Sementara Bagas pergi, Teh Rita dan ibunya datang untuk menjenguk Nilam. Bagaimanapun, Teh Rita adalah orang yang pertama kali membawa baju milik Nilam ke rumah, maka Bu Rosidah mengizinkannya sebagai tanda terima kasih. Mereka merasa kasian setelah mendengar kabar tentang Nilam. Sampai Bu Rahayu pun yang kakinya terasa sakit jika berpergian jauh, merasa harus menengok gadis itu. Beliau hanya takut, ada campur tangan Nyai Kusuma pada kasus ini. Beberapa hari ini Nyai Kusuma memang sering menampakan diri di sekitar rumah Bu Rahayu. Tak jarang pula benda-benda digerakkan. Piring yang semula berada di tempatnya, tiba-tiba saja jatuh ke lantai sampai belingnya berhamburan. Kejadian ini sebelumnya tidak ada, entah mengapa hilangnya Nilam, seperti membangkitkan kembali sosok Nyai Kusuma. Dengan datang ke rumah Pak Wahyu, setidaknya Bu Rahayu bisa merasakan intensitas yang sama ketika Nyai Kusuma datang ke rumahnya. Saat masuk ke pintu utama lalu mengucapkan salam, terlihat Nur tengah dud
"Jang, tos ti mana?" tanya Bu Rahayu saat melihat Jajan datang dari arah utara dengan tangan yang dipenuhi tanah. Ia menepuk-nepuk kedua telapaknya, mencoba membersihkan sisa tanah. "Nguburin bangkai kucing, Mak," jawab Jajang tanpa menoleh. Kini ia sibuk menepuk-nepuk kaos oblong bagian depannya. Bu Rahayu dan Bah Kasrun saling melirik satu sama lain. Bah Karsun pun berkata, "Naha meni jauh? Di sini juga tanah mah ada." "Sekalian bakar sampah, Bah." "Ya sudah gak usah dibahas. Tadi teh kamu yang lari-lari ke belakang?" Dahi Jajang mengernyit, pria itu pun menjawab, "Enggak, Bah. Kan, Jajang mah dari sana. Udah bakar sampah." Merasa hal itu tidak penting untuk dibahas, Bah Karsun pun mulai mengganti topik pembicaraan. Ia meminta Jajang mengantarkan Bu Rahayu pulang dengan motor matic jadul milik Jajang. Pria yang sehari-hari bekerja sebagai pengurus kambing itu mengiyakan. Sebelum mengantar, Jajan minta izin untuk membersihkan diri. "Ingat pesanku, Rahayu. Kamu teh kudu hati-ha
Semenjak pulangnya Nilam, suasana malam di Desa Wangunsari semakin hening. Orang-orang memilih menepi di rumah, bergemelut pada rasa takut yang selalu menjadi buah bibir ketika mereka bekerja. Apalagi Darsan memberi tahu beberapa warga, bahwa ia mendengar suara aneh di rumah Pak Wahyu. Tentu saja kabar itu cepat sampai dari mulut ke mulut. Keheningan yang terjadi, menciptakan sebuah desa layaknya kota mati. Ditambah, gerimis malam ini membawa kabut tipis yang menghalangi pemandangan. Burung kecil hinggap dari genting satu ke genting lain, berhenti tepat di atas rumah Bah Karsun. Masih dengan rasa sakit di tubuh, pria itu terbangun dari pingsannya. Kepalanya berdenyut hebat, pandangannya sedikit mengabur. Maka, ia masih berusaha untuk mengembalikan kawarasannya. Setelah dirasa bisa melihat secara jelas lampu neon yang berada di atas sana, Bah Karsun mencoba bangkit. Jajang yang baru datang dengan dua botol obat di tangan buru-buru berlari. Disimpannya benda di tangan ke atas nakas,
