Hawa dingin semakin menusuk, membuat semua orang di ruangan itu seperti membeku. Sosok Dyah yang penuh dendam melayang di udara, matanya merah menyala. Namun, dari tubuh Anis, sosok lain perlahan muncul. Tubuh Anis terguncang hebat, hingga akhirnya bayangan seperti kabut putih keluar dan berdiri kokoh di hadapan Dyah. Itu adalah Lasmini, sosok gaib yang selama ini bersemayam dalam diri Anis."jadi kau Lasmini?" Hendra terperengah sama seperti Kartika yang takjub dengan kecantikan sang ibu.Lasmini mengangguk tersenyum, lalu ia kembali mengalihkan pandangan kepada Dyah, yang hampir saja berhasil membuat Anis beralih dunia."Dyah, aku sudah memperingatkanmu," suara Lasmini menggema, tegas dan penuh wibawa. "Pergi dari sini, atau kau akan binasa!"Dyah tertawa sinis, suaranya parau dan menggema di seluruh ruangan. "Kau pikir aku takut padamu, Lasmini? Aku tidak akan pergi! Karena aku tidak bisa pergi! Rumah ini seakan mengurungku! Maka dari itu, sekalian saja aku jadikan milikku!" Sosok
Pagi itu, udara terasa berat dan dingin, meski matahari sudah mulai naik perlahan di langit. Anis menghampiri Hendra yang sedang duduk di beranda, menyesap kopi hangat buatan istrinya. Ekspresi Hendra tampak lelah, alisnya berkerut dalam, seperti ada beban berat yang terus mengganggu pikirannya."Apa kita jadi berangkat ke rumah Bambang hari ini?" tanya Anis perlahan. Ia mengambil duduk di samping suaminya.Hendra menghela napas panjang. "Aku sedang memikirkan itu," jawabnya sambil menatap gelas kopi di tangannya. "Tapi entah kenapa aku merasa... Bambang tidak akan percaya begitu saja. Lagi pula, membawa boneka itu—memiliki resiko. Ada arwah Dyah yang bersiap mengamuk sewaktu-waktu.., kecuali, kalau lasmini bisa kita ajak sekalian."Anis menggigit bibirnya, merasa cemas. "Kau benar, ucapnya, "tapi menurutku, sebaiknya kita tidak menunggu lama. Kalau kita ragu terus, situasi ini hanya akan semakin buruk," katanya sambil melirik ke arah rumah, di mana boneka Cantika tergeletak di meja d
Hendra menatap Kartika melalui kaca spion, ekspresinya serius. "Hubungi Astutik. Suruh dia share lokasi rumahnya," ucapnya, suaranya tegas namun bergetar samar.Kartika langsung menurut. Dia mengambil ponsel dan segera menelepon Astutik. Tak lama, sebuah notifikasi masuk, menunjukkan lokasi rumah Bambang. "Sudah, Yah. Ini alamatnya," ujar Kartika sambil menyerahkan ponselnya kepada Hendra.Hendra hanya mengangguk ia memegang kendali setirnya, sambil sesekali melihat ke arah google map yang ditunjukan oleh Kartika. Namun, tiba-tiba, dia merasakan sesuatu yang dingin menyentuh tengkuknya. Seperti hembusan napas seseorang.Hendra terdiam, matanya menatap lurus ke jalan yang mulai gelap. Hutan kecil di sisi jalan terasa seperti mengawasi mereka. Dia membaca doa dalam hati, berusaha mengabaikan sensasi mengerikan itu.“Apa kau baik-baik saja?” tanya Anis dari kursi depan, memperhatikan suaminya yang tampak lebih tegang dari biasanya.“Tidak apa-apa,” jawab Hendra cepat, namun nada suarany
