Aku menghubungi Papi, memintanya datang ke apartemen tanpa sepengetahuan Mami. Jika hanya ijab kabul, aku yakin Papi akan menyetujuinya.
"Aline, ini gila. Kamu meminta Papi untuk menikahkan kalian saat ini juga. Sementara tanggal pernikahan kamu sudah ditetapkan. Lelucon apa ini?"
"Papi, Anya mencintai Arkana sejak awal kami kuliah. Apa mungkin Aline tega melihat Anya kehilangan satu-satunya cinta, Papi?"
Aku mengandalkan kemampuan merayu yang biasanya ampuh. Lelaki tersayang di hadapan ini, tidak pernah menolak apa pun yang aku inginkan. Mungkin itu sebabnya kenapa aku sering berbuat sesuka hati, karena ada Papi yang selalu membela.
Papi menghela napas panjang. "Kamu ini, selalu bisa membuat Papi mengikuti keinginan sekonyol apa pun itu. Mana lelaki itu? Suruh menghadap Papi!"
"Ayo kita langsung naik ke atas, Pi. Mereka sudah menunggu Papi."
Aku menggenggam erat tangan Papi. Berceloteh riang seperti saat masa remaja, membahas prestasi yang kuukir dengan gemilang. Menjadi kebanggaan Papi.
"Kamu?" Papi terlihat terkejut saat melihat Bram.
"Pak Hasan? Anda papinya Zeline?" Bram langsung mendekat dan menyalami tangan Papi.
"Papi kenal Bram?" tanyaku heran.
"Tentu saja. Papi merestui hubungan kalian. Mana tuan kadinya?"
Aku menghembuskan napas lega. Berarti Bram punya reputasi yang baik di mata Papi.
Detak jantungku menggila saat proses ijab kabul dilakukan. Peluh yang menetes di dahi Bram, membuatku tak kuasa menahan gejolak di dalam dada. Dia terlihat sangat menggairahkan.
Aku memeluk erat Papi setelah proses ijab kabul selesai. Mengucapkan terima kasih dan memintanya untuk menjaga rahasia.
"Anya harus bahagia sama sepertiku, Papi. Berjanjilah untuk tidak memberitahu Mami!" Aku mengaitkan jari kelingking ke arah Papi.
Papi tertawa dan menyambut jari kelingkingku. "Anak gadis kebanggaan Papi ternyata sudah dewasa dan sekarang menjadi istri seorang pebisnis handal."
Aku memeluk erat Papi. "Besok, tiga hari aku menemani Bram ke Singapura. Papi mau dibawain oleh-oleh apa?"
Papi melepaskan pelukanku."Besok bukannya ada fitting baju pengantin, Nak? Berulang kali mamimu mengingatkan Papi."
"Papi harus membantu Aline. Ingatkan Anya untuk datang dan berpura-pura menjadi Aline. Jangan banyak bicara agar penyamaran tak kentara."
"Ya sudah. Papi pulang, ya. Takut Mami curiga kalau Papi terlambat untuk makan malam." Papi mengecup keningku.
Aku memanggil Bram dan mereka berbincang sebentar. Papi menepuk pundak Bram yang dibalas dengan anggukan takzim. Dua lelaki keren lintas generasi, kesayanganku.
Semua orang sudah kembali. Hanya tinggal aku dan Bram berdua di apartemen. Bahkan sekretarisnya pun sudah lebih dahulu berpamitan setelah prosesi ijab kabul selesai. Mungkin gadis itu tidak kuat menahan sesak di dada karena lelaki pujaan hati telah resmi menjadi milik perempuan lain.
"Hon," panggilku.
"Ya, Babe."
"Kamu pernah pacaran sama sekretaris tadi?"
Bram tersedak minuman dingin. Ah, lelaki. Ada rasa cemburu yang mulai menguasai hati.
"Jujur, Babe, aku pernah berpacaran dengannya. Tiga bulan. Putus karena mengenal kamu."
"Oke. Dengan perempuan mana lagi sebelum dia?"
"Dua perempuan sebelumnya masing-masing tiga bulan. Entah, Babe, rasanya sulit melewati waktu penjajakan lebih dari tiga bulan."
