Maxime mendongak dan tatapannya yang dingin jatuh pada wajah Riki. "Jangan bersikap nggak tahu diri."Mulut Riki terkatup dan dia langsung murung.Reina merasa tidak tega saat melihat ini. Dia memelototi Maxime, lalu menoleh ke arah Riki, "Riki, boleh saja kalau kamu mau mengundang teman-temanmu ke rumah."Riki kembali senang, tetapi dia masih menatap Maxime, mencoba meminta persetujuan Maxime.Maxime tentu saja tidak berani membantah apa yang dikatakan Reina."Kalau begitu ajak saja.""Ya." Sudut mulut Riki terangkat tinggi....Malamnya, Riki mulai mengundang Alfian dan teman sekelas lainnya ke rumahnya.Karena dia mengirimkannya ke grup teman sekelasnya, Tommy melihatnya juga, ada antisipasi di dalamnya."Ma, apa besok aku boleh pergi ke rumah teman sekelasku?"Melisha sedang makan buah-buahan. Ketika dia mendengar Tommy mengatakan ini, dia pun bertanya, "Apa tugasnya sudah kamu kerjakan?"Tommy menggelengkan kepalanya saat mendengar itu."Sudah begitu kamu masih ingin pergi main?"
Keesokan harinya, akhir pekan.Begitu bangun, Tommy diantar masuk ke dalam mobil oleh Melisha. Tommy akan diantar ke rumah guru lain untuk les.Dia duduk di dalam mobil, masih tertidur.Di tengah perjalanan, dia mendengar dering di jam tangan ponselnya.Tommy membukanya dan melihat bahwa ponselnya penuh dengan pesan dari teman-teman sekelasnya, bahwa mereka telah sampai di rumah Riki.Matanya menatap iri, hatinya ingin sekali pergi ke rumah Riki dan bermain dengan teman-teman sekelasnya.Karena salju turun dengan deras, sopir melajukan mobil dengan pelan.Dia akan tiba di rumah gurunya, tetapi ada kemacetan lalu lintas, jadi dia tidak bisa sampai di sana tepat waktu.Sopir jadi sedikit cemas."Bagaimana ini? Kalau tunggu sampai nggak macet, kita pasti terlambat."Mendengar itu, Tommy memikirkan sesuatu dan berkata, "Aku jalan sendiri saja ke sana.""Hah? Mana bisa begitu. Nyonya bilang saya harus mengantar Den Tommy rumah guru les di sana." Sopir itu menggelengkan kepalanya.Tommy mena
Kediaman Keluarga Sunandar.Hari ini, ada beberapa anak kecil yang terlihat. Sisil cukup menyukai anak-anak dan bermain dengan mereka.Reina menyuruhnya untuk berhati-hati.Bagaimanapun juga, dia sedang hamil dan tidak baik jika sampai menabrak mereka.Untungnya, anak-anak itu sangat patuh dan ramah, jadi mereka semua bermain bersama.Namun, kedamaian dan ketenangan itu segera buyar.Tommy juga datang bersama beberapa anak kecil yang baru saja tiba. Tidak lupa, dia menyapa ke arah kerumunan.Wajah Alfian langsung berubah dingin saat melihatnya. "Kenapa Riki dan Riko juga mengundangnya?"Di sampingnya, teman satu mejanya yang bernama Lily menggelengkan kepala. "Nggak tahu."Tommy juga memperhatikan kedua orang itu dan langsung berjalan ke arah mereka."Alfian! Kamu juga ada di sini?"Setelah mengatakan itu, tatapannya tertuju ke arah Lily. "Kamu Lily?"Lily mengangguk, agak takut padanya.Alfian menarik Lily ke belakangnya. "Mau apa kamu?""Aku datang karena mau main, memangnya mau ngap
Sisil tidak bisa menahan diri lagi dan memukul pantat Tommy.Mata Tommy terbelalak tidak percaya."Kamu ... kamu berani memukul pantatku!""Aku memukulmu, kenapa memangnya? Kamu mau balas memukulku?" Sisil menjulurkan lidahnya ke arah Tommy.Tommy sangat marah, menghampiri Sisil sambil mengangkat tinjunya.Sisil bahkan bisa mengalahkan pria biasa, jadi bagaimana mungkin dia takut pada anak kecil seperti Tommy?Dia mencengkeram pergelangan tangan Tommy dengan satu tangan, lalu dengan tangan lainnya mengangkat bagian belakang kerah bajunya."Kalau aku nggak salah tebak. Riki sama Riko pasti nggak ngundang kamu ke sini. Pulanglah ke rumahmu."Murid-murid yang hadir hampir bertepuk tangan saat melihat Sisil memberi pelajaran pada Tommy.Murid pindahan ini sangat dibenci. Dia sangat sombong dan suka memerintah di sekolah. Sekarang, di rumah orang lain, dia masih saja bersikap sombong.Tubuh Tommy menggantung di udara, lalu dia meronta ketakutan, "Cepat turunkan aku!""Aku nggak akan menurun
