Share

Feel Insecure

Author: Lysa_Yovita22
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Setelah makan siang, aku kembali ke kamar, sengaja menyiapkan kejutan dan berdandan lagi. Saat sedang mematut diri di depan cermin, ponselku berdering. 

Aku tidak tahu harus bahagia atau bersedih karena tender itu. Bram memang memenangkannya, tapi itu artinya kami harus terpisah selama tiga bulan. Aku baru diberitahukan tentang hal ini. 

Tidak mungkin aku meninggalkan perusahaan dalam jangka waktu selama itu. Mami pasti akan mengamuk.

Setengah jam kemudian, Bram kembali, tetapi langsung sibuk melakukan telekonfrensi dengan stafnya. Sementara aku memilih bersembunyi di balik selimut. Sia-sia rasanya menyiapkan kejutan dengan memakai lingerie berwarna merah darah dan high heels senada.

Apalagi dalam waktu sebulan ke depan, mana mungkin aku menghilang. Arkana pasti curiga. Aku tidak mau Zanna terkena imbasnya. Kembaranku itu harus menikah dengan pria yang sangat dicintainya. Takkan kubiarkan lelaki itu lolos.

Bagaimana caranya membahas ini dengan Bram? Proyeknya bernilai milyaran, tidak mungkin dilepas begitu saja. Aku bingung. 

šŸŒ¹šŸŒ¹

Sesuatu terasa di antara bagian paha, aku terkejut mendapati Bram sudah berada di sana. Ternyata aku ketiduran. Selimut tersingkap sudah.

"Aku suka kejutannya." Bram masih menggodaku dari bawah sana.

Aku tak sanggup menahan rasa yang mulai memenuhi kepala.

"Hon," desahku.

Bram mulai naik, menjelajahi tiap jengkal tubuhku dan mulai menuntut hak. 

"Hon, kita perlu bicara," ucapku di antara erangan.

"Nanti aja, Babe." 

Entahlah, lelaki ini tahu di mana letak titik kelemahanku. Aku tak berdaya dan terbius oleh pesonanya. Aku tidak bisa fokus, dia menguasai penuh. Tubuhnya merosot di sebelahku setelah kami menggapai puncak. 

"Terima kasih kejutannya, Babe. Kapan kamu beli pakaian ini? Aku suka." Bram mengecup bahuku.

"Aku akan memakainya setiap kali ingin memadu kasih bersamamu. Maaf, kemarin membelinya tanpa seizin kamu." 

"Kalau kamu memberi tahu, bukan kejutan namanya. I love you more than before, Babe." 

"Hon, aku tidak bisa mengikuti kamu selama tiga bulan ke depan," sungutku.

Bram menarikku dalam pelukannya. "Kenapa?" 

"Aku tidak mungkin mangkir dari kantor selama itu. Lagian, pernikahan Zanna diadakan bulan depan, tidak mungkin aku tiba-tiba menghilang. Nanti Arkana dan keluarganya curiga, Hon." 

"Hm, kamu bisa datang tiap weekend, Babe. Aku mana mungkin tahan untuk tidak berbagi peluh denganmu. Tubuh ini milikku seutuhnya!" Bram menjelajahi ceruk leherku dan meninggalkan bekas di sana. 

Posesif. Ada desir aneh yang tiba-tiba hadir. Biasanya kalau lelaki mulai posesif, aku akan segera angkat kaki. Kali ini, tentu saja aku tidak bisa pergi semudah itu.

Aku harus bagaimana? Membiarkan Bram pergi sendirian ke lokasi proyek selama tiga bulan bukan pilihan tepat. Apalagi kalau sekretaris itu ikut bersamanya. Mereka hanya berdua, ada setan sebagai pihak ketiga. 

Aku yang berpengalaman mematahkan hati lelaki saja takluk dalam pesonanya, apalagi sekretaris yang lugu itu. Aduh, pikiranku kacau. 

Dengkuran halus terdengar, lelakiku justru sudah terlelap kelelahan. 

