“Ada apa ini?” Kartika datang dan melihat kedua adik iparnya sedang bersitegang. Apalagi melihat Nayra yang sangat kesal seperti itu.
Nayra menoleh, dia langsung menunduk dan memejamkan matanya ketika tahu jika Kartika. Kakak iparnya yang ada di belakang mereka. Kartika melihat wajah Aninda yang sepertinya tersenyum tipis sementara Nayra yang terlihat tegang. Kartika berdiri di samping kanan Nayra.
“Ada apa, Nay?” tanya Kartika kembali.
“Tidak ada apa-apa, mbak.” Nayra lalu tersenyum.
“Jangan berbohong, mbak jelas-jelas tadi melihat kalian sedang beradu mulut. Mbak tidak mau mempunyai keluarga yang saling membenci. Mbak ingin kalian akur satu sama lain,” ucap Kartika.
“Mbak Nayra baru saja datang udah marah-marah gak jelas, mbak. Anin jadi bingung, makanya Anin tanya mbak Nayra. Eh, malah ngegas gitu jawabnya.”
“Marah-marah gak jelas katamu? Astaga, kamu yang membuat aku seperti ini Aninda! Aku tidak akan marah atau kesal jika kamu tidak berulah,” bantah Nayra.
“Lalu apa masalahnya? Coba kalian bicara!” tegas Kartika.
“Mbak, selama ini aku sabar ngadepin sikap dia. Tapi dia terus saja membuat aku kesal, becandaan dia sangat keterlaluan kemarin,” kata Nayra.
“Bercandaan apa?” tanya Kartika.
“Aku gak sengaja, mbak. Tapi mbak Nay malah serius menanggapinya,” jawab Aninda dengan cepat.
“Gak sengaja gimana, jelas-jelas kamu-”
“Sayang, kamu disini.” Rafael, suami dari Aninda datang.
“Mas, apa memerlukan sesuatu?” tanya Aninda.
“Mas cariin dari tadi. Itu ibu nyariin kamu, katanya jangan melakukan apapun karena semua sudah ditugaskan pada art di rumah. Jangan kecapean juga,” jawab Rafael.
“Aku hanya menyeduh susu aja, Mas.”
“Kenapa gak nyuruh aku buat bikinin susunya?”
“Aku liat mas lagi serius bicara sama ibu, jadi aku bikin sendiri aja,” jawab Aninda sambil bergelayut manja di lengan suaminya. Rafael segera membawa istrinya keluar dari dapur.
“Kita bicara di taman belakang, ya?” tanya Kartika. Nayra langsung mengangguk dan berjalan dibelakang kakak iparnya. Nayra memang begitu dekat dengan Kartika, tak heran jika Kartika selalu memahami perasaan Nayra.
“Apa yang dia perbuat, Nay?” tanya Kartika.
“Kemarin aku belanja ke butik langganan ibu. Aku gak tahu jika ibu dan Aninda juga akan ke butik itu, di sana Aninda terus mengatakan hal yang membuat aku tidak enak. Dia bilang kalau ibu sangat perhatian padanya, ibu membelikan semua keperluan Anin. Banyak sekali baju hamil yang ibu belikan untuk Anin, aku tidak mempermasalahkan itu.” Nayra menghela nafas panjang. “Dia dengan sengaja meminta pelayan di sana menyimpan satu baju hamil berukuran besar pada belanjaanku. Dia juga mengatakan jika aku membutuhkan karena sekarang aku sedang hamil beberapa bulan lagi akan membesar.”
“Astaga, kenapa dia sebegitunya sama kamu, Nay? Ibu terlalu memanjakannya jadi dia seenaknya begitu pada orang lain. Padahal dia juga sama statusnya menantu di keluarga ini. Mbak juga suka kesal jika ibu terus memuji Aninda, apalagi ketika ibu mengatakan jika seharusnya kamu dan Albi yang sudah hamil. Kamu harus benar-benar bersabar,” jawab Kartika.
