Dari belakang pondok ini, pesantren kecil saya, terdengar deburan air sungai tengah banjir. Arusnya deras. Tidak ada yang berani mandi disana.Pukul lima sore, setelah sholat Asar, dan mengaji pada gus Malik, saya menikmati segelas kopi bersama Alfin. Iya, Alfin, dia adalah teman yang paling akrab denganku. Di pinggiran sungai, suasana sangat mendukung untuk minum segelas kopi berdua, sejuk.Lamat-lamat sinar matahari sore masih terasa dari sela-sela daun jambu. Sinarnya sejuk, sesejuk wajah neng Afidah. Tapi tidak, tidak sama, berbeda jauh. Sejuknya neng Afidah rasanya ada sebuah rasa nikmat tersendiri. Ah, kenapa saya malah membahas neng Afidah lagi.“Fin, kapan boyong?” tanya saya pada dia.Boyong adalah sebutan untuk santri yang pulang, tapi tidak kembali lagi ke pondok. Menjadi alumni pondok.“Ah, kamu pikirannya boyong saja.” Alfiln membalas.“Memangnya kamu tidak pengen boyong?” tanyaku lagi dengan sedikit tertawa.“Untuk saat ini aku masih pengen konsentrasi belajar. Boyong u
Masa-masa ujian dengan suasana hutan yang mencekam telah berlalu. Sekarang, Alfin kembali konsentrasi dengan buku-buku tebalnya. Saya heran, kenapa ada anak yang suka membaca segitunya. Saya sendiri, sebenarnya juga suka membaca, tapi bacaan-bacaan ringan saja.“Fin ...” sapa saya kepada dia, ketika di dalam kelas, sebelum pelajaran pertama dimulai. Hari ini adalah hari Rabu, jadwal pelajaran Mantiq dan bahasa Arab pada jam pertama serta kedua nanti.“Apa? Kurang puas menghajar aku dengan hantu-hantu itu?” kata dia sinis.“Maaf, lah, aku juga tidak tahu kalau di hutan banyak hantunya.”“Iya, iya, sekarang lebih baik kamu membaca saja, lebih bermanfaat.” Begitu lagi katanya.“Fin, kamu tahu neng Afidah sudah sampai mana hapalannya?” saya bertanya kepada dia tentang neng kita, siapa tahu ada beberapa informasi yang berguna untuk mendekati neng Afidah.“Tidak tahu. Semua santri putra tidak ada yang tahu. Mungkin santri putri ada yang tahu. Kenapa? Biar tidak dianggap pamer nantinya, mung
Entah kenapa, malam ini, Rabu malam Kamis, saya disuruh menghadap kepada Kyai Shodiq. Kesalahan apa lagi yang saya kalukan sehingga disuruh menghadap beliau? Apakah sekarang sapinya yang hilang? Tidak mungkin.“Kang Akmal, ditimbali mbah Kyai.” Begitu kata salah satu teman saya.“Iya.” Jawab saya.Tergesa-gesa saya memakai baju lengan panjang, membenarkan sarung, mencari kopyah hitam saya. Sekarang sudah cukup malam, pukul setengah sepuluh. Tidak seperti biasanya mbah Kyai menimbali santrinya. Baiklah, saya akan segera menghadap beliau.Halaman ndalem terlihat sepi. Biasanya, dari halaman ndalem itu selalu terdengar suara tamu-tamu mbah Kyai membahas sebuah ilmu. Banyak sekali tamu mbah Kyai setiap harinya, hingga biasanya sampai larut malam. Tapi sepertinya tidak dengan malam ini, keadaan sudah sepi.Pintu utama ndalem mbah Kyai masih terbuka lebar, lampu menyala terang. Kondisi dalam juga sepi. Dari luar saya melihat disana hanya ada mbah Kyai dan gus Malik sedang membicarakan sesua
