"So Zeline, haruskah aku memanggilmu kakak ipar tersayang?" sindir lelaki tampan di hadapan.
Kegiatanku langsung terhenti. Ponsel yang sedari tadi dalam genggaman, aku letakkan di pangkuan.
Aku mencebik lalu bersedekap. "Of course. In case you forget, aku sudah menikah dengan Bram."
"Tahukah kamu, betapa aku menyesali perbuatan yang menyebabkan hubungan kita kandas?"
Aku tertawa sumbang. "Too late, Jeremy! Kamu mengabaikan tanggal jadian kita yang ke tiga bulan hanya karena balapan motor."
"Sounds childish, Zeline Sweetheart. Aku masih menyimpan sebentuk cinta yang sama untuk kamu. Seperti orang bodoh aku mencari kamu."
"Oh really? Aku tidak pernah mengganti nomor ponsel, J. Berhentilah berbohong!"
Aku tahu persis siapa laki-laki yang ada di hadapan ini. Track recordnya sama sepertiku. Pembosan dan tida
Kepalaku masih berdenyut-denyut atas semua kejadian di rumah Bunda. Tingkah menyebalkan Jeremy yang membuatku harus pintar menempatkan diri di depan Bunda sungguh menyiksa hati. Untung saja bisa segera berpamitan setelah makan, tanpa perlu menginap di sana."Hon, sampai kapan aku terjebak dalam situasi seperti ini?" Aku mengomel sembari melepaskan stilleto dan melemparnya begitu saja.Aku melangkah menuju kamar mandi dan meneteskan essentials oil dalam bathtub. Semua hal ini menguras energi dan pikiran, aku butuh suasana rileks. Setelah musik mengalun lembut dari ponsel, aku mulai memejamkan mata, sekadar menenangkan riuhnya isi kepala.Saat hampir saja terlelap suara ketukan pintu terdengar."Ya, sebentar," jeritku.Aku pun bergegas keluar bathtub dan membasuh busa yang masih menempel. Hanya mengenakan bathrobe, aku keluar dari kamar mandi dan melihat Zanna duduk dengan memasa
Zanna masih marah. Rasanya perawatan kulit yang dilakukan tadi sia-sia karena ulahnya membuatku kembali stres. "Bisa kita akhiri semua hal gak penting ini?" tanyaku kesal. Arkana sudah pamit pulang. Tinggal kami berdua dalam mobil di parkiran. "Kenapa kamu malah mesra-mesraan sama Bram? Hampir aja ketauan kan tadi!" Zanna bersedekap. "Ya ampun, Nya. Bram itu suami aku. Lagian tadi kalian gak ada di dekat aku, kan?" "Apa kamu masih mau melanjutkan rencana ini?" Ingin rasanya aku berteriak di telinga Zanna. Memangnya selama ini apa aku diam saja? Bukannya semua yang aku lakukan hanya untuk menyatukan mereka? "Aku capek. Perawatan tadi sia-sia saja. Aku hanya ingin menghibur kamu. Nyatanya apa? Sejak Arkana datang, kamu menjadi menyebalkan!" "Arkana tadi mengajakku mampir ke toko perhias
"Aline, apa kamu tidak cek ulang penawaran dari supplier?" Mami menerobos masuk ke ruangan kerjaku."Penawaran dari supplier mana, Mi?"Sumpah, gara-gara bertengkar dengan Bram pagi tadi, kinerja otakku melambat."Astaga, Zeline Zakeysha! Penawaran dari bahan baku produk lulur terbaru itu belum deal. Mami masih mencari harga dan komposisi lain. Kenapa kamu malah tanda tangan dan buka purcase order dalam jumlah besar?"Napasku seperti berhenti mendadak. Seumur-umur belum pernah aku seceroboh ini. Kinerja baik yang selama ini aku lakukan saja tak kasat mata, malah ditambah dengan kesalahan fatal yang membuat Mami murka."Apa bisa dibatalkan, Mi?""Coba saja hubungi kembali pihak mereka. Jika tidak berhasil, kamu harus melakukan segala cara agar produk ini laku di pasaran." Mami memandang tajam ke arahku.God. T
Semua persiapan pernikahan sudah hampir rampung. Akting Zanna juga sudah semakin sempurna. Sayangnya, hubunganku dengan Bram justru memburuk.Aku malas berurusan dengan keluarganya. Nomor Jeremy sudah aku blokir. Saat Bunda menelepon, aku hanya berbicara seperlunya saja. Aku perlu menghindari resiko mereka mendadak muncul dan berdampak pada rencana pernikahan.Mungkin memang seperti ini jalannya agar aku fokus pada pernikahan Zanna. Tiket ke Bali sudah dipesan. Jika berhasil kabur saat pesta pernikahan digelar, aku akan menginap di apartemen Bram. Paginya baru berangkat ke bandara. Biarlah rasa rindu ini aku tahan sementara."Sissy, ada Arkana di bawah. Pengen ketemu kamu katanya.""Nyamar jadi aku aja, gih. Aku lagi gak mood."Zanna duduk di tepi ranjang. "Belakangan ini kamu murung terus. Apa gara-gara masalah bahan baku produk lulur?"