Alarm pertanda bahaya berdenging di telingaku. Bagaimana jika dia mencampakkan aku tepat setelah bulan ketiga berakhir? Sebenarnya kami berdua sama saja. Aku juga tidak pernah punya hubungan lebih dari tiga bulan. Bahkan pernah hanya satu minggu saja.
"Lalu kenapa denganku kamu meminta pernikahan, Hon? Apa kamu akan pergi setelah tiga bulan berakhir?" Aku bersedekap.
Bram mendekat. "Karena kamu orang yang tepat, Babe. Tidak pernah terlintas keinginan untuk menikah, selain denganmu. Juga karena Bunda sudah memberikan restu."
Aku masih memberengut. Bram meraih pinggangku.
"Aku cinta kamu, Babe. Kamu istriku, the one and only." Bram mulai menjelajahi ceruk leherku.
Aku takluk pada pesona lelaki yang sudah resmi bergelar suami. Membalas pagutan dan mendesahkan namanya. Membiarkan diri larut dalam suasana penuh kobaran api asmara. Melebur menjadi satu.
Dia memperlakukanku dengan lembut. Walau tetap saja ada rasa perih yang kentara karena segel itu belum berhasil ditembus seutuhnya.
"Sakitkah, Babe?"
Aku meringis. Bram mengecup lembut dan mulai mencumbu lagi. Perlahan aku mengikuti gerakannya. Semakin cepat dan terbakar gairah, sampai akhirnya aku meneriakkan namanya di puncak asmara.
Aku malu dan menyelusup dalam dada bidangnya. Dia meraih daguku dan menatap sendu.
"Terima kasih karena menjadikanku lelaki yang paling bahagia malam ini, Babe. Aku semakin jatuh cinta pada kamu."
Kami berpelukan. Peluh yang membasahi tubuh, membuatnya terlihat sangat seksi. Aku mendesah dan memejamkan mata. Betapa selama ini aku menjaga diri agar tak terlibat hubungan cinta satu malam. Hanya karena ingin mempersembahkan selaput yang sangat berharga itu pada lelaki yang tepat.
Aku memang hobi berpetualang dari satu lelaki ke lelaki lain, tetapi tidak berarti tubuh ini bisa dijamah dengan bebas. My body is my rule, itu prinsip yang tak bisa ditawar.
Jika lelaki yang berstatus pacar mulai bergerak liar dan mencoba menggerayangi, aku pasti minta putus. Makanya aku membatasi jumlah alkohol yang diminum saat penat melanda. Aku tidak mau mengambil resiko mabuk dan terbangun dengan entah lelaki mana keesokan paginya.
Anehnya, hal itu tidak berlaku untuk Bram. Aku malah hampir menyerahkan diri secara sukarela padanya. Justru dia yang meminta pernikahan sebelum kami melampaui batas.
"Hon," panggilku.
Bram menggumam. "Lapar?"
"Iya. Aku tidak bisa masak dan melakukan pekerjaan rumah tangga," keluhku.
"Aku membutuhkan istri, Babe. Kita bisa mencari asisten rumah tangga untuk membantu kamu. Jangan cemas, kamu hanya butuh merawat diri dan melahirkan bayi sebagai pewaris tahta kerajaan bisnis kita. Oke, Nyonya?"
Aku mengangguk dan memejamkan mata. Rasanya seperti menjadi ratu di sisinya. Aku tidak akan melepaskan lelaki ini demi apa pun juga.
Bram meraih ponsel dan memesan makanan dari aplikasi online. "Oke, Babe. Sudah aku pesan. Kita hanya perlu menunggu setengah jam."
Aku menyingkap selimut, hendak turun untuk membersihkan diri. Kurang gesit karena Bram menarikku kembali dan mulai menuntut.
"Kita punya waktu sebelum makanan datang. Aku tidak akan membuang kesempatan untuk memiliki kamu seutuhnya."
Aku memejamkan mata dan mulai mendesah.
š¹š¹
"Kenapa makannya sampai belepotan sih, Babe? Lapar berat?" ejek Bram sambil mengelap ujung bibirku.
"Lapar, Hon. Aku kehabisan banyak energi tadi. Dua babak kamu berdayakan aku. Huh," omelku.
Bram tergelak. "Aku malah berencana setelah ini ada yang ketiga dan keempat, Babe. Kamu luar biasa, sih."
