Mungkin terlalu mengantuk, Reina langsung tertidur setelah berbaring.Dia tidak tahu bahwa Maxime masih belum tertidur.Maxime perlahan membuka matanya setelah mendengar suara napas teratur Reina.Cahaya di dalam kamar membuatnya bisa melihat garis-garis wajah Reina. Maxime menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu, tatapannya tertuju pada lehernya.Reina sudah mandi dan berganti pakaian. Dia mengenakan pakaian yang menutupi bagian lehernya.Itu bukan baju tidur ....Maxime awalnya bertanya-tanya, mungkin saja syal itu yang jadi masalah. Sekarang, dia merasa bahwa Reina mengenakan syal untuk menghalangi sesuatu di lehernya.Tangannya terulur, berusaha untuk mencari tahu.Reina tertidur pulas.Gerakan Maxime ringan, cukup lembut untuk menurunkan kerah bajunya. Dia melihat sekilas bahwa ternyata ada kain kasa yang menutupi leher Reina. Dia samar-samar bisa melihat sedikit warna merah terang keluar dari kain kasa tersebut.Reina merasa lehernya gatal, jadi dia bergerak.Maxime segera menari
Detik berikutnya, Reina membuka matanya dan bertemu dengan tatapan Maxime yang penuh perhatian.Dia buru-buru meraih tangan Maxime. "Kenapa belum tidur?""Nggak bisa tidur, jadi nggak tidur lagi," jawab Maxime."Ya, tutup matamu dan tidur lagi. Besok kamu masih harus kerja," kata Reina.Maxime mengangguk, tetapi tidak melepaskan pelukannya.Dia bertanya dengan ragu-ragu, "Sepertinya kamu belum nyenyak sejak kembali dari tempat Sisil. Apa terjadi sesuatu di sana?"Reina membeku, tetapi kembali tenang dengan cepat."Memangnya apa yang bisa terjadi? Aku cuma nggak bisa tidur kalau bukan di kamar sendiri, jadi kurang tidur."Melihat Reina terus berbohong dan tidak mau mengatakannya, Maxime memutuskan untuk tidak melanjutkan masalah ini.Besok dia akan menemui Morgan dan menanyakan langsung kepada Morgan apa yang terjadi.Keesokan harinya.Reina terbangun dari tidurnya dengan perasaan yang jauh lebih baik dan sudah tidak terlalu mengantuk lagi.Mungkin karena dipeluk oleh Maxime, jadi dia t
Maxime menopang dagunya dengan satu tangan dan menatapnya dengan tatapan dingin. "Reina nggak bilang apa-apa, karena itulah aku bawa kamu ke sini. Katakan, apa yang kamu lakukan padanya kemarin malam?"Ekspresi Morgan langsung berubah ketika mendengar ini."Aku tahu kalau Nana bukan orang yang suka menyebarkan berita."Dia menarik napas dalam-dalam. "Apa aku boleh bicara sambil duduk?"Maxime menoleh ke pengawalnya, yang dengan cepat memindahkan kursi untuk Morgan.Morgan duduk dengan pandangan tajam."Tadi malam aku sama Nana melakukan sesuatu yang seharusnya terjadi sejak dulu."Sesuatu yang seharusnya terjadi sejak dulu?Maxime mengerutkan kening. "Terus terang saja, apa yang terjadi sebenarnya."Dia tidak suka dengan pernyataan bodoh itu."Hal-hal yang berhubungan dengan suami istri!" kata Morgan.Detik berikutnya, Maxime bangkit dan menendang tepat di jantungnya."Braak!" Dengan gebrakan keras, Morgan jatuh tersungkur ke lantai. Tangannya menutupi dadanya, napasnya terengah-engah.
