Aku terbangun karena merasa geli. Saat membuka mata, Bram sedang menggesekkan jambangnya ke pipiku.
"Morning, Sleeping Beauty. Boboknya nyenyak amat. Mandi yuk, kita harus ke bandara segera."
Aku menggeliat. "Gendong."
"Boleh, tapi resiko ditanggung sendiri, ya? Aku sudah mandi. Gak masalah kalau harus keramas bareng kamu lagi," goda Bram.
Wajahku terasa panas, membayangkan tubuhnya berada di bawah pancuran air yang sama.
Astaga, sepagi ini otakku bahkan sudah tercemar. Aku menggigit bibir bagian bawah, ciri khas kalau sedang gelisah.
"Hei, jangan seperti itu! Kamu terlihat sangat menggoda. Aku jadi ingin membatalkan meeting dan berbagi peluh bersamamu."
Gegas, aku turun dan berlari menuju kamar mandi. Sebelum menutup pintu, aku masih bisa mendengar Bram tertawa terbahak-bahak.
Konyol memang, aku yang biasanya menaklukkan hati lelaki, justru terbalik. Rasanya sudah takluk sepenuhnya dalam pelukan Bram.
Tak butuh waktu lama untuk bersiap. Hari ini aku sengaja memakai setelan formal. Rok pensil warna abu-abu panjang setengah betis dengan belahan yang cukup memudahkan langkah, dipadu dengan kemeja lengan panjang model ruffle. Tak lupa high heels pemberian Bram. Sapuan make up membuat penampilanku terlihat sangat segar.
"Sudah selesai, Babe? Ah, kenapa aku selalu jatuh cinta setiap kali memandangmu?"
Aku mendekat, melingkarkan kedua tangan di pinggang dan berbisik manja di telinganya, "Kenapa aku merasa kamu suka sekali menggombal perempuan?"
"Ah, Nyonya. Tahukah Anda rasanya sulit sekali mengusir detakan arus bawah ini? Berhentilah menggoda seperti ini."
Bram mendekat dan ingin mengecup, tetapi aku justru melepaskan pelukan dan berjalan menjauh. Aku terbahak. Satu sama, Honey.
Aku menarik koper menuju pintu keluar, Bram ikut menyusul. Perjalanan pertama bersama kekasih yang sudah berganti status menjadi suami.
🌹🌹
Marina Bay Sand, meeting tender dan cinta. Sebenarnya aku ingin menemani Bram meeting, dengan menunggunya di luar ruangan. Namun, ia bersikeras melarang, memintaku menunggu di kamar atau sekalian berkeliling di sekitar hotel.
Aku lebih memilih untuk mandi busa di bathtub kamar saja. Kuteteskan aromaterapi, memilih musik dari ponsel dan mulai masuk dalam air. Rasanya rileks sekali. Mungkin besok bisa mencoba fasilitas spa dari hotel.
Aku hampir tertidur saat mendengar nada dering dari ponsel. Aku bergerak dan melihat nama yang tertulis di layar. Kutekan tombol pengeras suara.
"Holla, Twin. Gimana? Sudah selesai fitting gaun?"
"Kamu memang ajaib, Aline. Mana mungkin aku mengenakan gaun terbuka begitu, yang benar aja!" rutuk Zanna.
Aku terbahak. Lupa memberitahu tentang gaun itu. Memang aku memilih gaun halter neck bertali spaghetti dan punggung yang terekspos sempurna. Benar-benar bukan selera Zanna Kiranya.
"Aku lupa selera kita berbeda. Udah, pake aja! Aku jamin si Arkana bawaannya pasti pengen nerkam kamu."
"Aku gak pede, Aline. Apa masih sempat untuk merombak gaun itu?"
"Lah, kenapa nanya aku? Emangnya aku tukang jahitnya? Udah pake itu aja. Seksi," desahku sengaja.
"Sableng! Masuk angin iya, aku pake gaun berpunggung bolong gitu."
Aku semakin terbahak. "Twin, body kamu sama menggodanya sepertiku. Jangan takut! Pake itu aja udah, gak perlu diganti dengan yang lain. Ini kesempatan kamu untuk tampil all out di depan Arkana."
"Oh iya, satu lagi. Sepatunya, Aline. Sembilan senti. Gila lu ye. Lima senti aja aku kepayahan," rutuknya frustasi.
