Saat masuk kamar Virza masih kepikiran dengan seseorang yang masuk ke rumah Rena.
Virza duduk diam dan termangu.
"Mas Virza, sudah keterima di Perguruan Tinggi Kok tidak bilang-bilang," Farel mengejutkan Virza dari lamunannya.
Virza langsung teringat bahwa dia sedang menunggu pengumuman dari Perguruan Tinggi.
Virza langsung bangkit dari tempat tidurnya, dan menghampiri meja belajarnya. Di sana sudah ada Farel yang sedang menghadapi laptop, miliknya. Farel menunjukkan pengumuman itu di layar laptop Virza.
Karena melihat pengumuman di layar laptopnya, Virza tertegun untuk beberapa saat. Lalu tiba-tiba dia melompat karena gembira. Dia mengajak serta Farel untuk melompat kegirangan.
Tiba-tiba Vina muncul di kamar Virza.
"Ada apa sih berisik banget? Kalau bercanda jangan seperti itu, orang akan berpikir ada apa-apa dengan kalian. Ibu kaget tahu," Tegur Vina pada Virza dan Farel.
Virza dan Farel berhenti melompat. Virza tidak bisa berhenti memperlihatkan barisan gigi-giginya karena merasa sangat gembira.
"Mas Virza diterima beasiswa di Perguruan Tinggi, Bu." Farel mencoba menjelaskan kepada Vina.
Vina langsung terperanjat mendengar kabar itu.
"Apa benar berita itu, Za?" Tanya Vina pada Virza memastikan kabar itu. Virza mengangguk dengan semangat dan tersenyum makin lebar.
Mengetahui jawaban Virza, Vina langsung memeluk anaknya dan memberikan selamat. Vina berkali-kali mengucapkan syukur.
Rena yang mendengar keributan itu langsung ikut menghampiri kamar Virza.
"Ada apa ini? Kok ribut sekali." Kata Rena ingin tahu.
Biasanya Virza merasa risih dengan keingintahuan Rena. Tapi kali ini Virza tidak merasa sungkan membagikan kebahagiaannya pada Rena.
"Virza diterima beasiswa Perguruan Tinggi, Bude." Jawab Virza dengan semangat.
Ekspresi wajah Rena berubah senang mendengar kabar itu. Rena pun ikut memeluk Virza yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri. Dia juga turut mengucapkan selamat kepada Virza atas keberhasilan yang dicapainya.
Tidak beberapa lama kemudian, seorang laki-laki masuk ke kamar Virza. Dia adalah Dedy, ayahnya Virza. Dia tertegun dengan keriuhan di dalam kamar Virza.
"Oh semua orang berkumpul di sini. Pantas tidak ada yang mendengar saat Ayah mengucapkan salam," Kata Dedy. Dia tersenyum ramah saat mengetahui ada Rena di sana.
"Ayah, Mas Virza diterima di Perguruan Tinggi dengan beasiswa. Pengumumannya baru saja keluar," Sahut Farel memberikan penjelasan dengan nada gembira pada Ayahnya.
Seketika wajah Dedy berubah senang, hatinya gembira mendengar kabar itu. Virza langsung memeluk ayahnya.
"Kalau begitu Ibu akan beli masakan Padang di depan untuk merayakannya," Kata Vina dengan berseri-seri.
"Loh ibu kan sudah masak," Kata Virza mencoba mengingatkan ibunya.
"Iya Ibu baru masak sayur aja, belum yang lainnya," Kata Vina gugup di hadapan suaminya.
Namun Dedy tahu itu bukan salah Vina, tapi karena ada Rena di rumah mereka. Dedy hafal betul dengan kebiasaan Rena yang suka ingin ditemani mengobrol kalau Vina lupa menutup pintu depan rumahnya.
"Aku temani ya," Rena menawarkan dirinya kepada Vina. Dia sedikit merasa rikuh kalau harus tetap tinggal di rumah itu ketika ada Dedy, sedangkan Vina tidak di rumah.
Ketika Vina dan Rena pergi bersama ke rumah makan masakan Padang yang berada di seberang tidak jauh dari rumahnya, Virza menceritakan apa yang dilihatnya di rumah Rena kepada ayahnya.
Lalu ayahnya berpikir untuk melihat ke rumah Rena.