Pagi hari masih sekolah seperti biasa. Saya kira, belum ada yang mengetahui bahwa saya akan menggantikan gus Hamid. Pasalnya, mereka sebagian besar masih membincangkan siapa yang akan menggantikan gus Hamid nanti malam.“Tadi pagi gus Hamid dan gus Malik lewat depan pondok, naik mobilnya. Dengar-dengar, ada acara alumni. Lha, yang menjadi pertanyaan, siapa yang akan menggantikan? Kan, jadwalnya gus Hamid nanti malam.” Kata seorang santri kelas dua SMA. Saya tidak ambil pusing soal itu. Lalu, temannya menjawab dengan sok pintar memberikan analisa.“Acara alumni, kan, tidak sampai malam. Nanti siang mungkin sudah kembali. Lagian, kan, mbah Kyai masih ada, atau paling tidak neng Afidah.”Benar apa yang dikatakan santri itu. Sebenarnya, seberapa lamakah acara alumni itu? Saya kira, acaranya akan panjang. Temu alumni, kan, tidak setiap bulan bisa dilakukan, pasti banyak yang menjadi agenda pembahasan. Maka, gus Malik memilih untuk mencari pengganti pada acara nanti malam, dari pada tidak a
Saya sudah menerangkan kepada kelian pada awal cerita, bahwa cita-cita saya adalah menjadi seperti Abdul Shomad. Saya ingin menyampaikan ilmu kepada khalayak ramai dengan menjadi Ustadz. Nampaknya, belakangan nanti saya akan mengganti cita-cita itu. Belakangan, saya akan mengerti bahwa cita-cita menjadi Ustadz itu sangat kecil, sangat kecil.Setelah sholat Maghrib, acaranya seperti biasa jika malam Jum’at, tidak ada pengajian. Malam Jum’at adalah waktu yang bisa santri gunakan untuk libur pengajian. Namun, jika malam Jum’atnya tengah bulan atau awal bulan seperti malam ini, maka pondok mengadakan pengajian bersama seluruh santri. Nah, malam ini saya yang akan menjadi pembicaranya. Sudah saya ceritakan kepada kalian, malam ini saya gemetar, takut, dan minder.Waktu cepat sekali berjalan. Saya yang biasanya menyempatkan diri minum kopi setelah Maghrib disebuah warung dekat pondok, malam ini tidak terpikirkan sama sekali. Di otak saya, saya hanya membayangkan bagaimana nanti malam saya b
Dua Minggu berlalu dari pengajian umum itu. Banyak perubahan yang saya alami dalam keseharian. Mulai dari saya yang lebih rajin untuk belajar, tidak telat memberi makan kambing, hemat uang, sampai perlakuan santri kepada saya yang berbeda.Sore itu, saya mendapatkan telepon dari rumah. Saya diberitahu oleh salah satu pengurus pondok. Wah, saya membatin dalam hati bahwa saya akan mendapatkan kiriman. Cepat-cepat saja saya berjalan menuju kantor pondok. Kantor pondok putra terlihat sepi, tidak banyak orang. Disana, hanya ada beberapa santri yang sedang melakukan tugasnya masing-masing. Ada yang telepon rumah, mencetak tugas, sampai ada yang hanya mencari-cari buku.“Nah, Akmal, ini saudara kamu telepon.” Kata seorang pengurus kepada saya setelah saya masuk kantor pondok putra.“Iya, terima kasih, kang.” Saya menjawab demikian.Lalu, saya mulai pembicaraan dengan saudara yang dimaksudkan kang pengurus tadi. Bukan orang tua saya? Ternyata bukan. Dia, yang telepon, adalah tetangga dekat sa
Akhirnya sore yang tidak pernah dinantikan semua santri, termasuk mbah Kyai, mungkin, telah datang. Semua santri sengaja dikumpulkan oleh keluarga ndalem untuk kepergian gus Malik. Suasana sepi, lengah, sedih, meskipun masih ada satu dua santri yang tertawa cengingisan.Halaman ndalem ramai oleh santri putra-putri. Sore ini kami semua harus merelakan kepergian gus Malik.“Saya pamit, dan akan kembali jika sudah mendapatkan tambahan ilmu. Tidak ada perjalanan yang sia-sia. Semoga, perjalanan saya tidak mendapatkan kesia-siaan.” Akhir dari nasihat terakhir gus Malik sebelum berangkat menuju Mesir.Jadi begini, kawan, setelah acara reunian kemarin di pondok lama gus Malik, beliau mendapatkan tawaran untuk melanjutkan pendidikan di Mesir. Langsung saja dia tidak mensia-siakan tawaran itu. Dia langsung mengambil tawaran tersebut. Dengar-dengar, ada sekitar delapan orang yang berangkat bersama dengan gus Malik.Andai saya bisa seperti dia. Nasab punya, ilmu punya, tampan juga punya. Tapi sa