Aku menatap lukisan yang diberikan oleh Bram. Siluet tubuh kami saat berada di pantai Canggu. Ada sebuah pesan yang ditulis di bagian pojok bawah."U're mine, forever." Aku mengeja huruf demi huruf.Apakah ini adalah isyarat bahwa dia tidak akan pernah melepaskan genggaman tangan? Apakah aku menjadi satu-satunya perempuan yang tak akan terganti?Cinta ini begitu besar. Terkadang aku sendiri pun seperti kewalahan menghadapi ketakutan tentang firasat akan kehilangan.Bukan hanya Zanna yang takut acara pernikahan itu tidak berjalan lancar. Aku juga mengalami hal yang sama, bahkan Bram pun begitu. Ada jarak yang terbentang, masih ada mantan yang selalu berdekatan.Lukisan ini belum bisa aku pajang. Aku memilih untuk menyimpannya kembali dalam koper. Besok tanpa sepengetahuan siapa pun, aku harus mulai mencicil pakaian yang akan dibawa pindah ke apartemen Bram.
Hari ini acara gladiresik dilakukan. Aku tidak bisa melarikan diri atau bertukar peran karena ada Mami dan Papi juga.Hanya kedua orang tua yang tak pernah salah mengenali kami berdua. Zanna tadinya tidak ingin ikut, tetapi aku paksa. Biar bagaimanapun, ia harus mengikuti tahapan rundown acara. Nanti saat kami bertukar tempat, tidak ada kecanggungan.“Aku gak mau sebenarnya beradegan mesra sama Arkana. Tau sendiri, secret admirernya ngambekan. Dih, malas!” Aku mendecak sebal.Zanna hanya tersenyum datar. Aku sengaja menyindirnya karena masih ada tersisa sedikit rasa kesal. Hari ini aku sengaja memakai blouse berbahan katun bermotif abstrak dipadukan dengan celana model pensil berwarna hitam dan flat shoes. Rambut aku cepol dan menyisakan beberapa helai yang menjuntai.“Tuh, pujaan hati kamu dari tadi cengesan mulu. Pasti di kepalanya cuma mikirin belah duren. Dasar mesum!” ump
"Aline, apa lagi yang kamu tunggu? Ayo, tim make up udah nunggu!" Mami berkacak pinggang di depanku lalu berbalik badan dan berlalu.Aku memaksakan sepotong senyuman. Dekorasi pelaminan terasa sangat mewah. Semerbak wangi bunga terasa langsung menyerbu indra penciuman. Aku memang meminta aneka bunga segar sebagai hiasan di tengah-tengah ruangan.Kursi tamu kanan kiri, meja bulat khusus untuk tamu VIP, photo booth yang upload-able ke media sosial, makanan dan cemilan yang lezat. Gemericik air di sisi kiri pelaminan. Semua terlihat sangat sempurna.Ukiran nama pengantin, sengaja aku minta semua diberi inisial saja. A & A. Jika Arkana menyangka itu namanya dan Aline, salah besar. Itu untuk Arkana dan Anya. Semua cinderamata pun berlogo sama.Masalah hanya ada di undangan pernikahan juga papan bunga. Aku tidak mungkin mengubahnya, 'kan?"Sayang, sudah hampir jam
