“Ada apa ini?” Kartika datang dan melihat kedua adik iparnya sedang bersitegang. Apalagi melihat Nayra yang sangat kesal seperti itu.
Nayra menoleh, dia langsung menunduk dan memejamkan matanya ketika tahu jika Kartika. Kakak iparnya yang ada di belakang mereka. Kartika melihat wajah Aninda yang sepertinya tersenyum tipis sementara Nayra yang terlihat tegang. Kartika berdiri di samping kanan Nayra.
“Ada apa, Nay?” tanya Kartika kembali.
“Tidak ada apa-apa, mbak.” Nayra lalu tersenyum.
“Jangan berbohong, mbak jelas-jelas tadi melihat kalian sedang beradu mulut. Mbak tidak mau mempunyai keluarga yang saling membenci. Mbak ingin kalian akur satu sama lain,” ucap Kartika.
“Mbak Nayra baru saja datang udah marah-marah gak jelas, mbak. Anin jadi bingung, makanya Anin tanya mbak Nayra. Eh, malah ngegas gitu jawabnya.”
“Marah-marah gak jelas katamu? Astaga, kamu yang membuat aku seperti ini Aninda! Aku tidak akan marah atau kesal jika kamu tidak berulah,” bantah Nayra.
“Lalu apa masalahnya? Coba kalian bicara!” tegas Kartika.
“Mbak, selama ini aku sabar ngadepin sikap dia. Tapi dia terus saja membuat aku kesal, becandaan dia sangat keterlaluan kemarin,” kata Nayra.
“Bercandaan apa?” tanya Kartika.
“Aku gak sengaja, mbak. Tapi mbak Nay malah serius menanggapinya,” jawab Aninda dengan cepat.
“Gak sengaja gimana, jelas-jelas kamu-”
“Sayang, kamu disini.” Rafael, suami dari Aninda datang.
“Mas, apa memerlukan sesuatu?” tanya Aninda.
“Mas cariin dari tadi. Itu ibu nyariin kamu, katanya jangan melakukan apapun karena semua sudah ditugaskan pada art di rumah. Jangan kecapean juga,” jawab Rafael.
“Aku hanya menyeduh susu aja, Mas.”
“Kenapa gak nyuruh aku buat bikinin susunya?”
“Aku liat mas lagi serius bicara sama ibu, jadi aku bikin sendiri aja,” jawab Aninda sambil bergelayut manja di lengan suaminya. Rafael segera membawa istrinya keluar dari dapur.
“Kita bicara di taman belakang, ya?” tanya Kartika. Nayra langsung mengangguk dan berjalan dibelakang kakak iparnya. Nayra memang begitu dekat dengan Kartika, tak heran jika Kartika selalu memahami perasaan Nayra.
“Apa yang dia perbuat, Nay?” tanya Kartika.
“Kemarin aku belanja ke butik langganan ibu. Aku gak tahu jika ibu dan Aninda juga akan ke butik itu, di sana Aninda terus mengatakan hal yang membuat aku tidak enak. Dia bilang kalau ibu sangat perhatian padanya, ibu membelikan semua keperluan Anin. Banyak sekali baju hamil yang ibu belikan untuk Anin, aku tidak mempermasalahkan itu.” Nayra menghela nafas panjang. “Dia dengan sengaja meminta pelayan di sana menyimpan satu baju hamil berukuran besar pada belanjaanku. Dia juga mengatakan jika aku membutuhkan karena sekarang aku sedang hamil beberapa bulan lagi akan membesar.”
“Astaga, kenapa dia sebegitunya sama kamu, Nay? Ibu terlalu memanjakannya jadi dia seenaknya begitu pada orang lain. Padahal dia juga sama statusnya menantu di keluarga ini. Mbak juga suka kesal jika ibu terus memuji Aninda, apalagi ketika ibu mengatakan jika seharusnya kamu dan Albi yang sudah hamil. Kamu harus benar-benar bersabar,” jawab Kartika.
“Padahal kurang sabar apalagi aku, mbak. Setiap ucapan ibu selalu membuat aku sakit, apalagi ketika ibu bicara seperti itu dihadapan keluarga besar kita seperti malam kemarin.”
