Keesokan harinya.Pagi-pagi sekali, Riki meletakkan botol air panas di bawah selimutnya.Saat Reina datang untuk membangunkannya, dia melihat wajah Riki yang merah padam."Riki ...." panggil Reina pelan.Riki perlahan membuka matanya, "Mama.""Kamu sakit?" tanya Reina, sorot tatapannya tampak sangat khawatir.Riki mengangguk, "Kepalaku agak pusing, Ma ...."Reina langsung merasa khawatir, "Ayo, sini Mama gantikan baju. Kita ke rumah sakit sekarang."Karena Riki menderita leukemia, jadi penyakit sepele apa pun tidak boleh dibiarkan."Aku nggak mau ke rumah sakit, Ma. Aku istirahat saja ya di rumah?""Nggak boleh, dahimu panas banget," kata Reina sambil menyentuh dahi Riki lagi."Mungkin karena kemarin aku kehujanan," jawab Riki, "Aku pasti akan baik-baik saja kalau tidur siang."Keributan dalam kamar ini terdengar oleh Maxime, dia berjalan menghampiri."Ada apa ini?"Saat ini, kesehatan putranya adalah yang paling penting. Reina tidak mengabaikan Maxime karena apa yang terjadi tadi mala
Namun, dari hasil pemeriksaan, Riki tidak demam atau pilek. Dia hanya sakit leukemia."Aneh, anak ini baik-baik saja kok.""Jangan-jangan virusnya langsung otomatis mati begitu aku sampai di rumah sakit?" tanya Riki dengan asal.Si dokter pun tertawa terbahak-bahak, dia langsung tahu maksud Riki.Dia berjalan keluar dan memberi tahu Maxime, "Ada beberapa kemungkinan. Pertama, anak Bapak berpura-pura demam dan flu karena mungkin nggak mau berangkat sekolah. Kedua, dia memang merasa agak pusing saat bangun tadi pagi. Situasi semacam ini memang bisa terjadi, tapi biasanya akan segera membaik."Sebagai seorang dokter anak, dokter itu sudah sering sekali melihat kasus seperti ini. Seringkali si orangtua sangat khawatir, padahal si anak baik-baik saja.Maxime tentu saja lebih condong ke kemungkinan yang kedua."Syukurlah kalau dia baik-baik saja."Maxime masuk kembali ke ruang dokter dan bersiap untuk membawa Riki pulang.Namun, Riki tidak mau pulang, "Papa, aku boleh ikut papa ke kantor ngg
"Pak Maxime, ini draf perjanjian perceraian yang Anda minta."Saat ini di kantor, Yansen sedang menyerahkan draf perjanjian perceraian pada Maxime.Maxime memintanya menjelaskan isi perjanjian itu.Yansen pun membaca tiap kalimat yang tertulis.Riki menguping di luar pintu dan kedua tinjunya terkepal erat."Sial! Bahkan perjanjian cerainya sudah selesai?"Riki memasang tampang garang dan langsung mendobrak pintu.Yansen dan Maxime pun menoleh ke arah pintu."Siapa?" Maxime mengernyit.Melihat versi mini Maxime di pintu, Yansen pun langsung menjawab tanpa perlu bertanya, "Tuan muda.""Kamu beneran mau menceraikan mama?" Riki melotot dan kedua pipinya yang tembam terlihat memerah.Maxime pun meminta Yansen keluar dulu.Setelah Yansen pergi, Maxime menoleh ke Riki yang masih berdiri di depan pintu dan berkata, "Anak-anak nggak usah ikut campur sama urusan orangtua."Sekarang Riki sungguh marah, sepertinya kakaknya benar. Papanya ini memang pria berengsek dan tidak berubah sama sekali."Pa