Ponsel berdering. Aku langsung siaga. Kode dari Zanna kalau pengakuan segera dimulai. Aku tidak mungkin memasang CCTV di kamar pengantin, 'kan? Aku menekan tombol pengeras suara seperti biasa.“Ada apa, Sayang? Belum saatnya kita memadu kasih di kamar ini.” Arkana tertawa kecil. “Aku mau bicara sama kamu, mumpung ijab kabul belum dimulai.” “Oke. Silakan.” “Kamu ingat pernah berjanji akan tetap melanjutkan pernikahan apa pun yang terjadi hari ini, kan?” “Iya. Kamu hanya terlalu cemas, Sayangku. Tidak ada hal buruk yang akan terjadi. Tuan Kadhi yang terlambat tidak bisa dijadikan patokan berhasil atau gagalnya acara kita.” “Aku ingin kamu membaca surat ini.” “Sayang, kamu kenapa, sih? Kok aneh banget. Kita mau nikah, kok malah main teka-teki begini?” “Please, baca aja.” Sejenak terjadi keheningan. Aku menajamkan pendengaran. Aku bisa merasakan debar gugup dari Zanna. Aku tahu bagaimana kecem
Aku duduk dengan kaku. Sulit dipercaya kalau kedua orang yang biasanya selalu terlibat perang dingin ini mendadak akur."Mami, apa kabar?" Aku mencoba mencairkan suasana."Baik. Kamu ... gimana? Kandunganmu ... sehat?" Aku mengernyit. Kenapa Mami malah berbicara dengan terbata-bata? Apa Papi yang memaksa Mami untuk datang ke sini?Setelah tiga bulan masalah di Bali berlalu, baru kali ini, Mami datang menjengukku. Memang, sejak aku menolak untuk memilih Mami, perlakuan beliau memang berubah drastis. Hanya ada Zanna yang menjadi prioritas beliau. Zeline hanyalah alat untuk mencapai tujuannya di kantor. Zeline yang harus bekerja keras untuk perusahaan.Untungnya ada Papi yang selalu membesarkan hatiku. Jika aku suka berpetualang dengan berpacaran, itu hanyalah pelampiasan karena ingin mencari yang terbaik.Seperti hendak melupakan mantan yang sangat posesif itu. Siapa yang menyangka kalau aku harus menyeret Bram dalam pusaran arus balas dendam.Papi berdeham. "Aline, jangan melamun!"
Aku dan Bram sudah kembali ke Jakarta. Kembali pulang ke apartemenku. Aku tak ingin ke mana-mana lagi. Bahkan tidak kembali ke Bali.Bram sudah menutup semua pekerjaan yang ada di Bali. Entah sampai kapan aku bisa berdamai dan berani kembali ke kota penuh kenangan itu.Sudah tiga bulan berlalu, tetapi aku masih juga bermimpi buruk. Aku memang payah jika berkaitan dengan trauma. Entah butuh berapa lama sampai aku bisa berdamai dengan keadaan.Aku bahkan masih bisa mengingat jelas semua ucapan permintaan maaf dari Nadhira. Wajahnya semakin tirus dan menyedihkan setelah hakim memutuskan hukumannya.Nadhira memang mengakui semua perbuatannya, termasuk mengetahui semua rangkaian teror yang dilakukan Laurence. Ponsel yang aku gunakan pun dijadikan sebagai barang bukti. Karena rentetan teror masih tersimpan di dalamnya.Papi semakin over protektif kepadaku. Sempat terjadi perdebatan sengit antara Papi dengan Bram. Namun, aku berhasil meyakinkan beliau kalau Bram tidak bersalah. Akar permasa
Suara tepuk tangan terdengar dari seseorang yang mendadak muncul dari balik pintu. Laurence yang tadinya hendak menyentuh tubuhku, mendadak berhenti. Rasanya tak percaya, Tuhan mengabulkan doa yang tak henti aku panjatkan sejak membuka mata tadi. "Oh, come on. Kenapa kau harus ke sini?" Laurence berdecih. "Apa kau juga ingin meminta jatah? Nanti saja, aku ingin membalas dendam terlebih dahulu." "Demi nama Tuhan, Laurence! Berhentilah bersikap seperti binatang!" Laurence memaki sambil memukul tempat tidur. Laki-laki busuk di hadapanku ini beringsut turun dari ranjang dan berjalan cepat ke arah pintu kamar. "Binatang katamu? Hei, Bitch! Kau dan aku tak ada bedanya. Selama ini kau mengikuti langkah Bram seperti anjing yang mendambakan pasangan." Laurence menampar pipi Nadhira.Aku ikut memekik tertahan. "Jaga bicaramu! Aku tidak pernah berlaku serendah itu!" Nadhira menatap marah kepada Laurence.Benarkah? Nadhira ... masih berharap banyak kepada Bram? Tidak, ini hanya manipulasi p