"Ya sudah kita lihat bersama ke rumah Bude Rena. Farel sama Mas Virza temani Ayah ya," ajak Dedy.
Farel langsung mengambil dua buah tongkat pemukul dan dia berikan satu untuk ayahnya.
Dedy, Farel dan Virza memeriksa rumah Rena. Mereka berkali-kali memanggil suami namun tidak ada jawaban dari dalam rumah. Mereka juga memeriksa pintu dan jendela rumah Rena, bahkan mereka mengintip dari kaca jendela dan ventilasi kamar, namun mereka tidak melihat siapapun. Akhirnya mereka memutuskan untuk kembali pulang ke rumah.
Tidak beberapa lama kemudian Vina dan Rena sudah tiba di rumah. Mereka Langsung makan bersama untuk merayakan keberhasilan Virza.
"Oh ya Bude, ayah sudah memeriksa rumah Bude tadi, tapi tidak ada siapapun di sana. Kosong rumahnya," Kata Farel memberitahukan Rena ketika mereka sudah selesai makan.
Rena langsung menoleh ke arah Dedy sambil mengerutkan kening tuanya.
"Benar begitu Pak Dedy?" Tanya Rena untuk memastikan.
Dedy mengangguk, dia juga menceritakan bahwa mereka sudah memeriksa pintu dan jendelanya. Tidak ada jejak orang masuk ke rumahnya.
Sedangkan Virza kembali menceritakan tentang apa yang dilihatnya tadi, itu benar-benar jelas, Virza sedang membela dirinya dan meyakinkan bahwa itu bukan halusinasi. Vina dan Dedy hanya saling berpandangan karena mengetahui anaknya mempunyai keistimewaan sejak kecil. Tapi Virza sendiri tidak pernah menyadarinya meskipun dia sudah cukup umur untuk mengetahuinya sendiri.
Tidak beberapa lama kemudian suami Rena menelpon dan berkata akan pulang sore hari itu. Rena merasa lega, karena dia merasa aman jika ada suaminya di rumah.
***
"Kamu sudah membuat daftar untuk barang-barang apa saja yang akan dibawa nanti?" Tanya Vina saat menghampiri Virza di kamarnya.
"Sudah Bu," Jawab Virza.
Virza sangat sibuk berkemas meskipun masih satu bulan lagi dia pergi untuk konfirmasi daftar ulang ke kampusnya.
"Mas Virza, kenapa sih tidak daftar kuliah di Perguruan Tinggi yang satu kota aja? Kalau Ibu kangen kan jauh jadinya." Vina mencoba memberitahukan perasaannya.
Vina membantu Virza melipat pakaiannya dan duduk membelakangi Virza agar wajah sedihnya tidak terlihat oleh putranya.
Virza langsung menoleh kepada ibunya, dia merasakan kesedihan Vina meskipun hanya melihat punggung ibunya. Dia merasa tidak tega pada ibunya.
"Jangan sedih dong, Bu. Ini kan sudah kita bicarakan sebelumnya." Kata Virza sambil menghampiri Vina yang duduk di tepi tempat tidur Virza dan memeluk punggung ibunya.
Vina tertunduk, bahu dan punggungnya terlihat seperti terhentak-hentak. tidak berapa lama kemudian terdengar isak tangis suara ibunya, membuat Virza semakin menenggelamkan wajahnya ke punggung ibunya.
“Sudah dong, Bu. Jangan seperti ini. Virza kira, kita semua akan berbahagia dengan pengumuman ini. Virza tidak ingin membuat ibu sedih. Dukung Virza ya Bu, Virza ingin membuktikan kepada mereka semua yang sering menyingkirkan Ibu dan Ayah, bahwa meskipun kita serba kekurangan, Virza tetap bisa sekolah tinggi di kampus terbaik dan lulus dengan membanggakan keluarga kita," Virza memberitahukan kepada ibunya tentang niatnya yang ingin membuat harum nama keluarganya.
Vina membalikkan badannya. Dia meletakkan kedua telapak tangannya ke pipi wajah anaknya, tanpa terasa air matanya menetes. Dia bangga pada putranya sekaligus tidak siap untuk tinggal berjauhan dengan putranya.
"Kalau Virza kuliah dikota ini, tidak ada jurusan yang Virza inginkan sekaligus tidak ada penawaran beasiswa. Kalau Ibu kangen sama Virza, Ibu dan Ayah serta Farel bisa jenguk Virza di sana sekalian kita jalan-jalan, ya Bu." Kata Virza menghibur ibunya.
