Nayra pulang dengan perasaan kesal dan tentu saja sedih. Nayra menyimpan barang belanjaannya dan segera masuk ke kamar mandi untuk menyegarkan badannya. Nayra berdiri di bawah shower, membasahi tubuhnya dengan air dingin. Nayra bermaksud supaya otaknya bisa ikut dingin juga. Pertemuan dengan adik dan mertuanya membuat moodnya malah tidak baik.
“Mengadu apa yang terjadi hari ini pun percuma, yang ada mas Albi pasti akan membela ibunya dan meminta aku terus memakluminya. Padahal, ini sudah sangat keterlaluan.” Nayra menghela nafas panjang. “Rasanya aku ingin meminta mas Albi untuk membawa aku pindah dari kota ini. Menghayal saja dulu, toh kenyataannya itu tidak mungkin.” Nayra terkekeh.
Setelah merasa lebih baik, Nayra segera menyelesaikan mandinya dan segera berpakaian. Nayra membuka semua barang belanjaannya hari ini. Dia melihat satu pakaian yang menurutnya tidak pernah dibelinya. Membeberkan pakaian itu yang ternyata baju untuk wanita hamil.
“Astaga, kenapa baju ini ada pada tas belanjaanku? Apa pelayan itu salah menaruh pakaian? Tapi tidak mungkin, tadi hanya aku saja yang sedang membayar di meja kasir.” Nayra terus berpikir. Nayra lalu mengecek struk pembelian yang tadi diberikan kasir tersebut. Tapi memang baju itu ada dalam list pembayarannya.
“Bajunya tidak sesuai denganku, apalagi mahal banget harganya. Aku kembalikan saja nanti sore, minta antar Mas Albi sekalian jalan-jalan. Sudah lama kita tidak jalan-jalan sore berdua.”
Nayra melipat kembali pakaian itu, dia masukan kembali ke paperbag. Nayra lalu menghubungi suaminya dan minta jalan-jalan sore. Albi yang memang tidak ada jadwal penting langsung pulang. Menyenangkan hati istri memang tidaklah buruk, pikir Albi.
“Mas, kok sudah pulang?” tanya Nayra saat dia sedang berada di dapur.
Albi memeluk istrinya dari belakang. “Katanya ada yang mau jalan-jalan sore, makanya Mas pulang cepat. Tapi, apakah tadi jalan-jalan siang tidak menyenangkan sampai-sampai harus pergi jalan-jalan lagi sama suaminya?”
“Sebenarnya mau nanyain sesuatu ke pelayan butik.”
“Ada masalah?”
“Tadi pas aku belanja beberapa pakaian, aku enggak cek lagi pas di sana. Ternyata ada satu pakaian yang aku enggak beli masuk ke pembayaran aku, memang sih pakaiannya juga ada sama aku, tapi …,”
“Tapi apa?” tanya Albi memotong perkataan istrinya.
“Pakaian itu untuk ibu hamil yang sudah besar, Mas. Aku enggak tahu siapa yang punya pakaian itu. Saat tadi di kasir justru hanya aku yang ada disana. Mana mahal banget lagi bajunya, pantas saja tadi pas bayar sempat aneh.”
“Ih gitu, memangnya gak mau kamu simpan aja buat nanti jika sudah saatnya kamu hamil dan memerlukannya?”
“Mas, nanti saja jika memang aku memerlukan pakaian seperti itu. Membeli sama saja membuat aku sedih, Mas.” Nayra cemberut sambil menatap suaminya yang ternyata memang lebih tinggi darinya.
“Ya sudah, kita kembalikan nanti sore setelah Mas mandi. Sekarang, Mas ingin makan masakan kamu.”
Nayra tersenyum. “Baiklah, dengan senang hati.”
Nayra langsung mengeksekusi sayuran yang ada di dapur, Nayra begitu lihai saat memasak. Memasak memang sudah sering dia lakukan, sehingga dia cukup pintar sekarang. Masakannya juga tidak terlalu buruk, bahkan suaminya saja sangat menikmati masakan istrinya.
“Mas, besok malam kita disuruh ibu buat makan malam dirumah ibu,” ucap Nayra.
“Kapan kamu ketemu ibu? Apa ibu ada hubungi kamu?”
