Totalnya cuma ada lima tenda. Reina, Maxime dan si kembar tidur di satu tenda. Gaby dan Ekki tidur berdua di satu tenda. Alana, Jovan dan Ekki masing-masing tidur di tenda sendiri.Semua orang kembali ke tenda masing-masing untuk tidur.Christy meraih tangan Jovan, "Kak Jovan, aku nggak bawa tenda.""Hah? Kamu mau berkemah di gunung tapi nggak bawa tenda?" Jovan bingung setengah mati.Sialnya lagi, sekarang mulai gerimis.Semua orang sudah masuk ke tenda masing-masing, di bawah sinar lampu yang remang-remang, Christy memasang tampang menyedihkan sambil menarik ujung baju Jovan, "Kukira di gunung akan ada toko yang jual, jadi aku nggak bawa."Jovan membawanya ke tenda Alana.Alana sengaja membawa lampu minyak tanah, dia ingin benar-benar menikmati rasanya berkemah di gunung.Begitu Alana menyalakan lampu itu, ritsleting tendanya terbuka dan memperlihatkan wajah tampan Jovan."Ada apa?"Alana menjawab kesal.Jovan melihat ke sekeliling tenda Alana yang berwarna merah jambu. Meski tidak t
"Christy, memangnya Kakek Denis nggak pernah ngajarin kamu soal harga diri?"Maxime tidak bicara dengan suara besar, tapi nadanya begitu dingin dan setajam belati.Christy terdiam di tempat."Kak Max salah paham, maksudku bukan itu ...."Selama ini Maxime tidak menegurnya karena masih menjaga muka Tuan Besar Denis.Namun sepertinya makin dibiarkan, wanita ini benar-benar tidak punya rasa malu."Kalau kamu nggak bermaksud begitu, harusnya kamu nggak bersikap begini."Christy tidak masalah kalau dihina para wanita, tapi begitu Maxime yang dia sukai menegurnya seperti ini, seketika wajah Christy pun merah karena malu.Sadar kalau dirinya mungkin sudah bertindak terlalu tergesa-gesa, Christy pun langsung menjelaskan, "Maaf, Kak Reina, Kak Max ... Orangtuaku 'kan sudah meninggal sejak aku masih kecil, aku juga nggak pernah diajarin siapa-siapa. Yaudah malem ini aku nggak usah tidur deh, aku ngeronda aja di luar."Setelah itu Christy langsung kabur seolah Reina sudah menindasnya.Reina yang
Jovan benar-benar merasa Christy sungguh tidak bisa berhitung.Sekarang ini mereka ada di Gunung Skandina yang jauh dari pusat kota. Perjalanan ke sini setidaknya butuh waktu sampai lima jam.Jovan hendak mengusir Christy saat Alana muncul di luar tendanya sambil membawa lampu minyak tanah dan ponsel."Ngapain kamu ke sini?" tanya Jovan bingung.Alana memasang tampang kesal, "Kakek telepon.""Ngapain dia nelepon malem-melem begini?"Alana tidak langsung menjawab karena ada Christy di sini. Dia yang malu cuma bisa memberi isyarat mata pada Jovan."Ada apa? Bilang aja."Alana pun langsung berkata, "Kakek nanya kok kamu nggak ada di tendaku, kok kita nggak tidur bareng."Jovan langsung merasa malu.Dia berkata kepada Christy, "Kamu bisa keluar dulu?""Oke."Christy keluar dengan enggan.Alana membatin dalam hati, bukannya pria ini yang tadi langsung menyuruhnya bicara?Sekarang dia sendiri yang malu?"Terus kakek bilang apa lagi?" tanya Jovan.Tiba-tiba ponsel Jovan berdering. Dia mengang