Vina menunduk, dia membenarkan keadaan itu.
"Sudah ya Bu, jangan sedih lagi. Kalau Ibu sedih perjalanan Virza tidak akan lancar. Lebih baik Ibu doakan Virza ya supaya semuanya lancar," Kata Virza sambil membelai kedua lengan ibunya.
Vina hanya mengangguk saja.
Virza membalas pesan dari kawan-kawannya di telepon seluler miliknya sambil menghampiri ayahnya yang sedang menonton TV. Virza duduk di samping ayahnya. Dia menoleh ke arah wajah ayahnya. Virza sudah biasa melihat wajah ayahnya yang dingin, namun sikap diam Dedy kali ini terasa berbeda buat Virza. Pandangan ayahnya terasa kosong, tidak sedang menikmati acara yang ada di televisi. Virza segera meletakkan telepon seluler miliknya di atas meja yang ada di hadapannya. "Ayah kenapa melamun terus?" Tanya Virza sambil memeluk lengan ayahnya. Ayahnya menoleh pada Virza, lalu dia tersenyum dan menepuk lutut Virza dengan perlahan. "Ayah titip pesan buat Mas Virza ya, nanti Mas Virza di sana baik-baik ya, harus bisa jaga diri. Mas Virza yakin tidak mau ditemani oleh Ayah?" Tanya ayahnya sambil terus menatap televisi. Sekarang Virza mengetahui, ayahnya sedang merasa sedih memikirkan dirinya. "Yakin Ayah! Virza mau belajar mandiri. Virza kan sudah besar." Sahut Virza dengan percaya diri.
Baru saja Virza menyuap beberapa sendok ke mulutnya, punggungnya ditepuk oleh seseorang. Dia menoleh ke belakang, ternyata itu adalah Selly. "Loh, kamu makan di sini," tanya Selly sambil tersenyum ke arah Virza. Sebenarnya Virza masih merasa heran dengan Selly sebagai teman dalam perjalanannya karena Selly tidak membangunkannya ketika kereta sudah berhenti. Namun dia tidak ingin memperpanjang hal kecil itu lagi. "Oh iya, Sel. Ayo ikut makan! Aku lapar sekali," ajak Virza pada Selly. Virza berdiri dari duduknya dan mencari-cari penjual yang tadi melayaninya. Tapi dia tidak menemukan penjual itu. "Sepertinya penjualnya sedang keluar sebentar, kamu tunggu saja ya," Ujar Virza. "Ah tidak, aku tidak makan. Aku sudah pesan makanan di seberang sana. Aku melihatmu ke sini tadi, makanya aku segera menghampirimu untuk menyapa," kata Selly sambil tersenyum. "Oh begitu. Oh ya kita tukar nomor telepon yuk," ajak Virza. Akhirnya mereka berdua saling memberikan nomor telepon. "Sepertinya ma
Ketika sampai di depan Rumah Kos itu. ~ Rumah Kos 103 ~ Begitulah yang tertulis di papan itu. Lalu Virza melihat ke sekeliling rumah itu, ternyata tidak ada orang yang bisa dijadikannya untuk tempat bertanya. Virza memutuskan untuk duduk di teras rumah itu. "Hai, kamu cari siapa?" Tanya seseorang. Itu adalah suara seorang laki-laki. Virza menoleh ke kanan dan ke kiri namun tidak menemukan seorang pun. Sampai suara itu terdengar kembali. "Saya ada di atas ini, kamu lihat ke atas," kata suara laki-laki itu lagi. Mendengar itu Virza langsung menoleh ke arah atas. Dia melihat seorang Pemuda memakai kaos oblong dan celana pendek sambil menggosok-gosokan rambutnya dengan handuk. Virza tersenyum padanya. "Maaf Mas saya sedang cari tempat kos. Saya mau tanya ini tempat kos putra atau campuran?" Tanya Virza pada pemuda itu. "Kamu carinya tempat kos apa?" Pemuda berkaos oblong polos itu balas bertanya. "Tempat kos putra, Mas," jawab Virza. "Sebentar ya, saya turun ke bawah,