Sisil hanya ingin memberi pelajaran pada anak nakal ini, tetapi dia tidak mengira akan dipergoki oleh Melisha, yang menganggapnya akan mencelakai anaknya."Nyonya Melisha, jangan salah paham. Anak Nyonya mengganggu anak yang lain, jadi aku menegurnya. Tapi, dia malah marah-marah, jadi aku ...."Dia berkata sambil menurunkan Tommy.Dia tidak takut pada Melisha, dia hanya khawatir kejadian hari ini akan menimbulkan masalah bagi Reina. Itulah sebabnya dia memberi penjelasan.Sebelum Sisil menyelesaikan penjelasannya, Melisha memotongnya."Apa ini alasanmu melakukan itu pada anakku? Dia masih kecil, apa yang dia tahu? Sebaliknya, kamu sudah dewasa dan sangat keterlaluan melakukan ini sama anak kecil."Sisil tidak tahu harus berkata apa. Bukankah anak nakal sepertinya pantas mendapatkan hukuman seperti ini?"Kalau kamu pikir apa yang aku lakukan keterlaluan, kamu harus mendidik anakmu sendiri," kata Sisil tanpa merendahkan.Melisha awalnya mengira Sisil akan takut, tetapi dia tidak menyangk
Melisha sangat marah saat mendengar perkataan Sisil. Dia menunjuk hidung Sisil dan berkata pada Reina, "Kamu lihat itu? Dia sesombong ini, mana mungkin aku melepaskannya begitu saja?"Awalnya Melisha tidak menyukai Reina dan hanya ingin memojokkan Reina.Sekarang, Sisil bahkan berani melakukan sesuatu kepada putranya, bagaimana mungkin dia melepaskannya begitu saja?Reina ingin mengatakan sesuatu yang lain, tetapi Sisil menghentikannya."Bos, biar aku saja. Aku nggak apa-apa, nggak masalah kalau aku dipenjara beberapa hari."Reina juga tahu bahwa tidak peduli seberapa banyak dia memohon, Melisha tidak akan melepaskan Sisil. Sebaliknya, dia akan menjadi lebih puas.Sisil akhirnya dibawa ke kantor polisi.Ketika Melisha akan pergi, dia berkata kepada Reina, "Nana, jangan menganggapku kejam. Kita sama-sama seorang ibu, jadi ibu mana yang nggak peduli sama anaknya? Kalau anakmu diganggu seperti itu, kamu pasti juga akan melakukan hal yang sama denganku."Reina terdiam dan tidak menjawab.K
Reina mengetahui berita ini dari Mandy.Sekarang, dia tidak bisa membebaskan Sisil."Om Mandy, tolong bantu kami menyelidiki masallah ini. Sisil benar-benar nggak menyakiti Tommy."Pengacara yang bernama Mandy mengiakan, "Nana, jangan khawatir, aku akan menyelidikinya dengan benar.""Ya."Reina menganggukkan kepalanya, tetapi masih gelisah.Dia tahu dengan jelas orang seperti apa Melisha itu. Sekarang, dia dengan mudah mendapatkan kesempatan, bagaimana mungkin dia melepaskan Sisil begitu saja?Reina pergi menemui Sisil.Sisil tidak terlihat panik. "Bos, jangan khawatir, aku akan baik-baik saja. Bukankah aku di sini hanya dua hari? Aku nggak takut, kok."Reina tidak berani mengatakan bahwa hukumannya bukan cuma dua hari.Menurut laporan cedera yang diberikan oleh Melisha, Sisil harus mendekam di penjara setidaknya selama setengah tahun."Hmm, aku pasti akan mengeluarkanmu," kata Reina.Sisil mengangguk mengerti. Seakan teringat sesuatu, dia menambahkan, "Bos, jangan kasih tahu Deron, ya