Bah Karsun yang sudah kembali ke badannya, mulai membuka mata. Ia beristigfar beberapa kali sembari menggeser badan. Punggung renta itu disandarkan pada papan sisi ranjang. Kaki kiri diselonjorkan, yang kenan ditekuk sampai lutut bersentuhan dengan dada. Ia terbatuk-batuk, merasakan dada yang sesak. Masuk ke alam mereka membuat tenaganya terkuras habis. Pria itu membuka kopiah, lalu mengusap rambut putihnya. Bah Karsun memanggil Jajang untuk masuk agar bisa mengambilkan air dalam mugh karena tenggorokannya begitu kering. Tanpa menunggu lama, Jajang membuka gorden. Ia mendekat ke arah bapaknya. Paham dengan telunjuk yang mengarah ke lemari kecil samping ranjang, pria itu langsung mengambilkan mugh yang berisi teh bari—teh pagi yang sengaja diendapkan.Bah Karsun meneguk teh tersebut sampai habis tak bersisa. Ia kembali mengatur napas sembari mengusap-ngusap dadanya. "Gagal, Jang," ucapnya sedikit menghela napas. Jajang yang sudah bersila di depan sang bapak pun berkata, "Enggak apa-
"Bukannya masuk ke sana harus nyalain obor, ya, supaya tahu ada orang yang sedang melakukan ritual. Tapi dilanggar?" tanya Bagas. Keduanya masih mencoba mengintip aktivitas orang tersebut. Bagas dan Ridwan mengendap masuk ke makam keramat, lantas kembali bersembunyi di balik pohon beringin yang paling besar—saking besarnya bisa menutup tubuh dua pria itu. Mereka masih mengintip aktivitas orang yang mereka untit, di mana ia tengah duduk bersila dengan telapak tangan yang saling menyatu. "Kayaknya emang sengaja, supaya gak ada orang yang tau," jawab Ridwan asal. "Bukannya malah risikonya lebih besar?" Kedua bahu Ridwan terangkat saat merespons ucapan Bagas. Sebenarnya Ridwan sudah gemas, ia menangkap orang tersebut. Namun, Bagas meminta sabar sejenak. Jangan terlalu gegabah, karena justru akan membahayakan diri sendiri. Menurut Bagas, tempat yang mereka datangi itu tempat yang dihormati oleh warga desa, maka celakalah jika sampai semena-mena. Sosok itu masih bersila di salah satu m
"Coba atuh WA lagi ke Pak Wahyu, Eni masih di situ, gak?" tanya Mak Ajeng pada Dokter Hendi, suaminya Bu Eni. Sudah hampir jam 11 malam, tetapi Bu Eni belum juga pulang. Padahal, setelah dinas di desa tadi, ia berpamitan akan ke rumah Pak Wahyu, setelah itu tidak ada tugas lagi. Kalaupun ada, Bu Eni selalu memberi kabar lewat telepon atau pun WA. "Sudah, Bu, Nur bilang dari sore udah pulang. Saya juga sudah telepon semua staf desa, tapi gak ada yang tau ke mana perginya Eni," jawab pria itu dengan wajah cemas. Sedari tadi pria yang berprofesi sebagai dokter itu mondar-mandir tidak jelas, berusaha menelepon nomor Bu Eni yang tidak aktif. Kalau saja Mak Ajeng tidak mengalami kelumpuhan, mungkin akan beliau susuk anak tercintanya, mencari ke semua sudut desa. Sayang, wanita itu hanya bisa duduk di kursi roda sembari mengusap pipinya yang basah oleh air mata. Entah mengapa perasaan Mak Ajeng sangat tidak enak, apalagi saat gelas di meja tiba-tiba saja pecah—tanpa ada angin. Dokter Hen
"Bu Eni ditemukan, Bu Eni ditemukan!" Gema suara itu berpadu dengan riaknya air sungai. Bu Eni ditemukan tepat ketika lantunan azan Subuh berkumandang. Jasadnya terbaring kaku di tepi sungai, dekat gua. Si pria tua yang melakukan persembahan semalam, sengaja menyimpan korbannya di sana. Semua orang sontak mengucap syukur, tetapi berubah istigfar kala melihat keadaan jasad almarhumah. Salah satu warga menelepon Pak Lurah untuk mendekat ke perbatasan. Tak berapa lama, pria itu datang bersama