"Hai, Vira. Kangen banget sama kamu," sapaku ketika kaki sudah berada di kantor.
"Ibu Aline. Maaf, saya mengganggu dengan segala chat dan telepon."
"Gak apa-apa, Vira. Toh, gak terbalas juga semua. Jadi, gimana perkembangan kantor? Banyak dokumen penting di meja saya?"
"Hanya beberapa dokumen pengajuan pengadaan barang yang baru deal tiga hari belakangan, Bu. Sisanya sudah ditangani oleh Ibu Lia."
"Great. Saya tinggal, ya." Aku berjalan beberapa langkah, mendadak teringat sesuatu. "Vir, Mami mana?"
"Saya di sini."
Astaga, ternyata sosok perempuan yang coba aku hindari sudah sampai terlebih dahulu di kantor.
Aku tersenyum kikuk. "Mami. Maaf, Aline pergi gak pamitan."
Mami melangkah ke arahku, tatapannya tajam dan jauh dari kata ramah. Ibarat harimau yang sedang mengunci target buruannya.
"Vira, jangan biarkan siapa pun mengganggu kami!" titah Mami yang dibalas segera oleh Vi
"Itu lelucon yang sama sekali gak lucu." Aku bersedekap."Kamu 'kan tau, aku jarang melucu. Aku hanya merayu wanita spesial. Kamu." Senyum terlukis sempurna di wajah tanpa cela itu."Udah? Gak ada hal penting lain, kan? Aku balik kerja, ya. Bye."Jeremy mencekal lenganku. "Aku udah nahan rindu sekian lama, kamu malah seketus ini. Gak adil banget.""Lepas!" Aku menyentak lengannya. "Apa aku harus melapor pada Bunda tentang tingkahmu yang melampaui batas?""Lakukan saja. Aku gak peduli. Selagi kalian belum menggelar resepsi pernikahan, aku masih punya peluang untuk merebut kamu kembali.""Oh, really? So sorry, aku gak tertarik! For your information, aku lagi hamil. Kamu gak malu mengejar mantan yang sudah lama move on, bahkan sedang bahagia karena berbadan dua?"Wajah Jeremy berubah. "Kamu ... hamil? Anak Bram?""Oh my God, kamu pikir aku perempuan seperti apa? Aku ini kakak ipar kamu. Te
Moodku berubah menjadi jelek. Tidak mungkin membahas tentang pernikahan dengan kondisi wajah ditekuk parah.Setelah meninggalkan Jeremy sendirian, aku melangkah menuju ruang makan. Tampak Bunda sedang menemani Ayah makan, sambil sesekali bertukar cerita."Bunda, Ayah, Aline pamit, ya. Takut kemalaman di jalan.""Gak jadi nginap?" tanya Bunda."Besok aja Aline mampir lagi. Gak apa-apa ya, Bunda?"Bunda tersenyum. "Iya. Bunda anterin kamu sampe depan, ya?""Eh, gak usah, Bunda. Aline bisa, kok. Pamit ya, Ayah."Ayah mengangguk. Aku sebenarnya ingin bercerita tentang Jeremy, tetapi takut menyinggung perasaan mereka."Kamu mau ke mana?" Jeremy mencegatku di depan ruang tamu."Mau pulang. Aku capek. Malas berdebat sama lelaki egois kayak kamu.""Aku anterin, ya? Aku takut kamu kenapa-kenapa."Aku mendengkus. "Jangan berlagak peduli! Apa kamu lupa, siapa yang sering
Seusai meeting, Mami memintaku untuk pulang bersamanya ke rumah. Aku tak berani menolak. Apalagi Mami langsung mengultimatum aku untuk menyelesaikan masalah bersama Zanna dan Arkana. Rasanya seperti digiring paksa menuju tiang gantungan.Aku menyelinap masuk ke kamar mandi untuk mengetik pesan berisi permintaan maaf kepada Bunda karena batal berkunjung. Untungnya Bunda juga sedang ada urusan di luar bersama Ayah.Aku menyetir persis di belakang mobil Mami. Tidak ada gaya menyetir ugal-ugalan, tetapi jika ingin melihat nyonya cantik itu murka, silakan saja. Namun, aku tak punya cukup nyali.Semakin dekat dengan rumah, degup jantung seolah-olah tak terkendali. Apalagi ketika memasuki areal parkir, sudah ada mobil Arkana di sana.Habislah aku kali ini. Tidak ada kesempatan untuk mundur dan lagi aku menghadapi ini ... sendirian. Ada rasa perih yang tanpa sungkan menganga begitu saja.Berulang kali aku menarik hembus napas setela
