"Mana sepedanya, Hon?" Aku celingukan.
"Di garasi, Babe. Yuk." Bram kembali menggandeng lenganku.
Butir keringat yang mengalir dari dahi membuatnya terlihat semakin seksi. Ih, kenapa otakku sudah terkontaminasi sepagi ini?
Ada tiga sepeda terparkir di garasi. Sepeda lipat berwarna pink mengusik pikiran.
"Hon, itu sepeda Nadhira?"
"Iya. Fasilitas kantor dari aku. Buat olahraga pas hari libur." Bram santai melangkah ke arah sepeda gunung berwarna biru.
"Aku naik sepeda mana?"
"Ah, aku lupa, Babe. Sebentar, ya." Bram masuk ke pintu samping garasi.
Aku menunggu sembari mengamati isi garasi. Tertata rapi dan bersih. Dari jendela yang terbuka, semerbak bunga yang berjajar bisa tercium sampai tempatku berdiri. Pengurus vila ini benar-benar rapi dan telaten.
"Babe, ini sepeda untuk kamu." Bram mendorong sepeda lipat berwarna biru.
Aku langsung mengamati sepeda yang dituntun oleh Bram. Persis sama seperti milik N
Dear Readers Kesayangan, Terima kasih sudah membaca kisah Zeline sampai sejauh ini. ♥♥♥
Dokter sudah membebat kaki yang terkilir sekaligus meresepkan obat pereda nyeri. Setelah berbincang sejenak, dokter berpamitan dan diantar keluar bersama Bram dan Baga. Aku meraih ponsel yang ada di nakas untuk mengaktifkannya. Bertubi-tubi pesan masuk, membuatku kelabakan. Aku menunggu sampai bunyi notifikasi berhenti. Setelah ponsel berhenti membunyikan notifikasi, aku menekan tombol nomor Papi. Satu kali panggilan tak terjawab. "Apa Papi sedang di luar kota?" Aku mengetukkan jari ke ponsel. Aku mencoba kembali. Nada sambung sudah terdengar. "Ya, Sweetheart. Maaf, tadi Papi gak denger ada telepon masuk." "Papi, jadwal Aline pulang kayaknya bakalan lebih lama." "Kenapa? Kamu ... baik-baik aja, kan?" "Aline tadi jatuh, Pi. Terperosok ke pinggir sawah. Naik sepedanya gak fokus." "Ya ampun. Trus gimana? Apanya yang sakit?" "Keseleo dikit, Pi. Udah dibebat kakinya sama dokter barusan. Tapi Aline belum bisa balik se
Bram tampak fokus pada layar laptop. Aku hanya bisa memandangi wajah seriusnya. Kami tidak jadi pergi kencan ke pantai karena cedera yang aku alami.Aku masih belum ingin mengaktifkan ponsel. Kerjaan pasti menumpuk, belum lagi omelan tajam dari Mami. Aku memang sengaja menghindar dari semua akses. Kalau Papi mencari, beliau sudah menyimpan nomor ponsel Bram."Honey." Aku merengek.Bram menoleh. "Kenapa? Denyut lagi kakinya?""Gak. Kan tadi udah minum obat pereda nyeri."Bram menggeser posisi duduk. "Terus?""Kamu sibuk banget. Aku jadi berasa dicuekin."Bram menutup laptop, bergeser lebih dekat lalu memelukku. "Rencananya, besok aku pulang cepat. Jam makan siang aku udah sampai di sini, biar bisa ngurusin kamu. Jadi aku cek ulang dokumen sekarang.""Aku pengen ke pantai. Kencan sama kamu." Aku menengadah.Bram langsung mengecup bibirku. "Kaki kamu masih sakit, Cantik. Tunggu sembuh dulu, oke?"Aku mendengkus. Mera
