Seketika, semua gunjingan yang didengar Maxime pada jamuan makan hari ini jadi tidak berarti.Dia tidak membangunkan Reina dan membopongnya.Saat itulah Maxime mendapati kening Reina terasa panas."Kamu demam!"Reina terbangun oleh gerakan Maxime, kepalanya terasa pusing, "Kamu sudah pulang.""Aku panggilin dokter ya ...." Maxime hendak menurunkan Reina dan mengambil ponselnya.Reina tiba-tiba memeluknya, "Aku nggak mau ke dokter. Aku minum obat flu dan penurun demam saja."Sudah hampir setengah bulan sejak mereka melakukan seks, Reina belum sempat pergi ke rumah sakit untuk mengetahui kali ini dia hamil atau tidak. Kalau dokter memeriksanya sekarang dan ternyata dia hamil, bisa gawat nanti.Reina mengambil inisiatif untuk bersikap manja.Suasana hati Maxime yang buruk pun sirna seketika."Ayo, nurut."Reina memeluk Maxime erat-erat dan tidak melepaskannya, "Max, aku nggak mau ke dokter. Tolong, aku nggak ingin ke dokter. Aku baik-baik saja."Suara lirih itu membuat Maxime merasa sedik
Entah apakah karena Maxime tidak ingin mengecewakan Reina, dia pun akhirnya membawa Reina pergi.Malam ini, turun hujan sebentar.Sinar bulan purnama menyinari malam.Maxime diajak Reina ke sebuah kolam kecil. Tepatnya, sekarang sudah menjadi taman.Kolam kecil sudah menjadi danau buatan.Untungnya, di larut malam seperti ini tidak ada seorang pun di sini.Reina menyelimuti dirinya dengan jaket tebal dan turun dari mobil.Sekarang memang belum masuk musim hujan, cuacanya belum terlalu dingin tapi Reina sudah memakai pakaian yang tebal.Maxime berjalan di samping Reina dan bertanya, "Di sini?""Ya, sudah banyak berubah," kata Reina.Maxime tidak ingat.Waktu masih kecil, Maxime memang pernah main ke rumah Keluarga Andara beberapa kali, tetapi belum pernah sampai ke halaman belakang. Maxime bahkan tidak tahu ada kolam kecil di sini.Reina berjalan di jembatan kayu dan berhenti di tengah jembatan sambil memandangi bulan purnama di langit, seolah kembali ke masa kecilnya.Dulu, dia dan Max
Reina gagal mendapatkan informasi dari Melisha.Dia tidak bodoh dan langsung bertanya pada Joanna.Reina kembali ke kamar, menyalakan ponselnya dan membaca pesan dari Revin, "Telepon aku ya kalau ada waktu."Reina langsung meneleponnya.Begitu panggilan tersambung, Revin langsung mengangkat dan menyapanya, "Gimana kabarmu?""Aku sudah dapat peta Vila Mata Air, aku berencana membawa Riki kabur.""Kamu atur aja, lalu kasih tahu aku kapan. Aku nggak tenang kalau kamu sendirian," jawab Revin.Reina paham maksud Revin. Pria itu takut kalau Reina hanya sendirian, mereka bisa kembali tertangkap."Iya, nanti aku kabarin kalau sudah waktunya."Reina hanya khawatir akan terjadi konflik antara Revin dan Maxime.Dia takut Maxime mengincar Revin."Oke." Revin terdiam sejenak, lalu menatap seorang pria sekarat yang ada di sampingnya, "Tugas yang waktu itu kamu kasih ke aku sudah beres.""Sekarang Roy sudah sangat paham Marshanda itu orang yang seperti apa. Kamu bisa minta dia datang mengaku ke Maxim