Aku belum dikenal sebagai istrinya. Kami menikah hanya secara agama. Posisiku kurang menguntungkan. Dia bisa membuangku kapan saja. Ah, seorang Zeline Zakeysha mendadak insecure begini. 

Perlahan, aku melepaskan pelukan Bram, turun dari tempat tidur, memunguti lingerie yang terserak di lantai, lalu menuju kamar mandi. 

Aku mematut diri di depan cermin, bekas merah yang ditinggalkan Bram di leher, dada dan paha bagian dalam tercetak jelas. 

Aku tahu dia begitu mendambakan tubuh ini. Bayangan di depan cermin juga memamerkan lekuk tubuh yang menggoda berbalut lingerie.

Namun, apa hal ini akan tetap berlaku jika ada jarak yang membentang? Bisakah ia menjaga hati? Masa perkenalan kami tergolong singkat. Apa dia lelaki setia? 

Semua tingkah absurdku di masa lalu berkelebat. Sekarang rasanya seperti menjilat ludah sendiri. 

Aku bersimpuh dan menangis. Menyadari telah jatuh dalam perangkap yang kubuat sendiri. Rasa takut kehilangan, membuatku merasa sangat rapuh.

"Babe," panggil Bram.

Dia ikut berjongkok di depanku. "Hei, kenapa menangis? Aku menyakiti kamu tadi?" 

Air mataku mengalir semakin deras. Lihatlah, betapa panik dia saat tak mendapatiku ada di sisinya. Akankah hal ini bertahan jika jarak membentang? 

"Aku takut kehilanganmu, Hon," bisikku lirih.

"Hei, aku tidak akan pernah meninggalkan kamu, Babe." 

Bram menggendongku kembali ke tempat tidur. "Kita ke sini untuk bulan madu kecil, bukan untuk bertengkar. Mandi, dandan secantik mungkin. Kita jelajahi kota ini dan belanja sepuas hati kamu." 

Air mata masih belum berhenti mengalir. Bram menghapus dan mengecup lembut kedua mataku. 

"Babe, aku menikahi kamu memang seperti tergesa-gesa. Rasa cinta yang besar membuatku melakukannya. Hatiku sudah terjerat di hari pertama kita bertemu. Jangan pernah meragukan kekasih halalmu ini!" tegas Bram. 

Ucapannya mampu menenangkan hatiku. Setidaknya untuk malam ini, aku mungkin bisa tidur nyenyak. Aku akan mencari jalan keluar untuk menjaganya dari segala kemungkinan buruk. 

"Nah, gitu 'kan cantik. Senyum kamu itu mood boosternya aku. Come on, let's go to shop!" Bram mengecup lembut keningku.

šŸŒ¹šŸŒ¹

Marina Bay Sands terlihat sangat memukau pada malam hari. Kami makan malam di luar hotel, menyusuri jalan di mana letak toko barang branded berjajar. Lelaki ini memang menepati janjinya. Aku bebas membeli apa saja. 

Aku tahu ini hanya sementara. Tetap saja aku tak bisa mengenyahkan rasa cemas yang muncul ketika mengingat tender itu. 

"Hon." 

"Ya, Babe. Capek? Mau digendong?" 

"Kamu perginya setelah Zanna menikah, bisa?" 

"Jangan bahas itu sekarang, boleh? Aku tidak mau merusak suasana." 

Aku diam. Walau nada bicaranya lembut, tetap saja tidak nyaman di telingaku. Seperti rasa tidak enak karena ditolak. Hal yang tidak pernah aku alami selama ini. 

Bram meraih tanganku. "Babe, mukanya jangan ditekuk gitu. Nanti kita bicarakan semua sepulang dari Singapura, ya. Kita cari jalan terbaik, demi senyum di bibir kamu." 

"Kamu tau, Hon, ini pertama kalinya aku jatuh cinta sampai rela menikah. Baru sama kamu, aku bersedia menikah, di saat hubungan kita seumur jagung. Kamu ngerti 'kan, gimana besarnya rasa takut yang aku punya?"