"Aku berangkat kerja dulu, ya." Zanna tersenyum lalu menunjuk paper bag. "Aku siapin kotak bekal. Jangan lupa dibawa." "Pasti enak. Makasih ya, Nya." Aku menenteng paper bag dan tas kerja lalu berjalan keluar dari ruang makan. "Aline, Mami hari ini gak ke kantor. Ada urusan tiga hari ke Surabaya. Kamu jangan buat masalah, ya!" Aku tergemap. Kenapa Mami selalu melekatkan kata 'masalah' setiap kali memandangku? Harusnya aku sudah kebal dengan sindiran pedas yang selalu dilontarkan oleh Mami. Namun sayang, selalu ada tambahan luka baru yang membuat parut masih berdarah. "Kalau hanya untuk melontarkan kebencian, lebih baik Mami buang muka aja tiap ketemu Aline." "Jangan karena kamu dilindungi oleh Papi, lantas besar kepala, ya! Kesalahan kamu itu cukup banyak dan gak akan bisa Mami tolerir!" "Terserah, Mami. Aline pamit." Rasanya lebih baik aku berselimutkan kesepian di ranjang dala
"Masih kram perutnya?" Bunda memandangku cemas.Segelas air jahe hangat yang dibuatkan oleh Bunda rasanya cukup membantu. "Sudah mendingan, Bunda. Tapi Aline pengen rebahan.""Di kamar Bram aja, ya. Ayo Bunda anterin.""Tapi ... Jerry, Bun, dia--""Nanti biar Ayah yang marahi dia kalau berani macam-macam." Bunda langsung meyakinkan aku.Senyumku mengembang. Baguslah. Rasanya tidak ingin menambah deretan kesal seharian ini. Bunda melingkarkan tangan di pinggangku."Bun, kalau Aline ternyata belum hamil, gimana?""Ya gak apa-apa. Nikah juga baru. Pacaran aja dulu puas-puasin. Selama ini Bram itu walau sempat punya pacar tapi tetap aja gila kerja. Mana pacarnya matre semua." Bunda langsung manyun."Aline juga matre, Bun." Aku tertawa kecil."Gak. Bunda tau kok, nominal tiap bulan yang ditransfer Bram ke rekening kamu."Langkahku langsung terhenti. "Aline aja gak tau. Gak pernah cek."
“Ini semua brosur dan penawaran untuk paket pernikahan. Aline boleh pilih mau yang mana. Nanti kita bisa survey langsung dan test food juga.” Bunda mneyodorkan beberapa lembar brosur.Setelah selesai makan, Ayah menggiring Jeremy ke ruang kerja, sementara Bunda membawaku ke ruang keluarga.Sebenarnya aku suka sama wedding organizer yang kemarin dipakai untuk acara pernikahan Zanna. Namun, aku tidak ingin menambah keruwetan dengan menjelaskan tentang pertukaran pengantin. Enggan membahas hal yang bisa membuat poinku berkurang di mata Ayah dan Bunda.Masih banyak penyedia jasa wedding organizer lain. Aku mulai membaca satu persatu brosur. “Bunda, kita cek ketersediaan gedung dulu sepertinya. Aline takut gedungnya terlanjur penuh atau wajib booking berapa lama sebelum hari H gitu.”“Kamu pengen di gedung apa?”“Gedung Astoria yang terkenal itu kayaknya sulit ya, Bunda. Pasti pada rebutan kepengen di situ. Hmm
"Pagi, Al. Maaf, aku datang lagi."Jika ada hal yang bisa aku sesali pagi ini adalah melewatkan niat mampir ke kantor Papi. Niat itu berganti dengan keinginan makan siang bersama. Aku berjalan masuk menuju meja lalu duduk. Posisi kami lumayan berjarak."Mau apa?""Aku ... Anya sakit.""Lalu? Kenapa kamu malah ke sini? Harusnya kamu merawat Anya.""Kami bertengkar parah semalam ... karena membahas kamu."Aku bersedekap. "Kamu lagi-lagi menyakiti hati Anya. Udah aku bilang, lupain aku, Kan. Aku sudah punya kehidupan rumah tangga sendiri. Kamu juga gitu. Please.""Aku belum bisa, Al. Kenapa kamu gak bisa ngertiin, sih? Gak semudah itu mengalihkan perasaan, Al. Ini hati, bukan terminal tempat singgah!"Rusak sudah hari bahagia yang aku bawa dari rumah."Aku harus apa, Al? Bagaimana bisa aku mengalihkan perasaan kalau wajahnya persis sama seperti kamu?""Kamu lucu.