Nayra menggelengkan kepalanya. “Tadi pas di butik aku ketemu ibu bersama dengan Aninda. Ibu sedang membelikan Aninda pakaian banyak sekali.”
“Jadi ini alasan kamu jadi gak mood?”
“Kata-kata Aninda yang bikin aku kesal.”
Albi hanya tersenyum dan tak menjawab, mereka langsung menuju butik langganan keluarga Albi. Beberapa pelayan disana sudah mengenal Albi, mereka langsung menyambut dengan ramah.
“Mbak, saya tadi belanja beberapa pakaian. Tapi saya tidak pernah membawa ataupun berniat membeli baju ini, apakah tdi baju ini tidak sengaja masuk ke belanjaan saya?” tanya Nayra sambil menunjukan lakian hamil itu.
“Tapi sepertinya ini memang baju anda, nyonya.”
“Baju yang saya pilih? Tidak, saya benar-benar tidak memilih ataupun berniat membeli pakaian ini,” bantah Nayra.
“Sudahlah sayang, kamu ambil aja dan simpan. Siapa tahu nanti kamu membutuhkan pakaian ini,” bisik Albi.
“Maaf, nyonya. Tadi seseorang yang sedang bersama nyonya Laila yang meminta saya untuk menyimpan ini di belanjaan anda. Katanya anda sedang mencari pakaian itu karena anda sekarang tengah hamil, dan beberapa bulan lagi kehamilan anda membesar. Jadi, nyonya itu yang meminta saya memberikan kejutan untuk anda.” pelayan yang tadi membantu Nayra akhirnya angkat bicara. Mendengar penjelasan pelayan itu membuat Nayra marah.
“Mas! Adik ipar kamu itu sudah sangat keterlaluan!”
Nayra langsung meninggalkan suaminya, Nayra benar-benar kesal. Adik iparnya terus saja mengganggu dan terus mengungkit masalah kehamilan. Nayra lalu duduk dia sebuah cafe yang masih satu atap dengan butik itu. Sementara Albi menyelesaikan pengembalian baju tersebut. Nayra menangis, dia begitu cengeng ketika menyangkut dengan masalah kehamilan.
“Jangan menangis, Mas yakin jika Aninda hanya bercanda saja.”
“Bercanda? Bercandanya itu sangat tidak lucu, Mas. Bukannya lucu malah bikin orang sakit hati dan kesal!”
“Biar nanti mas yang bicara dengan ibu. Kamu tenang saja,” sahut Albi.
“Mas bicara sama ibu? Nanti yang ada ibu belain dia, Mas. Harusnya mas lngsung bicara sama orangnya aja. Kalau perlu beritahu juga adik kamu supaya bisa membuat istrinya sedikit lebih menghargai atau menjaga perasaan orang lain!”
“Iya, mas akan bicara pada Rafael juga nantinya. Sekarang kita pulang atau mau makan dulu?” tanya Albi.
“Langsung pulang aja, lagian tidak ada yang ingin aku beli lagi. Semua sudah cukup,” jawab Nayra.
*****
Keesokan harinya, Albi dan Nayra datang kerumah utama. Keduanya memang sudah berjanji akan datang makan malam dirumah Laila. Albi langsung ikut bergabung dengan ibu, adik dan kakak nya di ruang keluarga. Sementara Nayra pergi ke dapur untuk mengambil minum karena memang dia merasa kerongkongannya kering.
“Mbak Nayra, sudah sampai rupanya.” tanpa disangka Aninda sedang ada di dapur sedang membuat susu yang biasa dia minum.
“Maksud kamu apa menyimpan pakaian hamil di tas belanjaanku?” tanpa menunggu waktu lagi, Nayra langsung bertanya pada Aninda.
“Pakaian hamil apa, mbak?”
“Jangan pura-pura gak tahu! Aku sudah bertanya pada pelayan di butik itu kemarin dengan mas Albi. Salah satu pelayan itu bilang kalau semua itu kamu yang nyuruh, maksud kamu apa?”
“Maksud aku baik, mbak. Aku hanya ingin membelikan sesuatu yang pastinya kamu akan membutuhkannya suatu saat nanti. Apa salahnya.” tidak ada penyesalan yang terlihat diwajah Aninda.
