Tatapan Davira begitu muram. Begitu melihat Briella, dia langsung meludah ke arahnya.Briella melirik Davira dengan jijik. Dia bahkan menjadi jengkel saat melihat Valerio. Pria itu menggunakan hak istimewanya untuk membebaskan Davira.Briella menghela napas dan melangkah mendekati kedua orang itu. Saat langkahnya melewati Valerio, dia berkata dengan wajah sopan tanpa ekspresi, "Pak Valerio, aku dibebaskan dari tuduhan, jadi nggak punya kepentingan apa pun lagi di sini. Aku akan pergi dulu."Mata Valerio mengikuti langkah Briella. Dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak bisa. Wajah tampannya samar-samar terlihat tidak berdaya.Briella sudah melangkah pergi, tetapi tiba-tiba pergelangan tangannya dicengkeram oleh sebuah tangan. Dia menoleh dan melihat Davira menyeringai padanya."Haha." Senyum Davira memudar dalam sekejap. Dia menggertakkan gigi dengan keras ke arahnya. "Mati saja sana!"Briella terlonjak kaget. Detik berikutnya, Valerio dengan kasar menarik lengan Davira menjauh dari
"Rio, kamu memukulku? Beraninya kamu memukulku?""Pukulan itu masih terbilang ringan." Nada bicara Valerio penuh dengan peringatan, "Kamu sudah tahu alasan kenapa aku menjaminmu. Tapi kalau kamu menyakiti anakku, nasibmu akan lebih buruk dari ini."Davira masih mematung karena pukulan itu. Tidak jauh dari situ, Klinton berjalan mendekat, Davira pun berhambur ke dalam pelukannya."Kak, akhirnya kamu datang juga. Cepat urus tunanganmu! Sekarang dia bersekongkol dengan Rio, sampai mengancam hubungan pernikahan kami. Barusan Rio bahkan memukulku."Klinton menepuk pundak Davira. "Mobil sudah menunggu di luar. Kamu masuk dulu, serahkan sisanya padaku."Davira mendelik marah ke arah Briella dan menuju ke salah satu mobil yang terparkir di depan."Briella, kemarilah." Klinton berbicara ke arah Briella, menatap Valerio dengan penuh kebencian. "Hanya dalam satu malam, kamu sudah mengungkapkan identitasnya? Apa kamu masih belum cukup menyakitinya?"Tatapan Valerio melirik Klinton, yang akhirnya j
Suara Briella tidak keras, tetapi sikapnya cukup jelas. Davira cukup marah dengan sikap Briella yang seperti ini.Davira memelototi Briella dengan penuh kebencian, lalu menoleh ke arah Klinton, menyalurkan ketidakpuasannya, "Kak, dia itu Briella! Kenapa waktu itu kamu membohongi Papa sama Mama?"Klinton menyalakan mobil dan mengangkat matanya untuk mengamati Davira melalui kaca spion mobil.Selama ini, adiknya selalu dimanjakan dan ternyata sampai terlibat dalam kasus pembunuhan. Sebagai kakak Davira, dia tidak menyangka kalau adiknya akan mampu melakukan hal seperti itu."Situasinya sudah seperti ini, tapi kamu masih mempermasalahkan hal ini? Lebih baik pikirkan apa yang harus kamu lakukan selanjutnya.""Apa maksudnya apa yang harus aku lakukan?" Davira tidak menganggap kematian seorang manusia sebagai masalah besar. Keluarganya memiliki uang dan kekuasaan. "Rio bilang dia akan menjaminku. Aku nggak mungkin masuk penjara."Dia mengatakan ini dengan sikap bangga, bahkan sempat melirik
Sekarang, Briella bahkan belum menikah dengan Klinton, tetapi pria ini mengubah sikapnya begitu cepat!Untungnya, Briella tidak berpikir untuk bergantung sepenuhnya pada pria ini. Kalau tidak, dia akan mengulangi kesalahan yang sama dan menyerahkan inisiatif kepada orang lain untuk sekali lagi.Briella tersenyum dingin dan tidak mengatakan apa-apa lagi. Kakak beradik di dalam mobil ini membuatnya merasa sesak. Dia membuka jendela dan melihat pemandangan yang melintas di luar jendela, mencoba yang terbaik untuk menahan emosinya.Mobil melaju sampai ke kediaman Keluarga Atmaja. Herman dan Resti sudah berdiri di pintu masuk vila dan terlihat cemas. Ketika melihat mobil datang, mereka bergegas menuruni tangga dan berjalan menghampiri.Pintu mobil terbuka, Davira pun turun dari mobil. Dia seperti anak kecil yang sedih, menjatuhkan diri ke pelukan Herman dan Resti, meratap dan menangis dengan sikap manja."Papa, Mama, aku sangat takut. Mereka membawaku dan mengurungku, aku sangat ketakutan.
