Saat berkeliling butik, aku memilih untuk menyelinap dan memilih lingerie. Dalam imajinasi liar yang aku punya, pernah terlintas di pikiran untuk memakainya di depan lelaki yang tepat.
Aku membeli dalam jumlah banyak, aneka model dan warna. Sengaja untuk kado juga, karena aku ingat Zanna.
Aku merasa lucu, membayangkan Arkana melihat Zanna memakai benda kurang bahan ini di depannya. Memang, kepribadian Zanna berbanding terbalik denganku. Mungkin saja Arkana akan terkejut melihatnya, lalu lupa diri dan takluk pada pesona saudari kembarku itu.
Gegas, aku beranjak ke bagian lain dalam butik. Aku melihat sepatu boots dan segera mencobanya. Setelah puas berbelanja, aku memindai sekeliling, mencari Bram. Ternyata sedang sibuk dengan ponselnya.
"Honey, aku sudah selesai belanja."
"Wait a minute, Sir." Bram mengeluarkan dompet dan meraih sebuah kartu, "pakai ini, Babe."
Aku mengecup pipinya sekilas sebagai ucapan terima kasih dan melenggang menuju kasir.
Tak lupa aku meminta mereka untuk membungkus beberapa lingerie pilihan untuk Zanna. Aku bahkan sempat menuliskan sebaris kalimat nakal untuk menggodanya.
Aku menghampiri Bram yang masih terlihat sibuk dengan ponselnya. Kuletakkan sepuluh kantong belanja, lalu meraih ponsel dan berjalan menjauh.
"Anya, tolong dengarkan aku! Besok, kamu harus datang ke penjahit gaun pengantin untuk fitting. Jangan banyak bicara, agar Arkana tak curiga." Aku menghela napas, "oh, ayolah! Lakukan ini demi cintamu, Anya. Aku sudah mengalah untuk kebahagiaanmu, oke?"
Zanna masih saja mengutarakan keraguannya. Ck, dasar keras kepala! Aku bahkan harus mengajarinya detil tentang apa yang boleh dan tidak boleh ia lakukan. Gadis manja itu memang takut mengambil keputusan. Selalu aku yang harus menegaskan dan memberinya saran.
"Aku tidak mau kamu gagal. Berjuanglah untuk cintamu, Anya! Aku akan ke Singapura selama tiga hari bersama Bram. I'm gonna miss you, Twin. Love you. Bye."
Aku sengaja memutuskan sambungan telepon karena ia mulai merengek di ujung pembicaraan. Rasa takut, gelisah, dan hal remeh lainnya mendominasi perasaan, keluhnya.
Ah, bukannya untuk memiliki seseorang yang kita cintai sepenuh jiwa, harus ada perjuangan dan pengorbanan yang sepadan?
Bram merangkul pinggulku. "Kamu habis nelepon siapa, hmm?"
"Anya, my twin. Bolehkah kita pergi untuk makan, lagi? Rasanya aku masih lapar, Hon."
"Boleh. Sebentar, aku bawa semua belanjaannya." Bram berbalik, mengambil kembali semua kantong yang tadi kuletakkan di sofa.
Kami menuju sebuah restoran yang menjual steak daging paling enak di kota ini. Biasanya aku jarang makan nasi pada malam hari. Namun, kali ini aku justru memilih menu komplit. Bram sampai tertawa melihatku kalap memesan menu.
"Sepertinya suasana hatimu cukup baik, Babe. Apa kabar saudari kembarmu?"
"Besok, dia akan menggantikan aku untuk fitting gaun pengantin. Satu bulan kemudian, pernikahan akan digelar."
"Aku tidak menyangka kamu segila ini, Sayang. Anehnya, aku justru takluk dalam kegilaanmu di hari pertama kita saling mengenal."
Aku tertawa kecil. "Ya, kamu rela menukar tiket kelas bisnis hanya karena ingin duduk di sebelahku."
Padahal saat itu aku justru ingin mengejar kekasih yang sedang merajuk, sambungku dalam hati.
"Mata berwarna hazel ini yang membiusku, Babe. Ada pesona tersendiri di sana. Aku tidak pernah jatuh cinta pada pandangan pertama. Menikah juga tidak pernah terlintas di benakku. Denganmu, semua berubah."