Setelah diantar pulang ke vila oleh Ekki, Riki yang lesu langsung menelepon Riko, "Kak, pria bajingan itu mau menceraikan mama."Riko langsung membelalak tidak percaya."Apa?"Riki mendengus, "Semalam aku mendengar mereka berdebat, aku masih nggak percaya. Jadi hari ini aku ke kantornya dan ternyata dia sudah selesai menyiapkan perjanjian perceraian."Seketika Riko pun jadi serius, dia menepi ke tempat yang lebih sepi."Coba ceritain yang detail."Riki memberi tahu Riko segala sesuatu tentang perilaku Maxime beberapa hari terakhir ini dan kejadian kemarin sampai hari ini."Aku menyesal. Harusnya aku dengerin Kakak, dia memang bukan pria baik."Riko juga menjadi marah, "Mulai sekarang jangan percaya pada indra keenammu, kita harus mikir pakai logika, coba lebih banyak nurut sama aku. Kita harus mengandalkan diri kita sendiri.""Ya, aku tahu." Riki mengangguk berulang kali."Kak, sekarang 'kan dia buta, apa kita balas dendam aja sama dia sekarang? Kakak curi aja semua uangnya." Tiba-tiba
Di Vila Magenta.Begitu Reina pulang, dia mendengar suara pecah belah."Tuan Riki, jangan sentuh vas itu. Itu vas antik kesukaan Tuan ...""Prang!"Sebelum pelayan selesai bicara, barang antik itu sudah berubah menjadi puing-puing yang berserakan di seluruh lantai.Reina buru-buru masuk. Begitu pelayan melihat Reina, dia merasa seolah kedatangan penyelamat."Nyonya, akhirnya Nyonya pulang. Tuan Muda Riki kayaknya lagi berantem sama Tuan Maxime. Aku sudah membujuknya, tapi dia nggak mau dengar."Tadi pagi baik-baik saja, kenapa sore ini Riki jadi begini?Reina buru-buru masuk ke dalam.Christy langsung berjalan mengikuti Reina.Christy bisa lepas dari penjagaan satpam karena mengaku dia pulang dengan Reina.Reina masuk ke dalam rumah dan mendapati baik ruang tamu, ruang makan, semuanya berantakan. Ruang kerja Maxime juga dipenuhi dengan pecahan barang-barang, karena Riki melempar semua barang pecah belah di rumah ke ruang kerja Maxime."Tuan Muda Riki, itu laptop! Nggak boleh dicuci!"R
Bukankah dulu kedua sejoli ini adalah pasangan yang tak terpisahkan? Kenapa baru beberapa hari berlalu tiba-tiba berubah 180 derajat begini?Christy sangat gembira. Sudah dia duga Maxime tidak terlalu menyukai Reina dan cepat atau lambat pasti akan menceraikan Reina.Reina membawa Riki keluar dari ruang kerja dan langsung berhadapan dengan Christy.Sekarang Reina tidak peduli mengapa Christy bisa masuk, dia langsung menggandeng Riki dan hendak meninggalkan Vila Magenta.Christy berpura-pura menahan Reina pergi, "Kak Reina mau pergi ke mana? Sudah larut malam lho.""Bukan urusanmu," sahut Reina dengan dingin.Dalam hati Christy memang merasa senang, tapi dia tetap berkata, "Wajar kok kalau pasangan suami istri berantem, tapi jangan kabur dari rumah, kasihan anak-anak."Reina mengabaikan Christy karena dia tahu gadis ini tidak tulus padanya.Reina membawa Riki keluar dari Vila Magenta, lalu menelepon Deron supaya mengantarkannya ke kediaman Keluarga Andara.Setelah Reina pergi, Christy m
Riki mengangguk dengan berat hati, "Iya Ma, aku ngerti."Riki hanya tidak ingin melihat mamanya terluka.Reina mencium kening Riki dan berkata, "Maaf ya tadi di Vila Magenta, Mama langsung marahin Riki tanpa tahu alasannya."Riki menggeleng."Ma, selamanya aku nggak akan marah sama Mama."Reina spontan tersenyum, dia terhibur dengan sikap putranya ini.Hal terbaik yang Reina lakukan sepanjang hidupnya adalah karena sudah melahirkan kedua putranya ini.Kedua putranya adalah motivasi Reina untuk bertahan dari peliknya kehidupan, mereka jugalah yang memberikan kehangatan dan pelipur lara hati Reina.Setelah menidurkan Riki, Reina pun tidur di kamarnya.Reina memaksa diri untuk menenangkan diri dan tidur tanpa emosi karena dia harus menjaga bayinya.Kalau Maxime gila, Reina tidak boleh ikutan gila.Di kamar lain.Gaby menelepon Ekki, "Nana sama Maxime bertengkar ya?"Ekki terkejut, "Kok kamu nanya gitu?"Gaby tidak bodoh. "Barusan si Nana bawa Riki buat tinggal di sini. Biasanya kalau suam