“Iya mbak mengerti, jika ada apa-apa lagi kamu bicara saja sama mbak. Nanti mbak akan bicara sama ibu.”
Nayra mengangguk. “Terima kasih, mbak.”
“Darimana?” tanya Albi.
“Habis bicara dengan mbak Tika sebentar, Mas. Ada apa?”
“Kita makan malam dulu, setelah itu langsung pulang. Mas masih ada pekerjaan yang belum selesai,” jawab Albi sambil menggandeng tangan istrinya.
“Sudah malam Mas, masa masih mau kerja juga,” gerutu Nayra.
“Kan buat kamu juga,” jawab Albi dan membuat Nayra tersenyum.
“Albi, ini ada makanan kesukaan kamu,” ucap Laila saat keduanya sudah sampai di meja makan.
“Wah, sepertinya malam ini makan enak, nih,” celetuk Albi.
“Makan enak? Memangnya mas Albi kalau di rumah gak pernah makan enak?” tanya Aninda.
“Sayang,” panggil Rafael dengan lembut sambil mengusap tangan istrinya seolah memberi tanda jangan mulai.
“Enggak, maksud aku di rumah ibu. Kalau di rumah setiap hari juga selalu enak, apalagi masakan istriku pasti enak,” jawab Albi dengan cepat. “Lihat saja perutku, karena selalu makan enak jadi tidak terkendali.” imbuh Albi sambil menepuk perutnya.
“Jadi istri memang harus bisa menyenangkan suami, dalam segala hal. Baik itu dari makanan, perlakuan dan tentu saja dalam urusan r4nj4ng.”
Nayra terdiam, dia tidak ingin menjawab apa yang dikatakan mertuanya. Nayra memang sudah memberikan segalanya untuk Albi. Dia juga sudah menjadi istri yang penurut, lalu kurang apa lagi? Mungkin dia memang belum bisa memberikan keturunan untuk suaminya.
“Oh ya, Rafael dan Aninda akan menginap disini. Ibu harap Albi juga mau menginap disini,” imbuh Laila sambil menatap anak dan menantunya.
“Mas Albi masih ada kerjaan, katanya harus selesai malam ini juga. Jadi, kita seperti kita tidak bisa menginap, Bu.” Nayra menatap suaminya seolah ingin Albi membenarkan jawabannya.
“Iya, aku masih ada pekerjaan, Bu.”
“Masa menuruti keinginan ibu tidak bisa, Mas?” tanya Aninda yang selalu ikut bicara.
“Iya, ibu hanya ingin kamu menginap.”
“Baiklah, malam ini Albi dan Nayra kembali menginap disini.”
Laila tersenyum. “seperti itu lebih baik.”
“Mas, kenapa malah menginap lagi disini?” tanya Nayra.
“Tidak apa, Mas bisa selesaikan pekerjaan Mas besok pagi. Lagian ada Rendi yang akan bantu mas selesaikan pekerjaan, kamu tidak usah khawatir,” jawab Albi. “Mau kemana?” imbuh Albi ketika melihat istrinya akan keluar kamar.
“Mau ambil minum, rasanya haus sekali.”
Nayra langsung keluar kamar dan berjalan menuju dapur. Dia segera mengambil sebotol air mineral dan menuangkan dalam gelas, ternyata tak lama datang bi Minah yang bekerja sebagai art di rumah itu. Nayra tersenyum lalu duduk sejenak di dapur.
“Mau buat apa lagi, Bi?” tanya Nayra.
“Ini Non, mau buatkan susu hangat buat ibu,” jawab bi Minah.
“Oh begitu. Ibu memang masih rutin suka minum susu itu?”
“Iya, katanya badannya lebih kuat kalau minum susu ini,” jawab bi Minah sambil tersenyum
“Biar aku aja deh bi yang antar,” ucap Nayra yang tiba-tiba ingin mengantarkan minum itu pada mertuanya.
“Boleh, kebetulan bibi juga kebelet pengen ke kamar mandi.”