Aku bosan berbaring di ranjang. Pelan-pelan aku mencoba turun. Tertatih-tatih berjalan ketika aku mencoba keluar dari kamar.Villa yang disewa oleh Bram ini lumayan luas. Ada empat kamar sebenarnya, tetapi yang terpakai hanya tiga. Baga adalah utusan dari pemilik untuk menjaga sekaligus membersihkan villa. Namun Baga tidak menetap karena rumahnya hanya berjarak sekitar dua ratus meter dari villa ini."Bli," panggilku ramah."Loh, Mbak. Kok malah jalan-jalan? Nanti kakinya malah gak sembuh." Baga meletakkan gunting rumput."Saya bosan di kamar terus, Bli. Memang, ini rasanya capek banget. Padahal baru jalan dari kamar ke depan doang." Aku tertawa."Karena kakinya Mbak masih nyeri itu. Kalau dipaksa, malah bahaya, Mbak." Baga tampak cemas."Saya nunggu di sini aja, Bli. Pemandangan dan wangi bunganya jauh lebih baik daripada
Satu minggu penuh cinta sudah dilewati. Entah kenapa rasanya waktu berlalu begitu cepat. Aku masih punya waktu beberapa hari lagi sebelum kembali ke Jakarta."Hon, kaki aku udah sembuh. Kamu gak pengen ngajak aku ke mana, gitu?" Aku merapatkan tubuh pada Bram yang sedang fokus pada ponsel."Boleh. Mau ke mana? Pantai? Belanja?" Bram langsung meletakkan ponsel.Satu hal yang aku suka dari lelaki ini. Setiap bersamaku, jika bukan urusan penting, tidak akan ada ponsel yang jadi pihak ketiga. Apalagi ketika akhir pekan, Bram benar-benar tidak menyentuh ponsel."Aku hanya ingin menikmati kebersamaan kita, Beib. Akhir pekan itu waktunya istirahat. Quality time dengan pacar, keluarga, atau malah diri sendiri."Itu jawaban ketika aku menanyakan kenapa dia meletakkan ponsel begitu saja di atas nakas. Berbeda denganku yang seperti kecanduan gadget. Makanya sejak melarikan diri
Bram memilih privat villa yang berada tak jauh dari Pantai Berawa, sekitar satu setengah kilometer saja. Aku sengaja meminta kamar untuk bulan madu.Layaknya fasilitas villa, ada peralatan masak yang pastinya tidak akan terpakai karena bakat minusku di dapur. Ada layanan televisi kabel. Hal yang paling aku sukai adalah letak kamar mandi yang memiliki pintu kaca, jika dibuka akan langsung menuju ke bathtub juga kolam renang privat.Aku bisa berendam di bathtub sementara Bram berenang. Aku sudah berniat untuk berganti pakaian renang, Bram malah langsung mengempaskan badan ke ranjang.“Kenapa? Capek?” Aku duduk di tepi ranjang.“Ngantuk. Boleh tidur sebentar?” Bram membentangkan tangannya.“Ini mau tidur atau mau peluk?”“Dua-duanya. Kamu ‘kan guling cantik kesayangan aku. Sini,” panggil Bram.Aku pura-pura jengkel dengan menjulurkan lidah. “Jangan modus, ya!”
Dua hari yang aku lalui bersama Bram benar-benar berlumur madu. Tidak ada perdebatan karena masalah apa pun. Kami menghabiskan malam romantis di pinggir pantai. Mampir ke kelab, lalu melanjutkan malam panas di ranjang.Ketika kami kembali ke villa, tidak ada Laurence dan Nadhira. Aku ingin bertanya pada Baga, tetapi urung karena tidak ingin mengubah mood Bram. Lelaki tersayangku sepertinya akan berubah menjadi monster ketika membahas tentang mantan.Pagi ini, aku dan Bram sarapan berdua saja. Setelah selesai menandaskan isi dalam cangkir kopinya, Bram mengecup keningku untuk berpamitan. Aku langsung mengekori langkahnya untuk mengantar sampai depan pintu mobil.Momen syahdu ini mulai memantik sisi lembutku. Aku menyiapkan pakaian, memakaikan dasi, membawakan tas lalu memberi kecupan sebagai pengantar suami pergi bekerja.Selepas kepergian Bram, aku kembali ke meja makan untuk membereskan semua peralatan yang dipakai. Sedang asyik mencuci piring, Baga data
