“Ah, terserah kau saja, Tuan, mau siluman, mau dewa, mau manusia biasa, setelah matamu sembuh pergi dari tempatku.” Dira melompat turun dari pohon. Tidak tabib itu temukan di mana Arsa. Namun, lama-lama ia jadi kepikiran, kalau memang lelaki tersebut dewa atau sejenisnya, mungkin bisa ia uji coba dengan racun paling mematikan.“Setelah ini aku akan menjadi tabib paling hebat sejagad raya. Terima kasih atas kedatangan dan kegilaanmu, Tuan.” Gadis berbaju merah itu punya rencana lain ternyata. Terserah saja Arsa nyasar ke mana, tabib itu meneruskan niat agak kurang baiknya dengan menuju satu tempat yang dikelilingi ular berbisa. Dira meraih serbuk kaca yang ada di kantung bajunya. Iya, dia memang membawanya ke mana-mana. Serbuk kaca halus yang menjadi benda yang paling dibenci oleh ular. Setelah serbuk kaca ditaburkan binatang melata itu benar-benar pergi dan Dira petik jamur beracun yang ampuh membunuh seekor gajah sekalipun. “Tapi kalau dia mati bagaimana, ya?” gumam Dira sambil
“Hara, bukan, Adara, ah salah lagi, Dira. Kau mau ke mana?” Dewa perang itu lekas menyusul ke arah sang tabib berlari. Pasti ada sebuah benda yang menarik hati hingga gadis berbaju merah itu mengabaikannya. “Ada sinar dari dalam hutan, pasti ada tumbuhan ajaib yang tumbuh jelang bulan biru, dua hari lagi, Tuan,” jawab Dira sambil tergesa-gesa. Ia harus jadi orang pertama yang memetik bunga tersebut. Nantinya kembang tanpa nama itu bisa dijadikan obat untuk meluruhkan semua sisa serbuk bunga hitam di dalam mata Arsa. “Tunggu, hati-hati hari sudah malam.” Berbekal pendengarannya tajam, Arsa menyusul ke mana sang tabib berlari. Tanpa mereka berdua sadari, baik Arsa atau Dira sudah berlari terlalu jauh ke dalam hutan. Sinar bunga itu semakin diikuti semakin jauh letaknya. “Haduh, aku sudah ngos-ngosan berlari, kenapa tak sampai juga.” Dira beristirahat sejenak melepas lelah. Dewa perang itu menyenderkan tubuhnya pada sebatang pohon. Hidung Arsa terus bergerak, ia mencium kedatangan
“Jangan terlalu kau pikiran kata-kata orang. Mereka kadang asal bicara dan menebak jalan hidup orang. Tanda lahir di wajahmu sama sekali bukan tanda sial.” Arsa memahami apa yang ada di dalam hati Dira. “Memang benar jadi pembawa sial. Buktinya hanya karena ini saja aku dibuang. Sudahlah, aku tak mau mengenang masa lalu. Yang perlu aku pikirkan di mana sekarang aku tinggal? Rumahku yang kecil itu hancur begitu saja.” “Serahkan padaku. Kau hanya tinggal duduk manis saja dan menerima semuanya.” “Tapi Tuan, kan, buta, bisa dapat kayu dari mana dengan keadaan gelap seperti sekarang?” “Tadi juga waktu aku membawamu melompat dalam keadaan buta. Masih ingin meragukan kemampuanku?” tanya kembali Arsa. Dira hanya menggeleng saja, meski keraguan masih bercokol di sanubarinya. Ombak tanah dan pohon di seberang telah berhenti bergumuruh. Tanah di tempat dewa perang dan sang tabib berpijak tak lagi bergetar. Arsa bergerak cepat membuat tempat berbaring sementara yang nyaman bagi Dira. Gadis
“Sialan! Apa yang kau lakukan di depanku, hah?” Arsa mendorong Rogu yang tiba-tiba ada di depannya menggantikan Dira. Niat hati Arsa ingin memandang wajah putih dengan lukisan dewi memegang ikan, tetapi apa daya pelayan Dewa Rama itu merusak semuanya. “Aku datang untuk mengabarkan kalau istri ketigamu tak jauh dari sini,” ucap Rogu sambil memegang pipinya yang dibelai Arsa tadi. Dewa perang itu bergidik geli. “Mana, Hara, eh Dira, mana, mana?” tanya Arsa yang kehilangan sang tabib. “Tuh,” tunjuk Rogu yang memoyongkan bibirnya sendiri. Gadis berbaju merah itu dibuat tak sadarkan diri di tangga rumah. “Kurang ajar kau.” Dewa perang itu menendang Rogu hingga ia terlempar jauh, jauh sekali dan nyaris menjadi bintang di langit. Lelaki yang disembah oleh semua manusia harimau itu lekas terbang dan mengangkat Dira ke ranjangnya. Kali ini Arsa bebas memandang wajah tanpa ada penutup, dan tanpa buram sama sekali. “Aku rasa, jejak dewi kebaikan di langit, turun padamu, Adara, eh, Dira ma