Klinton menarik Briella sampai ke undakan tangga rumah, berhenti di depan pintu masuk rumah.Briella terengah-engah karena terseret paksa oleh Klinton. Dia melepaskan diri dari genggaman pria itu dan berdebat dengannya."Klinton, tenanglah!""Kamu ingin aku tenang?" Wajah Klinton dipenuhi dengan kemarahan. "Briella, sampai akhir pun aku sudah sangat pengertian kepadamu. Kita sudah tunangan, tapi kamu terus berhubungan sama Valerio. Dia itu adik iparku, mantan kekasihmu! Kamu anggap aku apa?"Klinton tidak menunjukkan ketenangan dan pengertian yang biasa dia tunjukkan. Saat ini, dia seakan sudah merobek topeng yang dia kenakan, mengungkapkan sisi dirinya yang sebenarnya di depan Briella.Briella memperhatikan dengan tenang saat pria itu kehilangan kesabaran. Tiba-tiba, dia merasa lega.Pria yang dulu sangat dia percayai, pria yang selalu bersikap tenang dan lembut, ternyata dia adalah pria yang sangat pemarah dan memiliki emosi meledak-ledak.Briella bahkan sempat berpikir kalau Klinton
Davira pun turut menimpali, "Benar. Briella juga terus membuat masalah sampai hubunganku dan kakak hancur. Dia terus menggangguku mentang-mentang jadi pacar kakak. Papa, Mama, kalian harus membalaskan kekejaman wanita ini kepadaku!"Resti menatap Klinton dengan cemas. "Klinton, buka matamu."Klinton hanya bisa mengerutkan keningnya. Masalahnya sudah sampai seperti ini dan ini benar-benar membuatnya lelah."Bu, Davira, bisakah kalian nggak mencampuri urusanku? Aku cuma bertengkar sama Briella. Mana ada pasangan yang nggak bertengkar? Lagipula, ini nggak seserius yang kalian pikirkan. Selain itu, Briella itu gadis yang baik. Kalian saja yang masih belum mengenalnya. Davira cuma asal bicara saja.""Aku asal bicara?" Davira mengentakkan kakinya dengan marah dan mengeluh kepada Resti, "Ma, lihatlah. Aku sudah bilang kalau Briella ingin merusak hubunganku dengan kakak. Nggak cuma itu saja, dia bahkan menghasut Rio buat menceraikanku. Wanita ini sangat licik, bahkan Rio saja sampai tergila-gi
Briella membawa dirinya yang kelelahan pulang ke rumah. Masuk ke dalam kamar, dia pun berbaring di tempat tidurnya. Matanya terpejam dan kepalanya terasa pening saat memikirkan apa yang telah dia alami selama dua hari ini.Dia tidak perlu lagi memikirkan masalah kematian Rieta yang keracunan karena dia sudah dibebaskan dari tuduhan. Dia mengkhawatirkan pekerjaannya yang tertunda selama dua hari terakhir, jadi menguatkan diri untuk beranjak dari tempat tidur. Dia membuka email untuk mengecek pesan-pesan yang masuk.Ada sebuah pesan yang belum dibaca dari pabrik desain perhiasan. Katanya, pembayaran untuk barang sudah diterima dan barang akan langsung dikirim. Jumat nanti, pengiriman berlian untuk dekorasi arsitektur akan tiba.Hari Jumat? Briella melirik waktu di pojok kanan bawah laptopnya. Bukankah sekarang hari jumat?Dia langsung menelepon perwakilan pihak kontraktor di lokasi proyek untuk mengonfirmasi bahwa kiriman telah tiba.Perwakilan yang ada di lokasi proyek pun memberikan ba