"Dih, jangan lebay, deh. Kalau sepatu, beli aja yang setinggi itu. Belajar jalan dan melenggok pake sepatunya. Gampang, kan?"
"Ngomong doang ya enak. Dasar dodol lu. Stress aku, tau! Aduh, gimana dong?" Zanna panik.
Dasar manja, semua hal dibuat cemas. Heran. Selalu saja tidak berani mengambil keputusan sendiri.
"My twin, kamu udah dewasa. Belajar memecahkan masalahmu sendiri. Jangan cengeng!"
"Kamu ngomong mah enak. Aku yang menjalani, Aline. Aku!" Suara Zanna melengking.
Aku menghembuskan napas berat. "Oke, aku salah. Maaf, ya. Saat itu aku sedang benar-benar kesal pada Mami. Makanya semua yang dipilih itu ya styleku. Ayo dong, kamu jangan nyerah. Jangan buat pengorbanan ini sia-sia. Katanya cinta mati sama Arkana, buktiin dong!"
"Trus aku harus gimana, Aline? Aku gak mungkin pake baju seseksi itu. Aku malu dilihatin orang," keluh Zanna.
"Please deh, biarin aja orang mengagumi kecantikan kamu. Tubuh seksi begitu sayang kalo gak dipamerin pas hari H." Aku masih terus mengompori Zanna.
"Aku seksi? Ish, aku gak sepede dan segila kamu. Mungkin itu ya, penyebabnya Arkana jatuh cinta sama kamu? Karena kamu penuh warna." Zanna terdengar putus asa
"Apa sih, Anya! Arkana itu laki-laki lurus, gak cocok sama gadis kayak aku. Kamu jodoh terbaik dia. Udah deh, ah. Kamu ganggu aja, aku lagi berendam di bathtub nih."
"Kamu jadi ke Singapura sama Bram? Jangan melanggar batas loh, ya! Jaga tuh selaput baik-baik!"
"Oh, Sweety. I'm not virgin anymore," desahku sengaja.
"Gila kali lo ya! Kenapa melanggar prinsip, sih? Oke aku akui dia memang hot dan seksi, tapi masa segampang itu lo tidur sama dia, Line? For God sake!" Anya mulai mengomel.
Aku terbahak, rasanya ingin terus menggodanya. "Kamu tau, dia luar biasa di ranjang. Aku bahkan sampai lupa bernapas."
"Lupa bernapas? Kok lo masih hidup sekarang?" umpat Anya.
Tawaku semakin kencang. Aku bisa membayangkan bagaimana gusarnya wajah Zanna.
"Aline, aku gak nyangka ya, elo senekat ini. Cinta sih boleh, tapi menyerahkan selaput yang berharga, gak segampang ini juga kan. Gimana kalo lo hamil, dodol?"
Kebiasaannya kalau sedang marah pasti menyebutku dengan lo.
"Please, deh. Kita ini perempuan dewasa. It just a little fun. Kalo hamil justru bagus, kamu punya ponakan yang super duper cakep dan hot." Aku ngakak lagi.
"Aline, ini sama sekali gak lucu! Gimana kalo Papi tau, lo gak takut beliau kena serangan jantung? Lalu Mami, kalian pasti bertengkar hebat lagi dan lagi. Ah, kenapa lo gak nolak sih? Jangan-jangan lo yang mancing dia duluan,ya? Ngaku!"
"Iya. Abisnya aku gak tahan liat barang bagus nganggur. Aku seret aja dia langsung ke ranjang!"
Astaga perutku sampai kram dan air mata berlinang karena terus menerus tertawa. Zanna yang lugu mudah sekali digoda. Benar-benar gadis polos yang lurus. Cocok untuk Arkana.
"Zeline Zakeysha, lo memang gila! Kenapa kepalaku jadi mumet sekali sesiang ini? Masalah gaun dan sepatu belum terpecahkan, lo malah santai ngomong kalo udah gak perawan."
"Babe," panggil Bram.
"Honey, aku di bathtub. Sini masuk, mandi bareng aku." Sengaja aku mengeraskan suara agar Zanna mendengarnya.
"Ah, aku tak mau mendengar suara mesum kalian. Bye!" Zanna memutuskan sambungan telepon.
Aku masih belum bisa berhenti tertawa.
"Kenapa tertawa, Babe? Kamu tadi bicara sama siapa?"
