Bali, belanja dan cinta. Sayang, kebersamaan ini akan berakhir. Enggan beranjak dari kehangatan dan suasana penuh warna. Namun, realita kehidupan memaksaku untuk segera berbenah. Demi sebuah janji yang harus dituntaskan.
Selain itu, perasaanku tak tenang. Zanna mendadak tak bisa dihubungi. Entah apa yang terjadi dengan kencannya kemarin. Tidak biasanya ia seperti ini.
Kuurungkan niat untuk membahasnya dengan Bram, tidak ingin merusak suasana romantis. Membahas mengenai Zanna berarti menyangkut Arkana dan Bram benci itu. Sama seperti aku yang sengaja membentang dinding pemisah antara lelaki kesayangan ini dengan sekretaris itu.
Jika ditanya, aku akan mengatakan ingin menempel pada Bram seperti lintah. Tidak ingin membaginya dengan siapa pun. Namun, tindakan itu terdengar kekanakan sekali, kan? Seperti bukan Zeline Zakeysha yang terbiasa menundukkan lelaki saja.
Tanganku masih menggenggam ponsel yang
Terima kasih sudah mampir dan membaca kisah Zeline. Jangan lupa bintang limanya, Beibb. Saranghae 💙
Aku menahan detakan yang meningkat dalam dada saat mengintip dari jendela, Bi Ani sedang menyambut kedatangan Arkana. Gegas, aku memastikan Zanna masih dalam kondisi tertidur. Setelah semua aman dan rapi, aku menyelinap ke kamar dan mengintip lewat connecting door yang dibiarkan sedikit terbuka."Bibi tinggal ya, Den. Kalau ada apa-apa, panggil aja," ucap Bi Ani."Ya, Bi. Terima kasih," jawab Arkana sopan.Setelah Bi Ani beranjak, Arkana mendekat ke arah ranjang. Tatapan matanya terlihat sedih. Ah, sedalam itukah lelaki yang dicintai Zanna ini menaruh rasa terhadapku?"Sayang, aku datang. Maaf, aku abai dengan kondisi kamu. Aku sibuk merampungkan pekerjaan agar kita bisa bulan madu dengan tenang." Arkana mengecup lembut punggung tangan Zanna.Untungnya, Zanna tipe kebo, yang sekali menyentuh bantal akan tidur pulas seperti orang pingsan. Jadi gerakan spontan dari Arkana tak akan mengusik ketenangan
"Hon, aku kangen banget sama kamu. Ke mana aja, sih?" omelku saat panggilan ponsel tersambung.Bram masih berusaha menjelaskan tetapi aku langsung menggeser tombol ponsel menjadi panggilan video.Wajah Bram muncul memenuhi layar ponsel. Aku meletakkan benda itu di holder dan menekan tombol pengeras suara."Aku kangen tau. Kaos kamu gak mempan. Aku tetap aja disiksa oleh rindu. Honey, pulang," rengekku manja."Belum bisa, Babe. Proyek baru dimulai, mana bisa aku melarikan diri. Kamu aja yang ke sini dan gak usah balik lagi seterusnya. Ya?" Wajah Bram memelas.Aku menghela napas. Wajahnya sedikit kurang terawat dengan jambang yang belum dicukur. Aktivitas yang aku ambil alih sejak kami menikah."Pestanya sebentar lagi, Hon. Doain lancar, supaya aku bisa kabur dengan segera," pintaku."Aku selalu merindukan kamu. Setiap kembali ke villa, hatiku kosong, Babe
"So Zeline, haruskah aku memanggilmu kakak ipar tersayang?" sindir lelaki tampan di hadapan.Kegiatanku langsung terhenti. Ponsel yang sedari tadi dalam genggaman, aku letakkan di pangkuan.Aku mencebik lalu bersedekap. "Of course. In case you forget, aku sudah menikah dengan Bram.""Tahukah kamu, betapa aku menyesali perbuatan yang menyebabkan hubungan kita kandas?"Aku tertawa sumbang. "Too late, Jeremy! Kamu mengabaikan tanggal jadian kita yang ke tiga bulan hanya karena balapan motor.""Sounds childish, Zeline Sweetheart. Aku masih menyimpan sebentuk cinta yang sama untuk kamu. Seperti orang bodoh aku mencari kamu.""Oh really? Aku tidak pernah mengganti nomor ponsel, J. Berhentilah berbohong!"Aku tahu persis siapa laki-laki yang ada di hadapan ini. Track recordnya sama sepertiku. Pembosan dan tida