“Kamu memang keterlaluan, bercandaan kamu itu tidak lucu sama sekali, Aninda!” kata Nayra dengan berusaha bicara pelan.
“Ada apa ini?”
“Ada apa ini?” Kartika datang dan melihat kedua adik iparnya sedang bersitegang. Apalagi melihat Nayra yang sangat kesal seperti itu. Nayra menoleh, dia langsung menunduk dan memejamkan matanya ketika tahu jika Kartika. Kakak iparnya yang ada di belakang mereka. Kartika melihat wajah Aninda yang sepertinya tersenyum tipis sementara Nayra yang terlihat tegang. Kartika berdiri di samping kanan Nayra. “Ada apa, Nay?” tanya Kartika kembali. “Tidak ada apa-apa, mbak.” Nayra lalu tersenyum. “Jangan berbohong, mbak jelas-jelas tadi melihat kalian sedang beradu mulut. Mbak tidak mau mempunyai keluarga yang saling membenci. Mbak ingin kalian akur satu sama lain,” ucap Kartika. “Mbak Nayra baru saja datang udah marah-marah gak jelas, mbak. Anin jadi bingung, makanya Anin tanya mbak Nayra. Eh, malah ngegas gitu jawabnya.” “Marah-marah gak jelas katamu? Astaga, kamu yang membuat aku seperti ini Aninda! Aku tidak akan marah atau kesal jika kamu tidak berulah,” bantah Nayra. “Lalu apa masala
Sepulangnya dari rumah Laila, Nayra langsung banyak diam dan melamun. Albi belum menyadari sikap istrinya, dia begitu sibuk karena sedang menangani proyek besar di perusahaan. Bahkan beberapa hari ini Albi sering pulang telat, Nayra tidak banyak protes seperti biasanya. Karena Randi, sang asisten pribadi suaminya selalu memberi kabar pada Nayra itu pun atas perintah Albi yang tahu jika istrinya pasti akan terus bertanya. Albi baru pulang, dia melihat istrinya sedang duduk di balkon kamar. Albi baru sadar jika sikap istrinya sekarang, Albi mendekat dan duduk di samping Nayra. Albi menatap Nayra dari samping, terlihat jika Nayra sedang melamun dan memikirkan sesuatu. “Kenapa malam-malam seperti ini masih diluar?” tanya Albi. “Mas, kapan kamu datang?” bukannya menjawab Nayra justru melontarkan kembali pertanyaan. “Baru saja, kamu sedang memikirkan apa sehingga suami pulang saja tidak menyadari.” “Tidak ada, mas.” “Ada apa? Kenapa sepertinya kamu melamun terus, apa yang mengganggu p
Di ruangan Albi, Nayra terus terdiam. Dia seolah hanyut dengan apa yang sedang dia pikirkan. Nayra yakin, kedatangan ibu mertua dan adik iparnya itu untuk menjalankan apa yang sudah mereka rencanakan. Sungguh tidak habis pikir, adik iparnya dengan sangat tega ingin memisahkan dia dengan Albi. “Nay, jika suamimu sedang bekerja, jangan kamu ganggu dia. Seharusnya kamu diam saja di rumah dan tunggu dia pulang. Kamu seperti tidak punya kerjaan lain saja,” ucap Laila. “Lantas ibu dan Aninda ada kepentingan apa ke kantor?” tanya Nayra kembali. “Wajar saja jika ibu berkunjung ke kantor. Secara, ibu adalah pemilik perusahaan ini. Ibu berhak jika memang ingin keluar masuk kantor. Ibu ingin melihat perkembangan perusahaan sekarang seperti apa,” jawab Laila sambil menatap Nayra. “Iya, kenapa mbak Nayra justru bertanya seperti itu? Jika memang ibu mau datang kapan saja, bukannya itu tidak jadi masalah?” tanya Aninda yang justru membuat suasana di ruangan itu semakin memanas. “Iya saya menger