Dokter Hendi. Tentu reaksi yang ditunjukan adalah sama. Tak peduli bagaimana keriputnya tubuh wanita itu—layaknya nenek-nenek berumur ratusan tahun, sang suami tetap memeluknya, menangisi kepergian Bu Eni dengan begitu menyayat hati. Semua orang yang berkumpul di tempat hanya bisa menunduk, turut merasa sedih dengan kejadian mengenaskan ini. Akhirnya Pak Lurah memanggil ambulance desa untuk ke lokasi. Sebagian sudah membubarkan diri karena akan melaksanakan salat Subuh. Menjelang pagi, ambulance
"Menurut Ibu, apa kematian Bu Eni ada hubungannya dengan kutukan yang dibawa Nilam?" tanya Teh Rita membuka percakapan setelah mereka pulang dari pemakaman. Bu Rahayu terdiam sejenak, mencoba merenungi apa yang terjadi dulu pada Nyai Kusuma dan kejadian yang menimpa Nilam. Sementara itu, Teh Rita menuang air panas pada cangkir berisi teh celup, memberinya sedikit gula. Satu gelas diberikan pada Bu Rahayu, satu gelas untuk dirinya.Bau khas dari teh Ciwalini menguar, memenuhi tempat mereka duduk. Teh Rita selalu punya langganan untuk pembelian teh, dikarenakan Bu Rahayu tidak bisa minun teh lain, selain dari Ciwalini. "Dulu pas Nyai Kusuma menghilang, gak ninggalin jejak apa-apa. Ya hilang, tapi gak seheboh sekarang. Mungkin sekarang mah karena banyak pihak yang coba ikut campur," jawab Bu Rahayu sembari mengambil tehnya, lalu menyeruput dengan perlahan. Sebenarnya, banyak hal yang ingin Teh Rita tanyakan pada Bu Rahayu. Lebih tepatnya, ingin bertanya tentang masa muda ibunya itu. S
Keluarga Pak Wahyu hanya berdiri di depan pintu kamar Nilam, di mana dari dalam terdengar suara-suara aneh dan mengerikan. Mereka tampak pasrah, sebab Nilam kembali mengamuk sampai tali di tangan dan kakinya terlepas. Pilihan terakhir adalah mengunci pintu, membiarkan gadis itu sendirian.Knop pintu terlihat diputar-putar dari dalam. Suara gedoran yang ekstrim membuat pintu itu sedikit mengalami kerusakan. Tidak ada yang bisa dilakukan selain mengaji dari luar kamar. Begitu yang dilakukan Bu Rosidah dan Nur. Sementara Pak Wahyu hanya duduk di sofa ruang keluarga, matanya fokus menatap dinding bercat putih.Hal yang sama juga dialami oleh Indah. Wanita itu mengurung diri di kamar karena Hafiz tidak memberinya kabar. Hari-harinya disibukkan mengecek ponsel, berharap ada notifikasi dari suaminya. Indah kerap kali menelepon, hanya saja laporan selalu sama, bahwa nomor Hafiz di luar jangkauan.Seburuk-buruknya seorang suami, Indah tetaplah mencemaskan keberadaan Hafiz saat ini. Setidaknya,
Obrolan Jajang dan Ki Gendeng seketika terhenti kala mereka mendengan suara langkah kaki dari luar ruangan. Keduanya terdiam cukup lama, memastikan tidak salah dengar. Jari telunjuk Ki Gendeng terangkat, seakan memberi tanda untuk tetap diam. "Kayaknya teh ada yang ngikutin kamu, Jang," bisi Ki Gendeng. Kepalanya dimiringkan pada arah pintu masuk. Jajang terdiam sejenak, mencoba menerka siapa yang berani mengikutinya. Feelingnya tertuju pada Basir karena tadi ia sempat berpapasan dengan pria itu. Tidak menutup kemungkinan juga, sebab Basir orang yang nekatan, juga terlalu ikut campur dengan urusan orang lain. "Sepertinya, saya tahu siapa orangnya, Ki. Jadi, saya harus melakukan apa?" Yang ditanya malah terkekeh, lalu ia menjawab, "Biarkan saja. Sudah Aki bilang, yang masuk akan sulit keluar. Tadi Aki membuat jalan tipuan. Dia akan tersesat. Sekarang kita keluar dengan tenang." Setelah Jajang mengangguk, keduanya keluar dari ruangan sempit itu—menelusuri lorong demi lorong yang ha