Aku meletakkan sendok dan garpu. "Ampun, Hon. Beri aku kesempatan untuk bernapas."
"Just kidding, Babe. O iya, kamu kan gak bawa pakaian, kita pergi belanja aja, gimana? Setidaknya kamu butuh beberapa potong pakaian untuk besok. Sisanya kita bisa beli di Singapura."
Aku mengangguk dan melanjutkan makan. Tenaga seperti terkuras habis. Aku masih merasa lapar. Biasanya aku menjaga dan membatasi jumlah kalori yang masuk. Kali ini aku sanggup menghabiskan makanan yang dipesan oleh Bram tanpa sisa.
Aku meminjam kemeja Bram, membiarkan dua kancing terbuka, mengikat simpul ujung kemeja dan memadupadankan dengan rok mini yang dibelikan Bram kemarin.
"Kenapa aku tidak bisa menahan gejolak rasa setiap kali melihat kamu berpenampilan seperti sekretaris yang seksi?"
Aku bersedekap. "Kenapa? Aku mengingatkan kamu pada sekretaris, si mantan pacar itu?"
Bram menepuk jidatnya. "Astaga, kenapa malah ke situ larinya, Babe? Aku memang pacaran sama dia, tapi hanya sekedar status. Mungkin lebih ke ungkapan terima kasih karena selama delapan tahun ini, dia udah banyak bantu. Aku bahkan gak pernah pergi berdua apalagi menyentuhnya, Babe."
Aku masih memasang tampang tak percaya.
Bram mendekap, menggesekkan jambangnya ke pipiku. "Jangan seperti ini, Babe. Kamu terlihat menggemaskan. Aku takut kita batal pergi karena terjadi babak tambahan."
Aku menggigit bibirnya karena kesal. Bram mengaduh dan melepaskan pelukan. "Baru hari pertama kamu sudah KDRT, Babe. Aku butuh napas buatan. Ayo, tanggung jawab!"
Aku mendengkus dan meninggalkan dia. Sengaja melenggang keluar kamar. Bram tertawa dan mengejarku.
š¹š¹š¹
Saat berkeliling butik, aku memilih untuk menyelinap dan memilih lingerie. Dalam imajinasi liar yang aku punya, pernah terlintas di pikiran untuk memakainya di depan lelaki yang tepat.Aku membeli dalam jumlah banyak, aneka model dan warna. Sengaja untuk kado juga, karena aku ingat Zanna.Aku merasa lucu, membayangkan Arkana melihat Zanna memakai benda kurang bahan ini di depannya. Memang, kepribadian Zanna berbanding terbalik denganku. Mungkin saja Arkana akan terkejut melihatnya, lalu lupa diri dan takluk pada pesona saudari kembarku itu.Gegas, aku beranjak ke bagian lain dalam butik. Aku melihat sepatu boots dan segera mencobanya. Setelah puas berbelanja, aku memindai sekeliling, mencari Bram. Ternyata sedang sibuk dengan ponselnya."Honey, aku sudah selesai belanja.""Wait a minute, Sir." Bram mengeluarkan dompet dan meraih sebuah kartu, "pakai ini, Babe."Aku
Aku terbangun karena merasa geli. Saat membuka mata, Bram sedang menggesekkan jambangnya ke pipiku."Morning, Sleeping Beauty. Boboknya nyenyak amat. Mandi yuk, kita harus ke bandara segera."Aku menggeliat. "Gendong.""Boleh, tapi resiko ditanggung sendiri, ya? Aku sudah mandi. Gak masalah kalau harus keramas bareng kamu lagi," goda Bram.Wajahku terasa panas, membayangkan tubuhnya berada di bawah pancuran air yang sama.Astaga, sepagi ini otakku bahkan sudah tercemar. Aku menggigit bibir bagian bawah, ciri khas kalau sedang gelisah."Hei, jangan seperti itu! Kamu terlihat sangat menggoda. Aku jadi ingin membatalkan meeting dan berbagi peluh bersamamu."Gegas, aku turun dan berlari menuju kamar mandi. Sebelum menutup pintu, aku masih bisa mendengar Bram tertawa terbahak-bahak.Konyol memang, aku yang biasanya menaklukkan hati lelaki, justru terbal
Setelah makan siang, aku kembali ke kamar, sengaja menyiapkan kejutan dan berdandan lagi. Saat sedang mematut diri di depan cermin, ponselku berdering.Aku tidak tahu harus bahagia atau bersedih karena tender itu. Bram memang memenangkannya, tapi itu artinya kami harus terpisah selama tiga bulan. Aku baru diberitahukan tentang hal ini.Tidak mungkin aku meninggalkan perusahaan dalam jangka waktu selama itu. Mami pasti akan mengamuk.Setengah jam kemudian, Bram kembali, tetapi langsung sibuk melakukan telekonfrensi dengan stafnya. Sementara aku memilih bersembunyi di balik selimut. Sia-sia rasanya menyiapkan kejutan dengan memakai lingerie berwarna merah darah dan high heels senada.Apalagi dalam waktu sebulan ke depan, mana mungkin aku menghilang. Arkana pasti curiga. Aku tidak mau Zanna terkena imbasnya. Kembaranku itu harus menikah dengan pria yang sangat dicintainya. Takkan kubiarkan lelaki itu lolos.