“Padahal kurang sabar apalagi aku, mbak. Setiap ucapan ibu selalu membuat aku sakit, apalagi ketika ibu bicara seperti itu dihadapan keluarga besar kita seperti malam kemarin.”
“Iya mbak mengerti, jika ada apa-apa lagi kamu bicara saja sama mbak. Nanti mbak akan bicara sama ibu.”
Nayra mengangguk. “Terima kasih, mbak.”
“Darimana?” tanya Albi.
“Habis bicara dengan mbak Tika sebentar, Mas. Ada apa?”
“Kita makan malam dulu, setelah itu langsung pulang. Mas masih ada pekerjaan yang belum selesai,” jawab Albi sambil menggandeng tangan istrinya.
“Sudah malam Mas, masa masih mau kerja juga,” gerutu Nayra.
“Kan buat kamu juga,” jawab Albi dan membuat Nayra tersenyum.
“Albi, ini ada makanan kesukaan kamu,” ucap Laila saat keduanya sudah sampai di meja makan.
“Wah, sepertinya malam ini makan enak, nih,” celetuk Albi.
“Makan enak? Memangnya mas Albi kalau di rumah gak pernah makan enak?” tanya Aninda.
“Sayang,” panggil Rafael dengan lembut sambil mengusap tangan istrinya seolah memberi tanda jangan mulai.
“Enggak, maksud aku di rumah ibu. Kalau di rumah setiap hari juga selalu enak, apalagi masakan istriku pasti enak,” jawab Albi dengan cepat. “Lihat saja perutku, karena selalu makan enak jadi tidak terkendali.” imbuh Albi sambil menepuk perutnya.
“Jadi istri memang harus bisa menyenangkan suami, dalam segala hal. Baik itu dari makanan, perlakuan dan tentu saja dalam urusan r4nj4ng.”
Nayra terdiam, dia tidak ingin menjawab apa yang dikatakan mertuanya. Nayra memang sudah memberikan segalanya untuk Albi. Dia juga sudah menjadi istri yang penurut, lalu kurang apa lagi? Mungkin dia memang belum bisa memberikan keturunan untuk suaminya.
“Oh ya, Rafael dan Aninda akan menginap disini. Ibu harap Albi juga mau menginap disini,” imbuh Laila sambil menatap anak dan menantunya.
“Mas Albi masih ada kerjaan, katanya harus selesai malam ini juga. Jadi, kita seperti kita tidak bisa menginap, Bu.” Nayra menatap suaminya seolah ingin Albi membenarkan jawabannya.
“Iya, aku masih ada pekerjaan, Bu.”
“Masa menuruti keinginan ibu tidak bisa, Mas?” tanya Aninda yang selalu ikut bicara.
“Iya, ibu hanya ingin kamu menginap.”
“Baiklah, malam ini Albi dan Nayra kembali menginap disini.”
Laila tersenyum. “seperti itu lebih baik.”
“Mas, kenapa malah menginap lagi disini?” tanya Nayra.
“Tidak apa, Mas bisa selesaikan pekerjaan Mas besok pagi. Lagian ada Rendi yang akan bantu mas selesaikan pekerjaan, kamu tidak usah khawatir,” jawab Albi. “Mau kemana?” imbuh Albi ketika melihat istrinya akan keluar kamar.
“Mau ambil minum, rasanya haus sekali.”
Nayra langsung keluar kamar dan berjalan menuju dapur. Dia segera mengambil sebotol air mineral dan menuangkan dalam gelas, ternyata tak lama datang bi Minah yang bekerja sebagai art di rumah itu. Nayra tersenyum lalu duduk sejenak di dapur.
“Mau buat apa lagi, Bi?” tanya Nayra.
“Ini Non, mau buatkan susu hangat buat ibu,” jawab bi Minah.