Apa? Menikah lagi, ide macam apa itu?” tanya Albi yang terlihat marah. “Dengarkan ibu dulu, Nak. Ibu hanya ingin kamu merasakan menjadi sekarang ayah, apakah ibu salah?” Laila memasang wajah yang sangat sedih. “Bu, Albi sangat berterima kasih dengan kekhawatiran ibu. Tapi untuk menikah lagi, aku tidak akan mau karena aku sudah mempunyai istri. Aku memilih Nayra sebagai istriku, aku mengambilnya dari orang tuanya dengan baik-baik. Aku juga sudah berjanji tidak akan menyakitinya. Jadi, aku tidak mau melakukan apa yang ibu mau untuk kali ini,” jawab Albi sambil menatap ibunya. “Albi, semua bisa diatur. Kamu bisa tetap menikah lagi walaupun Nayra tidak tahu, memiliki istri lebih dari satu itu tidak buruk. Kamu mampu membiayai keduanya, kamu punya segalanya. Jadi ibu yakin wanita manapun mau jika dijadikan yang kedua oleh kamu, Bi. Ibu sangat yakin itu,” kekeh Laila. “Bu, aku tidak mau menyakiti hati Nayra. Selama ini aku diam ketika Nayra di pojokan karena belum hamil, aku diam karena
"Hai, apa kabar?” Albi menatap wanita yang dia sudah kenal. Wanita yang hampir empat tahun tidak bertemu dengannya. Wanita yang dulu selalu ada bersamanya dan sekarang Albi tidak tahu apa yang sedang wanita itu lakukan di rumah orang tuanya. “Baik, kamu apa kabar?” tanya Albi kembali. “Seperti yang kamu lihat, aku baik dan sangat baik. Sudah sangat lama sekali kita tidak bertemu, aku tidak menyangka bisa bertemu lagi dengan kamu,” jawab wanita itu yang ternyata bernama Kharisma. “Sepertinya kita makan siang dulu saja, nanti kalau memang kalian mau ngobrol setelah ini saja. Kasihan Aninda dan calon anaknya yang sudah ingin makan,” sahut Laila sambil terkekeh. “Boleh, maafkan Risma, Bu. Risma terlalu berantusias sehingga lupa kalau kita akan makan siang bersama.” “Tidak apa, nak. Ibu mengerti, sekarang kita makan siang dulu setelah itu kalian bisa lanjutkan mengobrol di ruang keluarga.” Laila tersenyum senang melihat respon putranya yang sepertinya begitu senang melihat keda
"Mas, katanya pulang terlambat?" tanya Nayra yang melihat suaminya membuka pintu kamar mereka. "Iya, tiba-tiba saja mas merindukan istri Mas ini, jadi mas segera pulang saja," jawab Albi. "Astaga, sejak kapan kamu menjadi suka sekali menggombal?" Albi duduk disamping Nayra dan memeluk wanita yang baru dua tahun dia jadikan istri. Wanita yang begitu dia cintai saat ini. Semoga saja rasa cinta ini akan tetap sama bahkan bertambah sampai nanti. "Menyenangkan hati istri tidak salah, kan?" "Oh jadi sekarang suamiku ini sedang berusaha membuat hati istrinya senang, begitu?" tanya Nayra sambil tersenyum. Albi mengangguk. "Tentu saja, apapun yang membuat kamu senang, maka akan aku lakukan." "Termasuk setia sama aku?" "Jangan bertanya sesuatu yang sudah pasti kamu tahu jawabannya. Setia itu sudah menjadi tugasku, aku yang memilih kamu dan aku sudah bertekad untuk menjadikan kamu satu-satunya. Jangan pernah meragukan itu lagi, sayang." Nayra tersenyum. "Aku hanya berc
Albi pulang dengan terlihat lesu, Nayra yang menunggu di ruang tamu merasa heran melihat suaminya yang seperti itu. Nayra menghampiri Albi dan membawakan tas kerja suaminya seperti biasa. Albi tiba-tiba saja memeluk Nayra dan mencium kening sang istri sangat lama. "Ada apa, kenapa sepertinya letih dan lesu sekali?" tanya Nayra. "Ibu masuk rumah sakit, aku baru saja pulang dari sana." Nayra kaget mendengar kabar itu, dia menatap suaminya dengan lekat. "Kenapa aku baru dikasih tahu?" "Mungkin saking paniknya kamu belum diberitahu. Mas saja baru tahu saat sedang bekerja. Mas juga tidak tahu jika ibu sedang sakit, Mas pikir ibu baik-baik saja. Tapi ternyata, ibu sakit dan tidak memberitahu rasa sakitnya." "Mungkin ibu tidak mau membuat kita khawatir dan cemas. Memang jika seorang ibu akan menyembunyikan apa yang mereka rasakan, Karena Mama pun sama seperti itu." Nayra tiba-tiba saja teringat sosok ibu yang sudah lama tiada. "Maaf, bukan maksud Mas ingin membuat kamu sedih." Albi