"Zanna. Gimana hasil meetingnya? Sukses?"
"Keputusannya setelah makan siang. Kamu belum makan, kan?"
"Belum. Tunggu sebentar, ya. Aku membersihkan busa ini dulu."
Bram tersenyum penuh arti. "Aku bantu, ya?"
Gegas dia melepas semua dan ikut masuk ke dalam bathtub. Dia memagut dan menuntut, seperti sudah lama lapar dan dahaga. Aku larut dalam gelombang gairah yang meminta untuk dituntaskan.
Dia menggendongku keluar dari bathtub, lalu kami berdiri di bawah guyuran shower. Aku memejamkan mata dan mulai bergerak mengikuti irama napas dan tubuhnya.
🌹🌹
Aku membantunya mengeringkan rambut. Bram masih harus lanjut meeting, tidak mungkin ia kembali dalam kondisi rambut basah. Menatap sedekat ini, pahatan wajahnya yang tampan, letupan gairah seolah kembali membara.
"Babe," panggil Bram.
Aku tergagap, ketahuan memandang dan berhenti lama di bibirnya yang menggoda itu.
"Ya, Hon."
"Kenapa melihat bibirku seperti itu? Masih pengen?" goda Bram.
Astaga, wajahku terasa memanas. Ke mana perginya semua kemampuanku menaklukkan hati lelaki? Kenapa justru aku yang seperti perawan yang haus cinta? Ah, aku bahkan sudah tidak perawan lagi.
"Tuh, wajahnya blushing. Secinta itu ya, sama suamimu ini?"
Aku kena karma sepertinya. Sedari tadi menggoda Zanna, sekarang justru aku yang digoda Bram.
Pikiranku pun semakin tercemar. Sekalian saja aku naik di pangkuan Bram dan mulai memagutnya.
Tangan Bram mulai melingkar di pinggang, menarikku semakin erat. Aku akui, he is a good kisser. Aku mabuk kepayang berawal dari sebuah ciuman di Bali kala itu.
"Babe, meetingnya dimulai sebentar lagi," ucap Bram serak setelah deep kiss yang terjadi.
Aku menyusup malu di dada bidangnya yang sudah terbuka. Kecepatan tangan yang tak kusadari telah terjadi.
"Oke. Kita turun untuk makan siang. Setelah meeting selesai, kita lanjutkan babak berikutnya, ya?" Bram mengacak rambutku penuh kasih sayang.
Aku memeluk lagi dan membisikkan kata cinta di telinganya.
🌹🌹🌹
Setelah makan siang, aku kembali ke kamar, sengaja menyiapkan kejutan dan berdandan lagi. Saat sedang mematut diri di depan cermin, ponselku berdering.Aku tidak tahu harus bahagia atau bersedih karena tender itu. Bram memang memenangkannya, tapi itu artinya kami harus terpisah selama tiga bulan. Aku baru diberitahukan tentang hal ini.Tidak mungkin aku meninggalkan perusahaan dalam jangka waktu selama itu. Mami pasti akan mengamuk.Setengah jam kemudian, Bram kembali, tetapi langsung sibuk melakukan telekonfrensi dengan stafnya. Sementara aku memilih bersembunyi di balik selimut. Sia-sia rasanya menyiapkan kejutan dengan memakai lingerie berwarna merah darah dan high heels senada.Apalagi dalam waktu sebulan ke depan, mana mungkin aku menghilang. Arkana pasti curiga. Aku tidak mau Zanna terkena imbasnya. Kembaranku itu harus menikah dengan pria yang sangat dicintainya. Takkan kubiarkan lelaki itu lolos.