Baru saja Virza mengunci pintu rumahnya, dari balkon atas ada yang memanggilnya. "Virza, mau ke mana, Za?" Suara itu akrab di telinga Virza. Virza menoleh ke kanan dan ke kiri namun tidak melihat siapa-siapa. Virza langsung mendongakkan kepalanya mencari siapa yang memanggilnya. Ternyata Ajie yang memanggilnya. Seperti biasanya, Ajie berdiri di balkon rumah kos yang terbuka itu. "Eh, Mas Ajie ada di atas? Aku kira ada dibawah tadi. Aku mau cari makan dulu. Lapar nih, takut keburu malam. Mas Ajie mau ikut?" Tanya Virza beramah tamah. Ajie melihat ke arah belakang punggung Virza, kemudian dia tersenyum dan menggeleng. "Tidak ah, takut berubah gendut kalau makan malam. Aku udah naik lagi timbangannya ini. Ya sudah ya, kamu hati-hati di jalan," sahut Ajie. Ajie benar-benar sangat ramah pada Virza, membuat Virza merasa nyaman di hari pertamanya. Bahkan Virza merasa tidak sabar ingin bertemu yang lain saat mereka datang kembali. "Penghuni rumah kos ini ramah orangnya. Semoga para pen
Pemuda itu menoleh pada Virza dan dia tersenyum lagi. Virza langsung membalas senyumnya. "Kamu anak baru ya? Nama kamu siapa?" Pemuda itu menghentikan langkahnya sejenak, lalu dia mengulurkan tangannya pada Virza. "Namaku Andra," dia memperkenalkan dirinya saat jabatan tangannya disambut oleh Virza. "Namaku Virza Wardani, panggil aja Virza," sahut Virza sambil tersenyum. "..." Seketika suasana di antara mereka menjadi hening karena sibuk dengan pikirannya masing-masing. "Mas Andra cukup terkenal juga ya," Virza membuka pembicaraan. "Terkenal bagaimana? Emangnya kamu tahu aku?" tanya Andra tersenyum heran. "Eng … Enggak juga sih, hehehe," sahut Virza sambil tertawa dan menggelengkan kepalanya. Virza merasa pertanyaan dirinya sangat bodoh, mengapa dia menyebut kata T-E-R-K-E-N-A-L padahal dia sendiri tidak mengenalnya. Andra menghentikan langkahnya lagi dan memandang Virza dengan wajah bingung. "Terus, kenapa kamu bilang aku terkenal?" tanya Andra itu lagi. "Eng…" Vi
Andra mendengus perlahan, sebenarnya perasaannya sangat kesal, tapi dia tetap ingin bersikap ramah pada Virza dipertemuan pertamanya ini. 'Waduh, masih muda sih tapi pelupa. Padahal belum lama loh. harus diingatkan lagi sepertinya,' Pikir Andra. "Begini Virza, sewaktu kamu mau beli makan, kamu lewat depan kos saya kan tadi?" Tanya Andra dengan sabar. Virza mengangguk. "Saya lihat kamu jalan berdua dengan seseorang, dia cewek sepertinya seusia dengan kamu, rambutnya panjang, sepinggang, pakai kaos putih dan celana panjang," Andra mencoba memberi tahu. Virza malah mengerutkan dahinya dan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal sambil mencerna yang dikatakan oleh Andra. "Mungkin dia kebetulan saja jalan bersamaku tadi, Mas. padahal bisa saja sebenarnya perempuan itu cuma lewat," Sahut Virza dengan polos. "Tidak mungkin, Virza. Ketika kamu menyapaku di depan rumah kos aku tadi, dia juga ikut berhenti bersamamu tepat di sampingmu dan tersenyum kepadaku." Andra memberi waktu kep
Ajie yang menyimak perkataan Andra, hanya mengangguk-angguk dan sesekali memakan gorengan yang di beli Andra. Sedangkan Virza hanya tertegun mendengar apa yang mereka katakan. "Mari kita luruskan, memangnya temannya Virza yang kamu lihat itu seperti apa? Perempuan atau laki-laki?" tanya Ajie serius. Virza ikut memandang ke arah Andra dengan serius. "Perempuan," sahut Andra. Kemudian Andra menyebutkan ciri-ciri perempuan yang diduganya adalah temannya Virza. "Persis sama dengan yang aku lihat, hanya saja aku tidak ingat bawahan yang dipakainya," sahut Ajie sambil menepuk lengan Andra. Virza masih tertegun saat menyimak pembicaraan keduanya itu. "Masak sih kamu tidak melihatnya?" tanya Andra dan Ajie hampir bersamaan. Virza hanya menggelengkan kepalanya. Virza memikirkan sambil membayangkan ciri-ciri perempuan itu. ‘Seperti pernah tau, tapi dimana ya? Siapa dia ya?' pikir Virza. "Mungkin dia kelelahan, Ndra. Kan dia juga baru sampai hari ini, kita malah sudah membuatnya bingung,