“Oh begitu. Ibu memang masih rutin suka minum susu itu?”
“Iya, katanya badannya lebih kuat kalau minum susu ini,” jawab bi Minah sambil tersenyum
“Biar aku aja deh bi yang antar,” ucap Nayra yang tiba-tiba ingin mengantarkan minum itu pada mertuanya.
“Boleh, kebetulan bibi juga kebelet pengen ke kamar mandi.”
Nayra tersenyum, dia lalu membawa gelas berisi susu untuk mertuanya. Berjalan dengan perlahan dan Nayra seolah sedang menyusun kata-kata untuk bisa memenangkan hati mertuanya kembali. Nayra juga berpikir jika dia terus memberi mertuanya perhatian, Nayra yakin jika mertuanya akan kembali memperhatikannya.
“Bagaimana Bu, apakah ini setuju dengan apa yang aku katakan barusan?” tanya Aninda.
“Anin, Albi sudah menikah. Masa iya kita jodohkan dengan wanita itu, yang benar saja, nak.”
“Bu, bukannya ibu ingin sekali cucu dari Mas Albi? Apa salahnya kita minta Mas Albi untuk menikah lagi, siapa tahu dengan wanita lain Mas Albi langsung mempunyai anak. Anin yakin kalau yang bermasalah itu mbak Nayra, bukan dari Mas Albi nya,” ujar Aninda.
“Masalahnya apakah Albi mau kita suruh menikah lagi? Ini bukan perihal yang mudah, Anin.”
“Anin yakin jika ibu membujuknya, Mas Albi pasti mau dan akan menuruti apa yang ibu minta.” Aninda berkata itu dengan sangat yakin.
“Ibu akan coba.”
Tanpa keduanya sadari jika Nayra mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Nayra langsung menangis ketika mendengar ucapan adik iparnya. Tidak menyangka jika keduanya memiliki niat untuk meminta suaminya menikah lagi.
“Kalian mau rumah tanggaku hancur?” lirih Nayra sambil pergi meninggalkan ruangan yang masih ada adik ipar dan mertuanya itu.
Sepulangnya dari rumah Laila, Nayra langsung banyak diam dan melamun. Albi belum menyadari sikap istrinya, dia begitu sibuk karena sedang menangani proyek besar di perusahaan. Bahkan beberapa hari ini Albi sering pulang telat, Nayra tidak banyak protes seperti biasanya. Karena Randi, sang asisten pribadi suaminya selalu memberi kabar pada Nayra itu pun atas perintah Albi yang tahu jika istrinya pasti akan terus bertanya. Albi baru pulang, dia melihat istrinya sedang duduk di balkon kamar. Albi baru sadar jika sikap istrinya sekarang, Albi mendekat dan duduk di samping Nayra. Albi menatap Nayra dari samping, terlihat jika Nayra sedang melamun dan memikirkan sesuatu. “Kenapa malam-malam seperti ini masih diluar?” tanya Albi. “Mas, kapan kamu datang?” bukannya menjawab Nayra justru melontarkan kembali pertanyaan. “Baru saja, kamu sedang memikirkan apa sehingga suami pulang saja tidak menyadari.” “Tidak ada, mas.” “Ada apa? Kenapa sepertinya kamu melamun terus, apa yang mengganggu p