"Kak Max, kita mau berangkat jam berapa?" tanya Christy dengan penuh semangat."Jam 9 lewat," sahut Maxime.Maxime sudah janjian dengan Reina jam setengah 10.Christy merasa sudah menang dalam pertarungan ini, namun dia tetap bertanya, "Kak Max belum ngasih tahu bibi dan yang lain ya?""Nanti saja kalau sudah selesai mengurus prosedurnya."Tentu saja Maxime akan memberi tahu seluruh Keluarga Sunandar.Mereka tidak mungkin tidak akan tahu tentang perceraian itu.Jawaban Maxime ini membuat Christy yakin kalau Maxime sudah yakin 100% tidak akan mempertahankan pernikahannya dengan Reina."Ya benar juga sih. Dengan kondisi Kak Max sekarang, kamu berhak memutuskan mau cerai atau nggak."Maxime yang sedang bersandar di kursi jadi makin kesal saat mendengar ocehan Christy, "Kamu bisa diam nggak?"Wajah Christy memerah, dia merasa malu.Pengasuh Riki yang berjaga di samping hampir tertawa terbahak-bahak, dia langsung menutup mulutnya.Semua orang bisa melihat bahwa Maxime tidak menyukai Christy
Hanna menghilang di balik ambang pintu.Reina sedikit membeku.Putranya, Leo, mendongakkan kepalanya dan berkata pada Reina dengan suara menggemaskan, "Ibu, sudah lima."Reina kembali tersadar dan melihat ke bawah, melihat bahwa bidak hitam Leo sudah penuh, yaitu lima bidak."Sayang kamu menang, luar biasa." Reina langsung memberikan pujian beruntun.Leo tersenyum bahagia.Di sisi lain, Liam sedikit cemburu saat melihat ibunya memuji kakaknya.Dia berjalan ke arah Reina dan memeluk lengan Reina. "Mama."Reina sedikit tidak berdaya, menyentuh kepala kecilnya. "Liam juga hebat."Joanna merasakan gejolak kecil di dalam hatinya saat melihat ini.Dia mengulurkan tangannya. "Ayo, sini peluk Nenek."Liam dan Leo berbeda dengan Riki dan Riko. Mereka tumbuh bersama Joanna dan memiliki perasaan mendalam kepada neneknya ini, tidak kurang dari perasaan mereka kepada Reina.Mereka berdua berlari mendekati Joanna, ingin dipeluk.Joanna sangat gembira dan berkata kepada Reina sambil tersenyum, "Lihat
Ines berdecak, "Bukannya aku keberatan karena dia miskin, tapi keluarga yang berbeda, kelas yang berbeda, konsep hidup yang berbeda, pandangan dalam hidup pun akan berbeda.""Sekarang, darahnya sedang menggebu-gebu. Tapi, setelah darah itu mengalir ke kepalanya, dia akan lebih tenang. Saat itulah dia akan menyadari kalau dia dan Adrian berbeda."Setelah itu, Ines menoleh ke arah Reina."Nana, bukankah begitu?"Wajah Reina menegang.Dia terkejut kenapa Ines melemparkan pertanyaan itu kepadanya?"Hmm, memang benar akan ada konflik di kemudian hari, ketika kesenjangan antara status keduanya terlalu besar," kata Reina.Setelah mengatakan itu, dia mengubah topik pembicaraan, "Tapi, aku pikir kalau mereka benar-benar saling mencintai, mereka seharusnya bisa saling menemani hingga tua bersama."Dia mengatakan persetujuan untuk kedua belah pihak, jadi tidak menyinggung perasaan Hanna dan ibunya.Sejujurnya, Reina bahkan tidak tahu bagaimana Hanna dan Adrian bisa bersatu.Kalau di ingat tahun l