"Babe, ini bukan masalah yang perlu kita besar-besarkan. Aku ini suami kamu. Lelaki yang mengambil alih tanggung jawab dari Papi untuk membuatmu bahagia terus." 

Rasa ini entah bagaimana cara mengartikannya. Campur aduk semua. 

"Aku gak mau kamu tergoda sama mantan!" 

Bram terbahak. Spontan aku melepaskan genggaman tangannya dan bersedekap. 

"Puas banget ya, ketawanya!" omelku berang.

"Seandainya kita cuma berdua, kamu pasti sudah aku lumat habis-habisan. Come on, Baby, mana bisa dibandingkan kamu dengan dia? Kalau memang aku seperti tudingan gak berdasar yang kamu lontarkan barusan, kenapa nikahnya bukan sama dia aja?" 

Aku tak tahu harus mendebat apa. Semoga saja ini cuma rasa takut yang tak beralasan. Ah, Anya, kenapa aku jadi pesimis seperti kamu, sih. 

"Sudah ya, Babe. Stop bahas masalah ini. Aku mau kamu rileks dan nikmati tiga hari kebersamaan kita dengan romantis. Deal?" 

Aku mengangguk, tidak ingin merusak suasana lebih jauh. 

"Kita jalan lagi?" 

Aku menyambut uluran tangannya.

"Kamu perempuan tercantik yang aku pilih jadi istri. Jangan cemaskan hal yang belum tentu terjadi! Oke?" Bram menepuk lembut punggung tanganku.

Seandainya dia tahu, kehilangan adalah salah satu ketakutan terbesar dalam hidupku. Saat Papi dan Mami nyaris berpisah, Zanna kritis, aku merasa sangat sendirian. 

Aku tidak mau memilih. Ada yang menjadi pemenang. Ada yang harus merelakan dirinya menelan pil pahit berupa kegagalan. Tentu saja aku tidak mau menjadi pecundang. Tidak mungkin seorang Zaline Zakeysha kalah. Selama ini, aku yang mencampakkan lelaki, bukan sebaliknya.

"Aku harap kamu mengingat semua percakapan kita hari ini, Hon. Kita bahkan belum membahas tentang masa depan. Kamu berjanji untuk memberiku pesta pernikahan terindah. Remember?" 

Bram menyugar rambutnya. "Babe, what's wrong with you? Kenapa hari ini kamu penuh kecemasan?"

Dia benar. Sejak mengetahui harus membentang jarak dengan suami, aneka pemikiran buruk seolah berlomba untuk memengaruhi isi kepalaku. 

Biasanya aku tidak pernah berpikir panjang jika berhubungan dengan lelaki. Beberapa di antaranya bahkan hubungan tanpa status, kapan aku butuh tinggal telepon. Tidak ada kata kalah dalam kamus hidupku. 

Ayolah, Aline. Jangan cengeng begini! Angkat kepala dan buat dia takluk di kakimu! 

šŸŒ¹šŸŒ¹šŸŒ¹

Related chapters

  • Runaway BridesmaidsĀ Ā Ā Zanna, My Twin

    Tiga hari bukan waktu yang lama jika dihabiskan bersama orang yang paling kamu cintai di dunia ini. Berkeliling Sentosa Island, Orchard Road, mengunjungi tempat wisata, berbelanja dan berbagi peluh dengannya di malam hari juga keesokan paginya, membuatku jatuh sakit.Bram bilang akan membatalkan semua agenda penting demi merawatku. Hanya saja rasanya aku enggan menjadi beban, sehingga lebih memilih untuk pulang ke rumah, bukan ikut ke apartemen Bram. Aku rindu suasana kamar yang beraroma stroberi, juga Zanna."Aline, kamu kenapa?" Zanna menyerbu masuk saat aku menyeret koper ke kamar."Demam."Zanna sibuk menelepon dokter keluarga untuk segera datang ke rumah."Kamu di apain sama si Don Juan sampe demam begini? Sakit banget ya, pas belah durennya?"Astaga, ini anak. Kakaknya lagi demam, malah bahas belah duren. Otak durjanaku mulai bereaksi membayangkan