“Ikut aku pulang, please.” Aku menyusup dalam pelukan Bram. Bram mendekapku erat. “Aku pasti pulang, Babe. Tapi belum sekarang, ya. Kamu tau ‘kan kondisi saat ini gimana.” Aku tahu dia enggan menyebutkan nama Nadhira. “Apa gak bisa dihandle sementara sama Lau aja?” “Lau juga lagi banyak kerjaan, Babe. Please, mengerti kondisi kita.” Bram mengelus punggungku yang berkeringat setelah beraktivitas menuntaskan hasrat. Aku mendengkus. Siang atau sore nanti aku pasti akan mengalami hari yang buruk di kantor. Tega sekali dia membiarkan aku sendiri menghadapi semua kekacauan ini. Bram tiba-tiba bergerak keluar dari selimut untuk menggendongku. “Kita mandi, yuk. Sebelum kamu ke Jakarta harusnya bisa kita manfaatkan satu kali lagi, di kamar mandi.” Aku meronta. “Gak. Aku gak mau. Kamu egois banget, sih. Gak peduli sama aku. Kamu gak ngerti gimana tertekannya aku tentang hari ini.” Tatapan Bram mengunciku. “Aku gak tinggal diam, Baby. Aku
"Hai, Vira. Kangen banget sama kamu," sapaku ketika kaki sudah berada di kantor."Ibu Aline. Maaf, saya mengganggu dengan segala chat dan telepon.""Gak apa-apa, Vira. Toh, gak terbalas juga semua. Jadi, gimana perkembangan kantor? Banyak dokumen penting di meja saya?""Hanya beberapa dokumen pengajuan pengadaan barang yang baru deal tiga hari belakangan, Bu. Sisanya sudah ditangani oleh Ibu Lia.""Great. Saya tinggal, ya." Aku berjalan beberapa langkah, mendadak teringat sesuatu. "Vir, Mami mana?""Saya di sini."Astaga, ternyata sosok perempuan yang coba aku hindari sudah sampai terlebih dahulu di kantor.Aku tersenyum kikuk. "Mami. Maaf, Aline pergi gak pamitan."Mami melangkah ke arahku, tatapannya tajam dan jauh dari kata ramah. Ibarat harimau yang sedang mengunci target buruannya."Vira, jangan biarkan siapa pun mengganggu kami!" titah Mami yang dibalas segera oleh Vi
Aku duduk dengan kaku. Sulit dipercaya kalau kedua orang yang biasanya selalu terlibat perang dingin ini mendadak akur."Mami, apa kabar?" Aku mencoba mencairkan suasana."Baik. Kamu ... gimana? Kandunganmu ... sehat?" Aku mengernyit. Kenapa Mami malah berbicara dengan terbata-bata? Apa Papi yang memaksa Mami untuk datang ke sini?Setelah tiga bulan masalah di Bali berlalu, baru kali ini, Mami datang menjengukku. Memang, sejak aku menolak untuk memilih Mami, perlakuan beliau memang berubah drastis. Hanya ada Zanna yang menjadi prioritas beliau. Zeline hanyalah alat untuk mencapai tujuannya di kantor. Zeline yang harus bekerja keras untuk perusahaan.Untungnya ada Papi yang selalu membesarkan hatiku. Jika aku suka berpetualang dengan berpacaran, itu hanyalah pelampiasan karena ingin mencari yang terbaik.Seperti hendak melupakan mantan yang sangat posesif itu. Siapa yang menyangka kalau aku harus menyeret Bram dalam pusaran arus balas dendam.Papi berdeham. "Aline, jangan melamun!"