Alasan Marshanda mengatakan hal ini adalah, pertama dia mau lihat Maxime akan cemburu atau tidak. Kedua, memang karena Marshanda berniat untuk mulai mencari pria lain.Ada begitu banyak pria berkuasa dan kaya raya di Kota Simaliki.Dengan statusnya saat ini, bukan hal sulit untuk menikah dengan keluarga kaya.Marshanda tidak bisa hanya berharap pada Maxime sampai mati."Oke." Maxime menjawab acuh tak acuh dan langsung masuk ke dalam mobil.Mobil itu langsung menghilang dari pandangan Marshanda.Marshanda ditinggal sendirian dan hal ini membuatnya sangat kesal.Sahabatnya Jocelyn buru-buru menghampirinya. "Gimana Marsha? Pak Maxime menolak?"Marshanda tampak kecewa dan berbohong, "Dia nggak bilang apa-apa, kayaknya marah deh.""Sepertinya Pak Maxime itu masih suka sama kamu. Kalau bukan karena Reina si tuli itu balik, Pak Maxime pasti menikahimu."Kalimat yang menipu diri sendiri dan orang lain.Kalau Maxime memang berniat menikahi Marshanda, kenapa dia tidak melakukannya saat Reina men
Di Vila Mata Air.Reina dan Riki sedang berjalan bersama berduaan. Sepanjang jalan Reina memperhatikan posisi kamera pengawas dan ternyata sama dengan apa yang digambar Riki.Sesampainya di tempat yang sepi dan tidak ada orang, Reina berlutut di hadapan Riki dan berkata, "Riki, Mama mau kasih tahu sesuatu.""Ya?""Beberapa hari lagi Mama jemput ya? Kita kabur dari sini."Riki mengangguk, "Oke."Reina tersenyum tipis dan membelai kepala putranya."Tapi ini rahasia kita berdua aja ya. Kamu nggak boleh keceplosan ke siapa pun, termasuk bibi dan Om Ekki." Reina mengulurkan jari kelingkingnya untuk minta Riki berjanji.Riki langsung menyambutnya, "Oke, janji kelingking!"Reina sebenarnya merasa khawatir karena anaknya masih kecil. Tetapi kalau dia tidak memberi tahu Riki lebih dulu, takutnya Riki tidak bisa bekerja sama saat waktunya tiba.Riki bisa melihat jelas keraguan Reina, dia pun menatap ibunya dengan tampang polos.Dia berbisik di telinga Reina, "Ma, aku tahu Om Ekki itu culik aku b
Maxime mengernyit, "Bukannya ini yang kamu mau?"Selain hal ini, Maxime sungguh tidak terpikir alasan lain kenapa Reina tiba-tiba pulang ke sisinya.Reina tercengang.Sebelum rasa kaget Reina mereda, Maxime kembali melanjutkan, "Semua sudah berlalu begitu lama, sudah jangan marah lagi. Cepat tanda tangan dan lupakan masa lalu."Setelah mendengar perkataan ini, Reina tiba-tiba merasa Maxime sangat konyol.Sampai dengan hari ini, ternyata Maxime kira Reina marah karena alasan ini?Jadi Maxime pikir selama kekayaan Keluarga Andara kembali ke tangan Reina, dia akan lupa masa lalu begitu saja?Reina meremas dokumen perjanjian di tangannya, berjalan ke mesin penghancur kertas di dekatnya lalu memasukkan perjanjian itu dan menyaksikannya berubah menjadi tumpukan sobekan kertas."Dengar baik-baik. Aku nggak akan melupakan masa lalu dan kamu harus ingat kalau aku nggak mau lagi sama kamu."Sungguh melelahkan, setiap hari Reina harus pura-pura menyukai Maxime padahal dia sudah menyerah.Reina ti
Maxime spontan mematikan rokok di tangannya.Maxime pikir waktu Reina keluar, dia akan menangis atau marah-marah, atau mungkin menampar Maxime seperti yang terjadi sebelumnya.Ternyata tidak, Reina keluar dari kamar mandi dengan sangat tenang."Aku mau keluar jalan-jalan."Suara Reina jadi serak. Dia langsung pergi meninggalkan kantor tanpa peduli apa Maxime setuju atau tidak.Saat Reina pergi dari kantor, dia merasa ada banyak sorot mata aneh menatapnya.Padahal jelas-jelas di kantor hanya ada para karyawan biasa.Reina sudah ada di luar gedung kantor. Saat ini langit sedikit mendung, mungkin akan gerimis lagi.Reina berjalan melamun di tengah gerimis.Reina melangkah tanpa tujuan, dia bahkan tidak sadar ada sebuah mobil hitam yang diam-diam mengikuti di belakang.Penumpang di mobil itu terlihat khawatir."Berhenti.""Baik."Mobil hitam itu pun berhenti.Revin turun dari mobil dan membuka payung.Setelah itu, Revin buru-buru menghampiri Reina.Payung Revin menaungi Reina dari hujan, R