Entah sudah berapa lama, Maxime meminta sopir mengemudikan mobilnya ke Grup Yinandar.Jika benar seperti yang dikatakan Morgan, bahwa hal seperti itu menimpa Reina, apa yang harus dia lakukan agar bisa menghiburnya?Tidak lama kemudian, mobil tiba di lantai bawah Grup Yinandar.Maxime keluar dari mobil dan berjalan menuju bagian dalam perusahaan.Orang-orang di Grup Yinandar tentu saja mengenal Maxime. Ketika melihatnya, mereka langsung mengantarnya ke kantor Reina.Kantor presdir.Reina sedang bekerja ketika asistennya mengetuk pintu. "Bu Reina, Pak Maxime datang."Dia mengangkat kepalanya dan melihat ke arah pintu.Maxime mengenakan setelan jas dan memiliki bentuk tubuh yang tegap. Namun, saat ini wajahnya terlihat sedikit lelah."Kenapa kamu ke sini?" Reina agak terkejut, di jam-jam seperti ini, bukankah seharusnya dia berada di tempat kerja?Setelah asisten pergi dan menutup pintu, Maxime berjalan lurus ke arah Reina."Nana." Matanya dalam, ada emosi kompleks yang tersembunyi di da
Maxime keras kepala, membuat Reina sedikit tidak berdaya. "Nggak perlu, sungguh. Kalau kamu di sini, gimana aku bisa kerja?""Bagaimana kalau aku kerja sama kamu?" Maxime menambahkan.Reina tidak tahu harus berkata apa lagi saat Maxime begitu serius, tidak terlihat seperti berbohong."Kalau begitu kamu bisa tetap di sini hari ini." Pada akhirnya, Reina terpaksa harus berkompromi.Maxime menyuruh seseorang untuk membawa dokumen-dokumen yang harus dikerjakan.Asisten Reina sedikit ragu. Bagaimanapun juga, Maxime adalah orang luar.Reina berkata kepadanya, "Nggak apa-apa, suamiku nggak sejahat itu sampai ingin mengambil alih properti keluargaku."Perusahaan Maxime sendiri tidak kalah dengan perusahaannya.Keduanya juga punya empat anak laki-laki. Ketika mereka meninggal kelak, bukankah harta mereka akan menjadi milik anak-anak mereka?Keempat anak itu adalah putra Maxime, jadi dia tidak perlu sampai berbuat seperti itu.Selain itu, Maxime orang yang sangat berprinsip, mana mungkin dia men
"Ayo pulang." Reina berdiri.Maxime meraih tangan Reina. "Aku mau lihat lukamu."Reina membeku.Berpikir bahwa Maxime sudah tahu, dia tidak mengelak dan memperlihatkan luka di lehernya.Karena dibungkus kain kasa, Maxime tidak melihat bagian dalamnya."Aku nggak apa-apa," kata Reina."Ayo ke rumah sakit." Maxime sedikit khawatir dan dia tidak berani membuka kain kasa Reina dengan asal.Reina tidak ingin pergi, tetapi sikap Maxime begitu memaksa, jadi dia tetap mengikutinya ke rumah sakit.Di dalam rumah sakit, dokter membuka kain kasa Reina, memperlihatkan luka sepanjang jari di sana.Lukanya sangat dalam, seharusnya itu bukan luka ringan.Mata Maxime sedikit menyipit. "Dalam sekali lukanya. Kenapa menyembunyikannya dariku?""Ini sudah nggak apa-apa kok," jawab Reina.Jemari Maxime sedikit gemetar saat menyentuh leher Reina. "Jangan menyembunyikan apa pun lagi dariku, ya?"Suaranya sedikit serak.Reina mengangguk lagi. "Ya, aku mengerti."Lagi-lagi dia menjawab dengan ekspresi tidak pe
Maxime menginstruksikan pengawalnya, "Jangan biarkan dia tidur malam ini. Tentu saja, kalian harus bersikap lembut padanya, jangan lupa panggil dokter buat periksa keadaannya. Aku nggak mau dia sampai mati."Maxime mengatakan bahwa dia akan membuat hidup Morgan lebih buruk daripada kematian, dia akan memastikan bahwa Morgan tetap hidup.Kematian akan terlalu murah untuk Morgan. Selain itu, dia kembaran Maxime sendiri, jadi dia tidak akan membiarkan Morgan mati begitu saja....Keesokan harinya, Reina terbangun oleh dering telepon.Dia tidak membuka matanya, mengusap-usap telepon dengan lelah.Maxime mengulurkan tangannya yang panjang dan mengambilnya terlebih dahulu sambil berkata, "Ini ponselku, Ibu telepon.""Oh."Maxime mengangkat telepon dan mendengar suara cemas Joanna di sisi lain telepon, "Max, adikmu hilang. Kenapa aku nggak bisa menemukannya?"Suara ini tidak pelan dan Reina bisa mendengar apa yang dikatakan Joanna. Dia langsung menatap Maxime.Dia tahu ini pasti ulah Maxime.
