"Kenapa bawa aku ke sini?" tanya Reina.Maxime tidak menjawab, meraih tangannya dan berjalan ke depan.Reina dituntun olehnya ke dalam tempat bermain. Sejauh mata memandang, ada tempat permainan."Kamu?""Ngajak kamu main game," jawab Maxime.Reina sedikit terdiam. "Ekki benar, kamu cemburu."Maxime menunduk, mulutnya tertutup wajahnya begitu bangga."Aku nggak cemburu. Aku tahu kalian cuma teman biasa." Dia melanjutkan, "Bukannya barusan kamu bilang jarang main game? Kebetulan hari ini aku senggang, jadi aku bakal nemenin kamu."Saat mengatakan itu, dia menarik Reina ke depan sebuah mesin lempar koin.Sebelum Reina duduk, petugas membawa sekantong besar koin permainan dan meletakkannya di sampingnya."Nona bos, silakan main sampai puas."Reina tidak bisa berkata-kata saat melihat sekantong besar koin yang disodorkan kepadanya.Bukankah bermain game lempar koin agar bisa mendapatkan koin?Maxime memberinya begitu banyak koin, lalu dari mana tantangan jika memainkan game ini?"Katakan,
Mata Maxime menyipit saat mendengar Reina mengatakan itu.Matanya memperhatikan syal di leher Reina. "Baru?"Reina mengangguk. "Hmm.""Kamu sudah di kamar, jadi nggak dingin, lepas saja." Maxime menambahkan, sambil mengulurkan tangannya.Reina langsung bersandar mundur ke belakang. "Nggak apa. Aku masih kedinginan, jadi lebih baik pakai saja."Tangan Maxime yang terangkat membeku di udara, lalu dia menariknya kembali."Baiklah, nggak usah dilepas kalau kamu nggak mau."Kekhawatiran di hati Reina akhirnya menghilang.Dia memaksa dirinya untuk bangun walau masih mengantuk. "Aku agak lapar, ayo kita makan.""Ya."Reina berjalan melewati pandangan Maxime dan pergi menuju ruang makan di lantai bawah.Maxime hanya mengamatinya, merasa bahwa Reina menyembunyikan sesuatu darinya.Kenapa Reina tidak mengizinkannya melepas syal itu?Maxime tidak mengerti.Reina tiba di ruang makan di lantai bawah, di mana koki telah menyiapkan makanan dan membawanya ke meja makan.Dia juga memanggil anak-anak un
Mungkin terlalu mengantuk, Reina langsung tertidur setelah berbaring.Dia tidak tahu bahwa Maxime masih belum tertidur.Maxime perlahan membuka matanya setelah mendengar suara napas teratur Reina.Cahaya di dalam kamar membuatnya bisa melihat garis-garis wajah Reina. Maxime menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu, tatapannya tertuju pada lehernya.Reina sudah mandi dan berganti pakaian. Dia mengenakan pakaian yang menutupi bagian lehernya.Itu bukan baju tidur ....Maxime awalnya bertanya-tanya, mungkin saja syal itu yang jadi masalah. Sekarang, dia merasa bahwa Reina mengenakan syal untuk menghalangi sesuatu di lehernya.Tangannya terulur, berusaha untuk mencari tahu.Reina tertidur pulas.Gerakan Maxime ringan, cukup lembut untuk menurunkan kerah bajunya. Dia melihat sekilas bahwa ternyata ada kain kasa yang menutupi leher Reina. Dia samar-samar bisa melihat sedikit warna merah terang keluar dari kain kasa tersebut.Reina merasa lehernya gatal, jadi dia bergerak.Maxime segera menari