Keduanya berjalan ke restoran terdekat.Reina tidak takut orang-orang yang mengikutinya akan melaporkan hal ini pada Maxime. Dia dan Revin tidak bersalah, jadi tidak ada yang perlu ditakutkan.Sementara di sisi lain, Maxime sudah menerima foto Reina dari para pengawal yang dia utus.Maxime meremas ponselnya dan tidak mampu memadamkan kemarahannya.Pantas saja Reina pergi, ternyata dia mau pergi kencan.Maxime merasa sangat kesal dan tidak mengerti alasan Reina.Tidak lama berselang, Joanna meneleponnya.Joanna menangis kegirangan sembari berkata, "Max, ada kabar dari Angelico. Katanya dia sudah sadar!"Maxime langsung meremas ponselnya."Oke." Maxime menutup telepon.....Di restoran.Makanan yang tersaji semuanya terlihat lezat, tapi dia tidak nafsu makan.Reina juga tidak mengerti apa ini faktor hamil atau karena dibuat kesal oleh Maxime.Karena terus diawasi, Reina tidak leluasa ke rumah sakit atau membeli alat tes kehamilan. Jadi, dia baru akan periksa setelah nanti pulang ke luar
Seketika, penilaian Malik terhadap Adrian langsung berubah."Kamu yakin?"Jika perjanjian itu ditandatangani, di masa depan, keuangan milik Keluarga Sunandar benar-benar tidak terkait dengan Adrian. Kalaupun dia menikahi Hanna, dia tidak akan mendapatkan keuntungan sepeser pun. Jika suatu saat dia bercerai dengan Hanna, dia juga tidak akan mendapatkan harta gono-gini.Adrian mengangguk berat. "Aku yakin, asalkan Om mau menikahkan Hanna denganku, aku akan memenuhi semua syarat yang kalian minta.""Selain itu, kalau Om mau percaya padaku, aku akan berbakti kepada Om dan Tante." Adrian berkata dengan sungguh-sungguh.Malik terdiam.Bukannya tidak bersedia, dia hanya masih ragu.Dia adalah seorang pengusaha, jadi dia tahu bahwa hati manusia itu jahat."Sudahlah, kamu dan Hanna bisa menjalin hubungan. Kalau tahun ini hubungan kalian masih baik-baik saja dan kariermu melesat, aku akan merestui hubungan kalian." Malik menambahkan, "Tentu saja, sebelum kalian menikah, kamu harus tanda tangan p
Hati Hanna langsung cemas saat mendengar bahwa ayahnya menyuruh Adrian datang."Kenapa Ayah minta kamu datang?"Hanna khawatir ayahnya akan mempermalukan Adrian dan mengatakan sesuatu yang buruk.Adrian menggeleng. "Entahlah, katanya ada sesuatu yang ingin dibicarakan denganku.""Baiklah."Hanna berbicara sedikit tidak enak hati, "Kalau nanti Ayah bicara aneh-aneh, kamu jangan marah."Adrian tidak bisa menahan senyumnya."Jangan khawatir, aku nggak akan marah nggak peduli semenyakitkan apa pun perkataannya."Sebagai seorang pria, jika dia memiliki seorang anak perempuan dan akan diambil oleh orang lain, apalagi pria itu orang miskin, dia juga tidak akan menyukainya.Sebagai orang tua, siapa yang tidak ingin anaknya memiliki kehidupan yang baik?"Hmm."Ketika mereka berdua sedang berbicara, Malik dan Ines tiba.Mereka mendorong pintu dan melihat sikap manis keduanya, sedikit canggung.Malik berjalan menghampiri mereka, melewati Adrian dan mendekati putrinya."Kenapa dekat-dekat begitu s
