Aku membuka mata dan menatap wajah Bram yang masih terlelap. Bagaimana bisa aku jatuh cinta sedalam ini hanya pada seorang laki-laki?
"Honey, bangun." Aku menggigit telinga Bram.
Bram mengerang kesakitan sementara aku tertawa kecil.
"Aku masih capek, Babe. Masih pengen bobok peluk kamu sampe siang."
"Tapi aku lapar, Honey. Energi habis karena kamu. Ayo, sarapan."
"Peluk dulu sini."
"Ogah. Nanti pasti kamu minta jatah lagi."
Bram tertawa. "Ketauan modusku, ya?"
Aku langsung turun dari ranjang menuju kamar mandi. "Jangan ngintip, ya!"
"Hei, aku sudah hafal bentuk, ukuran dan rasanya."
"Dasar, Mas Bewok Mesum!" Aku menjulurkan lidah mengejeknya.
Saat aku selesai mandi, Bram masih dalam kondisi tidur. Sejak aku tiba, kami sama sek
"Mana sepedanya, Hon?" Aku celingukan. "Di garasi, Babe. Yuk." Bram kembali menggandeng lenganku. Butir keringat yang mengalir dari dahi membuatnya terlihat semakin seksi. Ih, kenapa otakku sudah terkontaminasi sepagi ini? Ada tiga sepeda terparkir di garasi. Sepeda lipat berwarna pink mengusik pikiran. "Hon, itu sepeda Nadhira?" "Iya. Fasilitas kantor dari aku. Buat olahraga pas hari libur." Bram santai melangkah ke arah sepeda gunung berwarna biru. "Aku naik sepeda mana?" "Ah, aku lupa, Babe. Sebentar, ya." Bram masuk ke pintu samping garasi. Aku menunggu sembari mengamati isi garasi. Tertata rapi dan bersih. Dari jendela yang terbuka, semerbak bunga yang berjajar bisa tercium sampai tempatku berdiri. Pengurus vila ini benar-benar rapi dan telaten. "Babe, ini sepeda untuk kamu." Bram mendorong sepeda lipat berwarna biru. Aku langsung mengamati sepeda yang dituntun oleh Bram. Persis sama seperti milik N
Dokter sudah membebat kaki yang terkilir sekaligus meresepkan obat pereda nyeri. Setelah berbincang sejenak, dokter berpamitan dan diantar keluar bersama Bram dan Baga. Aku meraih ponsel yang ada di nakas untuk mengaktifkannya. Bertubi-tubi pesan masuk, membuatku kelabakan. Aku menunggu sampai bunyi notifikasi berhenti. Setelah ponsel berhenti membunyikan notifikasi, aku menekan tombol nomor Papi. Satu kali panggilan tak terjawab. "Apa Papi sedang di luar kota?" Aku mengetukkan jari ke ponsel. Aku mencoba kembali. Nada sambung sudah terdengar. "Ya, Sweetheart. Maaf, tadi Papi gak denger ada telepon masuk." "Papi, jadwal Aline pulang kayaknya bakalan lebih lama." "Kenapa? Kamu ... baik-baik aja, kan?" "Aline tadi jatuh, Pi. Terperosok ke pinggir sawah. Naik sepedanya gak fokus." "Ya ampun. Trus gimana? Apanya yang sakit?" "Keseleo dikit, Pi. Udah dibebat kakinya sama dokter barusan. Tapi Aline belum bisa balik se
Bram tampak fokus pada layar laptop. Aku hanya bisa memandangi wajah seriusnya. Kami tidak jadi pergi kencan ke pantai karena cedera yang aku alami.Aku masih belum ingin mengaktifkan ponsel. Kerjaan pasti menumpuk, belum lagi omelan tajam dari Mami. Aku memang sengaja menghindar dari semua akses. Kalau Papi mencari, beliau sudah menyimpan nomor ponsel Bram."Honey." Aku merengek.Bram menoleh. "Kenapa? Denyut lagi kakinya?""Gak. Kan tadi udah minum obat pereda nyeri."Bram menggeser posisi duduk. "Terus?""Kamu sibuk banget. Aku jadi berasa dicuekin."Bram menutup laptop, bergeser lebih dekat lalu memelukku. "Rencananya, besok aku pulang cepat. Jam makan siang aku udah sampai di sini, biar bisa ngurusin kamu. Jadi aku cek ulang dokumen sekarang.""Aku pengen ke pantai. Kencan sama kamu." Aku menengadah.Bram langsung mengecup bibirku. "Kaki kamu masih sakit, Cantik. Tunggu sembuh dulu, oke?"Aku mendengkus. Mera
Aku bosan berbaring di ranjang. Pelan-pelan aku mencoba turun. Tertatih-tatih berjalan ketika aku mencoba keluar dari kamar.Villa yang disewa oleh Bram ini lumayan luas. Ada empat kamar sebenarnya, tetapi yang terpakai hanya tiga. Baga adalah utusan dari pemilik untuk menjaga sekaligus membersihkan villa. Namun Baga tidak menetap karena rumahnya hanya berjarak sekitar dua ratus meter dari villa ini."Bli," panggilku ramah."Loh, Mbak. Kok malah jalan-jalan? Nanti kakinya malah gak sembuh." Baga meletakkan gunting rumput."Saya bosan di kamar terus, Bli. Memang, ini rasanya capek banget. Padahal baru jalan dari kamar ke depan doang." Aku tertawa."Karena kakinya Mbak masih nyeri itu. Kalau dipaksa, malah bahaya, Mbak." Baga tampak cemas."Saya nunggu di sini aja, Bli. Pemandangan dan wangi bunganya jauh lebih baik daripada