Briella mengangkat pergelangan tangannya untuk mengecek waktu. "Ya. Aku akan menemuinya di hotel."Briella melepas topi proyek yang dia kenakan dan merapikan rambutnya sambil bersiap-siap untuk pergi ke mobilnya. Langkahnya terasa ringan dan kepalanya sedikit pusing."Nona Renata, kamu kenapa?"Briella berdiri diam dan menekan pelipisnya. Dia menyesuaikan diri dengan kegelapan di depannya sebelum memperlambat langkah kakinya.Pihak kontraktor sedikit khawatir dan langsung menyodorkan minuman manis kepada Briella. "Apa Nona Renata terganggu karena kematian Nyonya Rieta?"Briella membuka minuman itu dan meneguknya. "Dua hari ini aku belum istirahat. Nggak apa-apa. Aku akan pulang dan istirahat setelah urusannya selesai.""Nona Renata, kita semua tahu kalau kamu nggak membunuh Bu Rieta. Mana mungkin kamu meracuni Bu Rieta? Ini sangat nggak masuk akal. Kamu pasti dijebak. Mungkin ada orang yang nggak suka denganmu, jadi ingin mencelakaimu."Briella melirik ke arah pihak kontraktor yang sed
Kecurigaan tiba-tiba terlintas di benak Briella. Dia merasa bahwa kemunculan Elena yang tiba-tiba di depan rumahnya hari ini terlalu mendadak.Ketika Briella tengah memikirkan kemungkinan ini, Valerio tiba-tiba menelepon.Pria itu pasti baru bangun tidur. Suaranya sengau, terdengar rendah dan magnetis."Apa anak-anak sudah bangun?""Pak Valerio, bisakah Pak Valerio nggak memberi tahu siapa pun alamat tempat tinggalku seenaknya?""Apa maksudmu? Aneh sekali."Mendengar sikap Valerio, Briella memiliki tebakan sendiri di dalam benaknya.Seperti yang dia duga. Elena datang bukan untuk menjemput anak-anak, tetapi untuk menyatakan kedaulatannya.Terlalu samar untuk menganggapnya sebagai ancaman."Barusan Elena datang dan bilang kalau dia ingin menjeput anak-anak.""Anak-anak ikut dengannya?""Aku nggak kasih izin."Pria itu terdiam, tidak mengatakan apa-apa lagi.Kemudian, dia berkata, "Marco sudah dapat kamar terbaru terkait anak itu. Rumah sakit memang membawa anakmu pergi dan berbohong kep
Briella kembali ke kursi kemudi dan menyesuaikan sudut kursi, baru menyalakan mobil untuk pulang.Setelah melakukan banyak hal semalaman, Zayden mengikuti Briella pulang dan masuk ke kamar tamu untuk tidur. Briella memandangi kedua kakak beradik yang tertidur lelap di atas tempat tidur. Kedua anak kecil ini benar-benar seperti malaikat, sangat pintar dan pandai bagaimana cara bersikap. Papa mereka memang suka main perempuan, tetapi sungguh sebuah keberuntungan yang luar biasa karena bisa menemukan wanita-wanita yang bisa melahirkan anak sesempurna mereka.Briella membantu mereka memakaikan selimut, lalu kembali ke tempat tidurnya.Dia tidur hingga pukul sepuluh keesokan harinya dan dibangunkan oleh suara bel pintu.Setelah mengan mengenakan sandal rumahan dan melewati kamar tamu, Briella tidak lupa membuka pintu kamar tamu untuk melihat Zayden dan Queena yang masih tertidur.Menutup pintu kamar tamu, Briella berjalan ke pintu depan dan melihat melalui mata kucing.Wanita yang berdiri d
Briella berjalan keluar bersama Zayden dan masuk ke dalam mobil Nathan. Saat itu sudah pukul dua pagi.Nathan mengetuk pintu mobil Briella, memberi isyarat agar Briella keluar dan berbicara.Briella menatap Zayden. "Jangan keluar dari mobil. Tidur saja kalau kamu ngantuk."Zayden memelototi Nathan dan mendengus dingin, "Banyak sekali masalah pria itu."Briella membelai kepala Zayden. "Dia memang banyak masalah. Meskipun begitu, dia bukan orang jahat. Dia akan berguna dalam keadaan darurat."Zayden