Begitu mendengar Ines memberi izin, Hanna langsung memeluknya dan tersenyum terharu. "Ibu baik sekali, terima kasih."Reina menyaksikan adegan intim antara ibu dan anak perempuannya dari samping, entah kenapa dia merasa sedikit iri.Seandainya saja ibunya masih ada di dunia ini.Ines menepuk-nepuk punggung Hanna dengan lembut. "Sudah, semoga kamu nggak menyesal."Hanna tersenyum, lalu menjawab dengan serius."Ibu, aku nggak bisa menjamin itu. Yang namanya orang nggak bisa ditebak, aku juga nggak bisa jamin kalau dia bakal selalu baik padaku. Aku juga nggak bisa jamin kalau aku nggak akan menyesal."Dia melepaskan pelukan ibunya, lalu melanjutkan, "Tapi, aku bisa jamin kalau sekarang dia memperlakukanku dengan sangat baik, aku juga sangat bahagia sekarang."Mendengar putrinya mengatakan bahwa dia bahagia, apa lagi yang bisa Ines katakan?Setelah menjadi seorang ibu, siapa yang tidak ingin putrinya bahagia?"Ya, bagus kalau begitu. Habiskan makananmu, nanti keburu dingin.""Ya." Hanna me
"Nana, aku nggak tahu harus ngapain lagi. Tolong bujuk Hanna." Ines tahu bahwa Hanna dan Reina sangat dekat.Reina tidak tahu kalau Hanna mengalami kecelakaan mobil.Dia mengangguk. "Aku akan melihatnya. Kalau nggak bisa juga, tolong jangan salahkan aku.""Kamu ini bicara apa. Tante sudah berterima kasih karena kamu mau membantu." Ines menatap Reina masuk ke dalam bangsal.Hanna merasa lapar dan berbaring di tempat tidur dengan mata terpejam, tidak bisa tidur sama sekali.Ketika mendengar seseorang masuk, dia langsung mengerutkan kening dan berseru, "Keluar, aku nggak mau makan.""Hanna, ini aku." Reina membuka mulutnya.Mendengar suara Reina, Hanna segera membuka matanya. Ketika melihat wajah Reina, dia langsung menyingkirkan sikap waspadanya."Kak Nana ...."Reina berjalan cepat ke arahnya. "Apa yang terjadi?"Hanna menceritakan semuanya.Reina mendengarkan dalam diam sebelum berkata, "Meskipun begitu, kamu nggak boleh melewatkan makan."Sejujurnya, Reina hanya pernah melihat trik in
Keheningan yang mematikan menyelimuti ruangan.Adrian mengepalkan tangannya. "Saat itu ada beberapa hal yang masih belum aku selesaikan."Sebenarnya, baru beberapa bulan dia dan Hanna menjalin hubungan bersama, jadi belum lama.Ines mendengus dingin. "Benarkah? Kamu tahu 'kan kalau masa muda seorang wanita itu berharga. Hanna sudah nggak muda lagi, kalau dia tunggu kamu satu tahun lagi, apa yang akan dia lakukan kalau kamu nggak mencapai apa-apa?"Sekali lagi, Adrian tidak tahu harus berkata apa.Dia memahami keprihatinan dan kekhawatiran orang tua terhadap anaknya. Dia juga tahu bahwa semua yang dilakukan Ines adalah demi kebaikan putrinya.Baginya yang seorang yatim piatu dan tidak memiliki apa-apa, rasanya hanya khayalan semacam jika dia ingin bersama dengan putri mereka, Hanna."Sekarang aku nggak punya apa-apa, jadi aku nggak tahu bagaimana akan meyakinkan kalian."Adrian menjawab dengan jujur."Kalau begitu, lepaskan Hanna dan lanjutkan hidupmu," kata Ines.Malik juga berkata, "S
Adrian terdiam sejenak, lalu mendapatkan kembali ketenangannya dan berkata kepada mereka, "Om, Tante, silakan masuk."Kedua orang tua itu awalnya mengira bahwa ketika Adrian melihat mereka, dia tidak akan berani meminta mereka masuk. Namun, tidak disangka Adrian begitu terbuka.Namun, makin terbuka sikap seorang pria, mereka harus makin waspada.Putri mereka saja bukan lawan pria ini.Keduanya masuk ke dalam rumah. Mereka melihat sekeliling dan ternyata rumah ini sangat bersih dan rapi.Dua kamar, satu ruang tamu, satu dapur dan dua kamar mandi.Ines paling memperhatikan kamar tidur.Dia memperhatikan bahwa kedua kamar ditutupi dengan selimut, kamar tidur utama memiliki selimut merah muda dan beberapa mainan kecil yang disukai Hanna.Kamar tidur kedua tampak sederhana, hanya dengan dua selimut, beberapa buku dan sebuah komputer desktop."Kalian nggak tidur bareng?" Ines bertanya tanpa basa-basi.Malik meringis dan terbatuk-batuk beberapa kali.Adrian mengangguk pelan. "Nggak, Tante. Ha