"Masalah duniawi memang nggak bisa ditebak," kata Reina.Maxime mengusap tangannya dan mengangguk setuju."Bagaimana dengan anak?" Reina bertanya lagi."Dia membawanya ke Kota Simaliki. Sekarang, anak itu diasuh sama Nenek dan Kakeknya," jawab Maxime.Mendengar itu, Reina tidak tahu harus berkata apa.Githa benar-benar sangat mencintai Yansen. Demi Yansen, dia mempertaruhkan nyawanya sendiri agar bisa mempertahankan anaknya.Namun, kini anak itu lahir tanpa serang ibu dan terpaksa harus diasuh oleh kakek dan neneknya.Seandainya Githa bisa mengetahui semua ini, apakah dia akan memilih jalan itu?"Max, apa menurutmu Yansen akan menikah lagi?" Reina tiba-tiba bertanya.Reina sudah melihat terlalu banyak orang yang realistis dan tidak berperasaan di dunia ini.Maxime terdiam dan tidak menjawabnya."Nana, aku nggak bisa jawab pertanyaanmu ini. Hati manusia sulit ditebak," kata Maxime dengan jujur."Jadi bagaimana kalau itu aku?" Reina tidak tahu apa yang salah dengan dirinya, dia tiba-tiba
Gaby tidak menyadari bahwa dia yang memberikan pekerjaannya kepada Maxime, tetapi suaminya yang menerima akibatnya."Gaby, maaf, hari ini aku harus lembut, jadi nggak bisa jemput kamu. Kamu pulang sendiri dan tunggu aku di rumah ya?"Ekki berkata dengan rendah hati di dalam telepon.Gaby mengerutkan kening. "Kenapa kamu lembur lagi? Akhir-akhir ini kamu lembur setiap hari, apa perusahaan sesibuk itu?""Ya, perusahaan memang lagi sibuk sekarang. Bos ke perusahaanmu setiap hari, jangan banyak yang harus aku kerjakan."Ekki juga tidak berdaya.Hati Gaby langsung terasa dingin."Bagaimana lagi, mereka ingin menghabiskan waktu berdua terus.""Bersabarlah, semua ini akan segera berlalu."Gaby menutup telepon dengan berat hati.Reina menatapnya. "Ada apa, Ekki nggak bisa jemput lagi?"Gaby menganggukkan kepalanya. "Aku nggak tahu apa yang terjadi dengannya akhir-akhir ini. Dia selalu lembur setiap hari dan pulang pun selalu terlambat.""Baiklah." Reina bertanya padanya, "Kenapa nggak balik ba
"Aku bukan anak kecil lagi, jangan memperlakukanku seperti anak kecil dan menyentuh kepalaku." Reina agak marah.Maxime tidak menganggap serius perkataannya. Dia mengangkat tangannya lagi, mengusap pipinya."Ya, aku mengerti, jangan marah."Reina menatap wajah tampannya. Seketika, dia tidak bisa marah lagi.Tiba di Grup Yinandar.Reina melangkah keluar dari mobil.Maxime juga mengikutinya seperti biasa.Reina tidak merasa aneh. "Hari ini kamu juga mau ikut aku kerja di Grup Yinandar?""Ya." Maxime mengangguk dan menambahkan, "Bukannya setiap hari juga begini?"Reina langsung terdiam.Sejak kembali dari pernikahan Sisil, entah apa yang terjadi dengan Maxime. Dia selalu menempel kepadanya setiap hari, tidak mau pergi."Apa nggak apa-apa kalau kamu nggak pergi ke perusahaanmu?" tanya Reina."Aku bisa kerja secara Online," jawab Maxime.Reina tersedak lagi karena jawabannya.Keduanya berjalan masuk ke dalam perusahaan, bahkan para staf di dalam perusahaan sudah terbiasa dengan hal itu.Mel
Mulut Aarav berkedut ketika mendengar kata-kata Reina."Apa katamu?"Reina berpura-pura bingung. "Bukannya Om beli tanah ini buat memperluas makam keluarga? Karena tanah itu nggak jadi diakuisisi, kenapa nggak dijadikan makam keluarga saja?"Aarav marah bukan main ketika mendengar Reina mengatakan ini.Namun, dia menahan amarahnya dan tidak menunjukkannya."Itu ide yang bagus, tapi aku sudah menghabiskan begitu banyak uang, jadi aku nggak punya dana buat melakukan renovasi.""Begini saja, Om serahkan saja masalah ini padaku," kata Maxime.Mendengar itu, Aarav menatapnya dengan wajah penuh keterkejutan. Bukankah suami istri ini sedikit tidak tahu malu?Dia sudah dikerjai habis-habisan, sekarang mereka ingin menambahkan luka di dalam hatinya?Reina dan Maxime berlagak seakan mereka tidak sadar dengan ekspresi Aarav.Reina melanjutkan, "Om, kita ini keluarga, jadi masalah biaya renovasi biar Max yang tanggung. Toh ini buat leluhur kita. Jadi, lebih baik berikan saja tanahnya sama Max, bia
