Pagi yang seharusnya tenang berubah menjadi hiruk pikuk di depan kontrakan. Rita yang baru pulang, berdiri di ambang pintu dengan wajah merah padam. Matanya menyapu keadaan rumah yang berantakan, pintu yang terbuka lebar dan rumah yang dalam keadaan kosong, membuatnya tak bisa lagi menahan emosi.
“INI APA-APAAN?!” bentaknya keras, menggema di ruang tamu. Rita mulai membersihkan rumah yang berserak dengan tali dan air yang menggenang.
Beberapa menit kemudian, Ayu dan Ira muncul bersama Pak Iman dan dua hansip kampung Sidodadi. Wajah mereka tampak lelah, terutama Ayu yang masih terengah-engah. Begitu melihat Rita, mereka langsung menghentikan langkah.
"Kau dari mana saja?" Rita berkacak pinggang memandang Ayu dengan tatapan marah.
Rita berdiri kaku, lututnya hampir tak sanggup menopang tubuhnya yang gemetar hebat. Sosok menyeramkan di hadapannya perlahan menampakkan wujudnya. Rambut panjang acak-acakan menutupi sebagian wajahnya yang pucat pasi, dengan mata yang cekung dan menatap tajam ke arah Rita. Bibirnya menyeringai menyeramkan, memperlihatkan gigi yang tampak kusam, runcing dan hitam.“Hihihi... Kau tidak akan bisa pergi!" suara serak sosok menyeramkan itu, terdengar seperti berasal dari dua tempat sekaligus, memenuhi ruangan yang gelap.Rita memekik, tubuhnya bergetar. “Apa… apa mau Kamu?!” tanyanya dengan suara tersendat, hampir tak keluar dari tenggorokannya. Rita tiba-tiba, teringat cerita Ayu dan Ira tentang sosok 'Dyah' penghuni rumah angker warisan bapak, yang ia tempati."Dyah..," lirih Rita terperangah. Sosok itu menunjukan eksistensinya, beranjak melayang menuju ke arahnya.Sosok Dyah menunjuk ke arah sudut ruangan. Rita mengikuti arahannya dengan pandangan penuh teror, melihat tali tambang yang
Amin kembali ke teras dengan seorang pria tua berpakaian lurik jawa. Pak Iman mengenalkan dengan penuh hormat. “Ini Mbah Kanjim, sesepuh kampung. Dia orang yang paham soal hal-hal seperti ini.”Mbah Kanjim mengangguk pelan, lalu mendekati tubuh Rita yang terbaring lemas. Ia menatap pelipis yang memar dan darah yang mengering, lalu mendesah. “Bawa dia ke ruang yang lebih luas. Kita perlu tempat untuk ritual,” ucapnya dengan nada tenang.Amin dan Ayu segera mengangkat tubuh Rita ke ruang tengah rumah Pak Iman. Mbah Kanjim duduk bersila di lantai, mengeluarkan beberapa benda dari tas kainnya—kemenyan, botol kecil berisi air, dan bunga kamboja.“Rupanya arwah yang menghuni rumah itu tidak membiarkannya pergi,” jawab Mbah Kanjim sambil menyalakan kemenyan. Asap mulai memenuhi ruangan, menambah suasana mencekam. "Padahal sudah aku bilang kepada pemiliknya untuk merubuhkan saja rumah angker mlik Gatot itu." Mbah Kanjim menghela nafas.“Aku akan mencoba masuk ke dunia mereka, mengajak jiwanya
Matahari pagi belum sepenuhnya terbit ketika Rita tiba di Desa Kenikir. Perjalanannya yang panjang melelahkan tidak mampu meredakan rasa kesalnya. Dengan alamat yang diberikan oleh Pak Bambang, ia akhirnya menemukan sebuah rumah sederhana bercat putih kusam. Seorang wanita paruh baya, yang belakangan Rita ketahui bernama Anis, membuka pintu dengan ekspresi bingung."Saya mencari mbak Kartika!" ucap Rita lantang. Wanita tua itu, segera beranjak masuk ke ruang lebih dalam. Tak lama seorang wanita muda keluar dari kamar dan menatap Rita dengan kening mengkerut."Maaf, Anda siapa?" Wanita itu bertanya sambil menunjuk ke arah Rita dengan ekspresi bingung.Rita langsung menjelaskan tujuannya. “Saya Rita, penghuni rumah warisan milik mbak Kartika, yang ada di kota. Saya datang ke sini setalah saya berdiskusi dengan Pak Bambang. Katanya, Mbak Kartika ini adalah salah satu ahli warisnya. Juga karena uang kontrakan sudah diserahkan kepada Mbak."Kartika mempe