  • Runaway BridesmaidsĀ Ā Ā No Way Back

    Pengaruh obat ternyata mampu membuatku tertidur sejenak, nyeri di kepala sudah berkurang drastis.Saat membuka mata, Zanna sedang berbaring di sebelahku, main game. Kebiasaan kalau salah satu dari kami ada yang jatuh sakit, pasti yang sehat menemani dan merawat. Saling menjaga, karena Mami tak pernah lagi ada."Anya, maaf ya. Aku memang sengaja memblokir nomor telepon Arkana. Ya gak mungkin di saat aku lagi ehem sama Bram, dia nelepon kayak biasa. Dih, males."Zanna memandangi aku dengan tatapan yang sedikit mengkhawatirkan. "Arkana gak pernah segetol itu nelponin aku, Sissy."Astaga, ia malah mellow. Duh, cinta bertepuk sebelah tangan mengenaskan juga ternyata.Mata Zanna langsung berkaca-kaca lagi. Sebagai kakak yang baik, hatiku serasa diiris-iris melihatnya."Maaf, Nya. Gak maksud nyakitin kamu, sih. Itu tadi niatnya cuma mo jelasin doan

  • Runaway BridesmaidsĀ Ā Ā Kejutan yang Mengejutkan

    "Mau ke mana, Line?""Pulang ke apartemen suami," jawabku."Yakin? Kamu masih pucat loh, Sissy. Aku anterin, ya. Sekalian aku kenalan sama Mas Bewok.""Boleh juga. Oiya, bantu aku bongkar koper bentar. Aku harus memilah pakaian yang mau dibawa ke sana.""Okey, Sissy."Zanna bersimpuh dan membantuku membongkar. Ah iya, lingerie hadiah untuknya sekalian saja aku berikan hari ini."Ini ada kado. Em ... bukanya nanti, pas udah resmi jadi istrinya Arkana. Deal?""Kok aku curiga sama isi kado ini?"Sekuat tenaga aku menahan senyum. Kami kembar, tentu ada ikatan batin yang tak bisa dijelaskan."Jangan buruk sangka. Tak baik. Hadiah ini bisa buat Arkana luluh sama kamu. Dijamin!" Gaya bicaraku sudah mirip sales panci sepertinya."Terima kasih,

  • Runaway BridesmaidsĀ Ā Ā Kecemasan Tak Berdasar

    Gontai, aku menyeret langkah kembali naik ke tempat tidur."Ada apa, Sissy? Kenapa wajahmu muram dari tadi? Apa yang terasa sakit?" tanya Zanna cemas."Apa kamu tidak bertemu dengan perempuan bertubuh mungil tadi? Papasan di lift?""Ada. Aku sempat melihat sepintas di koridor, sebelum dia belok ke lift. Kenapa?""Itu sekretaris pribadinya Bram. Saat aku mengetuk pintu tadi, perempuan itu yang membukakan.""Mungkin ada hal penting yang harus dibicarakan, Sissy. Jangan mikir jelek dulu! Dari pengamatanku sepintas tadi, keliatan banget kalau Bram itu cinta mati sama kamu."Aku menghembuskan napas kesal. Zanna ini memang tidak pernah berpikir buruk tentang orang lain. Semua ia anggap baik dan lurus sepertinya."My twin, mereka pernah pacaran. Putus karena Bram mengenalku."Mulut Zanna membulat semp