Aku tersanjung. Kesan pertama yang kusimpulkan tentang lelaki bermata elang ini, dia adalah seorang Don Juan. Lelaki yang doyan main perempuan dan mematahkan hati. Bahkan Zanna juga berpikir hal yang sama, saat aku menunjukkan foto kami berdua di Bali.
Mungkin hal itu juga yang membuatku ingin menaklukkannya kemarin. Ingin bermalam dan melanggar batas di ranjangnya. Ternyata dia justru menawarkan pernikahan, menyelamatkan aku dari dosa.
"Hon, Arkana itu cinta matinya Anya. Mana mungkin aku tega melihatnya menangis di hari pernikahan kami. Sementara aku tidak pernah tertarik pada lelaki lempeng kayak Arkana."
"Lalu lelaki seperti apa yang menarik hati kamu, hm?"
"Tidak ada lagi setelah melihatmu pertama kali di bandara, Hon. Kamu terlanjur mematahkan sayapku. Aku juga tak bisa lagi jelalatan," keluhku.
"Hei, Nyonya Bram Orlando, jangan pernah berpikir untuk berpaling. Aku tidak akan pernah melepaskan kamu!" ancamnya. Mata elangnya terlihat sangat serius.
Bukannya takut, aku justru tergelak dan meremas tangannya. "Aku sudah menjadi milikmu seutuhnya, Hon. Apalagi yang harus diragukan?"
Bram tersenyum. "Baiklah, Babe. Kita harus pulang dan segera istirahat. Besok ada tender penting yang harus aku menangkan."
š¹š¹
"Hon, apa yang harus aku persiapkan dalam koper kamu?"
Aku bingung di depan lemari pakaian miliknya. Semua berderet rapi dan tertata dengan baik. Sesaat, timbul rasa rindu akan suasana kamar beraroma strawberry milikku.
Bram masuk dan menghampiri aku. "Ah, ya. Aku masih punya beberapa potong pakaian bersih dalam koper. Lupa mengeluarkannya sepulang dari Taiwan minggu lalu. Kamu tidak perlu melakukan apa-apa. Ambil saja koper kosong di ruang sebelah, isi dengan barang belanjaan kami tadi."
"Baik, Bos."
Aku bergegas menuju tempat yang dia maksud. Ada sebuah box berwarna pink yang menarik perhatian, letaknya persis di belakang koper. Ada keinginan untuk membongkar, tetapi urung. Aku takut dianggap lancang.
Aku menarik koper, duduk bersila dan mulai menyusun beberapa potong pakaian. Menyelipkan tiga pasang lingerie berbeda warna, di tumpukan paling bawah.
"Sudah selesai, Babe?" Bram ikut bersila di sampingku.
Untungnya aku sudah selesai menyelipkan benda itu. Aku tersenyum manis seraya mengancingkan koper.
Kami bangkit dan berjalan menuju tempat tidur. Aku meringkuk dalam selimut, sedikit aneh karena terbiasa tidur memeluk guling.
"Kenapa, Babe?"
"Aku ... biasa tidur memeluk guling, Hon. Lampu juga redup. Kalo terang gini, aku gak bisa bobok," rengekku.
Bram turun dan menekan tombol lampu redup.
"Satu masalah selesai. Untuk guling, kamu bisa memelukku sepanjang malam," goda Bram.
Aku tersenyum. Bau tembakau yang tersisa di tubuh, menandakan dia sempat menyelinap untuk merokok di balkon.
"Ah, satu hal, Babe. Aku terbiasa tidur tanpa memakai baju." Bram spontan membuka kaosnya dan melemparnya asal.
Aku spontan melongo.
"Come and hug me, Sweety." Bram mengedipkan sebelah mata.
Aku menyusup di dada bidangnya. Apa mungkin sanggup memejamkan mata jika detak jantungnya seperti irama yang mengajak berdansa.
"Tenang saja, Babe. Malam ini kamu aman. Aku butuh tenaga ekstra untuk memenangkan tender besok. Aku sudah memenangkan satu hal yang paling berharga, ini, sedang ada dalam pelukan."
Mungkin dia memang bukan Don Juan, tapi ucapannya seperti lelaki yang sudah lihai menaklukkan hati perempuan.