Malam itu, Hendra duduk di ruang tamu sambil menyeruput teh hangat. Di hadapannya, Anis, istrinya, menatapnya dengan ekspresi ragu. Hendra baru saja mengungkapkan niatnya untuk mendiami rumah warisan Kartika di kota. Rumah itu, yang menurut cerita, dihuni oleh sosok gaib bernama Dyah."Jadi, kamu benar-benar mau ke sana, Pak?" tanya Anis dengan suara pelan. "Aku tidak yakin kalau itu adalah ide yang bagus."Hendra mengangguk mantap. "Aku cuma ingin membuktikan ucapan gadis bernama Rita itu, Bu. Semula kita juga mengira kalau rumah warisan bapakku ini angker, tapi ternyata demit yang kita kira ada, adalah Kartika, hehe. Aku ingin lihat sendiri, apa benar rumah warisan bapak Kartika itu angker seperti yang dibilang."Anis meremas ujung pakaiannya, gugup. "Aku tahu Kamu nggak percaya hal-hal begitu, tapi entah kenapa Aku merasa takut kalau yang dikatakan Rita itu benar. Kalau rumah ini kan pernah diberi pagar gaib, Pak. Kalau rumah warisan bapak Kartika
Kartika berdiri terpaku. Bayang-bayang sosok perempuan semakin jelas di depannya. Dyah. Wajahnya yang pucat dengan mata cekung dan rambut panjang kusut terlihat menyeramkan di antara kegelapan. Hawa dingin seketika menusuk kulit Kartika, membuat tubuhnya menggigil."Hihihi... Kartika," suara lirih itu terdengar lagi, kini lebih dekat. "Lama kita tidak berjumpa..."Kartika menelan ludah, tubuhnya gemetar hebat. Ia memeluk Cakra lebih erat, berusaha meredam tangis bayinya yang mulai mereda namun masih tersendat-sendat. "Tidak.., tidak.., Mbak Dyah kenapa Kau masih ada di rumah warisan bapakku? Apa maumu?" tanyanya dengan suara bergetar.Sosok Dyah tersenyum tipis, lalu mengulurkan tangannya ke arah Kartika. "Aku tidak bisa pergi Kartika.., jiwaku masih tertahan. Aku baru bisa pergi kalau keluargaku mengembalikan rumah ini padamu atau ada yang melunasi hutangku!" Sosok Dyah menyeringai, menampakan giginya yang runcing tajam, bola matanya menonjol keluar, menyisakan urat dan darah. "Bayi i
Hawa dingin semakin menusuk, membuat semua orang di ruangan itu seperti membeku. Sosok Dyah yang penuh dendam melayang di udara, matanya merah menyala. Namun, dari tubuh Anis, sosok lain perlahan muncul. Tubuh Anis terguncang hebat, hingga akhirnya bayangan seperti kabut putih keluar dan berdiri kokoh di hadapan Dyah. Itu adalah Lasmini, sosok gaib yang selama ini bersemayam dalam diri Anis."jadi kau Lasmini?" Hendra terperengah sama seperti Kartika yang takjub dengan kecantikan sang ibu.Lasmini mengangguk tersenyum, lalu ia kembali mengalihkan pandangan kepada Dyah, yang hampir saja berhasil membuat Anis beralih dunia."Dyah, aku sudah memperingatkanmu," suara Lasmini menggema, tegas dan penuh wibawa. "Pergi dari sini, atau kau akan binasa!"Dyah tertawa sinis, suaranya parau dan menggema di seluruh ruangan. "Kau pikir aku takut padamu, Lasmini? Aku tidak akan pergi! Karena aku tidak bisa pergi! Rumah ini seakan mengurungku! Maka dari itu, sekalian saja aku jadikan milikku!" Sosok
