkin pria ini bisa mengetahui kalau aku sedang ada disini?” Gumamnya dalam hati.“Terima kasih,” Ucap Mateo pada kasir yang telah selesai menghitung belanjaan Mahreen dan pria itu pun tanpa sungkan mengangkat kantong yang terbuat dari bahan katun tersebut. Dengan santainya, pria Italia yang membiarkan bulu-bulu halus tumbuh di rahangnya itu mendekap pinggang sang istri dan mereka berjalan menuju mobil Mateo yang terparkir tidak jauh dari mobil Mahreen.“Berikan kunci mobilmu padaku. Kamu akan naik mobil bersamaku. Mobilmu akan diantarkan pulang oleh supirku.” Jawab Mateo sambil meletakkan belanjaan ke bagasi mobilnya. Mahreen terdiam entah kenapa dia tidak bisa melarikan diri lagi. Dia merasa kalau pelariannya kali ini akan sangat sia-sia karena posisinya yang sudah sangat dekat dengan Mateo dan tidka bisa berlari seperti saat dia didalam mobil.“Aku bisa pulang sendiri.”“Jangan keras kepala, Mahreen. Dan, jangan pernah menguji batas kesabaranku.” Jawab Mateo dengan rah
“Jangan-jangan, dia sudah menemukan istrinya dan mengajak istrinya tinggal bersama di rumah kak Mateo yang baru.” Perempuan yang menyukai kakak tidak sedarah itu berpikir keras. Otak jahatnya tidak bisa berpikir jernih setiap kali teringat Mahreen. Dengan menggigiti kukunya, Mischa mencari akal untuk mencari tahu dimana keberadaan perempuan yang telah merebut kakak tiri tersayangnya. Berbekal pertemanan yang dia miliki, perempuan itu pun mencari tahu dengan menghubungi beberapa temannya untuk mengorek informasi.“Segera beritahu aku di nomer ini. Aku akan membayarmu sangat tinggi kalau berhasil menemukannya.” Mischa pun mematikan ponselnya dan bersiap-siap untuk keluar dari penjara emas ini yang membuatnya sangat bosan.Sementara itu di tempat lain, Mahreen berdiri melongo tidak percaya melihat pria yang duduk di hadapannya. Tante Maira merekomendasikan pekerjaan untuknya sebagai seorang sekretaris. Mahreen pernah bekerja sebagai seorang sekretaris saat dia bekerja di perusahaan paman
Perempuan hamil itu butuh untuk tinggal didalam apartemen yang sudah fully furnished (Fully furnished adalah kondisi isi sebuah hunian yang telah dilengkapi furniture dan perabot lengkap yang dibutuhkan oleh penghuni untuk hidup dengan nyaman.) karena semua perabotannya dirumah kontrakan lama membutuhkan waktu untuk dipindahkan.“Baiklah, saya ambil ini. Saya memang membutuhkan tempat tinggal tidak terlalu besar tapi memudahkan saya untuk bergerak kemana saja. Bisakah kita langsung menyelesaikan persyaratannya? Saya ingin segera tinggal disini sekarang juga.” Ucap Mahreen. Ya, dia tidak punya tempat tinggal lagi. Rumah lamanya sudah tidak nyaman lagi untuknya. Dari nomer ponsel yang berhasil pria itu dapatkan dan menemukan rumah bukanlah hal yang sulit. Mahreen yang sudah mengganti nomer ponselnya itu segera menghubungi tantenya untuk memberikan kabar terbaru.“Assalammualaikum, tante.” Suara Mahreen yang masih sangat lelah terdengar jelas oleh Maira dari ujung telpon.“Wa’alaikumussa
“Aku mencarimu keman-mana seperti orang gila. Aku meninggalkan pekerjaanku di Italy demi untuk mencari dimana keberadaanmu. Beginikah cara kamu menyambut aku, suamimu sendiri?” Ujar Mateo dengan rahang mengeras dan mengukung Mahreen dibawah tubuhnya dengan jarak wajah mereka tidak lebih dari lima senti.“Kita tidak punya hubungan apa-apa lagi. Aku sudah menggugat cerai kamu jadi seharusnya kamu sudah menandatanganinya bukan? Aahhh lepaskan tanganku!” Kedua tangan Mahreen dicengkeram Mateo di samping tubuh sang perempuan hamil. Harum aroma maskulin dari Mateo terhirup jelas di indera penciuman Mahreen. Harum khas Mateo yang tidak pernah bisa dilupakannya.“Cerai? Kamu pikir kamu bisa bercerai begitu saja dariku? Hmm. Kamu harus menerima hukumannya karena berani melarikan diri dari aku.” Dengan seringai iblisnya, Mateo merobek pakaian yang dikenakan Mahreen. Spontan sang perempuan berteriak kencang karena ketakutan.