Di ruangan Albi, Nayra terus terdiam. Dia seolah hanyut dengan apa yang sedang dia pikirkan. Nayra yakin, kedatangan ibu mertua dan adik iparnya itu untuk menjalankan apa yang sudah mereka rencanakan. Sungguh tidak habis pikir, adik iparnya dengan sangat tega ingin memisahkan dia dengan Albi. “Nay, jika suamimu sedang bekerja, jangan kamu ganggu dia. Seharusnya kamu diam saja di rumah dan tunggu dia pulang. Kamu seperti tidak punya kerjaan lain saja,” ucap Laila. “Lantas ibu dan Aninda ada kepentingan apa ke kantor?” tanya Nayra kembali. “Wajar saja jika ibu berkunjung ke kantor. Secara, ibu adalah pemilik perusahaan ini. Ibu berhak jika memang ingin keluar masuk kantor. Ibu ingin melihat perkembangan perusahaan sekarang seperti apa,” jawab Laila sambil menatap Nayra. “Iya, kenapa mbak Nayra justru bertanya seperti itu? Jika memang ibu mau datang kapan saja, bukannya itu tidak jadi masalah?” tanya Aninda yang justru membuat suasana di ruangan itu semakin memanas. “Iya saya menger
Apa? Menikah lagi, ide macam apa itu?” tanya Albi yang terlihat marah. “Dengarkan ibu dulu, Nak. Ibu hanya ingin kamu merasakan menjadi sekarang ayah, apakah ibu salah?” Laila memasang wajah yang sangat sedih. “Bu, Albi sangat berterima kasih dengan kekhawatiran ibu. Tapi untuk menikah lagi, aku tidak akan mau karena aku sudah mempunyai istri. Aku memilih Nayra sebagai istriku, aku mengambilnya dari orang tuanya dengan baik-baik. Aku juga sudah berjanji tidak akan menyakitinya. Jadi, aku tidak mau melakukan apa yang ibu mau untuk kali ini,” jawab Albi sambil menatap ibunya. “Albi, semua bisa diatur. Kamu bisa tetap menikah lagi walaupun Nayra tidak tahu, memiliki istri lebih dari satu itu tidak buruk. Kamu mampu membiayai keduanya, kamu punya segalanya. Jadi ibu yakin wanita manapun mau jika dijadikan yang kedua oleh kamu, Bi. Ibu sangat yakin itu,” kekeh Laila. “Bu, aku tidak mau menyakiti hati Nayra. Selama ini aku diam ketika Nayra di pojokan karena belum hamil, aku diam karena
"Hai, apa kabar?” Albi menatap wanita yang dia sudah kenal. Wanita yang hampir empat tahun tidak bertemu dengannya. Wanita yang dulu selalu ada bersamanya dan sekarang Albi tidak tahu apa yang sedang wanita itu lakukan di rumah orang tuanya. “Baik, kamu apa kabar?” tanya Albi kembali. “Seperti yang kamu lihat, aku baik dan sangat baik. Sudah sangat lama sekali kita tidak bertemu, aku tidak menyangka bisa bertemu lagi dengan kamu,” jawab wanita itu yang ternyata bernama Kharisma. “Sepertinya kita makan siang dulu saja, nanti kalau memang kalian mau ngobrol setelah ini saja. Kasihan Aninda dan calon anaknya yang sudah ingin makan,” sahut Laila sambil terkekeh. “Boleh, maafkan Risma, Bu. Risma terlalu berantusias sehingga lupa kalau kita akan makan siang bersama.” “Tidak apa, nak. Ibu mengerti, sekarang kita makan siang dulu setelah itu kalian bisa lanjutkan mengobrol di ruang keluarga.” Laila tersenyum senang melihat respon putranya yang sepertinya begitu senang melihat keda
"Mas, katanya pulang terlambat?" tanya Nayra yang melihat suaminya membuka pintu kamar mereka. "Iya, tiba-tiba saja mas merindukan istri Mas ini, jadi mas segera pulang saja," jawab Albi. "Astaga, sejak kapan kamu menjadi suka sekali menggombal?" Albi duduk disamping Nayra dan memeluk wanita yang baru dua tahun dia jadikan istri. Wanita yang begitu dia cintai saat ini. Semoga saja rasa cinta ini akan tetap sama bahkan bertambah sampai nanti. "Menyenangkan hati istri tidak salah, kan?" "Oh jadi sekarang suamiku ini sedang berusaha membuat hati istrinya senang, begitu?" tanya Nayra sambil tersenyum. Albi mengangguk. "Tentu saja, apapun yang membuat kamu senang, maka akan aku lakukan." "Termasuk setia sama aku?" "Jangan bertanya sesuatu yang sudah pasti kamu tahu jawabannya. Setia itu sudah menjadi tugasku, aku yang memilih kamu dan aku sudah bertekad untuk menjadikan kamu satu-satunya. Jangan pernah meragukan itu lagi, sayang." Nayra tersenyum. "Aku hanya berc