Mendengar itu, Reina menaruh tangannya di dagunya. "Kamu nggak mau digaji, apa kamu nggak rugi?""Habiskan lebih banyak waktu denganku saja kalau malam," kata Maxime.Perkataan Maxime membuat Reina tersipu malu. "Dasar nggak waras.""Aku cuma minta kamu ngabisin lebih banyak waktu denganku saat malam, sisi mananya yang nggak sopan? Nana, kamu mikir ke mana sih?" tanya Maxime.Wajah Reina makin memerah, mengambil pulpen dan melemparkannya ke arahnya. Namun, Maxime menangkapnya dengan satu tangan. "Kita sudah nikah lama, jadi jangan mikir aneh-aneh.""Kamu itu yang aneh-aneh."Reina tidak berbicara dengannya lagi, menunduk untuk melanjutkan meninjau dokumen.Di dalam perusahaan, sebagian besar pekerjaan Reina adalah meninjau beberapa rencana bisnis bawahannya dan membuat keputusan.Selebihnya, dia memiliki janji dengan klien atau rapat.Dengan adanya Maxime yang membantunya dalam pekerjaannya, dia bisa meluangkan sebagian besar waktunya dan masih bisa berkeliling perusahaan tanpa harus m
Kediaman Keluarga Andara.Reina mengalami mimpi buruk lagi. Ketika terbangun dari mimpi buruknya, dia secara naluriah memeluk Maxime di sampingnya.Namun, tangannya yang terulur tidak meraih apa pun.Reina menyalakan lampu di samping tempat tidur dan menyadari bahwa Maxime tidak ada di sampingnya."Pergi ke toilet?" Reina sedikit bingung dan melihat ke arah toilet, lampu di sana juga tidak menyala.Dia jadi sulit tidur dan sedikit takut karena Maxime tidak ada. Dia langsung bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke luar.Ketika masuk ke aula, tidak ada lampu yang menyala. Rumah dalam keadaan gelap gulita.Maxime juga tidak ada di sini, kemana dia pergi selarut ini?Reina ingat bahwa mereka berdua tidur bersama, apakah ada sesuatu yang terjadi di kantor?Saat dia bertanya-tanya, pintu depan dibuka dari luar. Bersamaan dengan itu, lampu-lampu juga dinyalakan.Maxime mengenakan jas hitam, berdiri di ambang pintu. Saat mendongak, kebetulan dia melihat Reina berdiri di tangga."Kenapa kamu
Maxime tidak tahan saat melihat sikap Joanna yang seperti ini. Dia akhirnya berbicara, "Ya, aku bakal bantu cari. Ibu pulanglah.""Ya, ya." Baru setelah itu Joanna melepaskan tangannya, lalu melangkah masuk ke dalam mobil.Mobil melaju menjauh.Maxime hanya berdiri di sana.Reina berjalan ke sisinya. "Lepaskan Morgan."Dia tahu bahwa Morgan pasti sudah sangat menderita akhir-akhir ini, jadi dia tidak akan berani melakukan apa pun padanya.Dia awalnya mengira Maxime akan setuju, tetapi dia menoleh ke arah Reina. "Melepaskannya? Apa kamu bercanda?"Morgan telah melakukan sesuatu yang lebih buruk dari binatang. Dia sudah sangat berbelas kasihan karena tidak merenggut nyawanya.Reina sedikit bingung saat mendengar itu. "Tapi ibumu ....""Kamu nggak perlu khawatir soal Ibu. Kamu harus tahu, nggak peduli siapa pun yang nyakitin kamu, aku bakal selalu ada di pihakmu."Maxime berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Apa yang aku katakan pada Riki sama Riko barusan semuanya benar. Kamu itu orang ya