Setelah permintaan Tommy kepada pengawal tidak membuahkan hasil, dia kembali ke ruang kelas dengan marah.Dia memelototi Alfian. "Jangan berpikir kalau aku nggak bisa melakukan apa pun kepadamu. Setelah pulang nanti, aku akan bilang Kakek agar perusahaanmu nggak bisa bergerak di pasaran."Saat membahas masalah perusahaan, sikap tegas Alfian berubah, dia pun menjadi khawatir.Dia hanya anak kecil, Tommy mungkin hanya akan melakukan sesuatu kepadanya. Namun, terkait perusahaan ....Jika ibu dan ayah tahunya tentang hal itu, mereka pasti akan menyalahkannya.Kemarahan Alfian barusan perlahan memudar. Dia hendak mengaku kalah, tetapi Riko tiba-tiba bicara, "Tommy, selain mengancam orang lain, apa lagi yang bisa kamu lakukan?"Tommy menatapnya dengan keterkejutan."Aku ... aku ...."Dia menjawab terbata-bata.Mata sedingin es Riko tertuju pada wajahnya. "Aku kasih saran, kalau kamu ingin belajar dengan tenang di kelas ini, lebih baik nggak usah buat masalah."Tommy menatap Riko seperti seek
Riko bahkan tidak menatap Tommy dan menjawab ringan, "Nggak perlu, terima kasih."Tangan Tommy yang terangkat membeku."Riko, kamu yakin nggak mau? Aku pernah lihat kalau kamu punya banyak konsol game di kamarmu. Ini yang terbaru, apa kamu nggak mau main?""Main?" Riko menatapnya, lalu melanjutkan, "Apa kamu salah paham? Konsol-konsol di kamarku bukan buat dimainkan, tapi buat dibongkar pasang."Dibongkar pasang?Benak Tommy dipenuhi dengan kebingungan, tidak mengerti mengapa Riko harus membongkar konsol game yang bagus seperti ini.Riko tidak ingin menjelaskan, menundukkan kepalanya dan terus menulis sesuatu.Melihat hal ini, Tommy tidak punya pilihan selain menarik tangannya dan datang ke depan Riki.Bahkan sebelum dia bisa membuka mulutnya, Riki menguap dengan malas, kemudian berkata kepadanya dengan sorot mata dingin, "Singkirkan konsol game mu. Aku nggak mau."Sudut mulut Tommy bergerak pelan.Dia memaksa dirinya untuk menahan amarah di dalam hatinya dan berpura-pura tidak peduli.
Harus diakui bahwa di dunia ini, uang adalah satu-satunya hal yang paling berpengaruh.Melihat gadis yang duduk di samping Alfian berasal dari keluarga biasa-biasa saja, guru itu berjalan menghampiri dan berkata kepada gadis itu dengan suara hangat, "Nak, Tommy anak baru, jadi bolehkah kursimu diberikan kepadanya?"Mata gadis itu terlihat berair setelah mendengar ini.Dia tidak berani mengatakan tidak, hendak beranjak dan pindah meja.Namun, Alfian tidak bisa duduk diam."Pak, masih banyak kursi kosong di kelas, kenapa dia harus duduk di meja Lily?"Wajah guru yang bernama Amar terlihat kaku. Dia tidak dalam posisi yang tepat untuk memberi tahu Alfian tentang dunia orang dewasa dan pentingnya menghindari bahaya."Alfian, Lily saja nggak keberatan, kenapa kamu keberatan?"Alfian menatap Lily. "Lily, bukannya kamu sudah bilang bakal duduk denganku terus?"Ketika Lily mendengar Alfian mengatakan ini, matanya memerah dan dia menggosok matanya."Tapi ...."Suaranya tercekat.Alfian melindun
Es mencair dan sudah waktunya sekolah dimulai.Riko dan Riki sudah duduk di bangku sekolah dasar, mereka berdua berada di sekolah yang sama.Meskipun mereka sudah menjalani satu semester, Riki masih merasa baru dalam segala hal."Kakak, kenapa menekuk wajahmu begitu? Di sekolah bisa dapat teman banyak, apa kamu nggak senang?" Riki bertanya dengan penuh curiga.Riko duduk tegak dan menatapnya. "Apa yang membuatmu senang?"Baginya, pergi ke sekolah dasar terlalu membosankan dan tidak menantang.Namun, Mama bilang bahwa di usianya sekarang, lebih baik mencari teman.Sesampainya di pintu masuk sekolah, sopir menatap kepergian keduanya."Hati-hati, Tuan Muda Riki dan Riko."Riko dan Riki berjalan masuk ke dalam sekolah secara berdampingan, langsung menarik perhatian banyak gadis.Sosok kecil yang tidak asing melambaikan tangan ke arah mereka. "Riko, Riki."Orang yang berbicara itu adalah keponakan Alana, Alfian.Setelah tidak bertemu dengannya selama liburan, berat badannya bertambah.Dia b