Kartika mencoba tetap tenang meski dadanya bergemuruh. Dengan wajah datar, ia akhirnya mengiyakan permintaan Wulan. Namun, ketika Wulan dengan nada tinggi meminta agar proses pengalihan nama dipercepat, Kartika merasa seperti dilempar ke jurang ketidakadilan.“Aku akan memanggil notaris,” ujar Wulan sambil beranjak, ia keluar pintu dan kembali dengan dua orang pria memakai kemeja hitam, yang sepertinya baru saja selesai mengikuti pengajian di rumah mereka. “Kita langsung urus sekarang, supaya tidak ada lagi alasan kalian untuk datang," ucap Wulan, "dan satu hal lagi ... aku tidak takut dengan segala cerita ‘angker’ yang kalian karang tentang rumah itu! Bilang saja kalau Kau butuh uang jadi menghubungi ibuku kembali."Kata-kata Wulan yang tajam menusuk hati Kartika. Sementara Hendra hanya menatap dengan dingin dan menahan kesal.“Kami angkat tangan jika terjadi sesuatu di rumah warisan bapak Kartika, nanti,” ucap Hendra dengan nada tegas.“Itu rumah milikku sekarang!” balas Wulan deng
Dengan wajah merah padam, Wulan kembali ke rumahnya, di Desa Cimelati. Mobil yang ditumpanginya melaju cepat. Sesampai di depan gapura desa, ia langkahnya semakin cepat, membangkitkan debu di jalan setapak yang ia lewati. Sesampainya di rumah, ia langsung masuk tanpa mengetuk pintu. Bahkan ia mengabaikan beberapa tamu yang baru selesai melakukan ritual tiga harian. Astutik, yang sedang menyusun buku doa meja, terkejut saat melihat anaknya datang dengan wajah kesal. "Kau sudah pulang, Mak?" tanyanya."Ibu, aku ingin bicara. Ikut aku!" Wulan menggiring sang ibu menuju ke sebuah ruangan lain. "Mbak Dyah telah menjadi sesuatu yang mengerikan!" seru Wulan dengan nada bicara lantang.Astutik mengambil duduk berhadapan dengan putrinya. "Apa maksudmu, Wulan?""Rumah itu, Bu! Rumah warisan Dyah! Aku sudah mencoba membersihkannya, tapi arwahnya ... Maksudku, Mbak Dyah tidak seperti dulu. Dia penuh kemarahan dan kebencian! Mbak Dyah sudah berubah menjadi sosok jahat, Bu!" Wulan mulai menangis.A
Pintu angkot terbuka sendiri dengan bunyi berdecit. Di luar, bayangan rumah itu terlihat semakin mencekam di bawah sinar rembulan. Dengan langkah gemetar Astutik mulai turun. Tak lama setelah ia menginjakkan kaki di tanah, angkot itu meluncur dengan cepat, menghilang di balik gelapnya malam.Astutik terkesiap mendengar suara dari arah belakang. "Saya sepertinya pernah melihat Anda?" Suaranya pelan, tapi cukup untuk membuat bulu kuduknya meremang.
"Baiklah kalau itu keputusanmu, tapi resiko tanggung sendiri," dengus Hendra kesal.Kartika tersenyum, ke arah ayah mertuanya. "Terimakasih ya, Yah, Kartika berjanji hanya sebatas memastikan kalau bu Astutik baik-baik saja.""Terserah kamu, hanya saja Ayah ingin menegaskan sesuatu." Hendra menatap Kartika dengan tajam, nadanya penuh tekanan. "Jangan ikut campur terlalu jauh. Ayah terus terang tidak menyukai sikap putri Bu Astutik, yang bernama Wulan itu."Kartika mengangguk pelan, menyadari ketegangan di balik kata-kata ayah mertuanya. Ia tahu Hendra jarang berbicara setegas ini kecuali ia benar-benar merasa terganggu. Perlahan, Kartika menggandeng lengan Astutik, berusaha menenangkan wanita tua itu yang tampak begitu rapuh. "Baik, Pak. Saya mengerti. Saya akan segera bersiap," ujarnya, berusaha tetap tenang.Astutik menatap Kartika dengan mata berkaca-kaca. "Terima kasih, Nak Kartika. Ibu tahu ini merepotkan.""Saya akan mempersiapkan pakaian anak saya dulu. Kita naik angkot jam semb