Nayra tersenyum, dia lalu membawa gelas berisi susu untuk mertuanya. Berjalan dengan perlahan dan Nayra seolah sedang menyusun kata-kata untuk bisa memenangkan hati mertuanya kembali. Nayra juga berpikir jika dia terus memberi mertuanya perhatian, Nayra yakin jika mertuanya akan kembali memperhatikannya.
“Bagaimana Bu, apakah ini setuju dengan apa yang aku katakan barusan?” tanya Aninda.
“Anin, Albi sudah menikah. Masa iya kita jodohkan dengan wanita itu, yang benar saja, nak.”
“Bu, bukannya ibu ingin sekali cucu dari Mas Albi? Apa salahnya kita minta Mas Albi untuk menikah lagi, siapa tahu dengan wanita lain Mas Albi langsung mempunyai anak. Anin yakin kalau yang bermasalah itu mbak Nayra, bukan dari Mas Albi nya,” ujar Aninda.
“Masalahnya apakah Albi mau kita suruh menikah lagi? Ini bukan perihal yang mudah, Anin.”
“Anin yakin jika ibu membujuknya, Mas Albi pasti mau dan akan menuruti apa yang ibu minta.” Aninda berkata itu dengan sangat yakin.
“Ibu akan coba.”
Tanpa keduanya sadari jika Nayra mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Nayra langsung menangis ketika mendengar ucapan adik iparnya. Tidak menyangka jika keduanya memiliki niat untuk meminta suaminya menikah lagi.
“Kalian mau rumah tanggaku hancur?” lirih Nayra sambil pergi meninggalkan ruangan yang masih ada adik ipar dan mertuanya itu.
Sepulangnya dari rumah Laila, Nayra langsung banyak diam dan melamun. Albi belum menyadari sikap istrinya, dia begitu sibuk karena sedang menangani proyek besar di perusahaan. Bahkan beberapa hari ini Albi sering pulang telat, Nayra tidak banyak protes seperti biasanya. Karena Randi, sang asisten pribadi suaminya selalu memberi kabar pada Nayra itu pun atas perintah Albi yang tahu jika istrinya pasti akan terus bertanya. Albi baru pulang, dia melihat istrinya sedang duduk di balkon kamar. Albi baru sadar jika sikap istrinya sekarang, Albi mendekat dan duduk di samping Nayra. Albi menatap Nayra dari samping, terlihat jika Nayra sedang melamun dan memikirkan sesuatu. “Kenapa malam-malam seperti ini masih diluar?” tanya Albi. “Mas, kapan kamu datang?” bukannya menjawab Nayra justru melontarkan kembali pertanyaan. “Baru saja, kamu sedang memikirkan apa sehingga suami pulang saja tidak menyadari.” “Tidak ada, mas.” “Ada apa? Kenapa sepertinya kamu melamun terus, apa yang mengganggu p
"Mas, kenapa sampai saat ini aku belum hamil juga, ya?” pertanyaan itu selalu dilontarkan Nayra pada Albian, suaminya. “Mungkin kita masih kurang dalam usahanya, sayang.” “Ish, bagaimana kamu bisa bilang kurang dalam usaha, sedangkan setiap malam kita selalu melakukannya. Apa yang salah?” tanya Nayra kembali sambil memeluk Albian yang memang mereka sedang berbaring setelah melakukan hubungan suami istri. “Tenanglah Sayang, mungkin belum waktunya. Atau … Tuhan masih menginginkan kita untuk berdua terus seperti ini. Sekarang yang pasti kita tidak boleh menyerah dan harus terus berusaha, kalau perlu kita lakukan tiga kali sehari.” Albian tertawa saat mengatakan itu. “Memangnya minum obat tiga kali sehari,” sahut Nayra sambil mempererat pelukannya. “Oh ya, besok di rumah ibu ada acara. Entah acara apa Mas tidak tahu, tapi yang jelas ibu minta kita untuk datang.” Albian menyampaikan pesan dari ibunya yang sempat dia terima tadi. Nayra menghela nafas panjang. “Kenapa?” tanya Albian.