Anindira dikeluarkan dari karung yang membungkus dirinya. Ia masih tak sadarkan diri, kemudian segentong air disiramkan ke tubuhnya. Gadis itu terpaksa sadar karena kejutan yang ia terima. Mata Dira melihat sekeliling. Ini bukanlah rumahnya. Ada banyak lelaki kekar di sekelilingnya. Jangan lupakan tiang untuk gantung diri. Kayu untuk dibakar, dan pedang panjang yang membuatnya menelan ludah. Seperti tempat hukuman mati bagi para pemberontak, atau penjahat kelas berat. “Diakah orangnya.” Seorang lelaki dengan pakaian kuning keemasan datang dan memegang dua pipi Dira sangat kuat hingga bibir gadis itu mengerucut. “Cantik juga, tapi kau memiliki aib di wajahmu. Ini kutukan, kalau dibiarkan desa kita akan terkena wabah borok seperti dulu.” Telunjuk adipati itu tak luput menekan dahi sang tabib berkali-kali. “Apa ini, aku tak mengerti sama sekali!” Dira memberanikan diri untuk bertanya setelah lelaki bangsawan yang merupakan pemimpin wilayah melepaskan cengkeraman tangannya. “Kau can
Arsa mendorong tubuh Dira ke dalam kamar. Gadis itu cukup kaget dengan apa yang dilakukan oleh lelaki yang telah menolongnya beberapa kali. Sang tabib tak bisa melakukan apa pun. Ia tak paham, tapi merasa bingung sekaligus senang dengan sensasi rasa bahagia yang diberikan oleh Arsa. Kemudian waktu pun terus berjalan dalam kesunyian di kaki gunung. Dua insan itu terus bersama sampai waktu mengatakan cukup karena Dira masih manusia biasa. Arsa menjauh dan sang tabib terlelap begitu nyenyak. Dewa perang itu memperhatikan kalung zodiaknya. Belum ada panggilan kedua yang datang. Artinya ia masih punya waktu beberapa saat lagi sebelum benar-benar pergi. “Tuan,” panggil Dira ketika gadis itu terbangun. Ia terlihat malu-malu karena tadi seperti merasa bukan dirinya. “Iya, kenapa?” Dewa perang itu menoleh. Sang tabib terlihat mengenakan baju baru berwarna hitam. Seperti orang berduka. “Tidak apa-apa, aku hanya ingin mengucapkan terima kasih, sekali lagi. Sejak mengenalmu aku jadi tahu ap
Dewa Arsa mondar-mandir dari tadi di dalam kamar. Sedangkan Nira memperhatikan tuan muda yang sepertinya sedang gundah gulana. Cuaca di luar sangat terik, atau mungkin lelaki itu kepanasan dan butuh dikipas? “Tuan Muda, butuh sesuatu? Biar aku ambilkan. Sepertinya kau sedang tidak nyaman,” tanya Nira yang bola matanya juga ikut berputar ke mana Arsa pergi. Dewa pun bisa galau dan patah hati juga. “Diam!” balas Arsa. Nira pun menundukkan kepala. Dewa perang itu lekas sadar barusan berkata kasar sekali. “Maafkan aku, Hara, aku tidak bermaksud membentakmu.” Tuan muda bangsawan dengan baju mewah tersebut memegang dua tangan pelayannya. Nira kaget dan mundur beberapa langkah. “Hamba buk—” “Diam, tidak ada istilah hamba di sini, kau bukan hambaku, paham!” Lagi-lagi Arsa memukul mulutnya sendiri. Kenapa dari tadi mulutnya ketus terus. “Tuan, tapi hamb, eh, maksudnya, aku bukan Hara. Siapa Hara yang Tuan maksud, kalau dekat biar aku carikan orangnya. Apa dia cantik, atau dari kalangan