Tentu saja dia bisa tidur nyenyak karena sudah menguasaiku dua babak tadi. Sekarang masalahnya, apa aku bisa tidur nyenyak dengan segala pesona maskulin yang tersaji lezat di depan mata?
Perlahan aku mendengar suara dengkuran halus dari Bram. Aku mengambil kesempatan untuk menjelajahi tiap jengkal tubuhnya. Mengagumi keindahan yang diciptakan Tuhan yang dilimpahkan untuk dia.
Hah, otakku benar-benar sudah tercemar sejak dia membuka kaosnya tadi. Otot bisep, trisep juga perutnya terlihat sangat menggiurkan. Aku mendesah, menahan gejolak ambigu yang naik ke permukaan.
Untungnya kami sudah dalam ikatan pernikahan yang halal. Tak terbayangkan jika aku melakukannya di luar ikatan pernikahan, terlalu beresiko.
Jika aku mengingat kembali, perkenalan kami memang tergolong singkat. Siang itu di Bali, dia harus menghadiri meeting dan kembali ke Jakarta keesokan harinya.
Tak menyangka setelah meeting, dia malah datang ke hotel tempatku menginap dan ikut memesan kamar bersebelahan.
Tiga hari dia menemaniku tanpa pernah sekali pun melanggar batas kesopanan. Bertukar cerita tentang apa saja. Mati-matian aku menahan diri untuk tidak terlihat sangat tertarik padanya, bersikap jinak-jinak merpati.
Semuanya berubah seusai makan malam di hari terakhir kami di Bali, di depan pintu kamarku, dia mendekap lalu melumat bibirku. Aku anggap itu sebagai tanda bahwa kami adalah sepasang kekasih.
Setelah kembali, komunikasi hanya sebatas chit chat melalui ponsel saja. Aku bahkan masih sempat digoda beberapa lelaki lain yang kebetulan ketemu di club.
Siapa sangka, satu bulan kemudian aku justru jadi istrinya. Pelan, aku mengecup lembut bibirnya yang seksi itu lalu mengucapkan kata cinta.
Aku berbalik memunggunginya. Tidak kuat menahan rasa. Lebih baik aku mulai menghitung domba, agar bisa segera tidur. Aku tidak ingin terlihat kusam saat mendampinginya meeting besok.
š¹š¹š¹
Aku terbangun karena merasa geli. Saat membuka mata, Bram sedang menggesekkan jambangnya ke pipiku."Morning, Sleeping Beauty. Boboknya nyenyak amat. Mandi yuk, kita harus ke bandara segera."Aku menggeliat. "Gendong.""Boleh, tapi resiko ditanggung sendiri, ya? Aku sudah mandi. Gak masalah kalau harus keramas bareng kamu lagi," goda Bram.Wajahku terasa panas, membayangkan tubuhnya berada di bawah pancuran air yang sama.Astaga, sepagi ini otakku bahkan sudah tercemar. Aku menggigit bibir bagian bawah, ciri khas kalau sedang gelisah."Hei, jangan seperti itu! Kamu terlihat sangat menggoda. Aku jadi ingin membatalkan meeting dan berbagi peluh bersamamu."Gegas, aku turun dan berlari menuju kamar mandi. Sebelum menutup pintu, aku masih bisa mendengar Bram tertawa terbahak-bahak.Konyol memang, aku yang biasanya menaklukkan hati lelaki, justru terbal
Setelah makan siang, aku kembali ke kamar, sengaja menyiapkan kejutan dan berdandan lagi. Saat sedang mematut diri di depan cermin, ponselku berdering.Aku tidak tahu harus bahagia atau bersedih karena tender itu. Bram memang memenangkannya, tapi itu artinya kami harus terpisah selama tiga bulan. Aku baru diberitahukan tentang hal ini.Tidak mungkin aku meninggalkan perusahaan dalam jangka waktu selama itu. Mami pasti akan mengamuk.Setengah jam kemudian, Bram kembali, tetapi langsung sibuk melakukan telekonfrensi dengan stafnya. Sementara aku memilih bersembunyi di balik selimut. Sia-sia rasanya menyiapkan kejutan dengan memakai lingerie berwarna merah darah dan high heels senada.Apalagi dalam waktu sebulan ke depan, mana mungkin aku menghilang. Arkana pasti curiga. Aku tidak mau Zanna terkena imbasnya. Kembaranku itu harus menikah dengan pria yang sangat dicintainya. Takkan kubiarkan lelaki itu lolos.