Setelah pulang dari rumah mertuanya, Nayra masih kesal pada suaminya yang terus menerus membela Laila. Nayra kesal karena Albian tidak sama sekali memberitahu ibunya dengan tegas, Albi selalu mengatakan jika Nayra harus memaklumi ibunya yang memang sangat menginginkan cucu darinya. Albi tidak berpikir jika semua itu menjadi beban pikiran Nayra, sampai akhirnya Nayra terus diam dan tidak berbicara sepatah katapun dengan suaminya. “Sayang, nanti Mas sepertinya akan pulang terlambat. Ada meeting dengan perusahaan jepang sore nanti,” ucap Albi yang selalu memberitahu jika akan pulang terlambat. “Iya,” jawab Nayra dengan singkat. “Masih marah?” tanya Albi. “Enggak kok, biasa aja.” “Mas mengerti dengan apa yang kamu rasakan, tapi harus bagaimana lagi. Ibu memang seperti itu, jadi kita harus bisa memakluminya saja. Perkataan ibu jangan terlalu dimasukan ke hati, itu justru akan membuat kamu sakit.” Albian mengusap pipi Nayra dengan jari-jarinya. “Aku bahkan sudah sangat memakluminya, M
Nayra pulang dengan perasaan kesal dan tentu saja sedih. Nayra menyimpan barang belanjaannya dan segera masuk ke kamar mandi untuk menyegarkan badannya. Nayra berdiri di bawah shower, membasahi tubuhnya dengan air dingin. Nayra bermaksud supaya otaknya bisa ikut dingin juga. Pertemuan dengan adik dan mertuanya membuat moodnya malah tidak baik. “Mengadu apa yang terjadi hari ini pun percuma, yang ada mas Albi pasti akan membela ibunya dan meminta aku terus memakluminya. Padahal, ini sudah sangat keterlaluan.” Nayra menghela nafas panjang. “Rasanya aku ingin meminta mas Albi untuk membawa aku pindah dari kota ini. Menghayal saja dulu, toh kenyataannya itu tidak mungkin.” Nayra terkekeh. Setelah merasa lebih baik, Nayra segera menyelesaikan mandinya dan segera berpakaian. Nayra membuka semua barang belanjaannya hari ini. Dia melihat satu pakaian yang menurutnya tidak pernah dibelinya. Membeberkan pakaian itu yang ternyata baju untuk wanita hamil. “Astaga, kenapa baju ini ada pada tas
Sepulangnya dari rumah Laila, Nayra langsung banyak diam dan melamun. Albi belum menyadari sikap istrinya, dia begitu sibuk karena sedang menangani proyek besar di perusahaan. Bahkan beberapa hari ini Albi sering pulang telat, Nayra tidak banyak protes seperti biasanya. Karena Randi, sang asisten pribadi suaminya selalu memberi kabar pada Nayra itu pun atas perintah Albi yang tahu jika istrinya pasti akan terus bertanya. Albi baru pulang, dia melihat istrinya sedang duduk di balkon kamar. Albi baru sadar jika sikap istrinya sekarang, Albi mendekat dan duduk di samping Nayra. Albi menatap Nayra dari samping, terlihat jika Nayra sedang melamun dan memikirkan sesuatu. “Kenapa malam-malam seperti ini masih diluar?” tanya Albi. “Mas, kapan kamu datang?” bukannya menjawab Nayra justru melontarkan kembali pertanyaan. “Baru saja, kamu sedang memikirkan apa sehingga suami pulang saja tidak menyadari.” “Tidak ada, mas.” “Ada apa? Kenapa sepertinya kamu melamun terus, apa yang mengganggu p