Arsa dan Nira berjalan-jalan ke luar. Rasanya tempat itu tak asing baginya. Apalagi dengan pemandangan gunung yang tinggi menjulang. “Apa ini?” tebak Arsa dalam hati. “Ah, tak mungkin.” Begitu pikirnya. “Tuan, coba lihat itu. Ada panah baru barangkali tuan berminat,” tunjuk Nira pada barang dagangan di depan matanya. “Halah, panah dengan kayu dari bumi, manalah kuat menahan tanganku.” “Tuan tak berani mencoba?” tantang Nira. “Siapa bilang? Bawa sini semua panah yang ada, akan aku tancapkan tepat di hatimu!” tunjuk Arsa pada jidat Nira. Gadis pelayan itu tersenyum lebar sekali. Kemudian sang dewa perang mendekati pedagang busur dan panah. Ia coba satu dulu, tapi sayang busurnya patah saking kuatnya tarikan Arsa. Baru pada busur ketiga berhasil dan anak panah menancap pada titik merah yang dituju. Begitu terus sampai semua barang dagangan habis dicoba oleh Arsa. “Ini, kecil bagiku. Jangankan panah kayu, panah dari petir saja pernah aku pegang,” ucapnya congkak. Tersisalah Nira
Di puncak Gunung Api dan Es, Dewi Hara berdiri tegak, matanya menatap tajam ke arah cakrawala yang dipenuhi oleh kabut tebal. Angin dingin yang menusuk tulang bercampur dengan panas yang membara dari lava yang mengalir di bawahnya, menciptakan suasana yang penuh dengan ketegangan dan kekuatan alam yang luar biasa.Dewi Hara mengangkat pedang saktinya, pedang api neraka, yang berkilauan dengan sinar merah yang memancar dari dalamnya. Pedang itu ia dapatkan ketika menjadi sosok Nira. Sebuah senjata berbahaya yang mampu mengeringkan sungai dalam sekejap mata. Dengan setiap ayunan, Dewi Hara merasakan kekuatan yang mengalir melalui tubuhnya, mempersiapkannya untuk pertempuran yang akan datang. Perang melawan bagian dari dirinya sendiri. Di hadapan wanita berambut keriting itu, bayangan besar mulai terbentuk. Rubah Ekor Tujuh, makhluk yang merupakan gabungan dari tujuh dewi zodiak kuno, muncul dengan anggun. Setiap ekor rubah memancarkan cahaya yang berbeda, mencerminkan kekuatan dan el
Sahasika membawa bayi Arsa dan Hara ke dalam kediamannya bersama raja langit. Tak lama kemudian Wanudara pun masuk. Sahasika memerintahkan para pelayan keluar. “Apa lagi yang kau lakukan?” tanya Wanudara pada ratu langit. “Menurutmu?” tanya kembaran Senandika itu dengan ekor mata melirik lelaki yang bukan suaminya. “Kenapa harus mencari masalah lagi?” Raja langit duduk dengan dua kaki terbuka lebar. “Aku tidak mencari masalah, Kanda, aku mencari kasih sayang. Anak sekecil ini pasti tahu menyayangi siapa yang merawatnya. Hal yang tidak pernah aku dapatkan dari dulu.” “Sahasika …” panggil sang raja. “Berhenti memanggilku dengan nama itu. Aku bahkan tak menyukainya sama sekali.” “Sahasika, kejahatanmu sudah terlalu jauh, cepat atau lambat aku harus mengembalikan Senandika pada tempatnya.” Jujur saja Wanudara merindukan istrinya yang asli. Wanita yang penuh kelembutan tapi ketegasan, hanya saja mudah kasihan pada saudara kembarnya. “Aku tidak akan mengembalikan tempat ini pada Sen
Arsa dan Hara pergi berdua ke gunung api dan es untuk menekan gejolak panas pada tubuh sang dewi. Keduanya melintasi langit di malam hari yang bertabur bintang amat indah. Tak mau terburu-buru, begitulah mereka kalau sedang berdua. “Itu, bintang saat aku masih di kehidupan yang dulu,” ujar Hara saat ia difitnah pada kehidupan lampau.“Dan bersinar sangat terang. Dari sana saja sudah ketahuan kalau kau tidak bersalah.” “Kalau misalnya aku bersalah, Kanda, aku jadi apa?” “Meteor atau benda-benda langit lainnya yang jatuh menghantam bumi dan membuat kerusakan hingga menyengsarakan umat manusia serta menyulitkan para dewa.” “Oh, aku baru mendengar hal-hal seperti ini. Tapi bintang di sebelah itu siapa, ya? Kenapa aku curiga kalau dia salah satu temanku,” tunjuk Hara pada bintang dewi pelangi hijau dengan sinar yang tak kalah terangnya. “Nanti akan aku cari tahu. Kita lanjutkan perjalanan, semakin cepat sampai semakin cepat kita bertemu dengan si kembar.” Arsa semakin menggenggam erat