Tiga hari bukan waktu yang lama jika dihabiskan bersama orang yang paling kamu cintai di dunia ini. Berkeliling Sentosa Island, Orchard Road, mengunjungi tempat wisata, berbelanja dan berbagi peluh dengannya di malam hari juga keesokan paginya, membuatku jatuh sakit.Bram bilang akan membatalkan semua agenda penting demi merawatku. Hanya saja rasanya aku enggan menjadi beban, sehingga lebih memilih untuk pulang ke rumah, bukan ikut ke apartemen Bram. Aku rindu suasana kamar yang beraroma stroberi, juga Zanna."Aline, kamu kenapa?" Zanna menyerbu masuk saat aku menyeret koper ke kamar."Demam."Zanna sibuk menelepon dokter keluarga untuk segera datang ke rumah."Kamu di apain sama si Don Juan sampe demam begini? Sakit banget ya, pas belah durennya?"Astaga, ini anak. Kakaknya lagi demam, malah bahas belah duren. Otak durjanaku mulai bereaksi membayangkan
Pengaruh obat ternyata mampu membuatku tertidur sejenak, nyeri di kepala sudah berkurang drastis.Saat membuka mata, Zanna sedang berbaring di sebelahku, main game. Kebiasaan kalau salah satu dari kami ada yang jatuh sakit, pasti yang sehat menemani dan merawat. Saling menjaga, karena Mami tak pernah lagi ada."Anya, maaf ya. Aku memang sengaja memblokir nomor telepon Arkana. Ya gak mungkin di saat aku lagi ehem sama Bram, dia nelepon kayak biasa. Dih, males."Zanna memandangi aku dengan tatapan yang sedikit mengkhawatirkan. "Arkana gak pernah segetol itu nelponin aku, Sissy."Astaga, ia malah mellow. Duh, cinta bertepuk sebelah tangan mengenaskan juga ternyata.Mata Zanna langsung berkaca-kaca lagi. Sebagai kakak yang baik, hatiku serasa diiris-iris melihatnya."Maaf, Nya. Gak maksud nyakitin kamu, sih. Itu tadi niatnya cuma mo jelasin doan
"Mau ke mana, Line?""Pulang ke apartemen suami," jawabku."Yakin? Kamu masih pucat loh, Sissy. Aku anterin, ya. Sekalian aku kenalan sama Mas Bewok.""Boleh juga. Oiya, bantu aku bongkar koper bentar. Aku harus memilah pakaian yang mau dibawa ke sana.""Okey, Sissy."Zanna bersimpuh dan membantuku membongkar. Ah iya, lingerie hadiah untuknya sekalian saja aku berikan hari ini."Ini ada kado. Em ... bukanya nanti, pas udah resmi jadi istrinya Arkana. Deal?""Kok aku curiga sama isi kado ini?"Sekuat tenaga aku menahan senyum. Kami kembar, tentu ada ikatan batin yang tak bisa dijelaskan."Jangan buruk sangka. Tak baik. Hadiah ini bisa buat Arkana luluh sama kamu. Dijamin!" Gaya bicaraku sudah mirip sales panci sepertinya."Terima kasih,
Gontai, aku menyeret langkah kembali naik ke tempat tidur."Ada apa, Sissy? Kenapa wajahmu muram dari tadi? Apa yang terasa sakit?" tanya Zanna cemas."Apa kamu tidak bertemu dengan perempuan bertubuh mungil tadi? Papasan di lift?""Ada. Aku sempat melihat sepintas di koridor, sebelum dia belok ke lift. Kenapa?""Itu sekretaris pribadinya Bram. Saat aku mengetuk pintu tadi, perempuan itu yang membukakan.""Mungkin ada hal penting yang harus dibicarakan, Sissy. Jangan mikir jelek dulu! Dari pengamatanku sepintas tadi, keliatan banget kalau Bram itu cinta mati sama kamu."Aku menghembuskan napas kesal. Zanna ini memang tidak pernah berpikir buruk tentang orang lain. Semua ia anggap baik dan lurus sepertinya."My twin, mereka pernah pacaran. Putus karena Bram mengenalku."Mulut Zanna membulat semp
"Feel better, Babe?"Aku menoleh ke arah Bram yang baru bangun. Sementara aku sudah selesai mandi air hangat dan sedang berdandan."Iya, mandi, gih. Terus kita cari sarapan. Abis itu langsung ke rumah Bunda," ajakku.Bram turun dari ranjang, mematuhi permintaanku. Dalam kondisi tubuh fit total, aku pasti akan menyusulnya. Hanya saja sekarang ini, aku lebih memilih untuk memulihkan kondisi tubuh.Aku memilihkan pakaian untuknya. Polo shirt dan celana jeans."Kamu cantik sekali, Babe. Aku yakin Bunda pasti akan jatuh hati saat melihatmu secara langsung." Bram mencium keningku.Aku menghidu aroma musk dan sandalwood dari tubuhnya, belum bercampur aroma tembakau."Jangan lupa bawa obat, Babe. Jadi kamu bisa meminumnya setelah sarapan dan makan siang nanti." Bram mengingatkan aku sebelum melangkah keluar kamar.