"Dyah... Nak, ini ibu...!" Suara Astutik lirih dan penuh kerinduan. Ia mencoba berjalan tertatih, mendekati sosok gaib putrinya. "Bu Astutik, jangan!" teriak Kartika panik, mencoba menghentikan langkah Astutik. Rasya pun memegangi bahu wanita tua itu, mencoba menariknya mundur. "Bu, itu bukan Dyah yang Ibu kenal!"Namun Astutik meronta, menepis tangan Rasya dan Kartika. "Lepaskan aku! Dia anakku! Dia membutuhkanku!" teriaknya sambil terus menangis. Tubuh renta itu tetap bergerak maju, mendekati sosok Dyah.Saat Astutik hanya tinggal beberapa langkah dari pintu, sosok Dyah tiba-tiba mengangkat tangannya. Dengan satu gerakan cepat, ia menyerang, mengeluarkan energi hitam yang melesat ke arah Astutik. Tubuh tua itu terpental ke belakang, jatuh ke pelukan Rasya yang berlari menangkapnya tepat waktu."Astaga, Bu, Ibu baik-baik saja?" Rasya bertanya panik sambil memeriksa kondisi Astutik. Wanita itu hanya menangis, memegangi dadanya yang terasa sesak.Sosok Dyah kini beralih menatap Kartika
Ayu dan Ira, meski masih syok, seakan bisa menangkap kode dari hendra. Ayu segera memacu motor, menyalip makhluk yang tengah bergelut dengan bayangan misterius. Sesaat sebelum mereka benar-benar meninggalkan area itu, Rasya melirik ke kaca spion, melihat genderuwo itu tersungkur ke tanah, lalu lenyap ditelan kegelapan.---Begitu keluar dari gapura hutan larangan, suasana mencekam perlahan mereda. Namun, ketegangan belum sepenuhnya hilang ketika gawai Hendra tiba-tiba bergetar di dashboard mobil."Rasya, tolong angkat telepon ayah," ujar Hendra tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan. Rasya dengan sigap meraih ponsel Hendra dan melihat layar yang menampilkan nomor tak dikenal."Halo?" Rasya menjawab dengan hati-hati.Di ujung telepon, terdengar suara berat dan dengan nada serius. "Halo, Nak."Dahi Rasya berkerut. "Ada apa Mbah? Tumben telepon ayah.Namun, sebelum bisa mendapatkan jawaban, suara itu berubah menjadi gumaman aneh, seperti seseorang yang berbicara dalam bahasa yang tida
Anis merinding. Ia tidak merasakan apa pun, tapi muncul dengan serius Ayu membuatnya mulai merasa tidak nyaman.Hendra melirik Anis, mencoba mencari tanda-tanda aneh. Sementara itu, Ira yang sejak tadi diam ikut bicara, "Ayu, jangan bicara sembarangan. Kamu memang bisa melihat sosok gaib, tapi ini bukan saat yang tepat."Ayu menggeleng kuat, "Tidak, Ra. Sosok itu seperti menempel padanya. Aku takut, nanti dia akan menguasai tubuh Uti. Ini tidak boleh, tidak boleh....!"Ketegangan makin terasa. Rasya yang masih duduk di sampingnya sambil tertawa, sementara Kartika mencengkeram tangan suaminya dengan cemas.Anis menggigit bibirnya, dengan gemetar ia mulai jika suara, "apa yang kau lihat adalah sosok hantu perempuan?""Bukan. Dia arwah seorang pria," ujar Ayu. Ia lalu menegakkan tubuhnya, mengumpulkan keberanian. Dengan suara pelan namun tegas, ia berkata, "Siapa kamu? Kenapa mengikuti Uti Anis?"Udara di dalam ruangan tiba-tiba terasa berat. Hening. Tak ada yang menjawab, tapi ekspresi