Untuk kalian yang belum mengenal apa itu pesantren, mari belajar bersama dengan saya. Setidaknya, saya lebih tahu dari pada kalian yang tidak pernah menjadi santri. Walaupun saya baru tiga tahun menjadi santri, pengalaman demi pengalaman telah saya lalui dalam tempo waktu tersebut.Pesantren, adalah sebuah tempat mencari ilmu, ilmu apa saja. Disana, kita akan belajar dengan lebih banyak mengacu pada kitab para ulama salaf, meskipun tidak secara keseluruhan. Kenapa harus ulama salaf? Karena mereka tentunya lebih hebar dari pada ulama sekarang. Mereka lebih dekat dengan jaman Nabi Muhamad.Hidup di pesantren itu indah. Dulu, sebelum saya menjadi santri, pesantren saya bayangkan sebagai tempat yang meanakutkan. Pagi harus bangun sebelum Shubuh, mengaji, membaca Al-Qur’an, mengaji lagi, membaca Al-Qur’an lagi, lalu mengaji lagi. Tidak ada hal yang mengasyikkan di pesantren menurut pandangan saya waktu itu. Ditambah lagi dengan hubungan antara putra dan putri yang sangat dilarang. Apabila
Entah kenapa, malam ini, Rabu malam Kamis, saya disuruh menghadap kepada Kyai Shodiq. Kesalahan apa lagi yang saya kalukan sehingga disuruh menghadap beliau? Apakah sekarang sapinya yang hilang? Tidak mungkin.“Kang Akmal, ditimbali mbah Kyai.” Begitu kata salah satu teman saya.“Iya.” Jawab saya.Tergesa-gesa saya memakai baju lengan panjang, membenarkan sarung, mencari kopyah hitam saya. Sekarang sudah cukup malam, pukul setengah sepuluh. Tidak seperti biasanya mbah Kyai menimbali santrinya. Baiklah, saya akan segera menghadap beliau.Halaman ndalem terlihat sepi. Biasanya, dari halaman ndalem itu selalu terdengar suara tamu-tamu mbah Kyai membahas sebuah ilmu. Banyak sekali tamu mbah Kyai setiap harinya, hingga biasanya sampai larut malam. Tapi sepertinya tidak dengan malam ini, keadaan sudah sepi.Pintu utama ndalem mbah Kyai masih terbuka lebar, lampu menyala terang. Kondisi dalam juga sepi. Dari luar saya melihat disana hanya ada mbah Kyai dan gus Malik sedang membicarakan sesua
Jadi begini kawan, kami sholat isya’ pula ketika bertemu dengan kakek yang entah siapa namanya. Dari pada nanti sibuk mencari air untuk wudzu lagi, lebih baik menunggu sejenak dan sudah tidak khawatir lagi.Sampai larut malam, kira-kira pukul sebelas malam, kami belum berhasil menemukan kambing mbah Kyai. Entah kemana kambing keparat itu pergi. Ah, karena kesalahan saya siang tadi, malam ini saya dan Alfin tidak mengikuti pengajian setelah maghrib dan isya’.Kami duduk di bawah pohon rindang tengah hutan, dengan penerangan satu senter yang sudah tidak terang lagi. Demi menghemat baterai, yang satu tidak kami nyalakan. Dingin tidak terkira dibawah pohon ini, banyak nyamuk pula. Jika bukan kambing mbah Kyai, maka sudah saya tinggalkan tempat ini sejak tadi.“Apakah kita akan tidur disini?” tanya Alfin padaku.“Yah, apakah kamu bisa tidur. Kalau aku mungkin bisa-bisa saja.”Saya sudah terbiasa dengan nyamuk banyak, hawa dingin, suasana gelap, namun tidak dengan tengah-tengah hutan. Waktu