Acara makan malam bersama dengan keluarga Orlando dimulai setelah kepala keluarga sampai di rumah."Ayah, ini Aline, istrinya Bram." Bunda membuka percakapan.Aku mengangguk sopan kepada ayahnya Bram, yang dibalas beliau dengan anggukan kecil.Setelah makan malam, Bunda mengajak kami untuk mengobrol di ruang keluarga."Kenapa kalian menikah tanpa memberi tahu Ayah?"Bulu kudukku meremang. Suara Ayah terdengar kurang bersahabat.Aku menunduk, tidak mungkin menceritakan kelakuan kami yang hampir melampaui batas."Bunda meminta Bram untuk segera menikah, Yah. Aline adalah perempuan yang tepat, jadi tidak perlu nunggu lama. Nanti diambil orang," jawab Bram santai."Ayah jangan gitu. Nanti Aline takut. Bram udah minta izin Bunda, kok." Bunda menepuk lembut punggung tangan Ayah.
Aku duduk dengan kaku. Sulit dipercaya kalau kedua orang yang biasanya selalu terlibat perang dingin ini mendadak akur."Mami, apa kabar?" Aku mencoba mencairkan suasana."Baik. Kamu ... gimana? Kandunganmu ... sehat?" Aku mengernyit. Kenapa Mami malah berbicara dengan terbata-bata? Apa Papi yang memaksa Mami untuk datang ke sini?Setelah tiga bulan masalah di Bali berlalu, baru kali ini, Mami datang menjengukku. Memang, sejak aku menolak untuk memilih Mami, perlakuan beliau memang berubah drastis. Hanya ada Zanna yang menjadi prioritas beliau. Zeline hanyalah alat untuk mencapai tujuannya di kantor. Zeline yang harus bekerja keras untuk perusahaan.Untungnya ada Papi yang selalu membesarkan hatiku. Jika aku suka berpetualang dengan berpacaran, itu hanyalah pelampiasan karena ingin mencari yang terbaik.Seperti hendak melupakan mantan yang sangat posesif itu. Siapa yang menyangka kalau aku harus menyeret Bram dalam pusaran arus balas dendam.Papi berdeham. "Aline, jangan melamun!"