Detik berikutnya, Reina membuka matanya dan bertemu dengan tatapan Maxime yang penuh perhatian.Dia buru-buru meraih tangan Maxime. "Kenapa belum tidur?""Nggak bisa tidur, jadi nggak tidur lagi," jawab Maxime."Ya, tutup matamu dan tidur lagi. Besok kamu masih harus kerja," kata Reina.Maxime mengangguk, tetapi tidak melepaskan pelukannya.Dia bertanya dengan ragu-ragu, "Sepertinya kamu belum nyenyak sejak kembali dari tempat Sisil. Apa terjadi sesuatu di sana?"Reina membeku, tetapi kembali tenang dengan cepat."Memangnya apa yang bisa terjadi? Aku cuma nggak bisa tidur kalau bukan di kamar sendiri, jadi kurang tidur."Melihat Reina terus berbohong dan tidak mau mengatakannya, Maxime memutuskan untuk tidak melanjutkan masalah ini.Besok dia akan menemui Morgan dan menanyakan langsung kepada Morgan apa yang terjadi.Keesokan harinya.Reina terbangun dari tidurnya dengan perasaan yang jauh lebih baik dan sudah tidak terlalu mengantuk lagi.Mungkin karena dipeluk oleh Maxime, jadi dia t
Maxime menopang dagunya dengan satu tangan dan menatapnya dengan tatapan dingin. "Reina nggak bilang apa-apa, karena itulah aku bawa kamu ke sini. Katakan, apa yang kamu lakukan padanya kemarin malam?"Ekspresi Morgan langsung berubah ketika mendengar ini."Aku tahu kalau Nana bukan orang yang suka menyebarkan berita."Dia menarik napas dalam-dalam. "Apa aku boleh bicara sambil duduk?"Maxime menoleh ke pengawalnya, yang dengan cepat memindahkan kursi untuk Morgan.Morgan duduk dengan pandangan tajam."Tadi malam aku sama Nana melakukan sesuatu yang seharusnya terjadi sejak dulu."Sesuatu yang seharusnya terjadi sejak dulu?Maxime mengerutkan kening. "Terus terang saja, apa yang terjadi sebenarnya."Dia tidak suka dengan pernyataan bodoh itu."Hal-hal yang berhubungan dengan suami istri!" kata Morgan.Detik berikutnya, Maxime bangkit dan menendang tepat di jantungnya."Braak!" Dengan gebrakan keras, Morgan jatuh tersungkur ke lantai. Tangannya menutupi dadanya, napasnya terengah-engah.
Entah sudah berapa lama, Maxime meminta sopir mengemudikan mobilnya ke Grup Yinandar.Jika benar seperti yang dikatakan Morgan, bahwa hal seperti itu menimpa Reina, apa yang harus dia lakukan agar bisa menghiburnya?Tidak lama kemudian, mobil tiba di lantai bawah Grup Yinandar.Maxime keluar dari mobil dan berjalan menuju bagian dalam perusahaan.Orang-orang di Grup Yinandar tentu saja mengenal Maxime. Ketika melihatnya, mereka langsung mengantarnya ke kantor Reina.Kantor presdir.Reina sedang bekerja ketika asistennya mengetuk pintu. "Bu Reina, Pak Maxime datang."Dia mengangkat kepalanya dan melihat ke arah pintu.Maxime mengenakan setelan jas dan memiliki bentuk tubuh yang tegap. Namun, saat ini wajahnya terlihat sedikit lelah."Kenapa kamu ke sini?" Reina agak terkejut, di jam-jam seperti ini, bukankah seharusnya dia berada di tempat kerja?Setelah asisten pergi dan menutup pintu, Maxime berjalan lurus ke arah Reina."Nana." Matanya dalam, ada emosi kompleks yang tersembunyi di da
Maxime keras kepala, membuat Reina sedikit tidak berdaya. "Nggak perlu, sungguh. Kalau kamu di sini, gimana aku bisa kerja?""Bagaimana kalau aku kerja sama kamu?" Maxime menambahkan.Reina tidak tahu harus berkata apa lagi saat Maxime begitu serius, tidak terlihat seperti berbohong."Kalau begitu kamu bisa tetap di sini hari ini." Pada akhirnya, Reina terpaksa harus berkompromi.Maxime menyuruh seseorang untuk membawa dokumen-dokumen yang harus dikerjakan.Asisten Reina sedikit ragu. Bagaimanapun juga, Maxime adalah orang luar.Reina berkata kepadanya, "Nggak apa-apa, suamiku nggak sejahat itu sampai ingin mengambil alih properti keluargaku."Perusahaan Maxime sendiri tidak kalah dengan perusahaannya.Keduanya juga punya empat anak laki-laki. Ketika mereka meninggal kelak, bukankah harta mereka akan menjadi milik anak-anak mereka?Keempat anak itu adalah putra Maxime, jadi dia tidak perlu sampai berbuat seperti itu.Selain itu, Maxime orang yang sangat berprinsip, mana mungkin dia men