Tiga hari bukan waktu yang lama jika dihabiskan bersama orang yang paling kamu cintai di dunia ini. Berkeliling Sentosa Island, Orchard Road, mengunjungi tempat wisata, berbelanja dan berbagi peluh dengannya di malam hari juga keesokan paginya, membuatku jatuh sakit.Bram bilang akan membatalkan semua agenda penting demi merawatku. Hanya saja rasanya aku enggan menjadi beban, sehingga lebih memilih untuk pulang ke rumah, bukan ikut ke apartemen Bram. Aku rindu suasana kamar yang beraroma stroberi, juga Zanna."Aline, kamu kenapa?" Zanna menyerbu masuk saat aku menyeret koper ke kamar."Demam."Zanna sibuk menelepon dokter keluarga untuk segera datang ke rumah."Kamu di apain sama si Don Juan sampe demam begini? Sakit banget ya, pas belah durennya?"Astaga, ini anak. Kakaknya lagi demam, malah bahas belah duren. Otak durjanaku mulai bereaksi membayangkan
Pengaruh obat ternyata mampu membuatku tertidur sejenak, nyeri di kepala sudah berkurang drastis.Saat membuka mata, Zanna sedang berbaring di sebelahku, main game. Kebiasaan kalau salah satu dari kami ada yang jatuh sakit, pasti yang sehat menemani dan merawat. Saling menjaga, karena Mami tak pernah lagi ada."Anya, maaf ya. Aku memang sengaja memblokir nomor telepon Arkana. Ya gak mungkin di saat aku lagi ehem sama Bram, dia nelepon kayak biasa. Dih, males."Zanna memandangi aku dengan tatapan yang sedikit mengkhawatirkan. "Arkana gak pernah segetol itu nelponin aku, Sissy."Astaga, ia malah mellow. Duh, cinta bertepuk sebelah tangan mengenaskan juga ternyata.Mata Zanna langsung berkaca-kaca lagi. Sebagai kakak yang baik, hatiku serasa diiris-iris melihatnya."Maaf, Nya. Gak maksud nyakitin kamu, sih. Itu tadi niatnya cuma mo jelasin doan
"Mau ke mana, Line?""Pulang ke apartemen suami," jawabku."Yakin? Kamu masih pucat loh, Sissy. Aku anterin, ya. Sekalian aku kenalan sama Mas Bewok.""Boleh juga. Oiya, bantu aku bongkar koper bentar. Aku harus memilah pakaian yang mau dibawa ke sana.""Okey, Sissy."Zanna bersimpuh dan membantuku membongkar. Ah iya, lingerie hadiah untuknya sekalian saja aku berikan hari ini."Ini ada kado. Em ... bukanya nanti, pas udah resmi jadi istrinya Arkana. Deal?""Kok aku curiga sama isi kado ini?"Sekuat tenaga aku menahan senyum. Kami kembar, tentu ada ikatan batin yang tak bisa dijelaskan."Jangan buruk sangka. Tak baik. Hadiah ini bisa buat Arkana luluh sama kamu. Dijamin!" Gaya bicaraku sudah mirip sales panci sepertinya."Terima kasih,