"Kamu sudah datang, Albi. Mama pikir kamu tidak akan datang lagi," sambut Laila saat melihat putranya masuk dan menghampirinya. "Tidak mungkin Albi tidak menjenguk ibu. Lagian Nayra juga ingin melihat kondisi ibu," jawab Albi sambil menatap istrinya sambil tersenyum. "Iya, terima kasih karena sudah menyempatkan waktu kamu untuk menjenguk ibu." "Tidak, Bu. Memang sudah seharusnya aku menjenguk Ibu. Tapi kalau memang ibu tidak keberatan, aku bisa menemani ibu jika malam hari. Aku akan menginap dan ikut merawat ibu," ucap Nayra sambil berusaha supaya lebih dekat lagi dengan mertuanya. "Tidak usah, kamu dirumah saja, Nay. Kalau tidak keberatan, biar Albi saja yang menemani ibu disini." Laila menghela nafas panjang. "Jika ibu meminta Rafael untuk menemani ibu disini, ibu malah khawatir sam Aninda yang sedang hamil muda. Jika ibu minta bantuan sama Kartika, kasihan juga dia." "Aku mau saja menemani ibu disini, tapi bagaimana dengan Nayra?" Nayra menatap wajah suaminya, dia ters
"Kamu sudah datang, Albi. Mama pikir kamu tidak akan datang lagi," sambut Laila saat melihat putranya masuk dan menghampirinya. "Tidak mungkin Albi tidak menjenguk ibu. Lagian Nayra juga ingin melihat kondisi ibu," jawab Albi sambil menatap istrinya sambil tersenyum. "Iya, terima kasih karena sudah menyempatkan waktu kamu untuk menjenguk ibu." "Tidak, Bu. Memang sudah seharusnya aku menjenguk Ibu. Tapi kalau memang ibu tidak keberatan, aku bisa menemani ibu jika malam hari. Aku akan menginap dan ikut merawat ibu," ucap Nayra sambil berusaha supaya lebih dekat lagi dengan mertuanya. "Tidak usah, kamu dirumah saja, Nay. Kalau tidak keberatan, biar Albi saja yang menemani ibu disini." Laila menghela nafas panjang. "Jika ibu meminta Rafael untuk menemani ibu disini, ibu malah khawatir sam Aninda yang sedang hamil muda. Jika ibu minta bantuan sama Kartika, kasihan juga dia." "Aku mau saja menemani ibu disini, tapi bagaimana dengan Nayra?" Nayra menatap wajah suaminya, dia ters
Albi pulang dengan terlihat lesu, Nayra yang menunggu di ruang tamu merasa heran melihat suaminya yang seperti itu. Nayra menghampiri Albi dan membawakan tas kerja suaminya seperti biasa. Albi tiba-tiba saja memeluk Nayra dan mencium kening sang istri sangat lama. "Ada apa, kenapa sepertinya letih dan lesu sekali?" tanya Nayra. "Ibu masuk rumah sakit, aku baru saja pulang dari sana." Nayra kaget mendengar kabar itu, dia menatap suaminya dengan lekat. "Kenapa aku baru dikasih tahu?" "Mungkin saking paniknya kamu belum diberitahu. Mas saja baru tahu saat sedang bekerja. Mas juga tidak tahu jika ibu sedang sakit, Mas pikir ibu baik-baik saja. Tapi ternyata, ibu sakit dan tidak memberitahu rasa sakitnya." "Mungkin ibu tidak mau membuat kita khawatir dan cemas. Memang jika seorang ibu akan menyembunyikan apa yang mereka rasakan, Karena Mama pun sama seperti itu." Nayra tiba-tiba saja teringat sosok ibu yang sudah lama tiada. "Maaf, bukan maksud Mas ingin membuat kamu sedih." Albi