Setelah Virza menunggu beberapa saat. "Sepertinya Mas Ajie masih lama di toilet. Aku akan ke kamarku dulu sebentar saja kalau begitu," akhirnya Virza memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Namun saat Virza akan keluar dia berpapasan dengan Ajie. Ajie merasa keheranan mendapati Virza keluar dari dalam kamarnya. 'Waduh, Mas Ajie pasti ingin bertanya bahwa aku akan pergi ke mana,' pikir Virza. “Sebentar ya Mas, aku mau ambil bantal dulu," kata Virza terburu-buru. Dia mengabaikan wajah Ajie yang kebingungan. “Loh sejak kapan kamu berada di dalam kamarku?" Tegur Ajie kebingungan. Tapi Virza tidak terlalu mendengar dengan jelas apa yang dikatakan oleh Ajie. Virza langsung masuk ke dalam kamarnya. Saat di dalam kamarnya, Virza malah sibuk mengingat-ingat barang apa saja yang akan dibawanya ke kamar Ajie. Mulai dari bantal, guling, sleeping bag, ponsel, hmm… bawa apalagi ya?" Gumamnya. Tiba-tiba Virza teringat pakaian yang dikenakan Ajie saat berpapasan tadi. "Mas Ajie tadi pakai pak
Jaya dan yang lainnya tampak meringis saat dimintai penjelasan oleh Virza tentang sikap mereka.“Wah, ada apa ini? Mengapa sikap kalian seperti itu?” tanya Virza lagi menatap satu per satu orang yang ada di sana, termasuk penjual warung makan.Penjaga warung makan pun berpaling dari Virza. Dia seperti tidak ingin ikut campur dalam pembicaraan antara Jaya dan Virza. Sementara yang lain ikut bersikap sama, mereka malah memunggungi Virza dan melanjutkan makan.Virza gelisah karena ada di situasi yang canggung, dia merasa benar-benar asing di tempat yang baru pertama kali dia kunjungi. Namun Virza tidak mau menyerah, dia terus menatap pada Jaya, menuntut penjelasan yang sudah membuatnya penasaran.“Ehm, memangnya sudah berapa lama kamu tinggal di rumah kos itu?” tanya Jaya sambil berpindah tempat duduk ke dekat Virza.“Hampir 6 bulan,” sahut Virza ragu. Jaya menatap kedua mata Virza dengan saksama. Virza tidak tahu apa yang dipikirkan oleh Jaya, namun dia yakin ada sesuatu yang penting in
# Esok hari.“Za, Za, bangun.” Seseorang membangunkan Virza yang tertidur di teras depan rumah kos.Virza terbangun dari tidurnya sambil menggeliat. Dia menyipitkan matanya menatap orang yang baru saja membangunkannya dari tidur. Cahaya matahari membuatnya tidak mampu membuka lebar kelopak matanya.“Mas Delta?” Virza bergumam sambil menggosok-gosok matanya.Delta duduk di samping Virza yang menatapnya heran.“Kenapa menatapku seperti itu?” tanya Delta bingung. Virza menggelengkan kepala.Tiba-tiba Roy sudah berada di hadapan Virza dan Delta sambil tersenyum. “Kita ke kampus yuk, ada yang mau aku bicarakan dengan kalian,” ujar Roy.“Aku tidak ada kelas hari ini. Bagaimana kalau kita bicara disini saja?” Delta memberikan penawaran.