Aku dan Bram sudah kembali ke Jakarta. Kembali pulang ke apartemenku. Aku tak ingin ke mana-mana lagi. Bahkan tidak kembali ke Bali.Bram sudah menutup semua pekerjaan yang ada di Bali. Entah sampai kapan aku bisa berdamai dan berani kembali ke kota penuh kenangan itu.Sudah tiga bulan berlalu, tetapi aku masih juga bermimpi buruk. Aku memang payah jika berkaitan dengan trauma. Entah butuh berapa lama sampai aku bisa berdamai dengan keadaan.Aku bahkan masih bisa mengingat jelas semua ucapan permintaan maaf dari Nadhira. Wajahnya semakin tirus dan menyedihkan setelah hakim memutuskan hukumannya.Nadhira memang mengakui semua perbuatannya, termasuk mengetahui semua rangkaian teror yang dilakukan Laurence. Ponsel yang aku gunakan pun dijadikan sebagai barang bukti. Karena rentetan teror masih tersimpan di dalamnya.Papi semakin over protektif kepadaku. Sempat terjadi perdebatan sengit antara Papi dengan Bram. Namun, aku berhasil meyakinkan beliau kalau Bram tidak bersalah. Akar permasa
Suara tepuk tangan terdengar dari seseorang yang mendadak muncul dari balik pintu. Laurence yang tadinya hendak menyentuh tubuhku, mendadak berhenti. Rasanya tak percaya, Tuhan mengabulkan doa yang tak henti aku panjatkan sejak membuka mata tadi. "Oh, come on. Kenapa kau harus ke sini?" Laurence berdecih. "Apa kau juga ingin meminta jatah? Nanti saja, aku ingin membalas dendam terlebih dahulu." "Demi nama Tuhan, Laurence! Berhentilah bersikap seperti binatang!" Laurence memaki sambil memukul tempat tidur. Laki-laki busuk di hadapanku ini beringsut turun dari ranjang dan berjalan cepat ke arah pintu kamar. "Binatang katamu? Hei, Bitch! Kau dan aku tak ada bedanya. Selama ini kau mengikuti langkah Bram seperti anjing yang mendambakan pasangan." Laurence menampar pipi Nadhira.Aku ikut memekik tertahan. "Jaga bicaramu! Aku tidak pernah berlaku serendah itu!" Nadhira menatap marah kepada Laurence.Benarkah? Nadhira ... masih berharap banyak kepada Bram? Tidak, ini hanya manipulasi p
Ketika membuka mata, aku terkejut luar biasa. Laurence tersenyum lebar di samping ranjang. Tak hanya itu, tangan dan kakiku dalam keadaan terikat di tiang ranjang. "Lau, kau mau apa? Kenapa aku terikat begini?" Aku menangis. Semua hal buruk sudah menjejali isi kepala. Aku takut luar biasa. Apalagi mengingat track record buruk Laurence dengan wanita jalang. "Lepaskan aku, Lau. Please." Mataku sudah dipenuhi genangan air. Aku tak mau sikap berengsek Laurence membahayakan janin dalam kandungan. Bram, tolong aku. Tatapan lapar berbalut kebencian aku saksikan ketika Laurence mengusap air mata di pipi. "Tolong, Lau. Jangan sakiti aku."Sedetik kemudian aku mengaduh. Laurence mencengkeram erat daguku. "Kau ... pembunuh!" Aku membelalakkan mata. Ingatan mengerikan langsung berkelebat. Apakah sosok peneror itu sebenarnya adalah Laurence?Tawa Laurence langsung menggema di ruangan. "Ya. Aku adalah orang yang selama ini mengirim teror."Daguku terasa nyeri. "Lep-lepasskan aku."Laurence me
Aku tak rela melepas Bram untuk pergi bekerja. Rasanya rindu ini belum usai untuk dituntaskan. Enggan kehilangan pelukan hangat dan aroma menenangkan pengusir mual itu."Harus banget ya, Hon, perginya?" Aku memasang wajah merajuk.Bram tersenyum tipis. "Iya. Urusan pekerjaan ini penting banget, Baby. Ada dokumen penting yang hilang.""Hilang? Kok bisa?" "Entahlah. Aku ...." Bram menghela napas berat. "Mungkin semua terjadi ketika aku tak fokus dan sibuk mencari keberadaan kamu." Aku merasa menyesal. Ada andilku dalam kehancuran keuangan perusahaan. Mendadak aku teringat dengan semua teror yang belakangan kerap mengintai. Apa ini pun ada kaitannya dengan seseorang itu?Bram cekatan mengikat tali sepatu. Aku memperhatikan semua gerakannya dalam diam. Ada rasa ingin mengatakan tentang si peneror, tetapi aku takut semakin membuat konsentrasinya terpecah."Hei, kok malah melamun? Aku bakalan langsung pulang kok." Bram duduk di tepi ranjang untuk mengusap rambutku."Entahlah, Hon. Pengen