  • Runaway BridesmaidsĀ Ā Ā Kesan Pertama

    "Feel better, Babe?"Aku menoleh ke arah Bram yang baru bangun. Sementara aku sudah selesai mandi air hangat dan sedang berdandan."Iya, mandi, gih. Terus kita cari sarapan. Abis itu langsung ke rumah Bunda," ajakku.Bram turun dari ranjang, mematuhi permintaanku. Dalam kondisi tubuh fit total, aku pasti akan menyusulnya. Hanya saja sekarang ini, aku lebih memilih untuk memulihkan kondisi tubuh.Aku memilihkan pakaian untuknya. Polo shirt dan celana jeans."Kamu cantik sekali, Babe. Aku yakin Bunda pasti akan jatuh hati saat melihatmu secara langsung." Bram mencium keningku.Aku menghidu aroma musk dan sandalwood dari tubuhnya, belum bercampur aroma tembakau."Jangan lupa bawa obat, Babe. Jadi kamu bisa meminumnya setelah sarapan dan makan siang nanti." Bram mengingatkan aku sebelum melangkah keluar kamar.

  • Runaway BridesmaidsĀ Ā Ā Kehangatan Keluarga

    Acara makan malam bersama dengan keluarga Orlando dimulai setelah kepala keluarga sampai di rumah."Ayah, ini Aline, istrinya Bram." Bunda membuka percakapan.Aku mengangguk sopan kepada ayahnya Bram, yang dibalas beliau dengan anggukan kecil.Setelah makan malam, Bunda mengajak kami untuk mengobrol di ruang keluarga."Kenapa kalian menikah tanpa memberi tahu Ayah?"Bulu kudukku meremang. Suara Ayah terdengar kurang bersahabat.Aku menunduk, tidak mungkin menceritakan kelakuan kami yang hampir melampaui batas."Bunda meminta Bram untuk segera menikah, Yah. Aline adalah perempuan yang tepat, jadi tidak perlu nunggu lama. Nanti diambil orang," jawab Bram santai."Ayah jangan gitu. Nanti Aline takut. Bram udah minta izin Bunda, kok." Bunda menepuk lembut punggung tangan Ayah.

  • Runaway BridesmaidsĀ Ā Ā Grocery Shopping

    Seumur-umur baru kali ini aku ikut belanja bulanan. Biasanya itu tugas Zanna. Jadi tak perlu heran kalau aku gak tau tentang harga bahan pokok atau juga perlengkapan dapur."Hon, aku gak paham kita mau beli apa," keluhku."Tenang, aku sudah biasa belanja. Bunda melatihku dengan baik." Bram terbahak.Aku ikut tertawa saat Bram dengan bangga memamerkan catatan belanja yang tersimpan rapi di dokumen ponselnya."Kamu tunggu di sini. Aku ambil troli sebentar," pinta Bram.Aku mengangguk patuh. Setelah mendorong troli, aku mengikuti langkahnya. Ada bahagia yang menyusup dalam dada. Hal kecil seperti ini pun mampu membuatku tersenyum semringah."Ada yang pengen kamu beli untuk keperluan sendiri, Babe?" tanya Bram.Sepertinya sudah separuh dari catatan itu yang berhasil dia masukkan dalam troli dan aku hanya mengekori saja."Eh, iya. Aku ke sana sebentar ya, Hon."Aku mengelilingi supermarket. Mencoba mencari apa

  • Runaway BridesmaidsĀ Ā Ā Antara Dua Hati

    "Kamu berangkat kerja aku anterin?"Ah iya, mobilku masih di rumah Mami. Kemarin aku diantar pakai mobil Zanna."Boleh, Hon. Tapi nanti gak sampai gedung kantor ya. Mencegah gosip." Aku mengecup pipinya.Bram menghela napas. "Demi kamu ini, ya. Aku rela mengikuti semua permainan. Bayarannya harus setimpal.""Gak mau rugi banget ya, kamu Hon!" Aku mendengkus.Gerak cepat Bram meraih pinggangku mendekat dalam pelukannya. "Aku ini pengusaha, Babe. Harus jeli membaca peluang sekecil apa pun.""Stop, Hon, nanti sia-sia aku dandan dari tadi," tolakku.Bram mencekal lenganku, ada kilatan cemburu di wajahnya. "Jangan dandan untuk laki-laki lain. Aku gak suka!"Dia bertingkah aneh lagi. Aku melepaskan diri, mundur beberapa langkah. Susah payah aku berusaha menghirup udara untuk menetralisir rasa yang menyesaki dada. Ah, trauma itu mas