Pagi itu, udara terasa berat dan dingin, meski matahari sudah mulai naik perlahan di langit. Anis menghampiri Hendra yang sedang duduk di beranda, menyesap kopi hangat buatan istrinya. Ekspresi Hendra tampak lelah, alisnya berkerut dalam, seperti ada beban berat yang terus mengganggu pikirannya."Apa kita jadi berangkat ke rumah Bambang hari ini?" tanya Anis perlahan. Ia mengambil duduk di samping suaminya.Hendra menghela napas panjang. "Aku sedang memikirkan itu," jawabnya sambil menatap gelas kopi di tangannya. "Tapi entah kenapa aku merasa... Bambang tidak akan percaya begitu saja. Lagi pula, membawa boneka itu—memiliki resiko. Ada arwah Dyah yang bersiap mengamuk sewaktu-waktu.., kecuali, kalau lasmini bisa kita ajak sekalian."Anis menggigit bibirnya, merasa cemas. "Kau benar, ucapnya, "tapi menurutku, sebaiknya kita tidak menunggu lama. Kalau kita ragu terus, situasi ini hanya akan semakin buruk," katanya sambil melirik ke arah rumah, di mana boneka Cantika tergeletak di meja d
Hendra menatap Kartika melalui kaca spion, ekspresinya serius. "Hubungi Astutik. Suruh dia share lokasi rumahnya," ucapnya, suaranya tegas namun bergetar samar.Kartika langsung menurut. Dia mengambil ponsel dan segera menelepon Astutik. Tak lama, sebuah notifikasi masuk, menunjukkan lokasi rumah Bambang. "Sudah, Yah. Ini alamatnya," ujar Kartika sambil menyerahkan ponselnya kepada Hendra.Hendra hanya mengangguk ia memegang kendali setirnya, sambil sesekali melihat ke arah google map yang ditunjukan oleh Kartika. Namun, tiba-tiba, dia merasakan sesuatu yang dingin menyentuh tengkuknya. Seperti hembusan napas seseorang.Hendra terdiam, matanya menatap lurus ke jalan yang mulai gelap. Hutan kecil di sisi jalan terasa seperti mengawasi mereka. Dia membaca doa dalam hati, berusaha mengabaikan sensasi mengerikan itu.“Apa kau baik-baik saja?” tanya Anis dari kursi depan, memperhatikan suaminya yang tampak lebih tegang dari biasanya.“Tidak apa-apa,” jawab Hendra cepat, namun nada suarany
“Dengar baik-baik, Nak,” suara Mbah Kanjim terdengar tegas. Ia menunjuk boneka itu. “Perlu aku tegaskan, kalau boneka ini hanyalah alat. Lasmini ibumu, atau Dyah, adalah arwah bebas yang tidak terikat pada perantara. Seandainya aku menyegel boneka ini dalam kotak kaca, ibumu masih bisa berkeliaran di alam manusia, selama dia masih ada ganjalan hidup."Kartika menelan ludah. “Jadi ... ibu belum bisa pergi dengan tenang karena masih memiliki ganjalan hidup?” tanyanya dengan suara bergetar.Mbah Kanjim mengangguk. “Benar, yang perlu aku garis bawahi, Lasmini dan Dyah berasal dari dua energi yang berbeda. Dyah adalah jiwa yang telah tersesat jauh. Sementara ibumu, dia masih belum kembali ke alam seharusnya karena ...." Mbah Kanjim tampak berpikir keras. "Sebenarnya apa kau pernah menanyakan kepada ibumu, mengapa dia tidak segera pergi dari alam manusia?" Mbah Kanjim menatap kepada Kartika dengan penuh selidik."Mungkin karena ayah kandungku tidak bertanggung jawab kepadaku, juga karena is
Malam itu, suasana rumah Udin terasa mencekam. Langit mendung gelap, dan suara angin menerpa dinding rumah kayu, menambah suasana tegang. Astutik duduk di sudut ruangan dengan mata yang sembap karena tangis. Kartika mendekat, memberikan segelas teh hangat, namun tangan Astutik gemetar saat meraihnya.“Ibu tidak punya pilihan,” bisiknya dengan suara parau. “Ibu harus bicara dengan Wulan. Dia satu-satunya yang bisa membantu menyelesaikan masalah ini.”Kartika menatapnya dengan ragu. “Bu, Wulan... dia tidak akan mendengar. Apa Ibu yakin ini keputusan yang tepat?”Astutik tidak menjawab. Tangannya terulur meminta ponsel Kartika. Dengan berat hati, Kartika menyerahkannya. Astutik menekan nomor Wulan dengan tangan bergetar. Beberapa detik kemudian, sambungan tersambung.“Wulan, ini Ibu,” suara Astutik terdengar lirih, hampir seperti bisikan.Dari seberang, terdengar suara Wulan yang terdengar dingin. “Ada apa? Apa kau berhasil berbicara dengan Mbak Dyah? Ingat besok penyewa itu akan datang.