Ketika membuka mata, aku terkejut luar biasa. Laurence tersenyum lebar di samping ranjang. Tak hanya itu, tangan dan kakiku dalam keadaan terikat di tiang ranjang. "Lau, kau mau apa? Kenapa aku terikat begini?" Aku menangis. Semua hal buruk sudah menjejali isi kepala. Aku takut luar biasa. Apalagi mengingat track record buruk Laurence dengan wanita jalang. "Lepaskan aku, Lau. Please." Mataku sudah dipenuhi genangan air. Aku tak mau sikap berengsek Laurence membahayakan janin dalam kandungan. Bram, tolong aku. Tatapan lapar berbalut kebencian aku saksikan ketika Laurence mengusap air mata di pipi. "Tolong, Lau. Jangan sakiti aku."Sedetik kemudian aku mengaduh. Laurence mencengkeram erat daguku. "Kau ... pembunuh!" Aku membelalakkan mata. Ingatan mengerikan langsung berkelebat. Apakah sosok peneror itu sebenarnya adalah Laurence?Tawa Laurence langsung menggema di ruangan. "Ya. Aku adalah orang yang selama ini mengirim teror."Daguku terasa nyeri. "Lep-lepasskan aku."Laurence me
Aku tak rela melepas Bram untuk pergi bekerja. Rasanya rindu ini belum usai untuk dituntaskan. Enggan kehilangan pelukan hangat dan aroma menenangkan pengusir mual itu."Harus banget ya, Hon, perginya?" Aku memasang wajah merajuk.Bram tersenyum tipis. "Iya. Urusan pekerjaan ini penting banget, Baby. Ada dokumen penting yang hilang.""Hilang? Kok bisa?" "Entahlah. Aku ...." Bram menghela napas berat. "Mungkin semua terjadi ketika aku tak fokus dan sibuk mencari keberadaan kamu." Aku merasa menyesal. Ada andilku dalam kehancuran keuangan perusahaan. Mendadak aku teringat dengan semua teror yang belakangan kerap mengintai. Apa ini pun ada kaitannya dengan seseorang itu?Bram cekatan mengikat tali sepatu. Aku memperhatikan semua gerakannya dalam diam. Ada rasa ingin mengatakan tentang si peneror, tetapi aku takut semakin membuat konsentrasinya terpecah."Hei, kok malah melamun? Aku bakalan langsung pulang kok." Bram duduk di tepi ranjang untuk mengusap rambutku."Entahlah, Hon. Pengen
Aku menangis sejadi-jadinya. Bram pun ikut meneteskan air mata. "Maaf. Aku minta maaf. Semua rasa sakit ini gak akan terjadi seandainya aja aku ...." Ah, harus kutekan rasa sakit yang mendadak menyesaki dada. Semua sudah terlanjur, bukan? Kami hanya perlu belajar untuk mengikhlaskan segalanya. "Setelah apa yang kita alami, haruskah merutuk atau malah--""Ssh, please. Seandainya mungkin, aku pasti akan mengubah masa lalu. Aku gak akan biarin peristiwa busuk itu sampai terjadi." Bram langsung merengkuh tubuhku. "Maaf."Kata maaf tak akan mampu mengubah keadaan. Terlebih ketika sudah ada janin yang bersemayam. Perlahan-lahan aku mengembuskan napas. Berusaha mengenyahkan rasa perih ketika semua keterpurukan itu membayang kembali di pelupuk mata."Lantas, siapa laki-laki yang tega merekayasa semuanya, Bram?"Bram mendengkus. "For God's sake, Cantik. Haruskah kamu panggil aku Bram setelah mengetahui kebenaran?"Aku menelan kembali semua rentetan kalimat yang hendak ditumpahkan. Benar. Le