Tiga hari bukan waktu yang lama jika dihabiskan bersama orang yang paling kamu cintai di dunia ini. Berkeliling Sentosa Island, Orchard Road, mengunjungi tempat wisata, berbelanja dan berbagi peluh dengannya di malam hari juga keesokan paginya, membuatku jatuh sakit.Bram bilang akan membatalkan semua agenda penting demi merawatku. Hanya saja rasanya aku enggan menjadi beban, sehingga lebih memilih untuk pulang ke rumah, bukan ikut ke apartemen Bram. Aku rindu suasana kamar yang beraroma stroberi, juga Zanna."Aline, kamu kenapa?" Zanna menyerbu masuk saat aku menyeret koper ke kamar."Demam."Zanna sibuk menelepon dokter keluarga untuk segera datang ke rumah."Kamu di apain sama si Don Juan sampe demam begini? Sakit banget ya, pas belah durennya?"Astaga, ini anak. Kakaknya lagi demam, malah bahas belah duren. Otak durjanaku mulai bereaksi membayangkan
Pengaruh obat ternyata mampu membuatku tertidur sejenak, nyeri di kepala sudah berkurang drastis.Saat membuka mata, Zanna sedang berbaring di sebelahku, main game. Kebiasaan kalau salah satu dari kami ada yang jatuh sakit, pasti yang sehat menemani dan merawat. Saling menjaga, karena Mami tak pernah lagi ada."Anya, maaf ya. Aku memang sengaja memblokir nomor telepon Arkana. Ya gak mungkin di saat aku lagi ehem sama Bram, dia nelepon kayak biasa. Dih, males."Zanna memandangi aku dengan tatapan yang sedikit mengkhawatirkan. "Arkana gak pernah segetol itu nelponin aku, Sissy."Astaga, ia malah mellow. Duh, cinta bertepuk sebelah tangan mengenaskan juga ternyata.Mata Zanna langsung berkaca-kaca lagi. Sebagai kakak yang baik, hatiku serasa diiris-iris melihatnya."Maaf, Nya. Gak maksud nyakitin kamu, sih. Itu tadi niatnya cuma mo jelasin doan
"Mau ke mana, Line?""Pulang ke apartemen suami," jawabku."Yakin? Kamu masih pucat loh, Sissy. Aku anterin, ya. Sekalian aku kenalan sama Mas Bewok.""Boleh juga. Oiya, bantu aku bongkar koper bentar. Aku harus memilah pakaian yang mau dibawa ke sana.""Okey, Sissy."Zanna bersimpuh dan membantuku membongkar. Ah iya, lingerie hadiah untuknya sekalian saja aku berikan hari ini."Ini ada kado. Em ... bukanya nanti, pas udah resmi jadi istrinya Arkana. Deal?""Kok aku curiga sama isi kado ini?"Sekuat tenaga aku menahan senyum. Kami kembar, tentu ada ikatan batin yang tak bisa dijelaskan."Jangan buruk sangka. Tak baik. Hadiah ini bisa buat Arkana luluh sama kamu. Dijamin!" Gaya bicaraku sudah mirip sales panci sepertinya."Terima kasih,
Gontai, aku menyeret langkah kembali naik ke tempat tidur."Ada apa, Sissy? Kenapa wajahmu muram dari tadi? Apa yang terasa sakit?" tanya Zanna cemas."Apa kamu tidak bertemu dengan perempuan bertubuh mungil tadi? Papasan di lift?""Ada. Aku sempat melihat sepintas di koridor, sebelum dia belok ke lift. Kenapa?""Itu sekretaris pribadinya Bram. Saat aku mengetuk pintu tadi, perempuan itu yang membukakan.""Mungkin ada hal penting yang harus dibicarakan, Sissy. Jangan mikir jelek dulu! Dari pengamatanku sepintas tadi, keliatan banget kalau Bram itu cinta mati sama kamu."Aku menghembuskan napas kesal. Zanna ini memang tidak pernah berpikir buruk tentang orang lain. Semua ia anggap baik dan lurus sepertinya."My twin, mereka pernah pacaran. Putus karena Bram mengenalku."Mulut Zanna membulat semp
"Feel better, Babe?"Aku menoleh ke arah Bram yang baru bangun. Sementara aku sudah selesai mandi air hangat dan sedang berdandan."Iya, mandi, gih. Terus kita cari sarapan. Abis itu langsung ke rumah Bunda," ajakku.Bram turun dari ranjang, mematuhi permintaanku. Dalam kondisi tubuh fit total, aku pasti akan menyusulnya. Hanya saja sekarang ini, aku lebih memilih untuk memulihkan kondisi tubuh.Aku memilihkan pakaian untuknya. Polo shirt dan celana jeans."Kamu cantik sekali, Babe. Aku yakin Bunda pasti akan jatuh hati saat melihatmu secara langsung." Bram mencium keningku.Aku menghidu aroma musk dan sandalwood dari tubuhnya, belum bercampur aroma tembakau."Jangan lupa bawa obat, Babe. Jadi kamu bisa meminumnya setelah sarapan dan makan siang nanti." Bram mengingatkan aku sebelum melangkah keluar kamar.