Albi pulang dengan terlihat lesu, Nayra yang menunggu di ruang tamu merasa heran melihat suaminya yang seperti itu. Nayra menghampiri Albi dan membawakan tas kerja suaminya seperti biasa. Albi tiba-tiba saja memeluk Nayra dan mencium kening sang istri sangat lama. "Ada apa, kenapa sepertinya letih dan lesu sekali?" tanya Nayra. "Ibu masuk rumah sakit, aku baru saja pulang dari sana." Nayra kaget mendengar kabar itu, dia menatap suaminya dengan lekat. "Kenapa aku baru dikasih tahu?" "Mungkin saking paniknya kamu belum diberitahu. Mas saja baru tahu saat sedang bekerja. Mas juga tidak tahu jika ibu sedang sakit, Mas pikir ibu baik-baik saja. Tapi ternyata, ibu sakit dan tidak memberitahu rasa sakitnya." "Mungkin ibu tidak mau membuat kita khawatir dan cemas. Memang jika seorang ibu akan menyembunyikan apa yang mereka rasakan, Karena Mama pun sama seperti itu." Nayra tiba-tiba saja teringat sosok ibu yang sudah lama tiada. "Maaf, bukan maksud Mas ingin membuat kamu sedih." Albi
"Kamu sudah datang, Albi. Mama pikir kamu tidak akan datang lagi," sambut Laila saat melihat putranya masuk dan menghampirinya. "Tidak mungkin Albi tidak menjenguk ibu. Lagian Nayra juga ingin melihat kondisi ibu," jawab Albi sambil menatap istrinya sambil tersenyum. "Iya, terima kasih karena sudah menyempatkan waktu kamu untuk menjenguk ibu." "Tidak, Bu. Memang sudah seharusnya aku menjenguk Ibu. Tapi kalau memang ibu tidak keberatan, aku bisa menemani ibu jika malam hari. Aku akan menginap dan ikut merawat ibu," ucap Nayra sambil berusaha supaya lebih dekat lagi dengan mertuanya. "Tidak usah, kamu dirumah saja, Nay. Kalau tidak keberatan, biar Albi saja yang menemani ibu disini." Laila menghela nafas panjang. "Jika ibu meminta Rafael untuk menemani ibu disini, ibu malah khawatir sam Aninda yang sedang hamil muda. Jika ibu minta bantuan sama Kartika, kasihan juga dia." "Aku mau saja menemani ibu disini, tapi bagaimana dengan Nayra?" Nayra menatap wajah suaminya, dia ters
Albi pulang mengantarkan Nayra terlebih dahulu sebelum dia menginap dirumah sakit. Nayra merasa perlakuan suaminya menjadi berbeda, Albi terus menggenggam tangan Nayra bahkan sampai di kamar mereka berdua. Nayra tidak menaruh curiga apapun, Nayra langsung menatap suaminya yang sekarang ada di hadapannya. "Kenapa sih, Mas?" "Kenapa? Maksudnya?" tanya Albi balik. "Dari tadi kamu itu aneh banget, dirumah sakit kamu terus genggam tangan aku. Bahkan, kita sudah sampai kamar pun masih kamu genggam tangan aku. Ada apa!" Nayra mengusap lengan suaminya dengan lembut. "Tidak ada, hanya saja meninggalkan kamu malam ini dirumah membuat ku tidak tenang dan khawatir. Tapi ...," "Mas, jangan khawatir dan berpikir buruk. Aku disini juga masih ada bibi, aku tidak sendiri dan aku masih bisa menjaga diri aku baik-baik. Kamu ini hanya menjaga Ibu dirumah sakit, bukan akan berperang ke tempat terpencil, Mas." Nayra terkekeh. "Memang salahnya dimana kalau seorang Sumi khawatir dam istrinya yang