Bau khas rumah sakit menyerbu indera penciuman ketika aku mencoba membuka mata. Lamat-lamat terdengar suara orang berbicara.Aku di mana?"Baby, kamu udah sadar?" Bram langsung bergegas menuju ke arahku.Tangan kokoh itu langsung membawaku dalam pelukan hangatnya. "Apanya yang sakit?"Ini ... kamar rawat. Kenapa aku bisa ada di sini? Sebentar, bukannya kami harus ke bandara?"Tadi tiba-tiba kamu pingsan di lobi hotel. Kita batal terbang ke Jakarta. Dokter gak rekom."Ah iya, aku ingat, mendadak tengkuk terasa berat lalu semuanya gelap."Kondisi kehamilan kamu rentan. Kita gak bisa pergi dari Bali, Baby.""Tapi, Aunty Lia butuh aku, Hon."Bram mengurai pelukan. "Aku gak izinin kamu pergi. Ini demi keselamatan kamu dan anak kita."Aku tak berani membantah. Terlebih ketika melihat tatapan tegas dari mata yang biasanya selalu memancarkan kelembutan itu. Artinya Bram tidak akan mau mendengar ala
Satu minggu terasa sangat sebentar ketika dijalani bersama suami yang semakin ditatap bertambah poin ketampanannya.Bram tidak mengizinkan aku untuk kembali ke villa sewaan itu. Dia tidak mau aku terpengaruh dengan Nadhira dan Laurence. Kehamilan ini membuat Bram lebih over protective ketimbang sebelumnya."Aku pergi kerja dulu ya, Baby. Kamu gak boleh ke mana-mana. Nanti kita makan siang bareng.""Belum ada telepon dari pihak rumah sakit?""Ah, ya. Harusnya sudah ada hasil tes DNA itu, kan?""Hon, aku takut."Bram berhenti mengikat tali sepatu lalu menoleh ke arahku yang masih berbaring di ranjang. "Takut apa? Tenang aja, aku gak salah, kok.""Kalau bukan kamu, terus siapa bapaknya?""Ya mana aku tau. Yang jelas, aku malam itu gak mimpi lagi ehem-ehem. Mungkin aja sebelum aku pingsan, udah duluan sampe ke kamar.""Kalo kamu udah kadung pingsan, kenapa pas bangun ada
Kaki seperti tidak menapak ke tanah sejak keluar dari kamar mandi ruang periksa dokter tadi. Ucapan selamat terdengar seperti dengungan yang menyiksa.Perubahan yang kentara terjadi pada Bram. Dia memperlakukan aku seperti sesuatu yang rapuh dan mudah pecah. Semua tindakannya tampak sangat hati-hati.Namun, kenapa rasanya seperti sangat tersakiti? Ini jawaban kenapa aku mendadak aneh dan agresif. Hormon hamil membuatku begini.Perlahan-lahan aku mengusap perut yang masih sangat datar. Apa kita sanggup menjalani semua ini, Nak? Apa kita sanggup berbagi perhatian dengan anak lain yang juga memiliki darah dan keturunan sama? Bayinya Nadhira.Bram masih sibuk berceloteh riang membahas tentang kehamilanku. Namun, aku tak mencerna sedikit pun apa yang terlontar dari bibirnya. Aku sibuk dengan dunia yang mendadak seperti hampa.Ketika kami kembali ke hotel, Bram langsung turun untuk membukakan pintu mobil. Dia merangkulku mesra. Letupan bahagi