Bukan sebuah waktu yang pendek bagi saya. Tiga tahun, waktu yang membutuhkan kesabaran, ketekunan, serta memerlukan sebuah impian. Karena tiga tahun, masa yang akan datang tergambarkan.Menjadi santri itu berat, tidak sembarangan orang akan kuat. Berbagai ujian akan datang ketika seseorang mendatangi pesantren dengan niat mencari ilmu.Pertama, tentu harus siap bepisah dengan keluarga, teman-teman, dan orang terdekat lainnya. Bahkan, untuk anak yang tidak siap berpisah dengan orang tua, ujian pertama ini akan menjadi ujian terberat.Kedua, adalah peraturan-peraturan yang mengikat, terasa seperti mengekang santri. Mulai dari dilarang menonton televisi, sampai dilarang berhubungan dengan lawan jenis. Berat? Untuk yang sudah terbiasa melakukan, lalu datang ke pesantren, akan sulit meninggal-kan kebiasanan tersebut.Tiga, pesantren mengajarkan santrinya siap mlarat. Artinya, semua santri selama hidup dalam lingkungan pesantren harus hidup apa adanya, makan apa adanya, layaknya orang mlara
Bicara mengenai cita-cita, saya ingin menjadi manusia sungguhan. Apakah saat ini saya bukan manusia sungguhan? Bukan begitu maksudnya. Saya ingin menjadi orang sukses, banyak uang, mobil, dan hal-hal yang menandakan saya adalah orang kaya. Dalam sebuah karir, cita-cita saya adalah menjadi Ustadz, seperti Abdul Somad. Lc. terkenal. Setelah menikah saya ingin hidup bahagia dan membahagiakan keluarga saya. Anak-anak saya cerdas, pintar, dan mengikuti jejak langkah saya. Kemudian, setelah mati masuk surga. Ekspektasi banyak yang tidak sesuai dengan kondisi, berbeda pula dengan sebuah realisasi. Tapi diantara itu semua yang paling penting adalah menjalani. Banyak harapan, boleh saja, asalkan tidak membuat putus jalan.Cita-cita saya sangat luhur, bukan? Saya ingin menjadi orang yang bahagia dunia akhirat. Ketika hidup di dunia, saya ingin menjadi orang kaya, bahagia. Dan ketika mati nanti, masih nanti, masih lama, saya ingin menjadi orang yang masuk surga. Indah sekali dalam anganan.Ber
Dua malam yang lalu, ketika aku berkunjung ke pasar malam, aku bertemu dengan seorang penjual buku yang seumuran denganku. Namanya adalah Adi. Sebenarnya aku tidak tahu di mana hebatnya dia, lagi pula aku juga belum mengerti banyak tentang hidupnya. Hanya saja sekarang aku tahu apa yang lebih darinya jika dibandingkan dengan diriku, Adi adalah seorang pekerja keras. Aku kagum dengannya.Sekarang aku tengah berada di ruang kelas, jam istirahat. Hari ini aku tidak pergi ke kantin, sebab ada yang aneh dengan mama sepagi ini, mama membawakanku bekal makanan, padahal dari rumah aku sudah sarapan. Hemm... tidak apa-apa, hitung-hitung untuk menghemat uang jajan. Lumayan, bisa untuk membeli komik atou novel-novel. Kenapa tidak buku pelajaran saja? Aku tidak terlalu suka membaca buku pelajaran. Lagi pula, aku merasa bahwa di dalam komik itu ada banyak sekali pelajaran yang bisa aku ambil, tergantung bagaimana cara kita menyikapinya.Aku dan Zila makan bersama, memakan bekal yang diberikan mama
Malam hari, pukul delapan, ketika waktu makan malam.Keluarga kami sudah berkumpul semua seperti biasa di meja makan, makan malam. Hari ini masih dengan suasana yang biasa, bahagia. Walaupun keluarga kami hanya tiga orang, kami sudah cukup lebih dari bahagia. Banyak di dunia ini orang yang ingin mempunyai keturunan, tapi Tuhan tidak menghendaki.“Bagaimana sekolah kamu, Nisa?” Papa bertanya kepadaku, yang duduk diseberang meja sendirian. Mama ikut menatapku dengan tatapan datar, dari seberang meja pula.“Eh, baik-baik saja, Pa.” Aku menjawab dengan sangat jujur, karena aku adalah anak yang jujur. Hehe …Papa menatapku sejenak, lalu bicara lagi kepadaku sambil menunggu Mama selesai mengisi piring Papa. “Papa kira hari ini kamu ada masalah, tidak seperti biasanya kamu banyak melamun seperti malam ini.”“Dari mana Papa tau?”“Eh, tau apanya? Beneran kamu ada masalah? Ceritakan saja, mungkin Mama dan Papa bisa bantu?” Papa malah salah tangkap kali ini. Bukan itu yang aku maksud, Pa, tapi