Albi benar-benar tidak bisa menolak keinginan ibunya yang meminta dia untuk menikah lagi. Acara pernikahan keduanya sudah siap 90 persen, Albi tidak mungkin mundur karena dia akan tahu apa akibatnya. Albi hanya bisa pasrah dengan apa yang akan terjadi, namun dia akan berusaha menutupi semuanya dari Nayra. Dia akan berusaha supaya Nayra tidak tahu. Dia juga sudah punya rencana, jika sampai pernikahan keduanya memiliki anak, maka dia akan menceraikan Kharisma dan mengambil hak asuh anak. Albi berniat untuk membesarkan anak itu bersama dengan Nayra. Albi yakin, Nayra pasti mau menerimanya. "Mas, kamu hati-hati dijalan. Jangan sampai lupa untuk memberi kabar jika kamu sudah sampai," ucap Nayra yang masih bergelayut manja dilengan suaminya. "Pasti sayang, Mas akan langsung menghubungi kami ketika sudah sampai di kota itu. Kamu jaga diri baik-baik, aku akan menjemput kamu ketika semua sudah selesai." Nayra mengangguk. "Langsung pulang jika pekerjaan kamu sudah selesai, Mas." "Pas
Albi pulang mengantarkan Nayra terlebih dahulu sebelum dia menginap dirumah sakit. Nayra merasa perlakuan suaminya menjadi berbeda, Albi terus menggenggam tangan Nayra bahkan sampai di kamar mereka berdua. Nayra tidak menaruh curiga apapun, Nayra langsung menatap suaminya yang sekarang ada di hadapannya. "Kenapa sih, Mas?" "Kenapa? Maksudnya?" tanya Albi balik. "Dari tadi kamu itu aneh banget, dirumah sakit kamu terus genggam tangan aku. Bahkan, kita sudah sampai kamar pun masih kamu genggam tangan aku. Ada apa!" Nayra mengusap lengan suaminya dengan lembut. "Tidak ada, hanya saja meninggalkan kamu malam ini dirumah membuat ku tidak tenang dan khawatir. Tapi ...," "Mas, jangan khawatir dan berpikir buruk. Aku disini juga masih ada bibi, aku tidak sendiri dan aku masih bisa menjaga diri aku baik-baik. Kamu ini hanya menjaga Ibu dirumah sakit, bukan akan berperang ke tempat terpencil, Mas." Nayra terkekeh. "Memang salahnya dimana kalau seorang Sumi khawatir dam istrinya yang
"Kamu sudah datang, Albi. Mama pikir kamu tidak akan datang lagi," sambut Laila saat melihat putranya masuk dan menghampirinya. "Tidak mungkin Albi tidak menjenguk ibu. Lagian Nayra juga ingin melihat kondisi ibu," jawab Albi sambil menatap istrinya sambil tersenyum. "Iya, terima kasih karena sudah menyempatkan waktu kamu untuk menjenguk ibu." "Tidak, Bu. Memang sudah seharusnya aku menjenguk Ibu. Tapi kalau memang ibu tidak keberatan, aku bisa menemani ibu jika malam hari. Aku akan menginap dan ikut merawat ibu," ucap Nayra sambil berusaha supaya lebih dekat lagi dengan mertuanya. "Tidak usah, kamu dirumah saja, Nay. Kalau tidak keberatan, biar Albi saja yang menemani ibu disini." Laila menghela nafas panjang. "Jika ibu meminta Rafael untuk menemani ibu disini, ibu malah khawatir sam Aninda yang sedang hamil muda. Jika ibu minta bantuan sama Kartika, kasihan juga dia." "Aku mau saja menemani ibu disini, tapi bagaimana dengan Nayra?" Nayra menatap wajah suaminya, dia ters