Latest chapter

  • Runaway BridesmaidsĀ Ā Ā Ending

    Aku duduk dengan kaku. Sulit dipercaya kalau kedua orang yang biasanya selalu terlibat perang dingin ini mendadak akur."Mami, apa kabar?" Aku mencoba mencairkan suasana."Baik. Kamu ... gimana? Kandunganmu ... sehat?" Aku mengernyit. Kenapa Mami malah berbicara dengan terbata-bata? Apa Papi yang memaksa Mami untuk datang ke sini?Setelah tiga bulan masalah di Bali berlalu, baru kali ini, Mami datang menjengukku. Memang, sejak aku menolak untuk memilih Mami, perlakuan beliau memang berubah drastis. Hanya ada Zanna yang menjadi prioritas beliau. Zeline hanyalah alat untuk mencapai tujuannya di kantor. Zeline yang harus bekerja keras untuk perusahaan.Untungnya ada Papi yang selalu membesarkan hatiku. Jika aku suka berpetualang dengan berpacaran, itu hanyalah pelampiasan karena ingin mencari yang terbaik.Seperti hendak melupakan mantan yang sangat posesif itu. Siapa yang menyangka kalau aku harus menyeret Bram dalam pusaran arus balas dendam.Papi berdeham. "Aline, jangan melamun!"

  • Runaway BridesmaidsĀ Ā Ā Makan Kamu

    Aku dan Bram sudah kembali ke Jakarta. Kembali pulang ke apartemenku. Aku tak ingin ke mana-mana lagi. Bahkan tidak kembali ke Bali.Bram sudah menutup semua pekerjaan yang ada di Bali. Entah sampai kapan aku bisa berdamai dan berani kembali ke kota penuh kenangan itu.Sudah tiga bulan berlalu, tetapi aku masih juga bermimpi buruk. Aku memang payah jika berkaitan dengan trauma. Entah butuh berapa lama sampai aku bisa berdamai dengan keadaan.Aku bahkan masih bisa mengingat jelas semua ucapan permintaan maaf dari Nadhira. Wajahnya semakin tirus dan menyedihkan setelah hakim memutuskan hukumannya.Nadhira memang mengakui semua perbuatannya, termasuk mengetahui semua rangkaian teror yang dilakukan Laurence. Ponsel yang aku gunakan pun dijadikan sebagai barang bukti. Karena rentetan teror masih tersimpan di dalamnya.Papi semakin over protektif kepadaku. Sempat terjadi perdebatan sengit antara Papi dengan Bram. Namun, aku berhasil meyakinkan beliau kalau Bram tidak bersalah. Akar permasa

  • Runaway BridesmaidsĀ Ā Ā Tolong Aku

    Suara tepuk tangan terdengar dari seseorang yang mendadak muncul dari balik pintu. Laurence yang tadinya hendak menyentuh tubuhku, mendadak berhenti. Rasanya tak percaya, Tuhan mengabulkan doa yang tak henti aku panjatkan sejak membuka mata tadi. "Oh, come on. Kenapa kau harus ke sini?" Laurence berdecih. "Apa kau juga ingin meminta jatah? Nanti saja, aku ingin membalas dendam terlebih dahulu." "Demi nama Tuhan, Laurence! Berhentilah bersikap seperti binatang!" Laurence memaki sambil memukul tempat tidur. Laki-laki busuk di hadapanku ini beringsut turun dari ranjang dan berjalan cepat ke arah pintu kamar. "Binatang katamu? Hei, Bitch! Kau dan aku tak ada bedanya. Selama ini kau mengikuti langkah Bram seperti anjing yang mendambakan pasangan." Laurence menampar pipi Nadhira.Aku ikut memekik tertahan. "Jaga bicaramu! Aku tidak pernah berlaku serendah itu!" Nadhira menatap marah kepada Laurence.Benarkah? Nadhira ... masih berharap banyak kepada Bram? Tidak, ini hanya manipulasi p