Christy yang berdiri di luar menggigil kedinginan.Christy kesal karena dia harus berdiri di luar, menunggu Jovan memanggilnya. Christy akhirnya menghampiri tenda Jovan dan melihat ritsleting tenda Jovan sudah terkunci.Jovan pasti sudah tidur, lampu minyak tanah Alana juga sudah dimatikan.Christy yang kesal pun menghentakkan kaki.Namun, karena Alana tidur dengan Jovan, artinya tenda Alana kosong. Christy pun langsung masuk ke dalam.Tanpa kantong tidur, tetap saja udaranya sangat dingin.Christy meringkuk dan akhirnya membalut diri dengan banyak baju untuk menghangatkan diri.Dia benar-benar tidak pernah sesusah ini.Di saat seperti ini, dia malah mendengar suara-suara dari tenda sebelah. Siapa lagi kalau bukan Ekki dan Gaby?"Sialan ...."Christy jadi lebih menderita.Di sisi lain, setelah Reina mendongengkan cerita horor untuk anak-anaknya, dia sendiri malah tidak bisa tidur.Angin menderu-deru di luar dan bersiul seperti orang menangis.Reina pun membolak-balikkan badan dalam kan
Reina menoleh dan mendapati suara itu berasal dari tenda tempat tinggal Alana.Reina tidak tahu kalau yang tidur di tenda itu adalah Christy, jadi Reina langsung berlari ke sana."Alana, kamu kenapa?"Tiba-tiba, Christy keluar dari tenda Alana.Christy terlihat sangat takut sambil menunjuk ke dalam tenda, "Ada ular."Teriakannya juga membangunkan orang-orang di tenda lain.Satu per satu keluar dari tenda."Ada apa?"Yang pertama keluar adalah Deron.Dia sudah terlihat rapi, sepertinya sudah bangun dari pagi tapi dia tidak keluar tenda karena melihat yang lain belum bangun.Christy pura-pura tidak melihat Reina dan berlari menuju Deron."Pak Deron, ada ular di dalam tenda."Reina tidak memperhatikan perilaku Christy. Dia pikir semalam Alana berubah pikiran dan mengizinkan Christy tidur bersamanya.Kalau Christy sudah keluar, artinya Alana sendirian di dalam. Gimana kalau dia digigit ular?"Alana."Reina membuka tenda dengan hati-hati.Alana tidak ada di dalam, sekilas Reina langsung mel
Jelas sudah terlambat bagi Reina untuk menghindar, jadi dia langsung melangkah mundur.Namun, tiba-tiba seseorang bertubuh tinggi kekar menariknya ke dalam pelukannya.Entah sejak kapan, Maxime langsung pasang badan di hadapan Reina tanpa memedulikan bahaya yang mengancamnya.Karena buta, Maxime hanya bisa mengira-ngira posisi Reina dari arah suara Reina.Dia juga tidak tahu di mana posisi ular itu, jadi dia hanya bisa pasang badan di depan Reina.Reina membelalak kaget dalam pelukan Maxime.Ular itu tidak sempat menggigit Reina, karena di saat yang sama Deron melepaskan tangan Christy yang memeluknya erat, lalu langsung menendangnya ke arah ular.Christy yang terlempar hampir saja jatuh menimpa ular itu.Ular itu ketakutan oleh guncangan hebat dan langsung berlari ke rerumputan.Semua orang menghela napas lega.Christy yang jatuh dengan keras di tanah pun langsung menangis, "HUHUHUHU! Kenapa kamu nendang aku?"Deron menatapnya dengan tatapan dingin dan tenang."Tugasku itu melindungi
Riki menjawab sambil lalu, "Aku ngintip.""..." Riko terdiam. Dia pikir ada trik apa gitu.Riki mengatur layar ponsel dan latar belakang Maxime menjadi foto dua orang yang saling berpelukan, yang jauh lebih baik daripada latar belakang sederhana buatan pabrik."Toh papa nggak bisa lihat, dia nggak bakal komplain."Riki bergumam pada diri sendiri.Saat ini Reina sudah melonggarkan diri dari pelukan Maxime. Dia melirik ke arah Christy yang malu setelah dimarahi semua orang dan berkata, "Aku nggak peduli kamu beneran mau nyelametin aku atau mau mencelakaiku. Tapi kalau kamu sampai menyakiti anakku, aku nggak akan tinggal diam."Reina tidak hanya bicara tentang si kembar, tapi juga bayi yang sedang dikandungnya.Kalau sampai terjadi sesuatu pada bayinya, Reina akan membuat Christy membayar berkali-kali lipat.Christy langsung menciut takut dengan momentum Reina, dia pun menundukkan kepalanya, "Aku nggak ada niat nyakitin Kak Reina."Jovan akhirnya sadar seberapa serius masalah ini.Kalau b