Gontai, aku menyeret langkah kembali naik ke tempat tidur."Ada apa, Sissy? Kenapa wajahmu muram dari tadi? Apa yang terasa sakit?" tanya Zanna cemas."Apa kamu tidak bertemu dengan perempuan bertubuh mungil tadi? Papasan di lift?""Ada. Aku sempat melihat sepintas di koridor, sebelum dia belok ke lift. Kenapa?""Itu sekretaris pribadinya Bram. Saat aku mengetuk pintu tadi, perempuan itu yang membukakan.""Mungkin ada hal penting yang harus dibicarakan, Sissy. Jangan mikir jelek dulu! Dari pengamatanku sepintas tadi, keliatan banget kalau Bram itu cinta mati sama kamu."Aku menghembuskan napas kesal. Zanna ini memang tidak pernah berpikir buruk tentang orang lain. Semua ia anggap baik dan lurus sepertinya."My twin, mereka pernah pacaran. Putus karena Bram mengenalku."Mulut Zanna membulat semp
"Feel better, Babe?"Aku menoleh ke arah Bram yang baru bangun. Sementara aku sudah selesai mandi air hangat dan sedang berdandan."Iya, mandi, gih. Terus kita cari sarapan. Abis itu langsung ke rumah Bunda," ajakku.Bram turun dari ranjang, mematuhi permintaanku. Dalam kondisi tubuh fit total, aku pasti akan menyusulnya. Hanya saja sekarang ini, aku lebih memilih untuk memulihkan kondisi tubuh.Aku memilihkan pakaian untuknya. Polo shirt dan celana jeans."Kamu cantik sekali, Babe. Aku yakin Bunda pasti akan jatuh hati saat melihatmu secara langsung." Bram mencium keningku.Aku menghidu aroma musk dan sandalwood dari tubuhnya, belum bercampur aroma tembakau."Jangan lupa bawa obat, Babe. Jadi kamu bisa meminumnya setelah sarapan dan makan siang nanti." Bram mengingatkan aku sebelum melangkah keluar kamar.
Aku duduk dengan kaku. Sulit dipercaya kalau kedua orang yang biasanya selalu terlibat perang dingin ini mendadak akur."Mami, apa kabar?" Aku mencoba mencairkan suasana."Baik. Kamu ... gimana? Kandunganmu ... sehat?" Aku mengernyit. Kenapa Mami malah berbicara dengan terbata-bata? Apa Papi yang memaksa Mami untuk datang ke sini?Setelah tiga bulan masalah di Bali berlalu, baru kali ini, Mami datang menjengukku. Memang, sejak aku menolak untuk memilih Mami, perlakuan beliau memang berubah drastis. Hanya ada Zanna yang menjadi prioritas beliau. Zeline hanyalah alat untuk mencapai tujuannya di kantor. Zeline yang harus bekerja keras untuk perusahaan.Untungnya ada Papi yang selalu membesarkan hatiku. Jika aku suka berpetualang dengan berpacaran, itu hanyalah pelampiasan karena ingin mencari yang terbaik.Seperti hendak melupakan mantan yang sangat posesif itu. Siapa yang menyangka kalau aku harus menyeret Bram dalam pusaran arus balas dendam.Papi berdeham. "Aline, jangan melamun!"