  • Runaway BridesmaidsĀ Ā Ā Tertipu Mentah-mentah

    Ketika membuka mata, aku terkejut luar biasa. Laurence tersenyum lebar di samping ranjang. Tak hanya itu, tangan dan kakiku dalam keadaan terikat di tiang ranjang. "Lau, kau mau apa? Kenapa aku terikat begini?" Aku menangis. Semua hal buruk sudah menjejali isi kepala. Aku takut luar biasa. Apalagi mengingat track record buruk Laurence dengan wanita jalang. "Lepaskan aku, Lau. Please." Mataku sudah dipenuhi genangan air. Aku tak mau sikap berengsek Laurence membahayakan janin dalam kandungan. Bram, tolong aku. Tatapan lapar berbalut kebencian aku saksikan ketika Laurence mengusap air mata di pipi. "Tolong, Lau. Jangan sakiti aku."Sedetik kemudian aku mengaduh. Laurence mencengkeram erat daguku. "Kau ... pembunuh!" Aku membelalakkan mata. Ingatan mengerikan langsung berkelebat. Apakah sosok peneror itu sebenarnya adalah Laurence?Tawa Laurence langsung menggema di ruangan. "Ya. Aku adalah orang yang selama ini mengirim teror."Daguku terasa nyeri. "Lep-lepasskan aku."Laurence me

  • Runaway BridesmaidsĀ Ā Ā Mengikuti Laurence

    Aku tak rela melepas Bram untuk pergi bekerja. Rasanya rindu ini belum usai untuk dituntaskan. Enggan kehilangan pelukan hangat dan aroma menenangkan pengusir mual itu."Harus banget ya, Hon, perginya?" Aku memasang wajah merajuk.Bram tersenyum tipis. "Iya. Urusan pekerjaan ini penting banget, Baby. Ada dokumen penting yang hilang.""Hilang? Kok bisa?" "Entahlah. Aku ...." Bram menghela napas berat. "Mungkin semua terjadi ketika aku tak fokus dan sibuk mencari keberadaan kamu." Aku merasa menyesal. Ada andilku dalam kehancuran keuangan perusahaan. Mendadak aku teringat dengan semua teror yang belakangan kerap mengintai. Apa ini pun ada kaitannya dengan seseorang itu?Bram cekatan mengikat tali sepatu. Aku memperhatikan semua gerakannya dalam diam. Ada rasa ingin mengatakan tentang si peneror, tetapi aku takut semakin membuat konsentrasinya terpecah."Hei, kok malah melamun? Aku bakalan langsung pulang kok." Bram duduk di tepi ranjang untuk mengusap rambutku."Entahlah, Hon. Pengen

  • Runaway BridesmaidsĀ Ā Ā Sebuah Pengakuan

    Aku menangis sejadi-jadinya. Bram pun ikut meneteskan air mata. "Maaf. Aku minta maaf. Semua rasa sakit ini gak akan terjadi seandainya aja aku ...." Ah, harus kutekan rasa sakit yang mendadak menyesaki dada. Semua sudah terlanjur, bukan? Kami hanya perlu belajar untuk mengikhlaskan segalanya. "Setelah apa yang kita alami, haruskah merutuk atau malah--""Ssh, please. Seandainya mungkin, aku pasti akan mengubah masa lalu. Aku gak akan biarin peristiwa busuk itu sampai terjadi." Bram langsung merengkuh tubuhku. "Maaf."Kata maaf tak akan mampu mengubah keadaan. Terlebih ketika sudah ada janin yang bersemayam. Perlahan-lahan aku mengembuskan napas. Berusaha mengenyahkan rasa perih ketika semua keterpurukan itu membayang kembali di pelupuk mata."Lantas, siapa laki-laki yang tega merekayasa semuanya, Bram?"Bram mendengkus. "For God's sake, Cantik. Haruskah kamu panggil aku Bram setelah mengetahui kebenaran?"Aku menelan kembali semua rentetan kalimat yang hendak ditumpahkan. Benar. Le