"Apa yang dikatakan Papa menyebalkan memang benar." Riki memuji sambil mengusap-usap kepalanya.Riko juga setuju dengan pemikiran Maxime. "Hmm."Dia mengangguk tanda setuju.Maxime duduk. "Sudah, makan yang banyak. Kalian cuma peduli sama rasa suka kalian, tapi kalian saja nggak tahu apakah mereka suka sama kalian atau nggak."Riki menjawab dengan sangat bangga, "Papa, lihatlah wajahku dan Kakak. Apa kami perlu khawatir ada yang nggak suka sama kami?"Reina tertawa lagi.Memang benar bahwa pria sangat egois, tidak peduli apakah mereka anak kecil atau orang dewasa."Sudah, ayo makan. Kalian memang yang paling tampan."Setelah itu, Riko dan Riki menyantap makanan mereka dengan tenang.Mereka duduk mengelilingi meja makan dengan suasana bahagia.Setelah selesai makan, Reina keluar untuk berjalan-jalan dan Maxime mengikutinya lagi.Reina bingung. "Kenapa kamu ngikutin aku terus?"Maxime seperti seorang pengikut akhir-akhir ini, tidak bisa disingkirkan.Riki sedang makan buah, tetapi dia tu
Reina tidak bisa menahan senyumnya saat melihat sikap kedua putranya. "Riki, kamu kangen sama Talitha dan Erina? Kamu bisa telepon Tante Sisca sama Tante Brigitta. Bukannya Mama sudah kasih nomor mereka ke kalian?"Riki memainkan jari tangannya."Ini ... bukannya nggak baik kalau menghubungi ibu mertua terlalu cepat? Lagipula, aku belum nyiapin apa-apa."Reina, "..."Riko. "Jangan bilang kalau kamu suka sama mereka berdua?"Riki menoleh ke arahnya. "Tentu saja, mereka sama-sama lucu."Itu hanya bisa dikatakan oleh seorang anak kecil. Kalau orang dewasa yang mengatakannya, mereka akan dimarahi."Riki, kita hanya boleh suka sama satu orang. Yang namanya hati nggak bisa dibagi jadi dua." Reina menjelaskan.Riki mengangguk dengan berat, lalu menjawab, "Mama, kalian salah paham denganku. Aku suka sama mereka berdua, tapi cuma satu yang mau aku nikahi.""Oh, siapa?" Reina bertanya dengan penasaran.Riki mengerutkan keningnya, lalu mengedipkan matanya yang indah. "Mama, itu rahasia."Reina me
Reina mengikuti Gaby keluar dan mereka berdua sampai di luar mal.Maxime sudah lama menantikan kesempatan ini dan menunggu mereka di luar.Dia melihat Ekki menggigil karena angin dingin dan langsung mencibirnya. "Kamu minggat dari kantor?"Melihat Maxime di sini, Ekki menggigil seperti melihat hantu."Bos, lain kali jangan bicara aneh-aneh. Aku nggak minggat, aku pergi karena terdesak."Pergi karena terdesak?Sudut mulut Maxime terangkat naik. Apa yang ada di dalam pikirannya sampai berpikir bahwa seorang bos suka mendengar alasan seperti ini?Saat ini, Reina dan Gaby sudah sampai di depan mereka berdua."Kenapa kalian bareng begini?" tanya Reina pada Maxime.Maxime berbohong, "Karena sudah pulang kerja, jadi aku jemput ke sini. Kebetulan ketemu sama dia."Ekki tentu saja tidak tahu bahwa Maxime telah mengikuti Reina dan Gaby, jadi dia mengangguk. "Hmm.""Ayo pulang." Maxime menambahkan."Ya."Reina menghampiri Maxime dan melambaikan tangan pada Gaby dan Ekki.Di belakangnya, Gaby menc
Gaby mengucapkan selamat tinggal pada Brigitta hari itu, mengemasi barang-barangnya dan pindah ke Grup Yinandar.Grup Yinandar.Begitu Gaby tiba, Reina meninggalkan Maxime dan pergi berbelanja dengannya.Maxime sedikit khawatir. "Aku ikut kalian."Reina langsung menggelengkan kepalanya."Kita para wanita mau belanja, nggak nyaman kalau ada pria ikut. Gaby juga nggak terbiasa. Kalau kamu ikut, nanti dia jadi obat nyamuk."Maxime menghela napas panjang. "Kalau begitu aku panggil Ekki juga.""Ekki masih harus kerja, ngapain panggil dia? Selain itu, bukannya kamu bilang mau bantu kerjaanku, ingin aku istirahat dan senang-senang?" kata Reina sambil tersenyum.Maxime makin tidak nyaman saat melihat senyum di wajah Reina.Dia pikir Reina hanya berpura-pura menjadi kuat. Namun, memang lebih baik jika dia membuat Reina bergaul dengan Gaby sebentar."Baiklah." Dia mengangguk. "Kalian bersenang-senanglah. Kalau butuh sesuatu, hubungi aku.""Terima kasih." Reina membungkuk dan mencium sisi wajahny