Maxime berhenti melangkah dan bertanya, "Ada urusan lain?""Tadi ... situasinya sangat berbahaya, kenapa kamu menyelamatkanku?" Reina menatap lurus ke arah Maxime dan bertanya.Kalau ingatan Maxime saat ini berada di periode saat keduanya baru menikah, harusnya pria ini muak padanya.Jadi, kenapa Maxime mau mempertaruhkan keselamatannya sendiri untuk menyelamatkan Reina?Maxime terdiam cukup lama. Sejujurnya, dia sendiri juga tidak tahu alasannya.Sepertinya tadi naluri tubuhnya yang bergerak, dia khawatir Reina terluka."Kamu 'kan lagi hamil anakku. Masa aku diam aja melihat kamu dalam bahaya." Maxime menjawab dengan dingin.Reina pun melepaskan genggaman tangannya."Oh gitu. Oke, pulanglah. Hati-hati.""Ya." Maxime mengangguk dan berjalan keluar.Ekki langsung menghampiri Maxime dan mengantarnya ke mobil.Reina dan Gaby juga kembali ke rumah.Tidak lama kemudian, dokter kandungan yang dipanggil oleh Maxime datang dan memeriksa Reina. Untungnya Reina dan bayinya tidak apa-apa.Begitu
Morgan tidak bisa menghindar, tidak punya pilihan selain menerima pukulan keras itu.Darah keluar dari sudut mulutnya, tubuhnya limbung. Cengkeraman tangannya di lengan Jess terlepas saat dia terdorong mundur dan hampir jatuh ke tanah.Erik mengepalkan tinjunya dan berdiri di antara dia dan Jess, menatap Morgan dengan dingin."Aku sudah berbaik hati mengantarmu ke rumah sakit, tapi aku nggak menyangka kamu akan datang ke sini dan berbuat kasar sama Jess. Sepertinya kamu masih belum cukup sadar, jadi aku akan membuatmu sadar!"Jika dia tidak datang untuk menjemput Jess, dia tidak akan melihat adegan Morgan yang mengganggu Jess.Dia mengatupkan giginya karena marah, ada sedikit kejengkelan dalam tatapannya saat dia menatap Jess."Kamu baik-baik saja?" tanyanya.Jess sedikit panik saat mendengar pertanyaannya, tetapi dia mengangguk. "Ya, aku baik-baik saja."Erik menoleh ke arah Morgan dan melangkah mendekatinya.Morgan berdiri diam sebelum menatap orang di depannya. Dia mengangkat tangan
Morgan melihat ke arah panggilan yang ditutup, suasana hatinya langsung jatuh ke titik terendah.Namun, dia tidak beranjak pergi.Di dalam perusahaan.Jess mengira Morgan sudah pergi, jadi dia berkemas seperti biasa dan keluar dari perusahaan.Sebelum dia keluar, Erik bahkan mengiriminya pesan."Aku jemput, ya?"Jess membalas pesan itu, "Nggak perlu, aku pulang sendiri saja."Dia terbiasa melakukan segala sesuatunya sendiri, bahkan setelah menghabiskan banyak waktu dengan Erik, dia masih belum terbiasa untuk dijaga olehnya seperti itu."Penolakan ditolak, aku sudah di lantai bawah perusahaanmu, cepat keluar." Erik tersenyum dan mengirimkan pesan itu.Jess sedikit tidak berdaya saat melihat pesan itu, tetapi dia tidak mengatakan apa-apa lagi.Erik memang seperti itu, selalu melakukan segala sesuatu terlebih dahulu, baru memberitahunya. Jess sudah terbiasa dengan hal itu.Berjalan keluar dari pintu perusahaan, Jess mencari-cari mobil Erik. Namun, sebelum dia bisa menemukannya, sesosok tu