Acara makan malam bersama dengan keluarga Orlando dimulai setelah kepala keluarga sampai di rumah."Ayah, ini Aline, istrinya Bram." Bunda membuka percakapan.Aku mengangguk sopan kepada ayahnya Bram, yang dibalas beliau dengan anggukan kecil.Setelah makan malam, Bunda mengajak kami untuk mengobrol di ruang keluarga."Kenapa kalian menikah tanpa memberi tahu Ayah?"Bulu kudukku meremang. Suara Ayah terdengar kurang bersahabat.Aku menunduk, tidak mungkin menceritakan kelakuan kami yang hampir melampaui batas."Bunda meminta Bram untuk segera menikah, Yah. Aline adalah perempuan yang tepat, jadi tidak perlu nunggu lama. Nanti diambil orang," jawab Bram santai."Ayah jangan gitu. Nanti Aline takut. Bram udah minta izin Bunda, kok." Bunda menepuk lembut punggung tangan Ayah.
Seumur-umur baru kali ini aku ikut belanja bulanan. Biasanya itu tugas Zanna. Jadi tak perlu heran kalau aku gak tau tentang harga bahan pokok atau juga perlengkapan dapur."Hon, aku gak paham kita mau beli apa," keluhku."Tenang, aku sudah biasa belanja. Bunda melatihku dengan baik." Bram terbahak.Aku ikut tertawa saat Bram dengan bangga memamerkan catatan belanja yang tersimpan rapi di dokumen ponselnya."Kamu tunggu di sini. Aku ambil troli sebentar," pinta Bram.Aku mengangguk patuh. Setelah mendorong troli, aku mengikuti langkahnya. Ada bahagia yang menyusup dalam dada. Hal kecil seperti ini pun mampu membuatku tersenyum semringah."Ada yang pengen kamu beli untuk keperluan sendiri, Babe?" tanya Bram.Sepertinya sudah separuh dari catatan itu yang berhasil dia masukkan dalam troli dan aku hanya mengekori saja."Eh, iya. Aku ke sana sebentar ya, Hon."Aku mengelilingi supermarket. Mencoba mencari apa
Aku duduk dengan kaku. Sulit dipercaya kalau kedua orang yang biasanya selalu terlibat perang dingin ini mendadak akur."Mami, apa kabar?" Aku mencoba mencairkan suasana."Baik. Kamu ... gimana? Kandunganmu ... sehat?" Aku mengernyit. Kenapa Mami malah berbicara dengan terbata-bata? Apa Papi yang memaksa Mami untuk datang ke sini?Setelah tiga bulan masalah di Bali berlalu, baru kali ini, Mami datang menjengukku. Memang, sejak aku menolak untuk memilih Mami, perlakuan beliau memang berubah drastis. Hanya ada Zanna yang menjadi prioritas beliau. Zeline hanyalah alat untuk mencapai tujuannya di kantor. Zeline yang harus bekerja keras untuk perusahaan.Untungnya ada Papi yang selalu membesarkan hatiku. Jika aku suka berpetualang dengan berpacaran, itu hanyalah pelampiasan karena ingin mencari yang terbaik.Seperti hendak melupakan mantan yang sangat posesif itu. Siapa yang menyangka kalau aku harus menyeret Bram dalam pusaran arus balas dendam.Papi berdeham. "Aline, jangan melamun!"