Mendengar itu, Reina menaruh tangannya di dagunya. "Kamu nggak mau digaji, apa kamu nggak rugi?""Habiskan lebih banyak waktu denganku saja kalau malam," kata Maxime.Perkataan Maxime membuat Reina tersipu malu. "Dasar nggak waras.""Aku cuma minta kamu ngabisin lebih banyak waktu denganku saat malam, sisi mananya yang nggak sopan? Nana, kamu mikir ke mana sih?" tanya Maxime.Wajah Reina makin memerah, mengambil pulpen dan melemparkannya ke arahnya. Namun, Maxime menangkapnya dengan satu tangan. "Kita sudah nikah lama, jadi jangan mikir aneh-aneh.""Kamu itu yang aneh-aneh."Reina tidak berbicara dengannya lagi, menunduk untuk melanjutkan meninjau dokumen.Di dalam perusahaan, sebagian besar pekerjaan Reina adalah meninjau beberapa rencana bisnis bawahannya dan membuat keputusan.Selebihnya, dia memiliki janji dengan klien atau rapat.Dengan adanya Maxime yang membantunya dalam pekerjaannya, dia bisa meluangkan sebagian besar waktunya dan masih bisa berkeliling perusahaan tanpa harus m
Maxime menginstruksikan pengawalnya, "Jangan biarkan dia tidur malam ini. Tentu saja, kalian harus bersikap lembut padanya, jangan lupa panggil dokter buat periksa keadaannya. Aku nggak mau dia sampai mati."Maxime mengatakan bahwa dia akan membuat hidup Morgan lebih buruk daripada kematian, dia akan memastikan bahwa Morgan tetap hidup.Kematian akan terlalu murah untuk Morgan. Selain itu, dia kembaran Maxime sendiri, jadi dia tidak akan membiarkan Morgan mati begitu saja....Keesokan harinya, Reina terbangun oleh dering telepon.Dia tidak membuka matanya, mengusap-usap telepon dengan lelah.Maxime mengulurkan tangannya yang panjang dan mengambilnya terlebih dahulu sambil berkata, "Ini ponselku, Ibu telepon.""Oh."Maxime mengangkat telepon dan mendengar suara cemas Joanna di sisi lain telepon, "Max, adikmu hilang. Kenapa aku nggak bisa menemukannya?"Suara ini tidak pelan dan Reina bisa mendengar apa yang dikatakan Joanna. Dia langsung menatap Maxime.Dia tahu ini pasti ulah Maxime.
"Ayo pulang." Reina berdiri.Maxime meraih tangan Reina. "Aku mau lihat lukamu."Reina membeku.Berpikir bahwa Maxime sudah tahu, dia tidak mengelak dan memperlihatkan luka di lehernya.Karena dibungkus kain kasa, Maxime tidak melihat bagian dalamnya."Aku nggak apa-apa," kata Reina."Ayo ke rumah sakit." Maxime sedikit khawatir dan dia tidak berani membuka kain kasa Reina dengan asal.Reina tidak ingin pergi, tetapi sikap Maxime begitu memaksa, jadi dia tetap mengikutinya ke rumah sakit.Di dalam rumah sakit, dokter membuka kain kasa Reina, memperlihatkan luka sepanjang jari di sana.Lukanya sangat dalam, seharusnya itu bukan luka ringan.Mata Maxime sedikit menyipit. "Dalam sekali lukanya. Kenapa menyembunyikannya dariku?""Ini sudah nggak apa-apa kok," jawab Reina.Jemari Maxime sedikit gemetar saat menyentuh leher Reina. "Jangan menyembunyikan apa pun lagi dariku, ya?"Suaranya sedikit serak.Reina mengangguk lagi. "Ya, aku mengerti."Lagi-lagi dia menjawab dengan ekspresi tidak pe