Morgan hanya perlu menunggu persetujuan Jess, tidak mempermasalahkan apakah Jess sudah menikah atau belum.Jess tidak tahu harus bahagia atau sedih saat ini.Ternyata orang yang dia sukai kini juga menyukainya. Ternyata cintanya tidak bertepuk sebelah tangan.Namun, yang menyedihkan adalah dia sudah menikah. Pernikahan ini diatur oleh orang tuanya, yang juga atas keinginannya sendiri. Erik memperlakukannya dengan baik, jadi dia tidak bisa melakukan sesuatu yang kiranya bisa mengkhianati Erik."Maafkan aku, Tuan Morgan. Tuan mungkin sudah salah paham dengan niatku untuk Tuan. Tuan itu atasanku, jadi aku harus bersikap baik kepada Tuan karena tuntutan pekerjaan, bukan karena aku menyukai Tuan seperti yang Tuan katakan." Jess terdiam sejenak, kemudian melanjutkan, "Selain itu, aku sudah menikah dan suamiku memperlakukanku dengan sangat baik. Kami berdua saling mencintai dan aku nggak akan menceraikannya."Kami berdua saling mencintai!Kata-kata itu sangat tajam dan menusuk ketika terdenga
Morgan membuka kontaknya dan melihat catatan panggilan pegawai tempat dia minum dengan Jess saat dia mabuk.Pikirannya kacau dan dia ingin sekali memastikannya.Entah sudah berlalu berapa lama, Morgan akhirnya berhasil menghubungi nomor Jess.Pada saat itu, Jess sedang sendirian di dalam perusahaan, sementara Erik pergi untuk menjalankan tugasnya sendiri setelah mengantarnya.Melihat panggilan dari Morgan, Jess ragu-ragu sejenak sebelum mengangkatnya."Tuan Morgan, ada apa?"Tuan Morgan?Morgan sedikit terdiam saat mendengar panggilan yang tidak biasanya digunakan Jess saat memanggilnya."Kamu yang membawaku ke rumah sakit hari ini?" tanya Morgan.Jess tidak mencoba menyembunyikan apa pun dan menjawab, "Aku dan Erik yang mengantarmu. Untung saja ada dia yang membantu. Kalau nggak, aku nggak akan bisa membawamu ke rumah sakit sendirian."Sepanjang jawabannya, dia menyebutkan nama Erik hingga beberapa kali.Morgan mengerti bahwa ini adalah untuk memberitahukan bahwa dia dan Erik sudah me
Simpul di tenggorokan Morgan bergulir. Dia menggunakan seluruh kekuatannya untuk membuka matanya dan melihat Jess. Ketika dia yakin itu adalah Jess, dia langsung mengangkat kedua tangannya.Jess tidak tahu apa yang ingin dilakukan Morgan, jadi dia mendekat dan bertanya kepadanya."Tuan Morgan, apa Tuan baik-baik saja? Apa ada yang nggak nyaman? Apa Tuan butuh air? Sebentar lagi kita sampai di rumah sakit."Begitu kata-kata terakhir itu terucap, tangan Morgan tiba-tiba mendarat di sisi wajahnya.Pria itu bergumam dengan suara pelan, "Jess? Apa aku sedang ... bermimpi?"Wajah Jess terasa panas, tubuhnya menegang dan dia menatapnya tidak percaya.Wajah Erik yang duduk di samping langsung berubah muram. Dia mengangkat tangannya untuk menepis tangan Morgan."Ngapain kamu?"Tangan Morgan jatuh dan dia benar-benar kehabisan tenaga, menutup matanya lagi.Jess menatap Erik dengan tatapan penuh rasa bersalah. "Maafkan aku."Erik kesal, tetapi tidak menunjukkannya."Dia yang menyentuhmu, jadi kam
Ketika Jess dan Erik sampai, mereka langsung dimarahi."Kalian akhirnya datang juga. Bukan hanya mabuk, dia juga merusak banyak minuman di toko kami. Jadi, jangan lupa bayar dulu sebelum kalian membawanya pergi," kata pemilik tempat itu.Mendengar itu, Jess melihat ke arah yang pria ini tunjuk.Ini adalah pertama kalinya dia melihat Morgan seperti itu.Pakaiannya sedikit acak-acakan, wajahnya berjanggut dan sedikit tidak terawat. Dia mabuk berat, duduk tidak berdaya di kursi. Ada banyak pecahan botol di sekelilingnya, membuat udara pekat oleh bau alkohol.Mata Jess terlihat khawatir. Dia hendak meminta maaf kepada pemilik tempat ini, tetapi Erik yang berada di antara mereka berkata dengan dingin, "Apa kalian nggak tanggung jawab? Apa kamu tahu, kalau sesuatu terjadi dengannya di tempatmu ini, tidak ada satu pun dari kalian yang bisa lepas dari tanggung jawab."Dia tidak sebaik Jess."Itu masalah dia, apa hubungannya dengan kita?" Pelayan tidak terintimidasi oleh perkataan Erik.Ini ada