Nisa adalah anak yang baik, walaupun dia jarang sekali membantu Mamanya mengerjakan pekerjaan rumah. tapi ada satu hal yang perlu kalian ketahui, bahwa sejak SMP, Nisa tidak pernah memberikan baju kotor kepada Mamanya. Selama ini, dia selalu mencuci pakaian yang kotor dengan tanganya sendiri, walaupun masih dengan bantuan mesin cuci.Saat ini, suasana hati Nisa sedang tidak menentu. Iya, cinta adalah salah satu dari sekian perasaan yang telah menemukan ruang baru di hati Nisa. Ini memang sangat menyenangkan, setelah sekian lama Nisa tidak mengenal apa itu yang dinamakan dengan cinta kecuali dari kedua orang tuanya. Akankah berjalan seperti yang dipikirkan oleh Nisa kisah ini? Atau yang terjadi akan sebaliknya?****Pagi hari, setelah bangun dari tidur yang menyenangkan.Aku sudah siap untuk berangkat sekolah. Tapi sayang, aku harus melewati ritual keluarga yang sangat khas, sarapan pagi. Aku sudah bersama dengan Papa dan Mama di meja makan, menghabiskan sarapan pagi bersama-sama.Oh
Pagi hari, seperti biasa, setelah berkali-kali dibangunkan Mama.Kali ini, aku sudah mandi dengan air hangat. Dan sudah memakai seragam sekolah.Seperti biasa, aku dan keluarga berkumpul sebelum malakukan aktivitas masing-masing. Sarapan.“kamu kok nggak seperti biasanya, Nisa?” Mama mulai pembicaraan di meja makan.“Nggak sama bagaimana sih, Ma?” Aku balik bertanya.“Tidak biasanya kan kamu berangkat sekolah memakai parfum sewangi ini? Atau jangan-jangan …,” Mama menolah ke arah Papa, tidak melanjutkan pembicaraan.“Biarin saja, Ma. Nisa kan sudah mulai dewasa. Wajar saja jika dia mulai memperhatikan penampilan. Tidak seperti Mama dulu, yang selalu berpakaian kusut jika berangkat sekolah.” Sahut Papa, sepertinya sedang berpihak kepadaku, tidak membela Mama yang mengejekku.Mama merengut, pertanda bahwa Mama tidak suka diejek seperti itu. Tapi tidak dengan Papa, dia masih tertawa sekali-kali melihat Mama yang masih merengut.Ini sungguh pagi yang indah. Di luar sana, matahari bersinar
Pulang sekolah, siang hari.Aku sudah sampai di rumah, setelah perjalanan setengah jam naik angkutan umum.Mama terlihat sibuk membersihkan peralatan bekas masak di dapur. Inilah pekerjaan Mama setiap hari di rumah, membersihkan rumah, mencuci, serta menunggu kami yang pulang sekolah dan kerja.Makan siang sebenarnya sudah siap di meja dapur, tapi demi melihat Mama yang masih sibuk kerja, aku tidak jadi makan duluan, menunggu Mama selesai.Aku sudah ganti baju, ganti pakaian biasa, dan menggantung seragam sekolah di lemari kamar, dipakai lagi besok.Sambil menunggu Mama selesai mencuci peralatan, entah apa saja namanya yang dicuci Mama selama ini, aku membaca novel di depan Tv yang menyala. Aku sangat suka sekali membaca novel, terutama novel yang sangat kental dengan kisah fiksinya, tentang masa depan bangsa ini yang akan tenggelam.Setelah Mama selesai mencuci, Mama menghampiriku.“Kamu belum makan, Nisa?” Mama bertanya dengan nada yang sedikit kelelahan.“Mama lama banget tadi kerj