Aku dan Bram sudah kembali ke Jakarta. Kembali pulang ke apartemenku. Aku tak ingin ke mana-mana lagi. Bahkan tidak kembali ke Bali.Bram sudah menutup semua pekerjaan yang ada di Bali. Entah sampai kapan aku bisa berdamai dan berani kembali ke kota penuh kenangan itu.Sudah tiga bulan berlalu, tetapi aku masih juga bermimpi buruk. Aku memang payah jika berkaitan dengan trauma. Entah butuh berapa lama sampai aku bisa berdamai dengan keadaan.Aku bahkan masih bisa mengingat jelas semua ucapan permintaan maaf dari Nadhira. Wajahnya semakin tirus dan menyedihkan setelah hakim memutuskan hukumannya.Nadhira memang mengakui semua perbuatannya, termasuk mengetahui semua rangkaian teror yang dilakukan Laurence. Ponsel yang aku gunakan pun dijadikan sebagai barang bukti. Karena rentetan teror masih tersimpan di dalamnya.Papi semakin over protektif kepadaku. Sempat terjadi perdebatan sengit antara Papi dengan Bram. Namun, aku berhasil meyakinkan beliau kalau Bram tidak bersalah. Akar permasa
Suara tepuk tangan terdengar dari seseorang yang mendadak muncul dari balik pintu. Laurence yang tadinya hendak menyentuh tubuhku, mendadak berhenti. Rasanya tak percaya, Tuhan mengabulkan doa yang tak henti aku panjatkan sejak membuka mata tadi. "Oh, come on. Kenapa kau harus ke sini?" Laurence berdecih. "Apa kau juga ingin meminta jatah? Nanti saja, aku ingin membalas dendam terlebih dahulu." "Demi nama Tuhan, Laurence! Berhentilah bersikap seperti binatang!" Laurence memaki sambil memukul tempat tidur. Laki-laki busuk di hadapanku ini beringsut turun dari ranjang dan berjalan cepat ke arah pintu kamar. "Binatang katamu? Hei, Bitch! Kau dan aku tak ada bedanya. Selama ini kau mengikuti langkah Bram seperti anjing yang mendambakan pasangan." Laurence menampar pipi Nadhira.Aku ikut memekik tertahan. "Jaga bicaramu! Aku tidak pernah berlaku serendah itu!" Nadhira menatap marah kepada Laurence.Benarkah? Nadhira ... masih berharap banyak kepada Bram? Tidak, ini hanya manipulasi p
Ketika membuka mata, aku terkejut luar biasa. Laurence tersenyum lebar di samping ranjang. Tak hanya itu, tangan dan kakiku dalam keadaan terikat di tiang ranjang. "Lau, kau mau apa? Kenapa aku terikat begini?" Aku menangis. Semua hal buruk sudah menjejali isi kepala. Aku takut luar biasa. Apalagi mengingat track record buruk Laurence dengan wanita jalang. "Lepaskan aku, Lau. Please." Mataku sudah dipenuhi genangan air. Aku tak mau sikap berengsek Laurence membahayakan janin dalam kandungan. Bram, tolong aku. Tatapan lapar berbalut kebencian aku saksikan ketika Laurence mengusap air mata di pipi. "Tolong, Lau. Jangan sakiti aku."Sedetik kemudian aku mengaduh. Laurence mencengkeram erat daguku. "Kau ... pembunuh!" Aku membelalakkan mata. Ingatan mengerikan langsung berkelebat. Apakah sosok peneror itu sebenarnya adalah Laurence?Tawa Laurence langsung menggema di ruangan. "Ya. Aku adalah orang yang selama ini mengirim teror."Daguku terasa nyeri. "Lep-lepasskan aku."Laurence me
Aku tak rela melepas Bram untuk pergi bekerja. Rasanya rindu ini belum usai untuk dituntaskan. Enggan kehilangan pelukan hangat dan aroma menenangkan pengusir mual itu."Harus banget ya, Hon, perginya?" Aku memasang wajah merajuk.Bram tersenyum tipis. "Iya. Urusan pekerjaan ini penting banget, Baby. Ada dokumen penting yang hilang.""Hilang? Kok bisa?" "Entahlah. Aku ...." Bram menghela napas berat. "Mungkin semua terjadi ketika aku tak fokus dan sibuk mencari keberadaan kamu." Aku merasa menyesal. Ada andilku dalam kehancuran keuangan perusahaan. Mendadak aku teringat dengan semua teror yang belakangan kerap mengintai. Apa ini pun ada kaitannya dengan seseorang itu?Bram cekatan mengikat tali sepatu. Aku memperhatikan semua gerakannya dalam diam. Ada rasa ingin mengatakan tentang si peneror, tetapi aku takut semakin membuat konsentrasinya terpecah."Hei, kok malah melamun? Aku bakalan langsung pulang kok." Bram duduk di tepi ranjang untuk mengusap rambutku."Entahlah, Hon. Pengen