Aku menghabiskan waktu senggang dengan mempelajari brosur pernikahan yang dikumpulkan oleh Bunda. Ada beberapa yang aku catat ulang di kertas. Menu makanan serahkan pada keputusan Bunda. Aku sibuk mencatat isi seserahan. Kalau kami nanti pindah ke Bali, rasanya perangkat isi kamar tidak perlu diajukan. Toh semua akan dibeli baru nanti. Sedang asyik menghayal dan menuliskan semua keinginan, ponselku berdering, panggilan video call dari Bram. "Honey." "Lagi apa?" Aku langsung menunjukkan kumpulan brosur. "Dari Bunda." "Gerak cepat banget ya, Bundaku itu." Bram tertawa. "Sejak aku bilang mau ngadain resepsi, Bunda bahagia banget. Girangnya kayak anak kecil, Babe." "Oh iya, baru malam ini aku nginap di apartemen. Kemarin aku nginap di rumah Bunda." "Tumben. Jerry ke mana?" "Jerry udah gak bakalan gangguin aku lagi. Ayah udah turun tangan." "Baguslah. Bingung ju
Aku duduk dengan kaku. Sulit dipercaya kalau kedua orang yang biasanya selalu terlibat perang dingin ini mendadak akur."Mami, apa kabar?" Aku mencoba mencairkan suasana."Baik. Kamu ... gimana? Kandunganmu ... sehat?" Aku mengernyit. Kenapa Mami malah berbicara dengan terbata-bata? Apa Papi yang memaksa Mami untuk datang ke sini?Setelah tiga bulan masalah di Bali berlalu, baru kali ini, Mami datang menjengukku. Memang, sejak aku menolak untuk memilih Mami, perlakuan beliau memang berubah drastis. Hanya ada Zanna yang menjadi prioritas beliau. Zeline hanyalah alat untuk mencapai tujuannya di kantor. Zeline yang harus bekerja keras untuk perusahaan.Untungnya ada Papi yang selalu membesarkan hatiku. Jika aku suka berpetualang dengan berpacaran, itu hanyalah pelampiasan karena ingin mencari yang terbaik.Seperti hendak melupakan mantan yang sangat posesif itu. Siapa yang menyangka kalau aku harus menyeret Bram dalam pusaran arus balas dendam.Papi berdeham. "Aline, jangan melamun!"