"Mas, katanya pulang terlambat?" tanya Nayra yang melihat suaminya membuka pintu kamar mereka. "Iya, tiba-tiba saja mas merindukan istri Mas ini, jadi mas segera pulang saja," jawab Albi. "Astaga, sejak kapan kamu menjadi suka sekali menggombal?" Albi duduk disamping Nayra dan memeluk wanita yang baru dua tahun dia jadikan istri. Wanita yang begitu dia cintai saat ini. Semoga saja rasa cinta ini akan tetap sama bahkan bertambah sampai nanti. "Menyenangkan hati istri tidak salah, kan?" "Oh jadi sekarang suamiku ini sedang berusaha membuat hati istrinya senang, begitu?" tanya Nayra sambil tersenyum. Albi mengangguk. "Tentu saja, apapun yang membuat kamu senang, maka akan aku lakukan." "Termasuk setia sama aku?" "Jangan bertanya sesuatu yang sudah pasti kamu tahu jawabannya. Setia itu sudah menjadi tugasku, aku yang memilih kamu dan aku sudah bertekad untuk menjadikan kamu satu-satunya. Jangan pernah meragukan itu lagi, sayang." Nayra tersenyum. "Aku hanya berc
"Hai, apa kabar?” Albi menatap wanita yang dia sudah kenal. Wanita yang hampir empat tahun tidak bertemu dengannya. Wanita yang dulu selalu ada bersamanya dan sekarang Albi tidak tahu apa yang sedang wanita itu lakukan di rumah orang tuanya. “Baik, kamu apa kabar?” tanya Albi kembali. “Seperti yang kamu lihat, aku baik dan sangat baik. Sudah sangat lama sekali kita tidak bertemu, aku tidak menyangka bisa bertemu lagi dengan kamu,” jawab wanita itu yang ternyata bernama Kharisma. “Sepertinya kita makan siang dulu saja, nanti kalau memang kalian mau ngobrol setelah ini saja. Kasihan Aninda dan calon anaknya yang sudah ingin makan,” sahut Laila sambil terkekeh. “Boleh, maafkan Risma, Bu. Risma terlalu berantusias sehingga lupa kalau kita akan makan siang bersama.” “Tidak apa, nak. Ibu mengerti, sekarang kita makan siang dulu setelah itu kalian bisa lanjutkan mengobrol di ruang keluarga.” Laila tersenyum senang melihat respon putranya yang sepertinya begitu senang melihat keda
Apa? Menikah lagi, ide macam apa itu?” tanya Albi yang terlihat marah. “Dengarkan ibu dulu, Nak. Ibu hanya ingin kamu merasakan menjadi sekarang ayah, apakah ibu salah?” Laila memasang wajah yang sangat sedih. “Bu, Albi sangat berterima kasih dengan kekhawatiran ibu. Tapi untuk menikah lagi, aku tidak akan mau karena aku sudah mempunyai istri. Aku memilih Nayra sebagai istriku, aku mengambilnya dari orang tuanya dengan baik-baik. Aku juga sudah berjanji tidak akan menyakitinya. Jadi, aku tidak mau melakukan apa yang ibu mau untuk kali ini,” jawab Albi sambil menatap ibunya. “Albi, semua bisa diatur. Kamu bisa tetap menikah lagi walaupun Nayra tidak tahu, memiliki istri lebih dari satu itu tidak buruk. Kamu mampu membiayai keduanya, kamu punya segalanya. Jadi ibu yakin wanita manapun mau jika dijadikan yang kedua oleh kamu, Bi. Ibu sangat yakin itu,” kekeh Laila. “Bu, aku tidak mau menyakiti hati Nayra. Selama ini aku diam ketika Nayra di pojokan karena belum hamil, aku diam karena
Di ruangan Albi, Nayra terus terdiam. Dia seolah hanyut dengan apa yang sedang dia pikirkan. Nayra yakin, kedatangan ibu mertua dan adik iparnya itu untuk menjalankan apa yang sudah mereka rencanakan. Sungguh tidak habis pikir, adik iparnya dengan sangat tega ingin memisahkan dia dengan Albi. “Nay, jika suamimu sedang bekerja, jangan kamu ganggu dia. Seharusnya kamu diam saja di rumah dan tunggu dia pulang. Kamu seperti tidak punya kerjaan lain saja,” ucap Laila. “Lantas ibu dan Aninda ada kepentingan apa ke kantor?” tanya Nayra kembali. “Wajar saja jika ibu berkunjung ke kantor. Secara, ibu adalah pemilik perusahaan ini. Ibu berhak jika memang ingin keluar masuk kantor. Ibu ingin melihat perkembangan perusahaan sekarang seperti apa,” jawab Laila sambil menatap Nayra. “Iya, kenapa mbak Nayra justru bertanya seperti itu? Jika memang ibu mau datang kapan saja, bukannya itu tidak jadi masalah?” tanya Aninda yang justru membuat suasana di ruangan itu semakin memanas. “Iya saya menger