“Tidak bisa. Aku tidak ingin membicarakannya disini. Bagaimana denganmu, Virza? Apakah kamu bisa ikut denganku ke kampus?” sahut Roy. Virza langsung mengerti tujuan Roy, dia mengangguk setuju. Akhirnya Delta pun mengikuti mereka setelah Virza selesai mandi
Roy dan Ajie tidak berbuat apa-apa, karena mereka sudah kelelahan menghadapi tingkah Virza yang sebelumnya. “Mas, aku…” Ajie tidak meneruskan kalimatnya karena Roy melarang. ‘Aku takut,’ batin Ajie. Sepanjang malam itu Ajie dan Roy terus berdoa. Akhirnya, mereka melalui malam panjang itu hingga pagi menjelang. Tanpa disadari, Ajie dan Roy tertidur karena kelelahan. Virza terbangun dan seperti tidak terjadi apa-apa. Dia merasa bingung karena kedua temannya duduk sambil tertidur mendampinginya. Virza merasa sakit di sekujur tubuh sehingga dia harus berusaha keras untuk bangkit dari tempat tidur itu. Dengan perlahan dia membantu kedua temannya berbaring berdampingan. “Mereka akan merasakan sakit juga di sekujur tubuhnya kalau tertidur dengan cara begini,” kata Virza sambil merebahkan mereka. Diam-diam Virza keluar dari kamar Roy. Tiba-tiba bulu kuduk di sekujur tubuhnya merinding saat keluar kamar dan menatap lorong itu. Padahal, letak tangga berada di ujung lorong itu. Ada ras
Ajie menghembuskan nafas panjang. Dia merasa lega karena ternyata Roy yang berada di depan pintu. Dia melihat sosok Roy yang rambut serta pakaiannya dalam keadaan basah.‘Tapi, mengapa diam dan tertunduk saja? Mengapa dia tidak memanggilku?’ pikir Ajie. ‘Ah, sudahlah! Aku berpikir terlalu berlebihan. Normal saja dia dalam keadaan basah begitu setelah berwudhu,’ pikir Ajie sambil menepis pikiran yang sebelumnya.Kemudian dia segera membuka pintu kamar mengingat waktunya yang sudah tinggal sedikit lagi. Ketika pintu dibuka, Roy segera masuk ke dalam kamar dan berdiri menatap Virza yang masih terbaring dan memejamkan mata.“Mas, waktunya tinggal sedikit lagi. Cepatlah! Sebelum masuk Isya,” Ajie mengingatkan Roy sambil memberikan sarung setelah membantunya menggelar sajadah di lantai. Tapi Roy hanya terdiam dan menerima sarung itu. Ajie terus melawan perasaan-perasaan yang menurutnya ada yang aneh dengan sikap Roy. Dia menepis dugaan pada Roy.Ajie menyingkir dari hadapan Roy dan memili
“Brug!” Roy segera menarik Virza, karena terburu-buru, Roy menariknya hingga terjatuh ke lantai. Mereka berdua tersungkur.Namun Virza langsung bangun kembali dan mencoba membuka pintu. Dia seperti sedang dikendalikan oleh sesuatu. Melihat itu, Roy segera bangkit dan meraih tangan Virza dengan susah payah.‘Dia seperti terpengaruh dengan suara itu,’ pikir Roy.“Aku mau buka pintu, ada temanku diluar!” Virza menghardik Roy karena dirinya merasa terganggu dengan Roy yang selalu menghalanginya. Matanya terbuka lebar dan menatap marah pada Roy, bahkan Virza sempat menggeram ke arah Roy, membuat Roy semakin yakin bahwa Virza sedang dikuasai oleh sesuatu meskipun keadaannya setengah sadar.“Dia bukan temanmu, Za!” Roy memperingatkan. Tangannya terus ditepis oleh Virza ketika berusaha menggenggamnya, sehingga tangan mereka tampak seperti sedang saling memukul.Roy memutuskan untuk bertindak lebih kasar dan mendekap Virza.“Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar!” Roy berseru di telinga Vi
“Kamu kenapa, Za? Jangan bikin orang panik!” Roy meninggikan suaranya agar Virza segera sadar. Roy langsung berinisiatif untuk menutup pintu kamarnya dan mendorong Virza agar segera duduk di atas tempat tidurnya. Perlahan tatapan mata Virza pun berubah normal kembali, meskipun masih ada sisa-sisa ketakutan yang tertinggal. Setelah kondisi Virza tampak normal kembali, Roy mulai mengajaknya berbicara. “Ada apa? Mengapa kamu seperti itu tadi? Apakah kamu melihat sesuatu lagi?” desak Roy sambil duduk di samping Virza. “ Apakah mas Roy pergi untuk menonton televisi setelah Mas Roy mandi tadi?” Virza malah balik bertanya. Roy menggelengkan kepala. Virza terdengar mendengus. ‘Ah, pasti aku melihat hal lain lagi nih!’ batin Virza. “Kamu melihat sesuatu di ruang nonton televisi ya?” tanya Roy dengan nada rendah. Virza menundukkan kepala. Dia malah mengingat hal lain. Ternyata Virza menyadari, bahwa di sisi kiri kamar Roy tidak ada kamar lagi. Di Sisi kiri kamar Roy hanya terdapat sebua