"Ayo pulang." Reina berdiri.Maxime meraih tangan Reina. "Aku mau lihat lukamu."Reina membeku.Berpikir bahwa Maxime sudah tahu, dia tidak mengelak dan memperlihatkan luka di lehernya.Karena dibungkus kain kasa, Maxime tidak melihat bagian dalamnya."Aku nggak apa-apa," kata Reina."Ayo ke rumah sakit." Maxime sedikit khawatir dan dia tidak berani membuka kain kasa Reina dengan asal.Reina tidak ingin pergi, tetapi sikap Maxime begitu memaksa, jadi dia tetap mengikutinya ke rumah sakit.Di dalam rumah sakit, dokter membuka kain kasa Reina, memperlihatkan luka sepanjang jari di sana.Lukanya sangat dalam, seharusnya itu bukan luka ringan.Mata Maxime sedikit menyipit. "Dalam sekali lukanya. Kenapa menyembunyikannya dariku?""Ini sudah nggak apa-apa kok," jawab Reina.Jemari Maxime sedikit gemetar saat menyentuh leher Reina. "Jangan menyembunyikan apa pun lagi dariku, ya?"Suaranya sedikit serak.Reina mengangguk lagi. "Ya, aku mengerti."Lagi-lagi dia menjawab dengan ekspresi tidak pe
Ketika Joanna mendengar ini, dia tidak bisa menahan diri dan langsung mencibir, "Pak Obin bukannya nggak kenal sama kamu, tapi dia nggak mau menggubrismu."Joanna meregangkan punggungnya."Kamu ingat saat kamu pergi ke luar negeri dan bersenang-senang di sana? Pak Obin butuh bantuan, tapi dia nggak bisa menghubungiku, jadi dia menemuimu. Tapi, kamu bahkan nggak mau dengar apa yang mau dia katakan."Ini sudah lama sekali, Daniel tentu saja melupakannya."Apa ada hal seperti itu?" Daniel sedikit canggung.Joanna memutar matanya ke arahnya. "Ingatanmu itu hebat sekali, selalu melupakan apa pun yang nggak menguntungkanmu."Daniel dipermalukan olehnya, tetapi dia tidak merasa harga dirinya hancur seperti sebelumnya.Dia juga tahu bahwa sekarang dia tengah memohon bantuan."Itu salahku. Kamu bisa minta Pak Obin menemuiku nggak? Sekalian biar aku minta maaf sama dia," kata Daniel.Joanna bingung saat melihat Daniel seperti ini. "Daniel, kamu mau apa sebenarnya? Kenapa hari ini kamu hormat beg
Melisha sangat marah ketika mengetahui bahwa putranya benar-benar diganggu. Dia mengambil tisu dan menghapus noda air mata di wajah Tommy. "Nggak usah nangis, kamu mau jadi apa nangis begitu."Tommy segera menutup mulutnya ketika mendengar ibunya memarahinya."Berani sekali mereka ganggu kamu. Aku akan membuat mereka menerima akibatnya."Melisha diam-diam memutuskan untuk memberi pelajaran kepada anak-anak Reina.Setelah Tuan Besar Latief meninggal, keluarga dari pihak Aarav sering diremehkan. Saudara dan kerabat lebih berpihak ke keluarga Daniel.Itu bukan karena Maxime telah mencuri Grup Sunandar dari mereka!Sekarang, Maxime bahkan menggabungkan Grup Sunandar ke dalam IM Group yang dia dirikan.Siapa yang bisa menjamin kalau Maxime tidak melakukan trik untuk menutup kekurangan IM Grup dengan menggunakan dana dari Grup Sunandar?Melisha makin kesal saat mendengarnya."Hmm." Tommy mengangguk berkali-kali.Sekembalinya ke rumah, Melisha mencari Aarav.Di dalam ruang kerja.Aarav sedang