Kepalaku masih berdenyut-denyut atas semua kejadian di rumah Bunda. Tingkah menyebalkan Jeremy yang membuatku harus pintar menempatkan diri di depan Bunda sungguh menyiksa hati. Untung saja bisa segera berpamitan setelah makan, tanpa perlu menginap di sana."Hon, sampai kapan aku terjebak dalam situasi seperti ini?" Aku mengomel sembari melepaskan stilleto dan melemparnya begitu saja.Aku melangkah menuju kamar mandi dan meneteskan essentials oil dalam bathtub. Semua hal ini menguras energi dan pikiran, aku butuh suasana rileks. Setelah musik mengalun lembut dari ponsel, aku mulai memejamkan mata, sekadar menenangkan riuhnya isi kepala.Saat hampir saja terlelap suara ketukan pintu terdengar."Ya, sebentar," jeritku.Aku pun bergegas keluar bathtub dan membasuh busa yang masih menempel. Hanya mengenakan bathrobe, aku keluar dari kamar mandi dan melihat Zanna duduk dengan memasa
Zanna masih marah. Rasanya perawatan kulit yang dilakukan tadi sia-sia karena ulahnya membuatku kembali stres. "Bisa kita akhiri semua hal gak penting ini?" tanyaku kesal. Arkana sudah pamit pulang. Tinggal kami berdua dalam mobil di parkiran. "Kenapa kamu malah mesra-mesraan sama Bram? Hampir aja ketauan kan tadi!" Zanna bersedekap. "Ya ampun, Nya. Bram itu suami aku. Lagian tadi kalian gak ada di dekat aku, kan?" "Apa kamu masih mau melanjutkan rencana ini?" Ingin rasanya aku berteriak di telinga Zanna. Memangnya selama ini apa aku diam saja? Bukannya semua yang aku lakukan hanya untuk menyatukan mereka? "Aku capek. Perawatan tadi sia-sia saja. Aku hanya ingin menghibur kamu. Nyatanya apa? Sejak Arkana datang, kamu menjadi menyebalkan!" "Arkana tadi mengajakku mampir ke toko perhias
"Aline, apa kamu tidak cek ulang penawaran dari supplier?" Mami menerobos masuk ke ruangan kerjaku."Penawaran dari supplier mana, Mi?"Sumpah, gara-gara bertengkar dengan Bram pagi tadi, kinerja otakku melambat."Astaga, Zeline Zakeysha! Penawaran dari bahan baku produk lulur terbaru itu belum deal. Mami masih mencari harga dan komposisi lain. Kenapa kamu malah tanda tangan dan buka purcase order dalam jumlah besar?"Napasku seperti berhenti mendadak. Seumur-umur belum pernah aku seceroboh ini. Kinerja baik yang selama ini aku lakukan saja tak kasat mata, malah ditambah dengan kesalahan fatal yang membuat Mami murka."Apa bisa dibatalkan, Mi?""Coba saja hubungi kembali pihak mereka. Jika tidak berhasil, kamu harus melakukan segala cara agar produk ini laku di pasaran." Mami memandang tajam ke arahku.God. T
Semua persiapan pernikahan sudah hampir rampung. Akting Zanna juga sudah semakin sempurna. Sayangnya, hubunganku dengan Bram justru memburuk.Aku malas berurusan dengan keluarganya. Nomor Jeremy sudah aku blokir. Saat Bunda menelepon, aku hanya berbicara seperlunya saja. Aku perlu menghindari resiko mereka mendadak muncul dan berdampak pada rencana pernikahan.Mungkin memang seperti ini jalannya agar aku fokus pada pernikahan Zanna. Tiket ke Bali sudah dipesan. Jika berhasil kabur saat pesta pernikahan digelar, aku akan menginap di apartemen Bram. Paginya baru berangkat ke bandara. Biarlah rasa rindu ini aku tahan sementara."Sissy, ada Arkana di bawah. Pengen ketemu kamu katanya.""Nyamar jadi aku aja, gih. Aku lagi gak mood."Zanna duduk di tepi ranjang. "Belakangan ini kamu murung terus. Apa gara-gara masalah bahan baku produk lulur?"
Aku menatap lukisan yang diberikan oleh Bram. Siluet tubuh kami saat berada di pantai Canggu. Ada sebuah pesan yang ditulis di bagian pojok bawah."U're mine, forever." Aku mengeja huruf demi huruf.Apakah ini adalah isyarat bahwa dia tidak akan pernah melepaskan genggaman tangan? Apakah aku menjadi satu-satunya perempuan yang tak akan terganti?Cinta ini begitu besar. Terkadang aku sendiri pun seperti kewalahan menghadapi ketakutan tentang firasat akan kehilangan.Bukan hanya Zanna yang takut acara pernikahan itu tidak berjalan lancar. Aku juga mengalami hal yang sama, bahkan Bram pun begitu. Ada jarak yang terbentang, masih ada mantan yang selalu berdekatan.Lukisan ini belum bisa aku pajang. Aku memilih untuk menyimpannya kembali dalam koper. Besok tanpa sepengetahuan siapa pun, aku harus mulai mencicil pakaian yang akan dibawa pindah ke apartemen Bram.