Entah kenapa malam ini suasana Desa Wangunsari begitu hening. Para penghuninya terlelap, seakan tersihir oleh rasa kantuk yang luar biasa. Para pria yang seharusnya melakukan ronda, kompak tidak datang dengan macam-macam alasan. Semua mengunci pintu dan jendela secara rapat. Tubuh yang terlentang di kasur, ditutupi selimut tebal, menyembunyikannya dalam sepoi angin yang terasa menusuk tulang. Para warga merasa lelah karena seminggu ini sibuk mencari Nilam sampai tengah malam. Karena memang pencarian dihentikan sementara, mereka memilih menggunakan waktu untuk istirahat. Namun, bagi yang masih terjaga, seperti ada hawa aneh yang sulit dijabarkan. "Kang, kenapa obat punya Bu Rosidah malah dibawa pulang?" tanya Eulis, istrinya Darsan. Meski waktu sudah menunjukan jam sebelas lebih, tetapi keduanya belum tidur karena menjaga anaknya yang tengah sakit. "Keueung, Neng. Tadi aja dari rumah Bu Dokter, Akang teh setengah lari saking takutnya. Gak tahu, hawanya beda aja. Terus tadi di depan
Tawa Nilam membuat ibunya yang berada di dapur buru-buru mematikan kompor. Bu Rosidah dan Indah langsung menuju ke kamar untuk melihat apa yang terjadi, sedangkan Nur hanya berdiri di pinggir ranjang dengan tubuh gemetar. "Kenapa, Teh?" tanya Bu Rodiah. Nur tidak menjawab, ia hanya menunjuk ke arah Nilam di mana gadis itu berselonjor kaki. Kepalanya bergerak-gerak perlahan, bibirnya melantunkan nyanyian berbahasa Sunda. "Istigfar, Neng. Nyebut. Ini Ibu, Nak." Bu Rosidah hendak mendekat, tetapi tangannya ditarik oleh Nur, sebab ia takut terjadi sesuatu pada ibunya. Lir janji kembang malati nu GeulisBray ebon-ebon cing gurinyaiTapak kembang sajagad Marurag kana wastu palastra Setelah melantunkan tembang tersebut, Nilam menoleh ke arah tiga wanita yang berdiri ketakutan juga khawatir akan keadaan gadis itu. Perlahan tubuhnya memutar perlahan, lantas turun dari ranjang sembari tersenyum. Bola matanya berputar ke kanan dan kiri, mengikuti gerak kepalanya. Nur yang yakin kalau ada
Desas-desus tentang pulangnya Nilam tentu jadi topik utama pagi ini di Desa Wangunsari. Matahari belum sepenuhnya naik, kokok ayam sibuk membangunkan mereka yang masih berselimut mimpi. Begitu juga burung yang berkicau sembari mengelilingi daun-daun hijau di ladang sayuran. Namun, para warga sudah berbondong-bondong mendatangi rumah Pak Wahyu. Bagas dan Hafiz sampai berjaga di luar. Sebisa mungkin, mereka menahan warga untuk masuk dengan alasan Nilam masih butuh istirahat. Mereka yang tak sabar tentunya memprotes penahanan itu karena dianggap tidak menghargai bantuan mereka dalam mencari Nilam selama gadis itu menghilang. Hanya tiga orang yang diizinkan masuk, yaitu Bah Karsun, Jajang, juga Dokter Desa. Sengaja Pak Wahyu memanggil sang dokter, memintanya mengecek kesehatan secara fisik—itupun atas dasar perintah dari Bah Karsun. "Kenapa harus ditahan kayak gini? Kita juga pengen tahu atuh keadaan si Nilam kayak gimana!" ucap Basir, seakan jadi provokasi, membuat suasana kian memana
Sementara Bagas pergi, Teh Rita dan ibunya datang untuk menjenguk Nilam. Bagaimanapun, Teh Rita adalah orang yang pertama kali membawa baju milik Nilam ke rumah, maka Bu Rosidah mengizinkannya sebagai tanda terima kasih. Mereka merasa kasian setelah mendengar kabar tentang Nilam. Sampai Bu Rahayu pun yang kakinya terasa sakit jika berpergian jauh, merasa harus menengok gadis itu. Beliau hanya takut, ada campur tangan Nyai Kusuma pada kasus ini. Beberapa hari ini Nyai Kusuma memang sering menampakan diri di sekitar rumah Bu Rahayu. Tak jarang pula benda-benda digerakkan. Piring yang semula berada di tempatnya, tiba-tiba saja jatuh ke lantai sampai belingnya berhamburan. Kejadian ini sebelumnya tidak ada, entah mengapa hilangnya Nilam, seperti membangkitkan kembali sosok Nyai Kusuma. Dengan datang ke rumah Pak Wahyu, setidaknya Bu Rahayu bisa merasakan intensitas yang sama ketika Nyai Kusuma datang ke rumahnya. Saat masuk ke pintu utama lalu mengucapkan salam, terlihat Nur tengah dud