Roy mengedarkan pandangannya ke dalam ruang tamu itu, karena penasaran dengan sikap Virza yang tampak kebingungan.“Mencari apa?” tanya Roy sambil mengerutkan dahinya.“Aku mencari … ah sudahlah!” Virza tampak bingung. Kemudian dia membuka pintu kamarnya karena mengira ibunya sudah masuk dalam kamar tanpa dia ketahui. Virza mengabaikan perkataan Roy, yang mengatakan bahwa keluarganya sudah diantar ke stasiun.Saat Virza membuka pintu kamarnya.K O S O N G !Tidak ada satupun orang disana.Virza berdiri, tertegun. Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dia masih yakin bahwa dia melihat bayangan ayah dan adiknya yang terus bergerak di dalam kamarnya. Virza yakin bahwa dirinya tidak salah lihat.Roy menepuk pundak Virza. Dia seperti mengetahui apa yang Virza alami.“Sebaiknya kita duduk dulu,” Roy menekan cengkeramannya agar Virza tetap tersadar dan mengikuti ajakannya untuk duduk. Dan itu berhasil.Virza duduk di kursi tamu masih dalam keadaan tertegun. Dia masih belum bisa mence
Roy sudah berdiri di belakang mereka. Kedua matanya memancarkan kecemasan. “Kemari, nak," panggil Dedy sambil menepuk-nepuk lantai di sampingnya. Vina dan Farel langsung bergeser duduknya, untuk memberikan ruang kepada Roy agar bisa duduk dekat Dedy. Roy mengangguk hormat kepada Dedy dan Vina. “Ada apa nak Roy?" tanya Dedy, setelah Roy duduk disampingnya. “Begini, Pak. Ada yang ingin saya sampaikan kepada Bapak, tentang Virza," kata Roy membuka pembicaraannya. “Ada apa dengan Virza? jangan takut ya untuk menyampaikannya, karena apapun yang kamu sampaikan bisa saja itu sangat penting buat kami," kata Vina dengan merendahkan suaranya. Dia tidak ingin Virza mendengarkan pembicaraan mereka. “Ayah, Ibu. Virza pamit mau ke kampus sebentar," Tiba-tiba Virza muncul di belakang mereka dengan berpenampilan rapi. Mereka langsung menoleh ke arah Virza dengan tatapan heran. “Bukannya hari ini libur, kak?" tanya Farel. “Ada buku yang harus dikembalikan hari ini, sekalian ada janji dengan tem
Setelah Vina mengetahui bahwa semalam bukan Virza yang dilihatnya, Vina mengajak diskusi suaminya tentang firasat buruknya.“Mungkin memang sudah saatnya dia mengetahui yang sebenarnya. Sehingga kedepannya, dia dapat mengatasi gangguan itu sendiri,” ujar Dedy menanggapi kegelisahan Vina. Tidak memberitahukan tentang kejadian yang menimpa Virza malam itu di tempat kerjanya pada Vina adalah hal yang tepat, menurut Dedy sebagai suaminya. Karena, tentang ‘tamu’ yang menyerupai Virza saja sudah membuat Vina terus merasa gelisah dan cemas. “Kapan kita akan menyampaikannya? Apakah itu tidak akan mengganggu kuliahnya?” tanya Vina.“Mengganggu bagaimana?” Dedy mengerutkan dahinya.“Bisa jadi, setelah kita memberitahukan kepadanya, ini akan menambahkan beban pikirannya. Apakah itu tidak mengganggu namanya?” ujar Vina.“Baiklah, kita akan mencari waktu saat dia luang saja. Setahu Ayah kalau tidak salah selain hari ini, pada hari Sabtu dan Minggu, Virza juga libur,” sahut Dedy. Dia menunggu unt