Sepulangnya dari rumah Laila, Nayra langsung banyak diam dan melamun. Albi belum menyadari sikap istrinya, dia begitu sibuk karena sedang menangani proyek besar di perusahaan. Bahkan beberapa hari ini Albi sering pulang telat, Nayra tidak banyak protes seperti biasanya. Karena Randi, sang asisten pribadi suaminya selalu memberi kabar pada Nayra itu pun atas perintah Albi yang tahu jika istrinya pasti akan terus bertanya. Albi baru pulang, dia melihat istrinya sedang duduk di balkon kamar. Albi baru sadar jika sikap istrinya sekarang, Albi mendekat dan duduk di samping Nayra. Albi menatap Nayra dari samping, terlihat jika Nayra sedang melamun dan memikirkan sesuatu. “Kenapa malam-malam seperti ini masih diluar?” tanya Albi. “Mas, kapan kamu datang?” bukannya menjawab Nayra justru melontarkan kembali pertanyaan. “Baru saja, kamu sedang memikirkan apa sehingga suami pulang saja tidak menyadari.” “Tidak ada, mas.” “Ada apa? Kenapa sepertinya kamu melamun terus, apa yang mengganggu p
“Ada apa ini?” Kartika datang dan melihat kedua adik iparnya sedang bersitegang. Apalagi melihat Nayra yang sangat kesal seperti itu. Nayra menoleh, dia langsung menunduk dan memejamkan matanya ketika tahu jika Kartika. Kakak iparnya yang ada di belakang mereka. Kartika melihat wajah Aninda yang sepertinya tersenyum tipis sementara Nayra yang terlihat tegang. Kartika berdiri di samping kanan Nayra. “Ada apa, Nay?” tanya Kartika kembali. “Tidak ada apa-apa, mbak.” Nayra lalu tersenyum. “Jangan berbohong, mbak jelas-jelas tadi melihat kalian sedang beradu mulut. Mbak tidak mau mempunyai keluarga yang saling membenci. Mbak ingin kalian akur satu sama lain,” ucap Kartika. “Mbak Nayra baru saja datang udah marah-marah gak jelas, mbak. Anin jadi bingung, makanya Anin tanya mbak Nayra. Eh, malah ngegas gitu jawabnya.” “Marah-marah gak jelas katamu? Astaga, kamu yang membuat aku seperti ini Aninda! Aku tidak akan marah atau kesal jika kamu tidak berulah,” bantah Nayra. “Lalu apa masala
Nayra pulang dengan perasaan kesal dan tentu saja sedih. Nayra menyimpan barang belanjaannya dan segera masuk ke kamar mandi untuk menyegarkan badannya. Nayra berdiri di bawah shower, membasahi tubuhnya dengan air dingin. Nayra bermaksud supaya otaknya bisa ikut dingin juga. Pertemuan dengan adik dan mertuanya membuat moodnya malah tidak baik. “Mengadu apa yang terjadi hari ini pun percuma, yang ada mas Albi pasti akan membela ibunya dan meminta aku terus memakluminya. Padahal, ini sudah sangat keterlaluan.” Nayra menghela nafas panjang. “Rasanya aku ingin meminta mas Albi untuk membawa aku pindah dari kota ini. Menghayal saja dulu, toh kenyataannya itu tidak mungkin.” Nayra terkekeh. Setelah merasa lebih baik, Nayra segera menyelesaikan mandinya dan segera berpakaian. Nayra membuka semua barang belanjaannya hari ini. Dia melihat satu pakaian yang menurutnya tidak pernah dibelinya. Membeberkan pakaian itu yang ternyata baju untuk wanita hamil. “Astaga, kenapa baju ini ada pada tas