Aku dan Bram sudah kembali ke Jakarta. Kembali pulang ke apartemenku. Aku tak ingin ke mana-mana lagi. Bahkan tidak kembali ke Bali.Bram sudah menutup semua pekerjaan yang ada di Bali. Entah sampai kapan aku bisa berdamai dan berani kembali ke kota penuh kenangan itu.Sudah tiga bulan berlalu, tetapi aku masih juga bermimpi buruk. Aku memang payah jika berkaitan dengan trauma. Entah butuh berapa lama sampai aku bisa berdamai dengan keadaan.Aku bahkan masih bisa mengingat jelas semua ucapan permintaan maaf dari Nadhira. Wajahnya semakin tirus dan menyedihkan setelah hakim memutuskan hukumannya.Nadhira memang mengakui semua perbuatannya, termasuk mengetahui semua rangkaian teror yang dilakukan Laurence. Ponsel yang aku gunakan pun dijadikan sebagai barang bukti. Karena rentetan teror masih tersimpan di dalamnya.Papi semakin over protektif kepadaku. Sempat terjadi perdebatan sengit antara Papi dengan Bram. Namun, aku berhasil meyakinkan beliau kalau Bram tidak bersalah. Akar permasa
Suara tepuk tangan terdengar dari seseorang yang mendadak muncul dari balik pintu. Laurence yang tadinya hendak menyentuh tubuhku, mendadak berhenti. Rasanya tak percaya, Tuhan mengabulkan doa yang tak henti aku panjatkan sejak membuka mata tadi. "Oh, come on. Kenapa kau harus ke sini?" Laurence berdecih. "Apa kau juga ingin meminta jatah? Nanti saja, aku ingin membalas dendam terlebih dahulu." "Demi nama Tuhan, Laurence! Berhentilah bersikap seperti binatang!" Laurence memaki sambil memukul tempat tidur. Laki-laki busuk di hadapanku ini beringsut turun dari ranjang dan berjalan cepat ke arah pintu kamar. "Binatang katamu? Hei, Bitch! Kau dan aku tak ada bedanya. Selama ini kau mengikuti langkah Bram seperti anjing yang mendambakan pasangan." Laurence menampar pipi Nadhira.Aku ikut memekik tertahan. "Jaga bicaramu! Aku tidak pernah berlaku serendah itu!" Nadhira menatap marah kepada Laurence.Benarkah? Nadhira ... masih berharap banyak kepada Bram? Tidak, ini hanya manipulasi p
Ketika membuka mata, aku terkejut luar biasa. Laurence tersenyum lebar di samping ranjang. Tak hanya itu, tangan dan kakiku dalam keadaan terikat di tiang ranjang. "Lau, kau mau apa? Kenapa aku terikat begini?" Aku menangis. Semua hal buruk sudah menjejali isi kepala. Aku takut luar biasa. Apalagi mengingat track record buruk Laurence dengan wanita jalang. "Lepaskan aku, Lau. Please." Mataku sudah dipenuhi genangan air. Aku tak mau sikap berengsek Laurence membahayakan janin dalam kandungan. Bram, tolong aku. Tatapan lapar berbalut kebencian aku saksikan ketika Laurence mengusap air mata di pipi. "Tolong, Lau. Jangan sakiti aku."Sedetik kemudian aku mengaduh. Laurence mencengkeram erat daguku. "Kau ... pembunuh!" Aku membelalakkan mata. Ingatan mengerikan langsung berkelebat. Apakah sosok peneror itu sebenarnya adalah Laurence?Tawa Laurence langsung menggema di ruangan. "Ya. Aku adalah orang yang selama ini mengirim teror."Daguku terasa nyeri. "Lep-lepasskan aku."Laurence me
Aku tak rela melepas Bram untuk pergi bekerja. Rasanya rindu ini belum usai untuk dituntaskan. Enggan kehilangan pelukan hangat dan aroma menenangkan pengusir mual itu."Harus banget ya, Hon, perginya?" Aku memasang wajah merajuk.Bram tersenyum tipis. "Iya. Urusan pekerjaan ini penting banget, Baby. Ada dokumen penting yang hilang.""Hilang? Kok bisa?" "Entahlah. Aku ...." Bram menghela napas berat. "Mungkin semua terjadi ketika aku tak fokus dan sibuk mencari keberadaan kamu." Aku merasa menyesal. Ada andilku dalam kehancuran keuangan perusahaan. Mendadak aku teringat dengan semua teror yang belakangan kerap mengintai. Apa ini pun ada kaitannya dengan seseorang itu?Bram cekatan mengikat tali sepatu. Aku memperhatikan semua gerakannya dalam diam. Ada rasa ingin mengatakan tentang si peneror, tetapi aku takut semakin membuat konsentrasinya terpecah."Hei, kok malah melamun? Aku bakalan langsung pulang kok." Bram duduk di tepi ranjang untuk mengusap rambutku."Entahlah, Hon. Pengen