"Jang, tos ti mana?" tanya Bu Rahayu saat melihat Jajan datang dari arah utara dengan tangan yang dipenuhi tanah. Ia menepuk-nepuk kedua telapaknya, mencoba membersihkan sisa tanah. "Nguburin bangkai kucing, Mak," jawab Jajang tanpa menoleh. Kini ia sibuk menepuk-nepuk kaos oblong bagian depannya. Bu Rahayu dan Bah Kasrun saling melirik satu sama lain. Bah Karsun pun berkata, "Naha meni jauh? Di sini juga tanah mah ada." "Sekalian bakar sampah, Bah." "Ya sudah gak usah dibahas. Tadi teh kamu yang lari-lari ke belakang?" Dahi Jajang mengernyit, pria itu pun menjawab, "Enggak, Bah. Kan, Jajang mah dari sana. Udah bakar sampah." Merasa hal itu tidak penting untuk dibahas, Bah Karsun pun mulai mengganti topik pembicaraan. Ia meminta Jajang mengantarkan Bu Rahayu pulang dengan motor matic jadul milik Jajang. Pria yang sehari-hari bekerja sebagai pengurus kambing itu mengiyakan. Sebelum mengantar, Jajan minta izin untuk membersihkan diri. "Ingat pesanku, Rahayu. Kamu teh kudu hati-ha
Semenjak pulangnya Nilam, suasana malam di Desa Wangunsari semakin hening. Orang-orang memilih menepi di rumah, bergemelut pada rasa takut yang selalu menjadi buah bibir ketika mereka bekerja. Apalagi Darsan memberi tahu beberapa warga, bahwa ia mendengar suara aneh di rumah Pak Wahyu. Tentu saja kabar itu cepat sampai dari mulut ke mulut. Keheningan yang terjadi, menciptakan sebuah desa layaknya kota mati. Ditambah, gerimis malam ini membawa kabut tipis yang menghalangi pemandangan. Burung kecil hinggap dari genting satu ke genting lain, berhenti tepat di atas rumah Bah Karsun. Masih dengan rasa sakit di tubuh, pria itu terbangun dari pingsannya. Kepalanya berdenyut hebat, pandangannya sedikit mengabur. Maka, ia masih berusaha untuk mengembalikan kawarasannya. Setelah dirasa bisa melihat secara jelas lampu neon yang berada di atas sana, Bah Karsun mencoba bangkit. Jajang yang baru datang dengan dua botol obat di tangan buru-buru berlari. Disimpannya benda di tangan ke atas nakas,
Bah Karsun yang sudah kembali ke badannya, mulai membuka mata. Ia beristigfar beberapa kali sembari menggeser badan. Punggung renta itu disandarkan pada papan sisi ranjang. Kaki kiri diselonjorkan, yang kenan ditekuk sampai lutut bersentuhan dengan dada. Ia terbatuk-batuk, merasakan dada yang sesak. Masuk ke alam mereka membuat tenaganya terkuras habis. Pria itu membuka kopiah, lalu mengusap rambut putihnya. Bah Karsun memanggil Jajang untuk masuk agar bisa mengambilkan air dalam mugh karena tenggorokannya begitu kering. Tanpa menunggu lama, Jajang membuka gorden. Ia mendekat ke arah bapaknya. Paham dengan telunjuk yang mengarah ke lemari kecil samping ranjang, pria itu langsung mengambilkan mugh yang berisi teh bari—teh pagi yang sengaja diendapkan.Bah Karsun meneguk teh tersebut sampai habis tak bersisa. Ia kembali mengatur napas sembari mengusap-ngusap dadanya. "Gagal, Jang," ucapnya sedikit menghela napas. Jajang yang sudah bersila di depan sang bapak pun berkata, "Enggak apa-
"Bukannya masuk ke sana harus nyalain obor, ya, supaya tahu ada orang yang sedang melakukan ritual. Tapi dilanggar?" tanya Bagas. Keduanya masih mencoba mengintip aktivitas orang tersebut. Bagas dan Ridwan mengendap masuk ke makam keramat, lantas kembali bersembunyi di balik pohon beringin yang paling besar—saking besarnya bisa menutup tubuh dua pria itu. Mereka masih mengintip aktivitas orang yang mereka untit, di mana ia tengah duduk bersila dengan telapak tangan yang saling menyatu. "Kayaknya emang sengaja, supaya gak ada orang yang tau," jawab Ridwan asal. "Bukannya malah risikonya lebih besar?" Kedua bahu Ridwan terangkat saat merespons ucapan Bagas. Sebenarnya Ridwan sudah gemas, ia menangkap orang tersebut. Namun, Bagas meminta sabar sejenak. Jangan terlalu gegabah, karena justru akan membahayakan diri sendiri. Menurut Bagas, tempat yang mereka datangi itu tempat yang dihormati oleh warga desa, maka celakalah jika sampai semena-mena. Sosok itu masih bersila di salah satu m