Tommy menelan ludah, tetapi tidak berani mengatakan yang sebenarnya pada Melisha."Ma, aku memang jatuh sendiri, ini nggak ada hubungannya sama orang lain."Dia tidak bisa diremehkan oleh Riko dan Riki, apalagi ada banyak gadis di sini.Bagaimana mungkin dia mengandalkan ibunya saat menghadapi masalah? Dia tidak ingin dianggap anak mami oleh mereka.Melisha terpaksa harus berhenti saat melihat Tommy tidak bersedia mengatakan apa pun."Kenapa kamu ceroboh sekali. Lain kali hati-hati.""Ya." Tommy mengangguk.Setelah itu. Melisha membawanya pergi.Saat Tommy berjalan pergi, dia tidak lupa untuk menoleh ke arah Riko dan Riki.Saat ini, Reina juga baru sampai dan kebetulan melihat Tommy dan Melisha pergi.Dia bergegas ke depan. "Riko, Riki, kalian baik-baik saja?"Dia khawatir anak-anaknya diganggu oleh Melisha.Kedua anak kecil itu menggelengkan kepala dan berkata serempak, "Kami baik-baik saja."Baru setelah itu Reina menghela napas lega.Wajah Ririn mengembang dengan senyuman saat melih
Sejujurnya, Riki tidak tahu persis apa arti dari perkataan Riko, tetapi dia punya firasat bahwa itu benar.Sudut mulut Tommy bergerak pelan. Dia hendak mengatakan sesuatu, tiba-tiba melihat seseorang yang tidak asing."Mama, hiks ...."Ternyata Melisha datang menjemputnya.Riko dan Riki saling berpandangan dan keduanya mengerutkan kening.Riki berdecak, "Sudah besar, tapi masih mengadu saat diganggu. Ckck, nggak tahu malu."Wajah Tommy membeku, lupa untuk bersikap menyedihkan.Melisha tidak tahu apa yang telah terjadi dengan Tommy. Namun, melihat Tommy berdiri di depan Riki dan Riko dalam keadaan baju penuh debu dan wajah kotor, dia bergegas maju."Nak, kamu kenapa? Kenapa kamu nangis? Siapa yang mengganggumu?"Mata Melisha menatap dingin ke arah Riki dan Riko saat mengatakan ini.Riko tidak takut padanya dan balik menatapnya.Tatapan mata yang dingin dan gelap itu membuat Melisha sedikit takut. Anak ini benar-benar mirip dengan ayahnya, Maxime.Tommy ingin mengomel, tetapi saat dia te
Dalam perjalanan pulang, Reina sekalian menjemput Riko dan Riki.Di dalam sekolah dasar.Sekolah baru saja berakhir dan anak-anak mengemasi tas mereka, bersiap-siap untuk pulang.Ketika Tommy tiba di sekolah barunya, dia mengira semua orang akan melayaninya seperti di taman kanak-kanak. Namun, dia tidak menyangka bahwa semua anak mengelilingi Riko dan Riki.Dia sangat gelisah. Setelah mengemasi tas sekolahnya, dia melihat Alfian sedang menunggu Riko dan Riki. Dia berjalan ke arahnya dan memukul pundaknya dengan keras."Peliharaan yang baik nggak akan ngalangin jalan."Alfian langsung cemberut. "Siapa katamu?""Aku bilang sama yang jawab." Dagu Tommy terangkat tinggi, menunjukkan ekspresi seperti menantang Alfian.Alfian benar-benar tidak berani melakukan apa pun padanya. Bagaimanapun juga, perusahaan dan keluarganya masih berhubungan dengan Tommy.Dia menahan amarahnya dan tidak berani mengatakan apa-apa lagi.Tommy menjadi makin senang dengan situasi ini. Dia bahkan menjulurkan lidahn
Mendengar suara Morgan, kekhawatiran di hati Joanna akhirnya menghilang."Di negara mana kamu sekarang?" tanyanya.Di ujung telepon, Morgan berkata, "Aku ingin bebas, kalian nggak perlu tahu aku ada di mana. Jangan menghubungiku lagi untuk sementara waktu. Ketika aku ingin menghubungi kalian, aku pasti akan melakukannya."Joanna menggenggam ponsel dengan erat, kesedihan terlihat jelas di matanya."Kalau begitu, setidaknya kasih tahu Ibu kamu ada di mana.""Kalau aku bilang, kalian pasti akan datang, jadi lebih baik aku nggak bilang." Morgan melanjutkan, "Sudah, aku tutup dulu teleponnya."Joanna hendak mengatakan sesuatu yang lain, tetapi panggilan sudah dimatikan secara sepihak.Dia menghela napas panjang. "Dia kenapa sebenarnya? Pergi ke luar negeri, tapi nggak mau bilang dia pergi ke mana."Daniel pun menjadi tenang, tidak lupa menghiburnya, "Wajar saja kalau pria suka bepergian. Sudah, nggak usah khawatirkan dia."Joanna menatapnya dengan tatapan kosong. "Dia begini pasti mewarisi