Aku dan Bram sudah kembali ke Jakarta. Kembali pulang ke apartemenku. Aku tak ingin ke mana-mana lagi. Bahkan tidak kembali ke Bali.Bram sudah menutup semua pekerjaan yang ada di Bali. Entah sampai kapan aku bisa berdamai dan berani kembali ke kota penuh kenangan itu.Sudah tiga bulan berlalu, tetapi aku masih juga bermimpi buruk. Aku memang payah jika berkaitan dengan trauma. Entah butuh berapa lama sampai aku bisa berdamai dengan keadaan.Aku bahkan masih bisa mengingat jelas semua ucapan permintaan maaf dari Nadhira. Wajahnya semakin tirus dan menyedihkan setelah hakim memutuskan hukumannya.Nadhira memang mengakui semua perbuatannya, termasuk mengetahui semua rangkaian teror yang dilakukan Laurence. Ponsel yang aku gunakan pun dijadikan sebagai barang bukti. Karena rentetan teror masih tersimpan di dalamnya.Papi semakin over protektif kepadaku. Sempat terjadi perdebatan sengit antara Papi dengan Bram. Namun, aku berhasil meyakinkan beliau kalau Bram tidak bersalah. Akar permasa
Suara tepuk tangan terdengar dari seseorang yang mendadak muncul dari balik pintu. Laurence yang tadinya hendak menyentuh tubuhku, mendadak berhenti. Rasanya tak percaya, Tuhan mengabulkan doa yang tak henti aku panjatkan sejak membuka mata tadi. "Oh, come on. Kenapa kau harus ke sini?" Laurence berdecih. "Apa kau juga ingin meminta jatah? Nanti saja, aku ingin membalas dendam terlebih dahulu." "Demi nama Tuhan, Laurence! Berhentilah bersikap seperti binatang!" Laurence memaki sambil memukul tempat tidur. Laki-laki busuk di hadapanku ini beringsut turun dari ranjang dan berjalan cepat ke arah pintu kamar. "Binatang katamu? Hei, Bitch! Kau dan aku tak ada bedanya. Selama ini kau mengikuti langkah Bram seperti anjing yang mendambakan pasangan." Laurence menampar pipi Nadhira.Aku ikut memekik tertahan. "Jaga bicaramu! Aku tidak pernah berlaku serendah itu!" Nadhira menatap marah kepada Laurence.Benarkah? Nadhira ... masih berharap banyak kepada Bram? Tidak, ini hanya manipulasi p
Ketika membuka mata, aku terkejut luar biasa. Laurence tersenyum lebar di samping ranjang. Tak hanya itu, tangan dan kakiku dalam keadaan terikat di tiang ranjang. "Lau, kau mau apa? Kenapa aku terikat begini?" Aku menangis. Semua hal buruk sudah menjejali isi kepala. Aku takut luar biasa. Apalagi mengingat track record buruk Laurence dengan wanita jalang. "Lepaskan aku, Lau. Please." Mataku sudah dipenuhi genangan air. Aku tak mau sikap berengsek Laurence membahayakan janin dalam kandungan. Bram, tolong aku. Tatapan lapar berbalut kebencian aku saksikan ketika Laurence mengusap air mata di pipi. "Tolong, Lau. Jangan sakiti aku."Sedetik kemudian aku mengaduh. Laurence mencengkeram erat daguku. "Kau ... pembunuh!" Aku membelalakkan mata. Ingatan mengerikan langsung berkelebat. Apakah sosok peneror itu sebenarnya adalah Laurence?Tawa Laurence langsung menggema di ruangan. "Ya. Aku adalah orang yang selama ini mengirim teror."Daguku terasa nyeri. "Lep-lepasskan aku."Laurence me
Aku tak rela melepas Bram untuk pergi bekerja. Rasanya rindu ini belum usai untuk dituntaskan. Enggan kehilangan pelukan hangat dan aroma menenangkan pengusir mual itu."Harus banget ya, Hon, perginya?" Aku memasang wajah merajuk.Bram tersenyum tipis. "Iya. Urusan pekerjaan ini penting banget, Baby. Ada dokumen penting yang hilang.""Hilang? Kok bisa?" "Entahlah. Aku ...." Bram menghela napas berat. "Mungkin semua terjadi ketika aku tak fokus dan sibuk mencari keberadaan kamu." Aku merasa menyesal. Ada andilku dalam kehancuran keuangan perusahaan. Mendadak aku teringat dengan semua teror yang belakangan kerap mengintai. Apa ini pun ada kaitannya dengan seseorang itu?Bram cekatan mengikat tali sepatu. Aku memperhatikan semua gerakannya dalam diam. Ada rasa ingin mengatakan tentang si peneror, tetapi aku takut semakin membuat konsentrasinya terpecah."Hei, kok malah melamun? Aku bakalan langsung pulang kok." Bram duduk di tepi ranjang untuk mengusap rambutku."Entahlah, Hon. Pengen