"Punten, Ki, saya baru datang," ucap Jajang sedikit membungkuk, menunjukkan rasa hormat pada pria tua yang tubuhnya sudah sangat bongkok itu.Namanya Ki Gendeng. Ia berasal dari desa sebelah—Desa Patapaan. Sesuai namanya, Gendeng, orang-orang menganggapnya tidak waras karena terlalu banyak belajar ilmu hitam. Kerap kali Ki Gendeng bicara seorang diri. Namun, Tak jarang pula ia kedatangan pasien yang meminta petunjuk agar bisa melakukan pesugihan ataupun menyantet orang lain.Ki Gendeng mengangguk. Ia mengajak Jajang untuk masuk, sebab ada ritual yang sedari kemarin Jajang minta, tetapi belum bisa dilaksanakan karena syarat belum memenuhi. Keduanya berjalan menuju lorong gue, di mana di bagian paling dalam terdapat sebuah ruangan yang dulu sering dipakai oleh para sesepuh desa.Ruangan tersebut berukuran kecil, di atasnya terdapat bebatuan yang menonjol ke bawah. Menurut Ki Gendeng, orang yang sembarang masuk, akan susah kembali lagi karena gua dijaga oleh para pengikutnya. Dalam arti
Sepulang dari pencarian, Basir memilih untuk tidak pulang ke rumah, melainkan berbelok arah menuju rumah Darsan. Sebelum Bagas datang, ia harus jadi orang pertama yang mengetahui apa yang terjadi pada Darsan. Jika ia simak obrolan Bagas tadi, pria itu menjadi salah satu orang yang dicurigai.Sepanjang jalan, pria itu menoleh kanan kiri, memastikan tidak ada orang yang peduli akan langkah kakinya. Beberapa memang berpapasan, bertanya Basir mau pergi ke mana. Pria itu hanya menjawab, mau ke perkebunan.Awan di langit sudah tak seputih kapas, berumah menjadi jingga kemerahan. Basir semakin mempercepat langkahnya karena waktu Ashar akan segera berkahir. Beberapa meter dari tempatnya kini, sudah terlihat rumah Darsan yang dindingnya masih berupa bilik bambu. Dari luar, tampak begitu sepi.Setelah sampai, Basir mengetuk pintu perlahan seraya mengucapkan salam, "Assalamualaikum."Hening, belum ada jawaban. Yang terdengar hanya geresak-gerusuk langkah kaki dari dalam. Kembali Basir mengucap s
Bu Rahayu yang sudah mendekati Teh Rita dibuat terkejut ketika pintu tiba-tiba menutup dengan begitu kencang. Wanita yang memakai abaya hitam itu masih berdiri di belakang, memberi jarak kalau-kalau terjadi sesuatu. Tak berapa lama, Teh Rita menoleh dengan raut wajah datar, bawah matanya menghitam. Tanpa rasa gentar, Bu Rahayu bertanya, "Ada apa kau ke sini, Kusuma?" Gerakan spontan Teh Rita saat berdiri sedikit membuat Bu Rahayu tersentak. Kusuma seakan sengaja menggunakan tubuh Teh Rita untuk membuat Bu Rahayu lemah. Sampai-sampai, wanita yang masih memakai mukena itu dibawa merayap di dinding. "Hentikan, Kusuma!" bentak Bu Rahayu, ia takut jika Nyai Kusuma sengaja menjatuhkan Teh Rita dari atas langit kamar. "Urusan kita belum selesai, Rahayu!" Suara serak dan berat itu menggema, seperti sebuah ruangan kosong yang menghasilkan pantulan. "Matinya manusia sama dengan menyelesaikan urusan dunia. Jadi, sudah tidak ada lagi yang perlu diselesaikan. Pulanglah dengan tenang Kusuma."