Jess sedikit tidak percaya. Kesehatan Morgan tidak baik. Selama bertahun-tahun dia merawatnya, dia tidak pernah melihat Morgan minum.Sekarang, mendengar nada bicara pria itu, Morgan sepertinya sedang mabuk berat.Namun ....Jess menoleh ke arah Erik, hatinya terkoyak.Dia sudah menikah dan bertekad untuk menjauhi Morgan. Dia tidak akan pernah bisa mengkhianati Erik."Itu, aku nggak bisa ke sana. Kalau kamu ada waktu, tolong antar dia ke rumah sakit. Setelah dia sadar dari mabuk, dia pasti akan sangat berterima kasih kepadamu," jawab Jess dengan sopan."Apa kamu bercanda? Kamu yang temannya saja nggak mau antar dia ke rumah sakit, apalagi aku yang cuma orang asing? Kamu ingin aku mengantarnya? Aku masih harus kerja." Pria itu menjawab dengan tidak sabar. "Kalau kamu nggak datang, aku juga nggak peduli lagi."Setelah mengatakan itu, pria di seberang sana menutup telepon.Wajah Jess terlihat cemas.Melihat ini, Erik tidak bisa menahan diri dan bertanya, "Ada apa?""Morgan mabuk." Jess me
"Nona Reina." Jess memanggilnya terlebih dahulu.Reina mengangguk dan menuntun kedua anaknya berjalan ke arah mereka.Kedua anak itu dengan sopan memanggil mereka, "Om Erik, Tante Jess.""Hmm." Jess tersenyum, menunjukkan senyuman lembut.Erik juga tersenyum. "Kita baru sebentar nggak bertemu, kalian sudah tambah tinggi rupanya."Dulu, ketika berada di luar negeri, Erik pernah bertemu kedua anak ini beberapa kali saat mengikuti Revin. Jadi, dia cukup akrab dengan keduanya.Kedua anak itu juga memiliki cukup akrab dengannya."Om Erik kapan punya anak? Hari ini kami ikut Mama ke rumah sakit dan melihat bayi yang dilahirkan Tante Alana, lucu sekali." Riki bertanya sambil mengedipkan mata.Mendengar kata anak, wajah Erik dan Jess langsung berubah.Namun, semua itu menghilang dengan cepat.Erik terbatuk-batuk dua kali. "Hal semacam ini nggak bisa dipaksakan, nggak boleh buru-buru juga.""Oh." Riki sepertinya mengerti, dia pun mengangguk. "Om Erik dan Tante Jess harus lebih semangat. Setelah
Alana sengaja menggoda Riki. "Riki, kenapa kamu bilang begitu? Aku dan mamamu sudah seperti kakak adik, jadi wajar saja kalau kami jadi mak comblang anak kami sendiri. Bukankah kamu sering melihat itu di drama TV?""Jangan khawatir, kali ini Tante memang belum melahirkan anak perempuan, tapi lain kali Tante baka berusaha lebih keras lagi agar bisa melahirkan anak perempuan yang cantik. Saat itu tiba, aku akan menikahkannya denganmu, ya? Kamu sangat pengertian, pasti kamu akan memperlakukannya dengan baik, bukan?"Riki jauh mudah ditipu ketimbang Riko. Berpikir bahwa Alana berencana akan melahirkan anak perempuan di kemudian hari, dia langsung merasa ngeri."Tante Alana, aku ... mungkin aku nggak akan nikah."Dia ketakutan sampai punya pikiran untuk tidak menikah.Reina menggodanya, "Tapi bukannya kamu pernah bilang kalau Talitha cantik? Katamu, siapa yang bisa nikah sama dia, orang itu pasti sangat bahagia.""Hah? Kamu suka punya seseorang yang kamu suka?" Alana memasang wajah terkejut