Aku menangis sejadi-jadinya. Bram pun ikut meneteskan air mata. "Maaf. Aku minta maaf. Semua rasa sakit ini gak akan terjadi seandainya aja aku ...." Ah, harus kutekan rasa sakit yang mendadak menyesaki dada. Semua sudah terlanjur, bukan? Kami hanya perlu belajar untuk mengikhlaskan segalanya. "Setelah apa yang kita alami, haruskah merutuk atau malah--""Ssh, please. Seandainya mungkin, aku pasti akan mengubah masa lalu. Aku gak akan biarin peristiwa busuk itu sampai terjadi." Bram langsung merengkuh tubuhku. "Maaf."Kata maaf tak akan mampu mengubah keadaan. Terlebih ketika sudah ada janin yang bersemayam. Perlahan-lahan aku mengembuskan napas. Berusaha mengenyahkan rasa perih ketika semua keterpurukan itu membayang kembali di pelupuk mata."Lantas, siapa laki-laki yang tega merekayasa semuanya, Bram?"Bram mendengkus. "For God's sake, Cantik. Haruskah kamu panggil aku Bram setelah mengetahui kebenaran?"Aku menelan kembali semua rentetan kalimat yang hendak ditumpahkan. Benar. Le
Bau khas rumah sakit menyerbu indera penciuman ketika aku mencoba membuka mata. Lamat-lamat terdengar suara orang berbicara.Aku di mana?"Baby, kamu udah sadar?" Bram langsung bergegas menuju ke arahku.Tangan kokoh itu langsung membawaku dalam pelukan hangatnya. "Apanya yang sakit?"Ini ... kamar rawat. Kenapa aku bisa ada di sini? Sebentar, bukannya kami harus ke bandara?"Tadi tiba-tiba kamu pingsan di lobi hotel. Kita batal terbang ke Jakarta. Dokter gak rekom."Ah iya, aku ingat, mendadak tengkuk terasa berat lalu semuanya gelap."Kondisi kehamilan kamu rentan. Kita gak bisa pergi dari Bali, Baby.""Tapi, Aunty Lia butuh aku, Hon."Bram mengurai pelukan. "Aku gak izinin kamu pergi. Ini demi keselamatan kamu dan anak kita."Aku tak berani membantah. Terlebih ketika melihat tatapan tegas dari mata yang biasanya selalu memancarkan kelembutan itu. Artinya Bram tidak akan mau mendengar ala
Satu minggu terasa sangat sebentar ketika dijalani bersama suami yang semakin ditatap bertambah poin ketampanannya.Bram tidak mengizinkan aku untuk kembali ke villa sewaan itu. Dia tidak mau aku terpengaruh dengan Nadhira dan Laurence. Kehamilan ini membuat Bram lebih over protective ketimbang sebelumnya."Aku pergi kerja dulu ya, Baby. Kamu gak boleh ke mana-mana. Nanti kita makan siang bareng.""Belum ada telepon dari pihak rumah sakit?""Ah, ya. Harusnya sudah ada hasil tes DNA itu, kan?""Hon, aku takut."Bram berhenti mengikat tali sepatu lalu menoleh ke arahku yang masih berbaring di ranjang. "Takut apa? Tenang aja, aku gak salah, kok.""Kalau bukan kamu, terus siapa bapaknya?""Ya mana aku tau. Yang jelas, aku malam itu gak mimpi lagi ehem-ehem. Mungkin aja sebelum aku pingsan, udah duluan sampe ke kamar.""Kalo kamu udah kadung pingsan, kenapa pas bangun ada
Kaki seperti tidak menapak ke tanah sejak keluar dari kamar mandi ruang periksa dokter tadi. Ucapan selamat terdengar seperti dengungan yang menyiksa.Perubahan yang kentara terjadi pada Bram. Dia memperlakukan aku seperti sesuatu yang rapuh dan mudah pecah. Semua tindakannya tampak sangat hati-hati.Namun, kenapa rasanya seperti sangat tersakiti? Ini jawaban kenapa aku mendadak aneh dan agresif. Hormon hamil membuatku begini.Perlahan-lahan aku mengusap perut yang masih sangat datar. Apa kita sanggup menjalani semua ini, Nak? Apa kita sanggup berbagi perhatian dengan anak lain yang juga memiliki darah dan keturunan sama? Bayinya Nadhira.Bram masih sibuk berceloteh riang membahas tentang kehamilanku. Namun, aku tak mencerna sedikit pun apa yang terlontar dari bibirnya. Aku sibuk dengan dunia yang mendadak seperti hampa.Ketika kami kembali ke hotel, Bram langsung turun untuk membukakan pintu mobil. Dia merangkulku mesra. Letupan bahagi