Albi pulang dengan terlihat lesu, Nayra yang menunggu di ruang tamu merasa heran melihat suaminya yang seperti itu. Nayra menghampiri Albi dan membawakan tas kerja suaminya seperti biasa. Albi tiba-tiba saja memeluk Nayra dan mencium kening sang istri sangat lama. "Ada apa, kenapa sepertinya letih dan lesu sekali?" tanya Nayra. "Ibu masuk rumah sakit, aku baru saja pulang dari sana." Nayra kaget mendengar kabar itu, dia menatap suaminya dengan lekat. "Kenapa aku baru dikasih tahu?" "Mungkin saking paniknya kamu belum diberitahu. Mas saja baru tahu saat sedang bekerja. Mas juga tidak tahu jika ibu sedang sakit, Mas pikir ibu baik-baik saja. Tapi ternyata, ibu sakit dan tidak memberitahu rasa sakitnya." "Mungkin ibu tidak mau membuat kita khawatir dan cemas. Memang jika seorang ibu akan menyembunyikan apa yang mereka rasakan, Karena Mama pun sama seperti itu." Nayra tiba-tiba saja teringat sosok ibu yang sudah lama tiada. "Maaf, bukan maksud Mas ingin membuat kamu sedih." Albi
"Mas, katanya pulang terlambat?" tanya Nayra yang melihat suaminya membuka pintu kamar mereka. "Iya, tiba-tiba saja mas merindukan istri Mas ini, jadi mas segera pulang saja," jawab Albi. "Astaga, sejak kapan kamu menjadi suka sekali menggombal?" Albi duduk disamping Nayra dan memeluk wanita yang baru dua tahun dia jadikan istri. Wanita yang begitu dia cintai saat ini. Semoga saja rasa cinta ini akan tetap sama bahkan bertambah sampai nanti. "Menyenangkan hati istri tidak salah, kan?" "Oh jadi sekarang suamiku ini sedang berusaha membuat hati istrinya senang, begitu?" tanya Nayra sambil tersenyum. Albi mengangguk. "Tentu saja, apapun yang membuat kamu senang, maka akan aku lakukan." "Termasuk setia sama aku?" "Jangan bertanya sesuatu yang sudah pasti kamu tahu jawabannya. Setia itu sudah menjadi tugasku, aku yang memilih kamu dan aku sudah bertekad untuk menjadikan kamu satu-satunya. Jangan pernah meragukan itu lagi, sayang." Nayra tersenyum. "Aku hanya berc
"Hai, apa kabar?” Albi menatap wanita yang dia sudah kenal. Wanita yang hampir empat tahun tidak bertemu dengannya. Wanita yang dulu selalu ada bersamanya dan sekarang Albi tidak tahu apa yang sedang wanita itu lakukan di rumah orang tuanya. “Baik, kamu apa kabar?” tanya Albi kembali. “Seperti yang kamu lihat, aku baik dan sangat baik. Sudah sangat lama sekali kita tidak bertemu, aku tidak menyangka bisa bertemu lagi dengan kamu,” jawab wanita itu yang ternyata bernama Kharisma. “Sepertinya kita makan siang dulu saja, nanti kalau memang kalian mau ngobrol setelah ini saja. Kasihan Aninda dan calon anaknya yang sudah ingin makan,” sahut Laila sambil terkekeh. “Boleh, maafkan Risma, Bu. Risma terlalu berantusias sehingga lupa kalau kita akan makan siang bersama.” “Tidak apa, nak. Ibu mengerti, sekarang kita makan siang dulu setelah itu kalian bisa lanjutkan mengobrol di ruang keluarga.” Laila tersenyum senang melihat respon putranya yang sepertinya begitu senang melihat keda