Aku dan Bram sudah kembali ke Jakarta. Kembali pulang ke apartemenku. Aku tak ingin ke mana-mana lagi. Bahkan tidak kembali ke Bali.Bram sudah menutup semua pekerjaan yang ada di Bali. Entah sampai kapan aku bisa berdamai dan berani kembali ke kota penuh kenangan itu.Sudah tiga bulan berlalu, tetapi aku masih juga bermimpi buruk. Aku memang payah jika berkaitan dengan trauma. Entah butuh berapa lama sampai aku bisa berdamai dengan keadaan.Aku bahkan masih bisa mengingat jelas semua ucapan permintaan maaf dari Nadhira. Wajahnya semakin tirus dan menyedihkan setelah hakim memutuskan hukumannya.Nadhira memang mengakui semua perbuatannya, termasuk mengetahui semua rangkaian teror yang dilakukan Laurence. Ponsel yang aku gunakan pun dijadikan sebagai barang bukti. Karena rentetan teror masih tersimpan di dalamnya.Papi semakin over protektif kepadaku. Sempat terjadi perdebatan sengit antara Papi dengan Bram. Namun, aku berhasil meyakinkan beliau kalau Bram tidak bersalah. Akar permasa
Suara tepuk tangan terdengar dari seseorang yang mendadak muncul dari balik pintu. Laurence yang tadinya hendak menyentuh tubuhku, mendadak berhenti. Rasanya tak percaya, Tuhan mengabulkan doa yang tak henti aku panjatkan sejak membuka mata tadi. "Oh, come on. Kenapa kau harus ke sini?" Laurence berdecih. "Apa kau juga ingin meminta jatah? Nanti saja, aku ingin membalas dendam terlebih dahulu." "Demi nama Tuhan, Laurence! Berhentilah bersikap seperti binatang!" Laurence memaki sambil memukul tempat tidur. Laki-laki busuk di hadapanku ini beringsut turun dari ranjang dan berjalan cepat ke arah pintu kamar. "Binatang katamu? Hei, Bitch! Kau dan aku tak ada bedanya. Selama ini kau mengikuti langkah Bram seperti anjing yang mendambakan pasangan." Laurence menampar pipi Nadhira.Aku ikut memekik tertahan. "Jaga bicaramu! Aku tidak pernah berlaku serendah itu!" Nadhira menatap marah kepada Laurence.Benarkah? Nadhira ... masih berharap banyak kepada Bram? Tidak, ini hanya manipulasi p
Ketika membuka mata, aku terkejut luar biasa. Laurence tersenyum lebar di samping ranjang. Tak hanya itu, tangan dan kakiku dalam keadaan terikat di tiang ranjang. "Lau, kau mau apa? Kenapa aku terikat begini?" Aku menangis. Semua hal buruk sudah menjejali isi kepala. Aku takut luar biasa. Apalagi mengingat track record buruk Laurence dengan wanita jalang. "Lepaskan aku, Lau. Please." Mataku sudah dipenuhi genangan air. Aku tak mau sikap berengsek Laurence membahayakan janin dalam kandungan. Bram, tolong aku. Tatapan lapar berbalut kebencian aku saksikan ketika Laurence mengusap air mata di pipi. "Tolong, Lau. Jangan sakiti aku."Sedetik kemudian aku mengaduh. Laurence mencengkeram erat daguku. "Kau ... pembunuh!" Aku membelalakkan mata. Ingatan mengerikan langsung berkelebat. Apakah sosok peneror itu sebenarnya adalah Laurence?Tawa Laurence langsung menggema di ruangan. "Ya. Aku adalah orang yang selama ini mengirim teror."Daguku terasa nyeri. "Lep-lepasskan aku."Laurence me
Aku tak rela melepas Bram untuk pergi bekerja. Rasanya rindu ini belum usai untuk dituntaskan. Enggan kehilangan pelukan hangat dan aroma menenangkan pengusir mual itu."Harus banget ya, Hon, perginya?" Aku memasang wajah merajuk.Bram tersenyum tipis. "Iya. Urusan pekerjaan ini penting banget, Baby. Ada dokumen penting yang hilang.""Hilang? Kok bisa?" "Entahlah. Aku ...." Bram menghela napas berat. "Mungkin semua terjadi ketika aku tak fokus dan sibuk mencari keberadaan kamu." Aku merasa menyesal. Ada andilku dalam kehancuran keuangan perusahaan. Mendadak aku teringat dengan semua teror yang belakangan kerap mengintai. Apa ini pun ada kaitannya dengan seseorang itu?Bram cekatan mengikat tali sepatu. Aku memperhatikan semua gerakannya dalam diam. Ada rasa ingin mengatakan tentang si peneror, tetapi aku takut semakin membuat konsentrasinya terpecah."Hei, kok malah melamun? Aku bakalan langsung pulang kok." Bram duduk di tepi ranjang untuk mengusap rambutku."Entahlah, Hon. Pengen