menunjukkan sikap posesifnya. "Kalau begitu Mama nggak boleh suka sama dia. Mama cuma boleh suka sama Papa saja."Briella tersenyum tidak berdaya. "Apa Papa nggak pernah bilang siapa Mama kamu?""Tentu saja Papa pernah bilang. Kamu."Briella hanya menganggapnya sebagai lelucon. "Nak, tidurlah di mobil. Setelah itu, kita akan pulang."Nathan merokok tidak jauh dari situ, mengembuskan kepulan asap putih di tengah dinginnya cuaca malam. Melihat Briella turun dari mobil dan berjalan mendekat, dia
Nathan dan Zayden berhenti berdebat dan menatap Briella bersamaan. Keduanya sedikit takut saat melihat Briella marah.Erna memperhatikan Nathan. Siapa pun pasti bisa melihat kalau Nathan sangat menyukai Briella.Dia langsung bertanya pada Nathan, "Apa hubunganmu dengan Briella?""Aku mantan pacarnya."Erna kembali melanjutkan, "Lala sudah punya tunangan. Dia akan menikah dengan Klinton, tuan muda dari Keluarga Atmaja. Lebih baik kamu nggak berhubungan lagi dengannya setelah ini.""Kamu dan Klinton bertunangan?" Nathan berkata sambil menatap Briella, bertanya dengan nada serius."Dia itu rubah tua, apalagi adiknya, Davira. Apa kamu bisa hidup damai kalau menikah dengannya? Jangan menikah dengannya. Lebih baik bersamaku daripada bersamanya. Kamu mengerti?"Briella menjawab tanpa mengangkat matanya, "Kenapa aku harus menikah? Setelah menemukan anakku, aku akan baik-baik saja bahkan tanpa menikah.""Omong kosong apa yang kamu bicarakan!" Erna melanjutkan dengan kesal, "Apa maksudnya menemu
Cahaya di mata Zayden sudah meredup. Neneknya tidak sadarkan diri sejak dia lahir, jadi neneknya belum pernah bertemu dengan Zayden. Wajar saja kalau dia tidak mengenali Zayden."Dia Zayden Dominic. Biarkan saja dia memanggilmu begitu." Briella tidak tega melihat kelopak mata Zayden yang terkulai dan kehilangan. "Bukannya kamu ingin aku punya anak? Kebetulan sekali ada yang memanggilmu nenek."Erna melihat Zayden, lalu bertanya pada Briella dengan ragu, "Katakan, apa dia benar-benar anakmu?""Bukan." Briella menunjukkan ekspresi bingung. "Ini anak atasanku. Aku diminta menjaganya.""Kalau itu bukan anakmu, kenapa nama belakangnya Dominic?" Nathan berjalan mendekat dan menunjuk ke arah kepala Briella. "Apa kepalamu ini benar-benar terbentur. Kenapa kamu masih nggak percaya?"Briella tiba-tiba memikirkan hal ini dan ternyata benar. Zayden punya nama belakang yang sama dengannya.Namun, tidak peduli seberapa banyak Briella memikirkannya, dia tidak ingat kalau dia punya seorang putra seusi
Briella bisa merasakan ketidakbahagiaan Nathan. Kebencian Nathan kepada Rieta sama besarnya dengan rasa sayangnya kepada Rieta. Dia tidak bisa bertemu dengan ibu kandungnya lagi, mana mungkin dia tidak sedih?"Aku memang sakit. Hatiku yang sakit."Briella menutup mulutnya dan menatap punggung Nathan tanpa berkata apa-apa."Jadi aku teringat denganmu. Melihatmu bisa membuatku merasa lebih baik.""Aku bukan obat penghilang rasa sakit. Pergilah ke rumah sakit kalau kamu nggak sehat.""Kamu jauh lebih manjur dibandingkan dokter dan perawat rumah sakit. Apa kaki dan pinggang mereka sekecil milikmu? Daripada mencari mereka, lebih baik aku menemuimu."Sebelum Briella sempat mengatakan sesuatu, Zayden berteriak marah, "Dasar memalukan!"Briella menutup telinga Zayden. "Nathan, kamu boleh sedih, tapi tolong tunjukkan rasa hormat padaku. Ada anak kecil di dalam mobil. Apa kamu nggak bisa bersikap normal?""Normal, aku sangat normal. Aku nggak nangis dan membuat masalah, kenapa kamu bilang aku ng