Hanna terbaring di ranjang rumah sakit, membuka matanya dengan lelah, "Ah, sakit."Ines duduk di sampingnya. "Salahmu sendiri karena nggak hati-hati. Kamu bukan anak kecil lagi, apa kamu nggak tahu melompat keluar dari mobil itu bahaya?""Itu karena kalian membawaku dengan paksa," jawab Hanna dengan dingin.Ines menghela napas. "Aku dan ayahmu melakukan ini demi kebaikanmu. Kalau kamu sampai hamil, hidupmu bakal hancur."Hanna sangat lelah mendengarkan alasan klise ini."Ibu itu nggak ngerti."Pertama-tama, Adrian bukanlah pria seperti itu. Lalu, hal paling intim yang pernah mereka lakukan sampai saat ini hanya ciuman."Ya, Ibu nggak ngerti. Garam yang Ibu makan jauh lebih banyak dari nasi yang kamu makan. Kalau kamu nggak percaya apa yang Ibu katakan sekarang, kamu bakal nyesel nanti." Ines mengatakan hal umum yang sering dikatakan orang tua kepada anaknya."Ya, sudah cukup. Aku pusing, aku mau istirahat."Hanna memejamkan matanya.Melihat Hanna bersikap seperti itu, Ines tidak punya
Adrian samar-samar merasakan ada yang tidak beres. Dia meninggalkan pekerjaannya dan pulang ke rumah.Sesampainya di rumah, dia tidak melihat Hanna.Dengan cemas, dia mengambil ponselnya dan menghubungi Reina.Dia mendapatkan nomor Reina dari Hanna.Jika terjadi situasi khusus, di mana Adrian tidak bisa menghubunginya, dia bisa menghubungi Reina. Tidak disangka, situasi khusus ini benar-benar terjadi.Reina sedang bekerja dan tiba-tiba melihat ada panggilan dari nomor asing. Dia ragu-ragu cukup lama, tetapi tetap menjawabnya."Halo? Dengan siapa ini?""Aku Adrian, pacar Hanna. Apa ini dengan Nona Reina?" Adrian mengatakan siapa dia sebelum bertanya pada Reina.Reina sedikit bingung mengapa Adrian meneleponnya."Ya, ini aku, ada apa?" tanya Reina."Hanna nggak ada, jadi aku mau tanya, apa dia ada bersamamu?" tanya Adrian.Reina terkejut saat mendengar ini. Dia nggak di sini. Kenapa dia bisa hilang?""Aku juga nggak tahu. Perusahaan tempatnya bekerja meneleponku, katanya dia nggak masuk
Hanna sebenarnya pergi dari rumah bukan karena semata-mata ingin hidup bersama Adrian.Dia tidak tahan dengan suasana rumah yang menyesakkan.Orang tuanya selalu mendesaknya untuk menikah atau menceritakan betapa hebatnya anak-anak dari keluarga lain, bagaimana mereka memiliki cucu dan seterusnya.Sekarang, setelah pindah, tinggal bersama Adrian dan mulai bekerja dengan pekerjaan yang normal, dia merasa jauh lebih santai.Dia merebahkan diri dan kembali tidur, tidak tahu bahwa orang tuanya tidak bisa tidur.Malik menghentakkan kakinya dengan tidak sabar. "Lihatlah anak perempuanmu itu."Ines memutar bola matanya. "Jangan lupa kalau dia juga putrimu."Malik tersedak."Kita harus apa lagi sekarang? Kita nggak mungkin diam saja saat melihat putri kita dihancurkan sama Adrian," kata Malik.Ines menghela napas, tidak tahu harus berbuat apa."Kamu tahu sendiri kalau Hanna sangat keras kepala dan nggak akan mau mengubah keputusannya." Ines memandang ke luar pada malam yang gelap. "Apa kita ha