“Halo,” Namun tidak ada suara di ujung telpon.“Halo, siapa ini?” Tanya Mahreen lagi.“Armala? Ini aku Eve. Apa kabar kamu? Lama kita tidak bertemu.”“Eve? Senang mendengar suaramu lagi. Ada apa menghubungiku? Apakah ada sesuatu yang bisa aku bantu?” Mahreen yang sedang duduk di teras, langsung terbangun berdiri berjalan menuju ke dalam rumah.“Armala, apa kita bisa bertemu sekarang?” suara Eve terdengar bergetar.“Kamu tidak apa-apa, Eve? Suara kamu seperti …”“Aku tidak apa-apa. Aku akan kirimkan alamatnya ya. Ada sesuatu yang mau aku bahas mengenai desain ruangan kerja presdirku.” Jawab Eve.“Apa tanteku tidak bisa dihubungi?” Tanya Mahreen lagi.“Ini … berhubungan dengan pertama kali ruangan itu dirancang. Aku rasa aku lebih baik bicara langsung dengan kamu.” Ujar Eve sambil matanya melihat sesekali pria
“Il ragazzo della discoteca ha già pagato. Calmati. (Orang di klub malam sudah membayar. kamu tenang saja.)” Ujarnya.Adrianna disambut oleh dua orang pelayan wanita yang diberitahu dari pos penjagaan kalau nona muda mereka pulang kerumah dalam keadaan mabuk berat. Dengan bergegas, dua pelayan wanita itu mengikuti nona majikan mereka yang diangkat oleh seorang penjaga bertubuh kekar masuk ke dalam kamarnya agar mempercepat proses pemindahannya. Supir taksi itu pun pergi setelah berhasil mengantarkan penumpang mabuknya pulang.“Huh, untung saja nona pulang sebelum tuan dan nyonya sampai rumah.” Ujar salah seorang pelayan yang membantu melepaskan pakaian yang dikenakan nona muda mereka agar tidur lebih nyenyak.“Tapi, kasihan juga karena tuan dan nyonya jarang dirumah. Nona Adrianna hampir tidak pernah mendapatkan perhatian.” Jawab pelana lainnya. Keduanya membersihkan sang nona cepat-cepat.
“Huh, kamu kenapa kaku begitu sih kak? Itulah mengapa kamu tidak punya pacar sampai usiamu sekarang karena semua perempuan takut padamu.” “MAYA!” Suara teriakan sang kakak yang menggelegar membuat nyali Maya ciut juga. Perempuan berjilbab itu menghentakkan satu kakinya ke lantai dan keluar begitu saja dari ruangan kerja sang kakak. Sebastian memijat pelipisnya yang tidak pusing dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Sungguh berat pria itu rasakan memimpin adik dan ibunya sejak kepergian sang ayah untuk selama-lamanya. Sebelum maya berhijab, adiknya itu bergaul dengan teman-temannya yang suka keluar masuk klub malam. Dengan beberapa teman wanitanya yang suka keluyuran di malam hari, dari situlah dia mengenal lelaki yang menjadi ayah dari anak-anaknya. Pernikahan mereka pun terjadi karena Maya mengandung lebih dahulu anak hasil perbuatan sembunyi-sembunyinya dengan lelaki itu. Selama mereka menikah, Maya dikuras habis-habisan oleh sang suami n
“MAHREEN! AAARGGHH!” Sang pria terduduk berlutut di atas lantai dengan kedua telapak tangannya mengusap wajah dan rambutnya. “Aku pasti menemukan kamu, sayang!” Geram Mateo dengan tangan terkepal. “TIMMY!” Suara menggelegar Mateo mampu menembus hingga keluar unit apartemen dan membuat ajudan setia sang bos mafia lari tergesa-gesa.“Siap tuan!”“Kamu cari tahu sampai dapat dimana istriku tinggal. CEPAT!” Teriakan Mateo sudah lama tidak didengar Timmy dan itu cukup membuat pria berbadan tegap itu langsung beranjak dari tempat dia berdiri untuk menemui anak buahnya dan Menyusun strategi demi mencari istri bos yang melarikan diri.“Mahreen, aku pasti akan menghukummu karena berani meninggalkan aku!” Dengan rahang mengeras dan tangan terkepal ditinju ke atas lantai, siapapun tidak akan berani mendekati pria yang sedang berada di puncak emosinya.Sementara itu di