  • Runaway BridesmaidsĀ Ā Ā Batal Terbang

    Bau khas rumah sakit menyerbu indera penciuman ketika aku mencoba membuka mata. Lamat-lamat terdengar suara orang berbicara.Aku di mana?"Baby, kamu udah sadar?" Bram langsung bergegas menuju ke arahku.Tangan kokoh itu langsung membawaku dalam pelukan hangatnya. "Apanya yang sakit?"Ini ... kamar rawat. Kenapa aku bisa ada di sini? Sebentar, bukannya kami harus ke bandara?"Tadi tiba-tiba kamu pingsan di lobi hotel. Kita batal terbang ke Jakarta. Dokter gak rekom."Ah iya, aku ingat, mendadak tengkuk terasa berat lalu semuanya gelap."Kondisi kehamilan kamu rentan. Kita gak bisa pergi dari Bali, Baby.""Tapi, Aunty Lia butuh aku, Hon."Bram mengurai pelukan. "Aku gak izinin kamu pergi. Ini demi keselamatan kamu dan anak kita."Aku tak berani membantah. Terlebih ketika melihat tatapan tegas dari mata yang biasanya selalu memancarkan kelembutan itu. Artinya Bram tidak akan mau mendengar ala

  • Runaway BridesmaidsĀ Ā Ā Pulang

    Satu minggu terasa sangat sebentar ketika dijalani bersama suami yang semakin ditatap bertambah poin ketampanannya.Bram tidak mengizinkan aku untuk kembali ke villa sewaan itu. Dia tidak mau aku terpengaruh dengan Nadhira dan Laurence. Kehamilan ini membuat Bram lebih over protective ketimbang sebelumnya."Aku pergi kerja dulu ya, Baby. Kamu gak boleh ke mana-mana. Nanti kita makan siang bareng.""Belum ada telepon dari pihak rumah sakit?""Ah, ya. Harusnya sudah ada hasil tes DNA itu, kan?""Hon, aku takut."Bram berhenti mengikat tali sepatu lalu menoleh ke arahku yang masih berbaring di ranjang. "Takut apa? Tenang aja, aku gak salah, kok.""Kalau bukan kamu, terus siapa bapaknya?""Ya mana aku tau. Yang jelas, aku malam itu gak mimpi lagi ehem-ehem. Mungkin aja sebelum aku pingsan, udah duluan sampe ke kamar.""Kalo kamu udah kadung pingsan, kenapa pas bangun ada

  • Runaway BridesmaidsĀ Ā Ā Pengaruh Hormon

    Kaki seperti tidak menapak ke tanah sejak keluar dari kamar mandi ruang periksa dokter tadi. Ucapan selamat terdengar seperti dengungan yang menyiksa.Perubahan yang kentara terjadi pada Bram. Dia memperlakukan aku seperti sesuatu yang rapuh dan mudah pecah. Semua tindakannya tampak sangat hati-hati.Namun, kenapa rasanya seperti sangat tersakiti? Ini jawaban kenapa aku mendadak aneh dan agresif. Hormon hamil membuatku begini.Perlahan-lahan aku mengusap perut yang masih sangat datar. Apa kita sanggup menjalani semua ini, Nak? Apa kita sanggup berbagi perhatian dengan anak lain yang juga memiliki darah dan keturunan sama? Bayinya Nadhira.Bram masih sibuk berceloteh riang membahas tentang kehamilanku. Namun, aku tak mencerna sedikit pun apa yang terlontar dari bibirnya. Aku sibuk dengan dunia yang mendadak seperti hampa.Ketika kami kembali ke hotel, Bram langsung turun untuk membukakan pintu mobil. Dia merangkulku mesra. Letupan bahagi

DMCA.com Protection Status