"Dyah... Nak, ini ibu...!" Suara Astutik lirih dan penuh kerinduan. Ia mencoba berjalan tertatih, mendekati sosok gaib putrinya. "Bu Astutik, jangan!" teriak Kartika panik, mencoba menghentikan langkah Astutik. Rasya pun memegangi bahu wanita tua itu, mencoba menariknya mundur. "Bu, itu bukan Dyah yang Ibu kenal!"Namun Astutik meronta, menepis tangan Rasya dan Kartika. "Lepaskan aku! Dia anakku! Dia membutuhkanku!" teriaknya sambil terus menangis. Tubuh renta itu tetap bergerak maju, mendekati sosok Dyah.Saat Astutik hanya tinggal beberapa langkah dari pintu, sosok Dyah tiba-tiba mengangkat tangannya. Dengan satu gerakan cepat, ia menyerang, mengeluarkan energi hitam yang melesat ke arah Astutik. Tubuh tua itu terpental ke belakang, jatuh ke pelukan Rasya yang berlari menangkapnya tepat waktu."Astaga, Bu, Ibu baik-baik saja?" Rasya bertanya panik sambil memeriksa kondisi Astutik. Wanita itu hanya menangis, memegangi dadanya yang terasa sesak.Sosok Dyah kini beralih menatap Kartik
"Baiklah kalau itu keputusanmu, tapi resiko tanggung sendiri," dengus Hendra kesal.Kartika tersenyum, ke arah ayah mertuanya. "Terimakasih ya, Yah, Kartika berjanji hanya sebatas memastikan kalau bu Astutik baik-baik saja.""Terserah kamu, hanya saja Ayah ingin menegaskan sesuatu." Hendra menatap Kartika dengan tajam, nadanya penuh tekanan. "Jangan ikut campur terlalu jauh. Ayah terus terang tidak menyukai sikap putri Bu Astutik, yang bernama Wulan itu."Kartika mengangguk pelan, menyadari ketegangan di balik kata-kata ayah mertuanya. Ia tahu Hendra jarang berbicara setegas ini kecuali ia benar-benar merasa terganggu. Perlahan, Kartika menggandeng lengan Astutik, berusaha menenangkan wanita tua itu yang tampak begitu rapuh. "Baik, Pak. Saya mengerti. Saya akan segera bersiap," ujarnya, berusaha tetap tenang.Astutik menatap Kartika dengan mata berkaca-kaca. "Terima kasih, Nak Kartika. Ibu tahu ini merepotkan.""Saya akan mempersiapkan pakaian anak saya dulu. Kita naik angkot jam semb
Pintu angkot terbuka sendiri dengan bunyi berdecit. Di luar, bayangan rumah itu terlihat semakin mencekam di bawah sinar rembulan. Dengan langkah gemetar Astutik mulai turun. Tak lama setelah ia menginjakkan kaki di tanah, angkot itu meluncur dengan cepat, menghilang di balik gelapnya malam.Astutik terkesiap mendengar suara dari arah belakang. "Saya sepertinya pernah melihat Anda?" Suaranya pelan, tapi cukup untuk membuat bulu kuduknya meremang.