Apa? Menikah lagi, ide macam apa itu?” tanya Albi yang terlihat marah. “Dengarkan ibu dulu, Nak. Ibu hanya ingin kamu merasakan menjadi sekarang ayah, apakah ibu salah?” Laila memasang wajah yang sangat sedih. “Bu, Albi sangat berterima kasih dengan kekhawatiran ibu. Tapi untuk menikah lagi, aku tidak akan mau karena aku sudah mempunyai istri. Aku memilih Nayra sebagai istriku, aku mengambilnya dari orang tuanya dengan baik-baik. Aku juga sudah berjanji tidak akan menyakitinya. Jadi, aku tidak mau melakukan apa yang ibu mau untuk kali ini,” jawab Albi sambil menatap ibunya. “Albi, semua bisa diatur. Kamu bisa tetap menikah lagi walaupun Nayra tidak tahu, memiliki istri lebih dari satu itu tidak buruk. Kamu mampu membiayai keduanya, kamu punya segalanya. Jadi ibu yakin wanita manapun mau jika dijadikan yang kedua oleh kamu, Bi. Ibu sangat yakin itu,” kekeh Laila. “Bu, aku tidak mau menyakiti hati Nayra. Selama ini aku diam ketika Nayra di pojokan karena belum hamil, aku diam karena
Di ruangan Albi, Nayra terus terdiam. Dia seolah hanyut dengan apa yang sedang dia pikirkan. Nayra yakin, kedatangan ibu mertua dan adik iparnya itu untuk menjalankan apa yang sudah mereka rencanakan. Sungguh tidak habis pikir, adik iparnya dengan sangat tega ingin memisahkan dia dengan Albi. “Nay, jika suamimu sedang bekerja, jangan kamu ganggu dia. Seharusnya kamu diam saja di rumah dan tunggu dia pulang. Kamu seperti tidak punya kerjaan lain saja,” ucap Laila. “Lantas ibu dan Aninda ada kepentingan apa ke kantor?” tanya Nayra kembali. “Wajar saja jika ibu berkunjung ke kantor. Secara, ibu adalah pemilik perusahaan ini. Ibu berhak jika memang ingin keluar masuk kantor. Ibu ingin melihat perkembangan perusahaan sekarang seperti apa,” jawab Laila sambil menatap Nayra. “Iya, kenapa mbak Nayra justru bertanya seperti itu? Jika memang ibu mau datang kapan saja, bukannya itu tidak jadi masalah?” tanya Aninda yang justru membuat suasana di ruangan itu semakin memanas. “Iya saya menger
Sepulangnya dari rumah Laila, Nayra langsung banyak diam dan melamun. Albi belum menyadari sikap istrinya, dia begitu sibuk karena sedang menangani proyek besar di perusahaan. Bahkan beberapa hari ini Albi sering pulang telat, Nayra tidak banyak protes seperti biasanya. Karena Randi, sang asisten pribadi suaminya selalu memberi kabar pada Nayra itu pun atas perintah Albi yang tahu jika istrinya pasti akan terus bertanya. Albi baru pulang, dia melihat istrinya sedang duduk di balkon kamar. Albi baru sadar jika sikap istrinya sekarang, Albi mendekat dan duduk di samping Nayra. Albi menatap Nayra dari samping, terlihat jika Nayra sedang melamun dan memikirkan sesuatu. “Kenapa malam-malam seperti ini masih diluar?” tanya Albi. “Mas, kapan kamu datang?” bukannya menjawab Nayra justru melontarkan kembali pertanyaan. “Baru saja, kamu sedang memikirkan apa sehingga suami pulang saja tidak menyadari.” “Tidak ada, mas.” “Ada apa? Kenapa sepertinya kamu melamun terus, apa yang mengganggu p