"Ini darah Morgan." Maxime berbicara dengan perlahan.Mata Reina dipenuhi dengan keterkejutan. "Apa?""Aku mengurungnya. Barusan aku menemuinya dan menghajarnya lagi." Maxime menjelaskan.Lagi ....Reina hanya tahu bahwa hilangnya Morgan ada hubungannya dengan Maxime, tetapi dia tidak tahu bahwa Maxime juga memukuli adiknya sendiri."Bukannya dia lagi nggak sehat? Kamu memukulinya, bagaimana kalau sampai terjadi sesuatu padanya?" Reina sedikit khawatir.Maxime mendengus dingin sebelum berkata, "Dia beruntung kalau sampai terjadi sesuatu dengannya."Reina terdiam, tidak tahu apa yang harus dia katakan."Sudah, aku sudah mengatakan semuanya, jadi jangan marah dan tidurlah. Aku akan memelukmu biar kamu nggak mimpi buruk lagi." Maxime berkata dengan suara hangat.Reina mengikutinya ke tempat tidur, tetapi tetap tidak bisa tidur setelah berganti posisi berkali-kali.Maxime menariknya ke dalam pelukannya. "Kenapa?""Aku nggak bisa tidur," kata Reina.Maxime menunduk dan mencium alisnya. "Ngg
Kediaman Keluarga Andara.Reina mengalami mimpi buruk lagi. Ketika terbangun dari mimpi buruknya, dia secara naluriah memeluk Maxime di sampingnya.Namun, tangannya yang terulur tidak meraih apa pun.Reina menyalakan lampu di samping tempat tidur dan menyadari bahwa Maxime tidak ada di sampingnya."Pergi ke toilet?" Reina sedikit bingung dan melihat ke arah toilet, lampu di sana juga tidak menyala.Dia jadi sulit tidur dan sedikit takut karena Maxime tidak ada. Dia langsung bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke luar.Ketika masuk ke aula, tidak ada lampu yang menyala. Rumah dalam keadaan gelap gulita.Maxime juga tidak ada di sini, kemana dia pergi selarut ini?Reina ingat bahwa mereka berdua tidur bersama, apakah ada sesuatu yang terjadi di kantor?Saat dia bertanya-tanya, pintu depan dibuka dari luar. Bersamaan dengan itu, lampu-lampu juga dinyalakan.Maxime mengenakan jas hitam, berdiri di ambang pintu. Saat mendongak, kebetulan dia melihat Reina berdiri di tangga."Kenapa kamu
Maxime tidak tahan saat melihat sikap Joanna yang seperti ini. Dia akhirnya berbicara, "Ya, aku bakal bantu cari. Ibu pulanglah.""Ya, ya." Baru setelah itu Joanna melepaskan tangannya, lalu melangkah masuk ke dalam mobil.Mobil melaju menjauh.Maxime hanya berdiri di sana.Reina berjalan ke sisinya. "Lepaskan Morgan."Dia tahu bahwa Morgan pasti sudah sangat menderita akhir-akhir ini, jadi dia tidak akan berani melakukan apa pun padanya.Dia awalnya mengira Maxime akan setuju, tetapi dia menoleh ke arah Reina. "Melepaskannya? Apa kamu bercanda?"Morgan telah melakukan sesuatu yang lebih buruk dari binatang. Dia sudah sangat berbelas kasihan karena tidak merenggut nyawanya.Reina sedikit bingung saat mendengar itu. "Tapi ibumu ....""Kamu nggak perlu khawatir soal Ibu. Kamu harus tahu, nggak peduli siapa pun yang nyakitin kamu, aku bakal selalu ada di pihakmu."Maxime berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Apa yang aku katakan pada Riki sama Riko barusan semuanya benar. Kamu itu orang ya