Ira dan rekan perawatnya saling pandang. Keduanya tidak menyangka kalau Kartika juga seperti mereka. "Iya, Mbak," jawab Ira, setelah melakukan tugasnya, ia beranjak mendekat ke arah Kartika, lalu berbisik, "Mbak Kartika pura-pura gak dengar saja ya, sama jangan buka pintu kalau ada yang mengetuk sambil bilang kulo nuwun."Kartika mengernyit mendengar ucapan aneh Ira. "Jangan buka pintu, ada yang bilang ‘kulo nuwun’?" tanyanya, sedikit bingung.Ira hanya tersenyum tipis. "Iya, Mbak. Apalagi kalau sudah lewat jam sepuluh malam. Pokoknya jangan.""Memangnya kenapa?" Kartika masih belum mengerti, tetapi perasaan was-was merayapi hatinya.Ira tidak langsung menjawab, hanya melirik jam dinding sejenak sebelum akhirnya berkata, "Pokoknya nurut aja, Mbak. Kalau butuh sesuatu, hubungi aku ya."Sebelum Kartika sempat bertanya lebih jauh, Ira dan rekannya sudah melangkah keluar dari kamar, meninggalkannya dengan sejuta pertanyaan.Kartika menarik nafas dalam, menatap Rasya yang masih belum sada
Suasana di lokasi kecelakaan begitu riuh dan panik. Beberapa warga sekitar yang mendengar benturan keras segera berlari ke arah mobil Rasya yang ringsek di pinggir jalan. Kaca depan pecah, pintu penyok, dan darah terlihat menodai kemudi.“Cepat, bantu dia keluar!” teriak seseorang.Beberapa pria dengan sigap menarik pintu mobil yang sudah sulit dibuka. Nafas Rasya lemah, kepalanya bersandar di jok dengan luka di pelipis yang terus mengeluarkan darah.Sementara itu, sirene mobil polisi terdengar mendekat. Seorang petugas segera turun dan mengamati situasi. Dia berjalan mendekat, melihat kondisi Rasya, lalu segera menghubungi ambulans.Di sela-sela kepanikan, seorang polisi lainnya melihat sesuatu di lantai mobil. Sebuah ponsel tergeletak dengan layar yang masih menyala. Dia mengambilnya dan segera mengamankannya ke dalam kantongnya.“Ambulans datang! Cepat angkat dia!” teriak seorang pria yang berdiri di pinggir jalan.Beberapa orang dengan hati-hati mengangkat Rasya ke atas tandu. Dara
"Anis tolong saya ... saya sudah tidak kuat lagi ... tolong, demit peliharaan Dewi menyiksaku."Sosok Lilis mengulurkan tangan, sementara kepalanya menengadah ke atas."Aku tersiksa, Anis ...." Sosok Lilis mulai menampakan wajahnya yang menyeramkan. Kepalanya patah ke kanan dan dia berjalan dengan menyeret satu kakinya. "Anis ... Anis ... Bukankah suamimu adalah teman baik suamiku?" Sosok Lilis terus berjalan mendekat membuat Anis semakin ketakutan. "Mbak, Mas Hendra sudah berangkat ke rumah orang yang bisa menolongmu." Ucapan Anis berhasil membuat sosok Lilis menghentikan langkahnya. "Benarkah?" Lilis memutar kepalanya menghadap ke arah Anis. Kali ini wajahnya hanya pucat, ia tak terlihat semenyeramkan sebelumnya. "Terimakasih Anis, terimakasih." Tubuh Lilis perlahan memudar meninggalkan asap pekat.Anis akhirnya bisa menghela nafas lega. Sampai ia merasakan seseorang seperti menepuk pundaknya. "Bu ... bangun ... kenapa Ibu tidur di sofa begini?" Sayup-sayup Anis mulai membuka mata
"Cucuku harusnya mirip akulah, mana mungkin mirip kamu." Raut wajah Hendra berubah tidak suka, "lagian lho ya, harusnya si Udin itu cepat menikah biar bisa buat cucu yang mirip kamu."Mbah Kanjim hanya tersenyum, tidak menanggapi. Sementara Rasya, terlihat fokus menyetir, tapi pikirannya menerawang mengingat ucapan Mbah Kanjim semalam. Sementara mobil terus melaju pelan di jalan sempit, dikelilingi pohon-pohon besar yang daunnya rimbun. Rasya tampak larut dalam lamunannya, tatapan kosong mengarah ke depan. Hatinya penuh tanda tanya—apa benar sosok pria tua Mbah Kanjim akan menjadi anaknya? Rasya Memnag percaya mengenai hal gaib, tapi untuk reinkarnasi dia tidak terlalu percaya itu. "Rasya! Fokus!" tegur Hendra, suaranya memecah keheningan, membuat Rasya tersentak dari lamunan. "Itu pos satpamnya. Kau hampir terlewat!"Rasya menginjak rem mendadak, membuat mobil sedikit berguncang. Ia menarik napas dalam, berusaha mengembalikan konsentrasi."Maaf, aku tadi melamun," ucap Rasya, menco