“Ada apa ini?” Kartika datang dan melihat kedua adik iparnya sedang bersitegang. Apalagi melihat Nayra yang sangat kesal seperti itu. Nayra menoleh, dia langsung menunduk dan memejamkan matanya ketika tahu jika Kartika. Kakak iparnya yang ada di belakang mereka. Kartika melihat wajah Aninda yang sepertinya tersenyum tipis sementara Nayra yang terlihat tegang. Kartika berdiri di samping kanan Nayra. “Ada apa, Nay?” tanya Kartika kembali. “Tidak ada apa-apa, mbak.” Nayra lalu tersenyum. “Jangan berbohong, mbak jelas-jelas tadi melihat kalian sedang beradu mulut. Mbak tidak mau mempunyai keluarga yang saling membenci. Mbak ingin kalian akur satu sama lain,” ucap Kartika. “Mbak Nayra baru saja datang udah marah-marah gak jelas, mbak. Anin jadi bingung, makanya Anin tanya mbak Nayra. Eh, malah ngegas gitu jawabnya.” “Marah-marah gak jelas katamu? Astaga, kamu yang membuat aku seperti ini Aninda! Aku tidak akan marah atau kesal jika kamu tidak berulah,” bantah Nayra. “Lalu apa masala
Nayra pulang dengan perasaan kesal dan tentu saja sedih. Nayra menyimpan barang belanjaannya dan segera masuk ke kamar mandi untuk menyegarkan badannya. Nayra berdiri di bawah shower, membasahi tubuhnya dengan air dingin. Nayra bermaksud supaya otaknya bisa ikut dingin juga. Pertemuan dengan adik dan mertuanya membuat moodnya malah tidak baik. “Mengadu apa yang terjadi hari ini pun percuma, yang ada mas Albi pasti akan membela ibunya dan meminta aku terus memakluminya. Padahal, ini sudah sangat keterlaluan.” Nayra menghela nafas panjang. “Rasanya aku ingin meminta mas Albi untuk membawa aku pindah dari kota ini. Menghayal saja dulu, toh kenyataannya itu tidak mungkin.” Nayra terkekeh. Setelah merasa lebih baik, Nayra segera menyelesaikan mandinya dan segera berpakaian. Nayra membuka semua barang belanjaannya hari ini. Dia melihat satu pakaian yang menurutnya tidak pernah dibelinya. Membeberkan pakaian itu yang ternyata baju untuk wanita hamil. “Astaga, kenapa baju ini ada pada tas
Setelah pulang dari rumah mertuanya, Nayra masih kesal pada suaminya yang terus menerus membela Laila. Nayra kesal karena Albian tidak sama sekali memberitahu ibunya dengan tegas, Albi selalu mengatakan jika Nayra harus memaklumi ibunya yang memang sangat menginginkan cucu darinya. Albi tidak berpikir jika semua itu menjadi beban pikiran Nayra, sampai akhirnya Nayra terus diam dan tidak berbicara sepatah katapun dengan suaminya. “Sayang, nanti Mas sepertinya akan pulang terlambat. Ada meeting dengan perusahaan jepang sore nanti,” ucap Albi yang selalu memberitahu jika akan pulang terlambat. “Iya,” jawab Nayra dengan singkat. “Masih marah?” tanya Albi. “Enggak kok, biasa aja.” “Mas mengerti dengan apa yang kamu rasakan, tapi harus bagaimana lagi. Ibu memang seperti itu, jadi kita harus bisa memakluminya saja. Perkataan ibu jangan terlalu dimasukan ke hati, itu justru akan membuat kamu sakit.” Albian mengusap pipi Nayra dengan jari-jarinya. “Aku bahkan sudah sangat memakluminya, M
"Mas, kenapa sampai saat ini aku belum hamil juga, ya?” pertanyaan itu selalu dilontarkan Nayra pada Albian, suaminya. “Mungkin kita masih kurang dalam usahanya, sayang.” “Ish, bagaimana kamu bisa bilang kurang dalam usaha, sedangkan setiap malam kita selalu melakukannya. Apa yang salah?” tanya Nayra kembali sambil memeluk Albian yang memang mereka sedang berbaring setelah melakukan hubungan suami istri. “Tenanglah Sayang, mungkin belum waktunya. Atau … Tuhan masih menginginkan kita untuk berdua terus seperti ini. Sekarang yang pasti kita tidak boleh menyerah dan harus terus berusaha, kalau perlu kita lakukan tiga kali sehari.” Albian tertawa saat mengatakan itu. “Memangnya minum obat tiga kali sehari,” sahut Nayra sambil mempererat pelukannya. “Oh ya, besok di rumah ibu ada acara. Entah acara apa Mas tidak tahu, tapi yang jelas ibu minta kita untuk datang.” Albian menyampaikan pesan dari ibunya yang sempat dia terima tadi. Nayra menghela nafas panjang. “Kenapa?” tanya Albian.