Aku menangis sejadi-jadinya. Bram pun ikut meneteskan air mata. "Maaf. Aku minta maaf. Semua rasa sakit ini gak akan terjadi seandainya aja aku ...." Ah, harus kutekan rasa sakit yang mendadak menyesaki dada. Semua sudah terlanjur, bukan? Kami hanya perlu belajar untuk mengikhlaskan segalanya. "Setelah apa yang kita alami, haruskah merutuk atau malah--""Ssh, please. Seandainya mungkin, aku pasti akan mengubah masa lalu. Aku gak akan biarin peristiwa busuk itu sampai terjadi." Bram langsung merengkuh tubuhku. "Maaf."Kata maaf tak akan mampu mengubah keadaan. Terlebih ketika sudah ada janin yang bersemayam. Perlahan-lahan aku mengembuskan napas. Berusaha mengenyahkan rasa perih ketika semua keterpurukan itu membayang kembali di pelupuk mata."Lantas, siapa laki-laki yang tega merekayasa semuanya, Bram?"Bram mendengkus. "For God's sake, Cantik. Haruskah kamu panggil aku Bram setelah mengetahui kebenaran?"Aku menelan kembali semua rentetan kalimat yang hendak ditumpahkan. Benar. Le
Bau khas rumah sakit menyerbu indera penciuman ketika aku mencoba membuka mata. Lamat-lamat terdengar suara orang berbicara.Aku di mana?"Baby, kamu udah sadar?" Bram langsung bergegas menuju ke arahku.Tangan kokoh itu langsung membawaku dalam pelukan hangatnya. "Apanya yang sakit?"Ini ... kamar rawat. Kenapa aku bisa ada di sini? Sebentar, bukannya kami harus ke bandara?"Tadi tiba-tiba kamu pingsan di lobi hotel. Kita batal terbang ke Jakarta. Dokter gak rekom."Ah iya, aku ingat, mendadak tengkuk terasa berat lalu semuanya gelap."Kondisi kehamilan kamu rentan. Kita gak bisa pergi dari Bali, Baby.""Tapi, Aunty Lia butuh aku, Hon."Bram mengurai pelukan. "Aku gak izinin kamu pergi. Ini demi keselamatan kamu dan anak kita."Aku tak berani membantah. Terlebih ketika melihat tatapan tegas dari mata yang biasanya selalu memancarkan kelembutan itu. Artinya Bram tidak akan mau mendengar ala
Satu minggu terasa sangat sebentar ketika dijalani bersama suami yang semakin ditatap bertambah poin ketampanannya.Bram tidak mengizinkan aku untuk kembali ke villa sewaan itu. Dia tidak mau aku terpengaruh dengan Nadhira dan Laurence. Kehamilan ini membuat Bram lebih over protective ketimbang sebelumnya."Aku pergi kerja dulu ya, Baby. Kamu gak boleh ke mana-mana. Nanti kita makan siang bareng.""Belum ada telepon dari pihak rumah sakit?""Ah, ya. Harusnya sudah ada hasil tes DNA itu, kan?""Hon, aku takut."Bram berhenti mengikat tali sepatu lalu menoleh ke arahku yang masih berbaring di ranjang. "Takut apa? Tenang aja, aku gak salah, kok.""Kalau bukan kamu, terus siapa bapaknya?""Ya mana aku tau. Yang jelas, aku malam itu gak mimpi lagi ehem-ehem. Mungkin aja sebelum aku pingsan, udah duluan sampe ke kamar.""Kalo kamu udah kadung pingsan, kenapa pas bangun ada
Kaki seperti tidak menapak ke tanah sejak keluar dari kamar mandi ruang periksa dokter tadi. Ucapan selamat terdengar seperti dengungan yang menyiksa.Perubahan yang kentara terjadi pada Bram. Dia memperlakukan aku seperti sesuatu yang rapuh dan mudah pecah. Semua tindakannya tampak sangat hati-hati.Namun, kenapa rasanya seperti sangat tersakiti? Ini jawaban kenapa aku mendadak aneh dan agresif. Hormon hamil membuatku begini.Perlahan-lahan aku mengusap perut yang masih sangat datar. Apa kita sanggup menjalani semua ini, Nak? Apa kita sanggup berbagi perhatian dengan anak lain yang juga memiliki darah dan keturunan sama? Bayinya Nadhira.Bram masih sibuk berceloteh riang membahas tentang kehamilanku. Namun, aku tak mencerna sedikit pun apa yang terlontar dari bibirnya. Aku sibuk dengan dunia yang mendadak seperti hampa.Ketika kami kembali ke hotel, Bram langsung turun untuk membukakan pintu mobil. Dia merangkulku mesra. Letupan bahagi