Aku menangis sejadi-jadinya. Bram pun ikut meneteskan air mata. "Maaf. Aku minta maaf. Semua rasa sakit ini gak akan terjadi seandainya aja aku ...." Ah, harus kutekan rasa sakit yang mendadak menyesaki dada. Semua sudah terlanjur, bukan? Kami hanya perlu belajar untuk mengikhlaskan segalanya. "Setelah apa yang kita alami, haruskah merutuk atau malah--""Ssh, please. Seandainya mungkin, aku pasti akan mengubah masa lalu. Aku gak akan biarin peristiwa busuk itu sampai terjadi." Bram langsung merengkuh tubuhku. "Maaf."Kata maaf tak akan mampu mengubah keadaan. Terlebih ketika sudah ada janin yang bersemayam. Perlahan-lahan aku mengembuskan napas. Berusaha mengenyahkan rasa perih ketika semua keterpurukan itu membayang kembali di pelupuk mata."Lantas, siapa laki-laki yang tega merekayasa semuanya, Bram?"Bram mendengkus. "For God's sake, Cantik. Haruskah kamu panggil aku Bram setelah mengetahui kebenaran?"Aku menelan kembali semua rentetan kalimat yang hendak ditumpahkan. Benar. Le
Bau khas rumah sakit menyerbu indera penciuman ketika aku mencoba membuka mata. Lamat-lamat terdengar suara orang berbicara.Aku di mana?"Baby, kamu udah sadar?" Bram langsung bergegas menuju ke arahku.Tangan kokoh itu langsung membawaku dalam pelukan hangatnya. "Apanya yang sakit?"Ini ... kamar rawat. Kenapa aku bisa ada di sini? Sebentar, bukannya kami harus ke bandara?"Tadi tiba-tiba kamu pingsan di lobi hotel. Kita batal terbang ke Jakarta. Dokter gak rekom."Ah iya, aku ingat, mendadak tengkuk terasa berat lalu semuanya gelap."Kondisi kehamilan kamu rentan. Kita gak bisa pergi dari Bali, Baby.""Tapi, Aunty Lia butuh aku, Hon."Bram mengurai pelukan. "Aku gak izinin kamu pergi. Ini demi keselamatan kamu dan anak kita."Aku tak berani membantah. Terlebih ketika melihat tatapan tegas dari mata yang biasanya selalu memancarkan kelembutan itu. Artinya Bram tidak akan mau mendengar ala
Satu minggu terasa sangat sebentar ketika dijalani bersama suami yang semakin ditatap bertambah poin ketampanannya.Bram tidak mengizinkan aku untuk kembali ke villa sewaan itu. Dia tidak mau aku terpengaruh dengan Nadhira dan Laurence. Kehamilan ini membuat Bram lebih over protective ketimbang sebelumnya."Aku pergi kerja dulu ya, Baby. Kamu gak boleh ke mana-mana. Nanti kita makan siang bareng.""Belum ada telepon dari pihak rumah sakit?""Ah, ya. Harusnya sudah ada hasil tes DNA itu, kan?""Hon, aku takut."Bram berhenti mengikat tali sepatu lalu menoleh ke arahku yang masih berbaring di ranjang. "Takut apa? Tenang aja, aku gak salah, kok.""Kalau bukan kamu, terus siapa bapaknya?""Ya mana aku tau. Yang jelas, aku malam itu gak mimpi lagi ehem-ehem. Mungkin aja sebelum aku pingsan, udah duluan sampe ke kamar.""Kalo kamu udah kadung pingsan, kenapa pas bangun ada
Kaki seperti tidak menapak ke tanah sejak keluar dari kamar mandi ruang periksa dokter tadi. Ucapan selamat terdengar seperti dengungan yang menyiksa.Perubahan yang kentara terjadi pada Bram. Dia memperlakukan aku seperti sesuatu yang rapuh dan mudah pecah. Semua tindakannya tampak sangat hati-hati.Namun, kenapa rasanya seperti sangat tersakiti? Ini jawaban kenapa aku mendadak aneh dan agresif. Hormon hamil membuatku begini.Perlahan-lahan aku mengusap perut yang masih sangat datar. Apa kita sanggup menjalani semua ini, Nak? Apa kita sanggup berbagi perhatian dengan anak lain yang juga memiliki darah dan keturunan sama? Bayinya Nadhira.Bram masih sibuk berceloteh riang membahas tentang kehamilanku. Namun, aku tak mencerna sedikit pun apa yang terlontar dari bibirnya. Aku sibuk dengan dunia yang mendadak seperti hampa.Ketika kami kembali ke hotel, Bram langsung turun untuk membukakan pintu mobil. Dia merangkulku mesra. Letupan bahagi