Aku menangis sejadi-jadinya. Bram pun ikut meneteskan air mata. "Maaf. Aku minta maaf. Semua rasa sakit ini gak akan terjadi seandainya aja aku ...." Ah, harus kutekan rasa sakit yang mendadak menyesaki dada. Semua sudah terlanjur, bukan? Kami hanya perlu belajar untuk mengikhlaskan segalanya. "Setelah apa yang kita alami, haruskah merutuk atau malah--""Ssh, please. Seandainya mungkin, aku pasti akan mengubah masa lalu. Aku gak akan biarin peristiwa busuk itu sampai terjadi." Bram langsung merengkuh tubuhku. "Maaf."Kata maaf tak akan mampu mengubah keadaan. Terlebih ketika sudah ada janin yang bersemayam. Perlahan-lahan aku mengembuskan napas. Berusaha mengenyahkan rasa perih ketika semua keterpurukan itu membayang kembali di pelupuk mata."Lantas, siapa laki-laki yang tega merekayasa semuanya, Bram?"Bram mendengkus. "For God's sake, Cantik. Haruskah kamu panggil aku Bram setelah mengetahui kebenaran?"Aku menelan kembali semua rentetan kalimat yang hendak ditumpahkan. Benar. Le
Bau khas rumah sakit menyerbu indera penciuman ketika aku mencoba membuka mata. Lamat-lamat terdengar suara orang berbicara.Aku di mana?"Baby, kamu udah sadar?" Bram langsung bergegas menuju ke arahku.Tangan kokoh itu langsung membawaku dalam pelukan hangatnya. "Apanya yang sakit?"Ini ... kamar rawat. Kenapa aku bisa ada di sini? Sebentar, bukannya kami harus ke bandara?"Tadi tiba-tiba kamu pingsan di lobi hotel. Kita batal terbang ke Jakarta. Dokter gak rekom."Ah iya, aku ingat, mendadak tengkuk terasa berat lalu semuanya gelap."Kondisi kehamilan kamu rentan. Kita gak bisa pergi dari Bali, Baby.""Tapi, Aunty Lia butuh aku, Hon."Bram mengurai pelukan. "Aku gak izinin kamu pergi. Ini demi keselamatan kamu dan anak kita."Aku tak berani membantah. Terlebih ketika melihat tatapan tegas dari mata yang biasanya selalu memancarkan kelembutan itu. Artinya Bram tidak akan mau mendengar ala
Satu minggu terasa sangat sebentar ketika dijalani bersama suami yang semakin ditatap bertambah poin ketampanannya.Bram tidak mengizinkan aku untuk kembali ke villa sewaan itu. Dia tidak mau aku terpengaruh dengan Nadhira dan Laurence. Kehamilan ini membuat Bram lebih over protective ketimbang sebelumnya."Aku pergi kerja dulu ya, Baby. Kamu gak boleh ke mana-mana. Nanti kita makan siang bareng.""Belum ada telepon dari pihak rumah sakit?""Ah, ya. Harusnya sudah ada hasil tes DNA itu, kan?""Hon, aku takut."Bram berhenti mengikat tali sepatu lalu menoleh ke arahku yang masih berbaring di ranjang. "Takut apa? Tenang aja, aku gak salah, kok.""Kalau bukan kamu, terus siapa bapaknya?""Ya mana aku tau. Yang jelas, aku malam itu gak mimpi lagi ehem-ehem. Mungkin aja sebelum aku pingsan, udah duluan sampe ke kamar.""Kalo kamu udah kadung pingsan, kenapa pas bangun ada
Kaki seperti tidak menapak ke tanah sejak keluar dari kamar mandi ruang periksa dokter tadi. Ucapan selamat terdengar seperti dengungan yang menyiksa.Perubahan yang kentara terjadi pada Bram. Dia memperlakukan aku seperti sesuatu yang rapuh dan mudah pecah. Semua tindakannya tampak sangat hati-hati.Namun, kenapa rasanya seperti sangat tersakiti? Ini jawaban kenapa aku mendadak aneh dan agresif. Hormon hamil membuatku begini.Perlahan-lahan aku mengusap perut yang masih sangat datar. Apa kita sanggup menjalani semua ini, Nak? Apa kita sanggup berbagi perhatian dengan anak lain yang juga memiliki darah dan keturunan sama? Bayinya Nadhira.Bram masih sibuk berceloteh riang membahas tentang kehamilanku. Namun, aku tak mencerna sedikit pun apa yang terlontar dari bibirnya. Aku sibuk dengan dunia yang mendadak seperti hampa.Ketika kami kembali ke hotel, Bram langsung turun untuk membukakan pintu mobil. Dia merangkulku mesra. Letupan bahagi