Arsa membawa Hara ke dalam kamarnya. Ia meminta para pelayan meninggalkan mereka seorang diri sebab tahu panas dari tubuh istrinya masih tidak bisa diredam dengan mudah. Lelaki itu sendiri mengambil air dari sumbernya di kolam dan segera mengusap tubuh sang dewi dengan kain basah. Air yang menenangkan sanggup meredam panas yang masih bergejolak. “Dewa Arsa, sebelum kami benar-benar pamit, apakah ada yang masih dibutuhkan?” tanya salah satu pelayan dari luar. “Tidak ada. Awasi dan jaga anak kami dengan baik, jangan biarkan Ambar mendekati mereka, mengerti?” titah sang dewa. “Baik, Dewa Arsa.” Kemudian para pelayan beranjak meninggalkan kamar sang tuan. “Rubah ekor tujuh, bagaimana mungkin tubuhmu sanggup menahan hewan kuno itu. Pantas setiap sebentar kau marah dan mengeluarkan api.” Dewa perang mengganti pakaian istrinya yang basah dengah jubah baru warna putih dengan sensasi dingin dan menenangkan. “Istirahatlah, Sayang, yang tadi hanya mimpi buruk saja. Aku tidak akan pernah m
Dewa Api mendekati Hara tiba-tiba saja bahkan memegang tangan wanita itu begitu erat. Sahasika sangat menikmati permainan yang ia buat sendiri. Cepat atau lambat pertarungan besar terjadi dan akan berdampak ke bumi. “Permaisuriku, ayo ikut ke aula merah. Mulai sekarang kau adalah istriku.” Dewa Api menarik tangan Hara. Namun, wanita berambut keriting itu diam saja di tempatnya. Lagi, lelaki berjubah merah itu menariknya, tapi sama saja Dewi Hara tak bergerak sama sekali. Memiliki kekuatan yang sama-sama berasal dari api membuat keduanya saling adu kekuatan dalam diam. Tanpa disadari dua dewa, yang lain jadi menjauh karena hawa panas yang dikeluarkan dari tubuh masing-masing. “Ini yang aku khawatirkan.” Arsa berhasil melepas ikatan dari Jayamurcita. “Tidak mungkin Dewi Hara jadi seperti itu.” Dewa penjaga gerbang terbelalak matanya ketika api besar keluar dari tubuh sang dewi. Secara sengaja semua yang ada di sana menjauh. Api menyambar semua yang ada di sekitar Hara termasuk memb
Mahadewa dan istrinya sudah memasuki aula. Para dewa dan dewi memberikan hormat. Setelah diminta barulah mereka menaikkan kepala. Ada satu jabatan yang diisi oleh dewa baru, yaitu juru catat perintah mahadewa dan mahadewi. Jabatan itu diisi oleh Rogu. Mata Arsa menatap Rogu begitu dalam. Siapa sangka temannya akan di sana. Jabatan yang bisa dikatakan strategis karena memiliki daya ingat yang kuat. Namun, cukup berat karena yang diincar pertama kali untuk memanipulasi perintah raja dalah Rogu nantinya. “Aku senang semua pilar penyokong langit sudah terisi kembali,” ucap raja langit Wanudara. “Tapi aku kembali kecewa kenapa Dewa Rama masih tidak mau bergabung dalam pemerintahan, padahal aku sangat membutuhkan nasehatnya.” Ucapan Wanudara membuat Dewi Senandika palsu melirik ke arahnya. Rogu diam saja tak mau menjawab. Tindakan Dewa Rama sulit ditebak bahkan oleh takdir sendiri. “Yang Mulia, mulai saja sekalian jangan berlama-lama,” bisik Sahasika pada Wanudara. “Baik kalau begitu.