Nathan melihat bahwa Briella tidak terlihat berpura-pura. "Ayo. Aku akan mengantarmu menemui ibu asuhmu. Kalian bisa bernostalgia di jalan.""Tunggu dulu. Aku mau ganti baju.""Pergilah. Pakai jaket dan sekalian bawakan jaket untuk putramu."Kata Nathan sambil menarik Zayden ke dalam rangkulannya.Briella menatap Zayden dan hatinya gelisah. Lalu, dia memerintahkan, "Aku ambil baju dulu. Nggak akan lama."Melihat Briella berbalik dan masuk ke dalam kamar, pria itu mencubit wajah Zayden dan menggodanya."Kasihan sekali, ibumu sendiri nggak mengakuimu sebagai anaknya."Zayden menoleh dengan angkuh, lalu berkata sambil mengerutkan kening, "Jangan menyentuhku!"Nathan menimpali, "Sifatmu ini sama persis seperti Valerio.""Aku anak kandungnya, tentu saja sama sepertinya.""Sepertinya kamu sangat menyukainya. Nggak boleh begitu. Apa kamu sudah lupa bagaimana dia memperlakukan Mama mu? Kamu harusnya membencinya.""Jangan mengatakan sesuatu yang nggak kamu mengerti." Zayden mencibir, "Aku punya
Briella menutup pintu untuk menghalangi pandangan kedua anak itu. Lalu, dia mengerutkan keningnya dengan tidak senang. "Nathan, apa yang kamu lakukan di sini?"Nathan bersandar di ambang pintu, wajahnya terlihat sedikit muram. Bahkan tercium bau alkohol dari napasnya. Entah karena kematian Rieta atau karena apa, tetapi pria itu tidak terlihat baik-baik saja."Sudah malam. Kamu pergi saja."Lelaki itu mengaitkan bibirnya, berkata sambil tersenyum sangat tipis, "Kenapa? Sekarang kamu akhirnya berani mengakui kalau kamu itu Briella?"Briella mengabaikannya dan menutup pintu untuk mengusir Nathan pergi.Tangan Nathan menghalangi pintu dan melambai ke arah Zayden yang berada di dalam, "Nak, kamu masih nggak kenal sama Om?"Briella menoleh ke belakang. "Zayden, bawa adikmu ke kamar.""Zayden, kamu sama saja dengan Mama mu, tidak mau mengakuiku. Bagaimanapun, dulu aku pernah menolong kalian berdua, tapi sekarang kalian jadi orang yang nggak tahu terima kasih."Briella menyadari sesuatu, lalu
"Queena khawatir nggak akan bisa bertemu Tante lagi, hiks."Briella menepuk-nepuk punggung Queena, mencoba menenangkannya, "Jangan menangis. Itu tempat orang jahat ditempatkan. Tante nggak melakukan kesalahan, mana mungkin dikurung di sana?"Kepala Queena terbenam dalam pelukan Briella, terus menempel kepadanya. "Lalu siapa orang jahatnya?"Briella menjilat bibirnya dan berkata dengan ragu-ragu, "Tante nggak tahu siapa orang jahatnya. Yang Tante tahu, orang jahat pasti akan dihukum."Queena mengedipkan matanya yang berkaca-kaca dengan polos. "Tapi kata para pelayan, Nenek meninggal dan Mama yang membunuhnya."Zayden berkata dengan jengkel, "Dia bukan Mama mu. Dia memperlakukanmu dengan nggak baik dan mengajarimu hal buruk. Dia nggak pantas untuk menjadi seorang ibu."Queena mengerutkan kening dan berkata dengan cemas, "Mama Queena orang yang jahat. Apa orang lain juga akan menganggap Queena jahat?""Nggak akan." Zayden bersumpah, "Selama ada Kakak, nggak akan ada yang berani menyebutmu