"Tapi kenapa?" tanya Hendra suaranya hampir gak kalah tinggi, membuat Rasya mengelus pundak sang ayah untuk menenangkannya. "Aku akan menjaga kalian dari sini, jangan khawatir. Cari saja wanita yang bernama Dewi itu." Mbah Kanjim mulai merendahkan suaranya. "Ini kasus yang berbeda lagi dengan dua kasus sebelumnya. Dyah dan Purwati menjadi gaib karena dendam, meski penyebabnya juga dua hal yang berbeda. Kalau kasus Lilis dan Dewi, bukan hanya sekedar dendam. Dia memiliki peliharaan sosok gaib."Malam semakin pekat di luar rumah Mbah Kanjim. Angin dingin bertiup, membuat dedaunan pohon beringin tua di halaman bergesekan dan menimbulkan suara aneh seperti bisikan. Lampu di teras rumah berkedip-kedip, seolah-olah nyaris padam. Suara burung hantu tiba-tiba terdengar dari kejauhan, diikuti bunyi langkah samar yang seolah mengitari rumah.Suasana mendadak sunyi. Mbah Kanjim menelan kata, ia menatap Hendra dan Rasya dengan raut wajah serius. "Apa ada yang mengikuti kalian?" tanyanya. Hendra m
"Kenapa Mbak Lilis tiba-tiba bisa jadi seperti itu?" tanya salah seorang tetangga. Dengan menangis, Dewi menjelaskan kalau Lilis adalah seorang penganut ilmu hitam. "Aku sendiri tidak menyangka, rupanya Mbak Lilis memiliki susuk. Entah dari mana dia bisa memilikinya." Suara Dewi terdengar sendu. Membuat beberapa orang mulai tergiring dengan opininya, tapi sebagian lagi seakan tidak percaya."Buktinya apa?" Ucapan salah seorang warga membuat Dewi mencebik. "Buktinya Mbak Lilis jadi kembang Mayang." Dewi menunjuk ke arah Lilis. Air mata mulai keluar, terlihat Lilis menangis. Sementara itu bayangan di belakang punggung Dewi semakin jelas terlihat. "Itu saja tidak cukup, siapa tahu ada orang yang sengaja mengirim 'tenun' kepadanya. Setahuku Lilis adalah wanita baik." "Kalau kau tidak percaya itu urusanmu, Mbah." Dewi mencelos membalas ucapan seorang wanita tua."Aku benar-benar tak menyangka," lirih Bu Kades, fokusnya lalu tertuju pada rantang berkat yang ada di meja. "Apa tadi Suci ke
"Hahahahah!" Tawa Dewi bergema di ruangan. Ia menunjuk Lilis dengan tatapan mengejak. "Mulai hari ini kau jadi kembang Mayang!" Dewi menyeret tubuh Lilis yang separuh mati, menjauh dari pintu kamarnya.Terlihat Lilis yang kepayahan, berusaha meraih gawai milik Dewi, tapi Dewi malah menendangnya. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Lilis berusaha merangkak menuju ke ruang tamu. Akan tetapi lagi-lagi, Dewi menendangnya.Tubuh Lilis yang lemah, berusaha merangkak perlahan di atas lantai dingin, kedua tangannya berusaha menarik tubuhnya ke depan meski gemetar hebat. Nafasnya berat, terdengar seperti erangan kesakitan."Mau ke mana, kembang Mayang?" Ucapan Dewi terdengar menyakitkan. Lilis menangis. Sementara Anis mencoba memejamkan mata, melihat pemandangan di hadapannya."Aku tidak kuat," lirih Anis, "andai aku kasat mata, aku akan menolong Mbak Lilis." Anis mulai menangis."Kau hanya melihat bayangan ini sekali, coba bayangka