“Jangan gegabah. Kami bisa jalan sendiri.” Dewa Arsa memegang tangan Hara agar tak mudah tersulut emosi. “Hanya kalian saja yang belum datang, Dewa Arsa, percayalah panggilan dari raja dan ratu tidak boleh diabaikan,” sahut Jayamurcita.“Baik, kami mengerti. Kami akan pergi sekarang juga. Kalian bawa kembali Banu dan Indurasmi ke kamarnya dan jaga mereka baik-baik.” Perintah Arsa pada para pelayan. Mereka semua patuh. Arsa dan Hara terbang tinggi agar lebih cepat sampai. Namun, wanita yang arwahnya pernah pecah menjadi tujuh itu melihat ke bawah. Ia heran mengapa Jayamurcita menatap begitu berbeda pada dua anak kembarnya. “Aku tahu apa yang kau khawatirkan. Jayamurcita tidak akan berani berbuat lebih jauh, istriku.” Arsa menggapai Hara yang baru saja ingin turun kembali. “Aku tidak percaya dengan dia. Aku masih ingat bagaimana Jayamurcita merantaiku seperti anjing dan melemparkan seribu petir padaku, dan aku masih tak bisa mengingat kepingan ingatan yang hilang dari kepalaku, Kand
Dewi Hara bangun dari tidurnya. Tak ia temukan di mana Arsa berada. Dari dulu memang dewa perang itu suka hilang begitu saja.“Apa jangan-jangan dia menemui Ambar?” tebak Hara asal-asalan. Ia pun kemudian memanggil pelayan. “Iya, Dewi Hara, kami di sini?” Ratri datang memenuhi panggilan tuannya. “Bantu aku bersiap. Aku ingin menemui dua anakku.” Hara bangkit dan meletakkan selimutnya. Sejenak Ratri terpaku, sang dewi tidur mengenakan dalaman bagian atas saja, bagian perut terlihat lebih kencang dan padat. Dewi Hara sudah sangat berubah. “Kenapa?” tanya Hara pada Ratri yang diam saja. “Tidak ada, Dewi Hara, hanya saja Dewa Arsa tadi sudah menemui si kembar dan sedang bersama dengan mereka.” “Ya sudah kalau begitu, kau siapkan baju dan perhiasan, aku akan mandi sendiri saja.” Hara masuk lagi dalam kolam pemandian yang sama. Ia bersiap secepat kilat karena sudah tak sabar ingin menemui dua anak kembarnya. Namun, saat melihat jubah dewi yang dibawakan oleh Ratri, Hara merasa tak coc
“Bantu aku bersiap. Aku harus cantik dan wangi malam ini agar bisa memikat Dewa Arsa.” Perintah Dewi Ambar pada Ratri. Dewi pelayan itu diam sejenak. “Apa yang kau tunggu?” lanjut dewi bunga. “Ehm, maafkan hamba, Dewi Bunga. Sebagai selir paling rendah sebenarnya kau tidak ada bedanya dengan para pelayan. Kau tidak mendapatkan pelayan untuk mengurus kebutuhanmu. Jadi, hamba undur diri dulu. Hanya sampai di sini saja hamba melayani Dewi Bunga.” Sebelum kena marah, Ratri segera menutup pintu kamar. Semua di langit juga tahu kalau Dewi Ambar itu memang cantik tapi cepat marah. “Dasar pelayan rendahan. Hanya karena aku selir paling rendah kau pikir bisa seperti itu padaku. Baik, akan aku adukan pada bibiku sampai kau dihukum mati. Hara sekali pun tidak akan bisa menolong.” Dewi Ambar kesal, lalu ia menarik napas sejenak. “Baiklah malam ini aku akan menyambut Dewa Arsa dalam pelukanku. Aku akan mengurus diriku sendiri. Dibantu atau tidak oleh para pelayan semua juga tahu kalau aku paling