Setelah tiba, Maxime langsung berjalan ke rumah dan langsung mempercepat langkahnya saat melihat Reina dan anak-anak."Nana."Reina langsung merasa nyaman saat melihat kedatangannya.Joanna yang duduk di sampingnya langsung bertanya, "Bukankah kamu bilang hari ini cukup sibuk dan akan pulang telat? Kenapa pulang lebih cepat dari biasanya?""Istirahat sebentar," jawab Maxime, kemudian duduk di sebelah Reina.Joanna memandangi keduanya, hatinya terasa sedikit masam.Putranya ini benar-benar sangat protektif terhadap istrinya.Maxime merendahkan suaranya dan bertanya pada Reina, "Apa yang terjadi?"Reina mengeluarkan ponselnya dan mengetik, lalu mengirimkannya kepadanya."Kita bicarakan setelah pulang nanti."Maxime juga menyadari bahwa Morgan masih ada di sini. Dia mengirim Emoji mengiakan, tidak lupa dengan Emoji peluk.Dia awalnya tidak memiliki Emoji ini di ponselnya. Itu semua karena Reina yang sering mengirimkannya, jadi dia mulai terbiasa.Reina melihat pelukan yang Maxime kirimkan
Morgan melangkah lebih dekat ke arah Reina."Nana, apa kamu sudah lupa kalau Syena mengirim seseorang untuk mencelakai anakmu, Riko? Aku melakukan ini karena ingin memberinya balasan yang setimpal, agar dia bisa merasakan rasa sakit ketika anak disakiti. Tapi ...."Ekspresi di wajah Morgan sedikit berubah. "Nggak disangka waktu itu bahkan nggak peduli sama anaknya sendiri. Mengerikan sekali."Mendengar Morgan bicara seperti ini, Reina malah berpikir bahwa Morgan jauh lebih mengerikan."Morgan, kamu benar-benar sangat menakutkan."Dia menarik napas dalam-dalam dan bergegas melewatinya, kembali masuk ke dalam rumah.Morgan berdiri diam, tubuh rampingnya begitu ringkih.Setelah berdiri diam untuk beberapa saat, dia kembali masuk ke dalam rumah.Di ruang tamu.Beberapa anak kecil sedang bermain-main.Reina duduk di samping, Joanna juga duduk di sofa, sesekali menggoda anak-anak.Melihat Morgan masuk, Joanna memintanya untuk duduk."Morgan, kamu baru sembuh, kenapa malah keluar? Di luar san
Setelah keluar dan melihat langit yang cerah, Reina tidak tahu apa yang terjadi di dalam hatinya.Apa yang dikatakan Syena padanya benar-benar menembus persepsinya.Awalnya, dia mengira Morgan sudah cukup gila, tetapi dia tidak menyangka bahwa semua yang terjadi di masa lalu hanyalah puncak dari gunung esnya.Dia menarik napas dalam-dalam, tidak tahu bagaimana cara memberitahu Sisca tentang hal ini.Panggilan Sisca datang tidak lama kemudian.Reina menimbang kata-katanya sebelum mengatakannya secara perlahan.Setelah Sisca mendengarnya, dia juga terdiam cukup lama sebelum berkata dengan tidak percaya, "Morgan terlihat seperti orang yang lembut, bagaimana bisa dia melakukan hal seperti itu?""Entahlah, pokoknya mulai sekarang, kamu nggak perlu menyelidiki ayah kandung Talitha lagi. Besarkanlah Talitha dengan baik. Dengan adanya kamu, dia akan hidup dengan sangat bahagia."Sisca pun memahami hal ini.Untuk bisa melakukan hal seperti itu, pastilah ayah kandung Talitha bukanlah orang baik.