Aku menangis sejadi-jadinya. Bram pun ikut meneteskan air mata. "Maaf. Aku minta maaf. Semua rasa sakit ini gak akan terjadi seandainya aja aku ...." Ah, harus kutekan rasa sakit yang mendadak menyesaki dada. Semua sudah terlanjur, bukan? Kami hanya perlu belajar untuk mengikhlaskan segalanya. "Setelah apa yang kita alami, haruskah merutuk atau malah--""Ssh, please. Seandainya mungkin, aku pasti akan mengubah masa lalu. Aku gak akan biarin peristiwa busuk itu sampai terjadi." Bram langsung merengkuh tubuhku. "Maaf."Kata maaf tak akan mampu mengubah keadaan. Terlebih ketika sudah ada janin yang bersemayam. Perlahan-lahan aku mengembuskan napas. Berusaha mengenyahkan rasa perih ketika semua keterpurukan itu membayang kembali di pelupuk mata."Lantas, siapa laki-laki yang tega merekayasa semuanya, Bram?"Bram mendengkus. "For God's sake, Cantik. Haruskah kamu panggil aku Bram setelah mengetahui kebenaran?"Aku menelan kembali semua rentetan kalimat yang hendak ditumpahkan. Benar. Le
Bau khas rumah sakit menyerbu indera penciuman ketika aku mencoba membuka mata. Lamat-lamat terdengar suara orang berbicara.Aku di mana?"Baby, kamu udah sadar?" Bram langsung bergegas menuju ke arahku.Tangan kokoh itu langsung membawaku dalam pelukan hangatnya. "Apanya yang sakit?"Ini ... kamar rawat. Kenapa aku bisa ada di sini? Sebentar, bukannya kami harus ke bandara?"Tadi tiba-tiba kamu pingsan di lobi hotel. Kita batal terbang ke Jakarta. Dokter gak rekom."Ah iya, aku ingat, mendadak tengkuk terasa berat lalu semuanya gelap."Kondisi kehamilan kamu rentan. Kita gak bisa pergi dari Bali, Baby.""Tapi, Aunty Lia butuh aku, Hon."Bram mengurai pelukan. "Aku gak izinin kamu pergi. Ini demi keselamatan kamu dan anak kita."Aku tak berani membantah. Terlebih ketika melihat tatapan tegas dari mata yang biasanya selalu memancarkan kelembutan itu. Artinya Bram tidak akan mau mendengar ala
Satu minggu terasa sangat sebentar ketika dijalani bersama suami yang semakin ditatap bertambah poin ketampanannya.Bram tidak mengizinkan aku untuk kembali ke villa sewaan itu. Dia tidak mau aku terpengaruh dengan Nadhira dan Laurence. Kehamilan ini membuat Bram lebih over protective ketimbang sebelumnya."Aku pergi kerja dulu ya, Baby. Kamu gak boleh ke mana-mana. Nanti kita makan siang bareng.""Belum ada telepon dari pihak rumah sakit?""Ah, ya. Harusnya sudah ada hasil tes DNA itu, kan?""Hon, aku takut."Bram berhenti mengikat tali sepatu lalu menoleh ke arahku yang masih berbaring di ranjang. "Takut apa? Tenang aja, aku gak salah, kok.""Kalau bukan kamu, terus siapa bapaknya?""Ya mana aku tau. Yang jelas, aku malam itu gak mimpi lagi ehem-ehem. Mungkin aja sebelum aku pingsan, udah duluan sampe ke kamar.""Kalo kamu udah kadung pingsan, kenapa pas bangun ada
Kaki seperti tidak menapak ke tanah sejak keluar dari kamar mandi ruang periksa dokter tadi. Ucapan selamat terdengar seperti dengungan yang menyiksa.Perubahan yang kentara terjadi pada Bram. Dia memperlakukan aku seperti sesuatu yang rapuh dan mudah pecah. Semua tindakannya tampak sangat hati-hati.Namun, kenapa rasanya seperti sangat tersakiti? Ini jawaban kenapa aku mendadak aneh dan agresif. Hormon hamil membuatku begini.Perlahan-lahan aku mengusap perut yang masih sangat datar. Apa kita sanggup menjalani semua ini, Nak? Apa kita sanggup berbagi perhatian dengan anak lain yang juga memiliki darah dan keturunan sama? Bayinya Nadhira.Bram masih sibuk berceloteh riang membahas tentang kehamilanku. Namun, aku tak mencerna sedikit pun apa yang terlontar dari bibirnya. Aku sibuk dengan dunia yang mendadak seperti hampa.Ketika kami kembali ke hotel, Bram langsung turun untuk membukakan pintu mobil. Dia merangkulku mesra. Letupan bahagi