Satu minggu penuh cinta sudah dilewati. Entah kenapa rasanya waktu berlalu begitu cepat. Aku masih punya waktu beberapa hari lagi sebelum kembali ke Jakarta."Hon, kaki aku udah sembuh. Kamu gak pengen ngajak aku ke mana, gitu?" Aku merapatkan tubuh pada Bram yang sedang fokus pada ponsel."Boleh. Mau ke mana? Pantai? Belanja?" Bram langsung meletakkan ponsel.Satu hal yang aku suka dari lelaki ini. Setiap bersamaku, jika bukan urusan penting, tidak akan ada ponsel yang jadi pihak ketiga. Apalagi ketika akhir pekan, Bram benar-benar tidak menyentuh ponsel."Aku hanya ingin menikmati kebersamaan kita, Beib. Akhir pekan itu waktunya istirahat. Quality time dengan pacar, keluarga, atau malah diri sendiri."Itu jawaban ketika aku menanyakan kenapa dia meletakkan ponsel begitu saja di atas nakas. Berbeda denganku yang seperti kecanduan gadget. Makanya sejak melarikan diri
Bram memilih privat villa yang berada tak jauh dari Pantai Berawa, sekitar satu setengah kilometer saja. Aku sengaja meminta kamar untuk bulan madu.Layaknya fasilitas villa, ada peralatan masak yang pastinya tidak akan terpakai karena bakat minusku di dapur. Ada layanan televisi kabel. Hal yang paling aku sukai adalah letak kamar mandi yang memiliki pintu kaca, jika dibuka akan langsung menuju ke bathtub juga kolam renang privat.Aku bisa berendam di bathtub sementara Bram berenang. Aku sudah berniat untuk berganti pakaian renang, Bram malah langsung mengempaskan badan ke ranjang.“Kenapa? Capek?” Aku duduk di tepi ranjang.“Ngantuk. Boleh tidur sebentar?” Bram membentangkan tangannya.“Ini mau tidur atau mau peluk?”“Dua-duanya. Kamu ‘kan guling cantik kesayangan aku. Sini,” panggil Bram.Aku pura-pura jengkel dengan menjulurkan lidah. “Jangan modus, ya!”
Dua hari yang aku lalui bersama Bram benar-benar berlumur madu. Tidak ada perdebatan karena masalah apa pun. Kami menghabiskan malam romantis di pinggir pantai. Mampir ke kelab, lalu melanjutkan malam panas di ranjang.Ketika kami kembali ke villa, tidak ada Laurence dan Nadhira. Aku ingin bertanya pada Baga, tetapi urung karena tidak ingin mengubah mood Bram. Lelaki tersayangku sepertinya akan berubah menjadi monster ketika membahas tentang mantan.Pagi ini, aku dan Bram sarapan berdua saja. Setelah selesai menandaskan isi dalam cangkir kopinya, Bram mengecup keningku untuk berpamitan. Aku langsung mengekori langkahnya untuk mengantar sampai depan pintu mobil.Momen syahdu ini mulai memantik sisi lembutku. Aku menyiapkan pakaian, memakaikan dasi, membawakan tas lalu memberi kecupan sebagai pengantar suami pergi bekerja.Selepas kepergian Bram, aku kembali ke meja makan untuk membereskan semua peralatan yang dipakai. Sedang asyik mencuci piring, Baga data
“Ikut aku pulang, please.” Aku menyusup dalam pelukan Bram. Bram mendekapku erat. “Aku pasti pulang, Babe. Tapi belum sekarang, ya. Kamu tau ‘kan kondisi saat ini gimana.” Aku tahu dia enggan menyebutkan nama Nadhira. “Apa gak bisa dihandle sementara sama Lau aja?” “Lau juga lagi banyak kerjaan, Babe. Please, mengerti kondisi kita.” Bram mengelus punggungku yang berkeringat setelah beraktivitas menuntaskan hasrat. Aku mendengkus. Siang atau sore nanti aku pasti akan mengalami hari yang buruk di kantor. Tega sekali dia membiarkan aku sendiri menghadapi semua kekacauan ini. Bram tiba-tiba bergerak keluar dari selimut untuk menggendongku. “Kita mandi, yuk. Sebelum kamu ke Jakarta harusnya bisa kita manfaatkan satu kali lagi, di kamar mandi.” Aku meronta. “Gak. Aku gak mau. Kamu egois banget, sih. Gak peduli sama aku. Kamu gak ngerti gimana tertekannya aku tentang hari ini.” Tatapan Bram mengunciku. “Aku gak tinggal diam, Baby. Aku