Dengan wajah merah padam, Wulan kembali ke rumahnya, di Desa Cimelati. Mobil yang ditumpanginya melaju cepat. Sesampai di depan gapura desa, ia langkahnya semakin cepat, membangkitkan debu di jalan setapak yang ia lewati. Sesampainya di rumah, ia langsung masuk tanpa mengetuk pintu. Bahkan ia mengabaikan beberapa tamu yang baru selesai melakukan ritual tiga harian. Astutik, yang sedang menyusun buku doa meja, terkejut saat melihat anaknya datang dengan wajah kesal. "Kau sudah pulang, Mak?" tanyanya."Ibu, aku ingin bicara. Ikut aku!" Wulan menggiring sang ibu menuju ke sebuah ruangan lain. "Mbak Dyah telah menjadi sesuatu yang mengerikan!" seru Wulan dengan nada bicara lantang.Astutik mengambil duduk berhadapan dengan putrinya. "Apa maksudmu, Wulan?""Rumah itu, Bu! Rumah warisan Dyah! Aku sudah mencoba membersihkannya, tapi arwahnya ... Maksudku, Mbak Dyah tidak seperti dulu. Dia penuh kemarahan dan kebencian! Mbak Dyah sudah berubah menjadi sosok jahat, Bu!" Wulan mulai menangis.A
Kartika mencoba tetap tenang meski dadanya bergemuruh. Dengan wajah datar, ia akhirnya mengiyakan permintaan Wulan. Namun, ketika Wulan dengan nada tinggi meminta agar proses pengalihan nama dipercepat, Kartika merasa seperti dilempar ke jurang ketidakadilan.“Aku akan memanggil notaris,” ujar Wulan sambil beranjak, ia keluar pintu dan kembali dengan dua orang pria memakai kemeja hitam, yang sepertinya baru saja selesai mengikuti pengajian di rumah mereka. “Kita langsung urus sekarang, supaya tidak ada lagi alasan kalian untuk datang," ucap Wulan, "dan satu hal lagi ... aku tidak takut dengan segala cerita ‘angker’ yang kalian karang tentang rumah itu! Bilang saja kalau Kau butuh uang jadi menghubungi ibuku kembali."Kata-kata Wulan yang tajam menusuk hati Kartika. Sementara Hendra hanya menatap dengan dingin dan menahan kesal.“Kami angkat tangan jika terjadi sesuatu di rumah warisan bapak Kartika, nanti,” ucap Hendra dengan nada tegas.“Itu rumah milikku sekarang!” balas Wulan deng
Hendra menatap Kartika melalui kaca spion, ekspresinya serius. "Hubungi Astutik. Suruh dia share lokasi rumahnya," ucapnya, suaranya tegas namun bergetar samar.Kartika langsung menurut. Dia mengambil ponsel dan segera menelepon Astutik. Tak lama, sebuah notifikasi masuk, menunjukkan lokasi rumah Bambang. "Sudah, Yah. Ini alamatnya," ujar Kartika sambil menyerahkan ponselnya kepada Hendra.Hendra hanya mengangguk ia memegang kendali setirnya, sambil sesekali melihat ke arah google map yang ditunjukan oleh Kartika. Namun, tiba-tiba, dia merasakan sesuatu yang dingin menyentuh tengkuknya. Seperti hembusan napas seseorang.Hendra terdiam, matanya menatap lurus ke jalan yang mulai gelap. Hutan kecil di sisi jalan terasa seperti mengawasi mereka. Dia membaca doa dalam hati, berusaha mengabaikan sensasi mengerikan itu.“Apa kau baik-baik saja?” tanya Anis dari kursi depan, memperhatikan suaminya yang tampak lebih tegang dari biasanya.“Tidak apa-apa,” jawab Hendra cepat, namun nada suarany
Pagi itu, udara terasa berat dan dingin, meski matahari sudah mulai naik perlahan di langit. Anis menghampiri Hendra yang sedang duduk di beranda, menyesap kopi hangat buatan istrinya. Ekspresi Hendra tampak lelah, alisnya berkerut dalam, seperti ada beban berat yang terus mengganggu pikirannya."Apa kita jadi berangkat ke rumah Bambang hari ini?" tanya Anis perlahan. Ia mengambil duduk di samping suaminya.Hendra menghela napas panjang. "Aku sedang memikirkan itu," jawabnya sambil menatap gelas kopi di tangannya. "Tapi entah kenapa aku merasa... Bambang tidak akan percaya begitu saja. Lagi pula, membawa boneka itu—memiliki resiko. Ada arwah Dyah yang bersiap mengamuk sewaktu-waktu.., kecuali, kalau lasmini bisa kita ajak sekalian."Anis menggigit bibirnya, merasa cemas. "Kau benar, ucapnya, "tapi menurutku, sebaiknya kita tidak menunggu lama. Kalau kita ragu terus, situasi ini hanya akan semakin buruk," katanya sambil melirik ke arah rumah, di mana boneka Cantika tergeletak di meja d