"Duduk dulu, Kang, tenang. Kita bicarakan baik-baik," ucap Pak Wahyu pada Basir, di mana pria itu terus saja menanyai masalah hilangnya Karim. Suara lembut dari Pak Wahyu sedikit memberi pendinginan pada Basir. Ia pun mengajak dua pria lain yang ikut untuk duduk di sofa. Basir juga meminta Bagas untuk menghubungi Pak Lurah agar ada penindakan pada kasus yang sudah dua kali terjadi ini. Karena Bagas masih dalam keadaan lelah, ia pun sampai kebingungan mencari ponselnya. Akhirnya, Ridwan menghubungi bapaknya agar segera datang ke kediaman Pak Wahyu. Untung saja di jam seperti ini, Pak Lurah sudah bangun untuk menunaikan salat sunah. Dalam posisi duduk, Pak Wahyu meminta semua untuk beristigfar dahulu agar menemukan titik terangnya, sebab ia masih merasa bingung kenapa Basir bisa ngotot menyalahkan hilangnya Karim adalah ulah dari keluarga Pak Wahyu.Basir pun menceritakan semuanya. Dari awal mulai mereka janji bertemu, satu panggilan masuk, hingga cerita Siti yang menyebutkan bahwa s
Cahaya api dari obor tampak meliuk-liuk kala tertiup angin. Penerangan dari batang bambu itu ditancapkan di beberapa sudut. Di sebuah ruangan gua, beberapa meter dari pintu masuk, Nilam dibaringkan pada tikar cokelat yang sudah digelar. Gadis itu hanya memakai samping (kain batik) yang melilit tubuhnya, memperlihatkan kulit yang tidak terlalu putih, tetapi bersih. Ruangan yang dipenuhi memiliki batuan lancip tak beraturan itu dinamakan Tatapan Siraja, di mana para sesepuh zaman dahulu menyucikan hati, diri, di ruangan tersebut. Sedari tadi siang, asisten Bah Padri yang lain sudah mempersiapkan segalanya untuk ritual malam ini. Sebuah gentong berisi mata air tujuh sumur diletakan di samping tubuh Nilam, lengkap beserta sesajen seperti; bunga-bungaan, dupa dalam kendi, ayam cemani, dan beberapa keris. Bah Padri sudah susuk bersila, membacakan mantra seraya menebar kemenyan pada arang yang menyala. Bah Padri memberi jampi pada tempatnya berada, memberi benteng agar tidak ada makhluk l
Semua pertanyaan Ridwan mengingatkan Bagas pada kejadian di mana Hafiz pernah berbuat macam-macam pada Nilam secara mistis. Entah apa tujuannya, yang jelas pria itu selalu berkilah jika ditanya. Berawal dari suatu sore. Semua anak-anak Pak Wahyu berkumpul di rumah untuk makan bersama. Para wanita sibuk bercanda gurau di dapur, memasak serta menyiapkan hidangan penutup—termasuk minuman segar, permintaan dari Pak Wahyu. Keluarga masuk tenang, tentram. Nilam sibuk mengoceh tentang Aris yang melamarnya secara romantis. Memberi cincin, bunga, dan permintaan secara langsung kepada orang tua. Janji akan menikahi dengan pesta di sebuah hotel mewah. Sementara para pria, hanya mengobrol di ruang tamu, menyimak Pak Wahyu yang sibuk menceritakan pertandingan bola tadi malam. Hafiz lebih banyak merespons, sedangkan Bagas hanya sesekali menimpali karena dia tidak terlalu suka dengan acara olahraga. "Kang Hafiz, sini. Pasangin gas!" teriak Indah dari dapur. "Iya! Sebentar, Pak." Pria itu beranj
Selepas tahlilan di rumah Bu Ajeng, para bapak-bapak mulai membubarkan diri. Kematian tak wajar almarhumah Bu Eni membuat suasana desa kian mencekam. Maka, meski jam masih terbilang sore, semua orang memilih pulang lalu menyepi di rumah masing-masing. Karim yang baru masuk rumah langsung mengganti pakaiannya. Pria itu sudah punya janji dengan Basir dan Pak Lurah untuk pergi ke rumah Pak Wahyu—melihat keadaan Nilam. Sebelum pergi, ia sempatkan memandangi kaca lemari, memperhatikan kain kasa yang menutupi bagian belakang kepala. "Mau ke mana udah rapi, Kang?" tanya Siti, istri Karim yang baru saja melahirkan anak kedua, sekitar empat bulan yang lalu. "Ke rumah Pak Wahyu. Ada urusan sama Pak Lurah," jawabnya sambil mengusap kasanya, membetulkan penutup luka yang kurang rapat. Untung saja kepalanya pelontos, jadi tidak terlalu ribet dengan rambut. "Kan kepala Akang teh masih sakit. Inget gak kata Bu Anggita tadi pas di klinik? Jangan dulu kena angin sama air!" cerca Siti. Kini ia sibu