Aarav mencengkeram lengan asistennya, matanya menatap tajam ke arahnya.Asisten itu berkeringat dan gemetar saat menjelaskan, "Memang nggak ada nama tanah ini di dalam dokumen itu."Aarav masih tidak bisa mempercayainya. Dia langsung lemas dan hampir jatuh ke tanah."Kenapa bisa begini? Jelas-jelas aku sudah cari tahu dulu.""Bos, sepetinya mereka mengubahnya secara tiba-tiba," kata asistennya itu.Aarav mengepalkan tinjunya. "Mana mungkin! Mana mungkin ...."Tatapannya tiba-tiba tertuju pada Daniel dan yang lainnya, lalu terhenti di wajah Maxime."Kamu! Pasti kamu! Pasti kamu yang menjebakku!"Dia tidak perlu berpikir dengan susah payah. Dia sudah merencanakan semuanya, tetapi tiba-tiba ada perubahan. Pasti ada seseorang yang melakukan sesuatu.Aarav teringat apa yang Maxime janjikan kepadanya, kemudian menjual tanah itu kepadanya. Dari semua proses itu, apa lagi yang tidak dia mengerti?Alis Maxime sedikit terangkat."Om ini bicara apa? Kenapa aku nggak ngerti?"Melihat wajah polosny
"Kamu baru tahu beberapa hari yang lalu, tapi bangunan sudah setinggi ini?" Daniel bukan orang bodoh.Satu-satunya alasan dia mempercayai Aarav lagi dan lagi adalah karena dia adalah kakaknya sendiri.Aarav masih bersikeras. "Daniel, aku ini kakakmu, mana mungkin aku bohong sama kamu?"Daniel tidak tahu harus berkata apa lagi saat dituduh seperti ini.Reina yang berada di sampingnya bahkan tidak bisa tahan lagi menyaksikan situasi ini.Aarav juga sudah keterlaluan.Dia baru akan berbicara, tetapi Maxime menghentikannya. Matanya memberi isyarat agar dia menunggu.Melihat ketiganya berhenti berbicara, Aarav tahu bahwa tindakannya ini tidak baik.Dia tidak ingin menyinggung perasaan adiknya yang sudah membantunya mendapatkan uang."Daniel, apa kamu nggak senang kalau aku dapat banyak uang? Kita ini keluarga."Daniel bahkan tidak tahu harus berkata apa, menoleh kepada Aarav. "Kak, kamu begini benar-benar menyakitiku."Maxime angkat bicara pada saat itu."Om, karena kita keluarga, ketika Om
Setengah bulan kemudian.Maxime melirik jam dan tahu sudah waktunya, jadi dia menelepon untuk bertanya pada Daniel."Ayah, kebetulan hari ini kita ada waktu luang, apa Ayah mau pergi melihat perluasan makam keluarga?"Mendengar hal ini, Daniel langsung setuju. "Ya."Maxime menutup telepon dan menatap Reina."Mau pergi lihat hal menarik?"Reina menatapnya. Akhir-akhir ini, Maxime sering datang ke perusahaannya. "Hal menarik apa?""Tentang Aarav," kata Maxime."Ya." Wajah Reina menjadi cerah. Memang benar bahwa setiap hari hanya kerja dan kerja sangat membosankan.Dia mengikuti Maxime masuk mobil, lalu pergi ke lokasi makam leluhur.Saat tiba di sana, dia melihat tanah kosong di sebelah makam leluhur itu sekarang menjadi gedung bertingkat dan masih sedang dibangun.Reina sudah mengetahuinya sejak lama, jadi dia tidak merasa terkejut. Namun, Daniel yang baru sampai dan berdiri di depan gedung bertingkat terlihat sangat terkejut."Apa yang terjadi di sini?" Daniel mengambil ponselnya dan m
Daniel dapat melihat bahwa mereka saling memandang dengan cara yang berbeda, jadi dia mengatakan, "Kalian nggak paham orang seperti apa Kakak itu. Dia itu orang baik."Joanna sangat ingin mengatakan bahwa dialah yang tidak mengenal kakaknya dengan baik.Semua orang yang duduk di depan meja makan, termasuk Riki dan Riko saja bisa tahu bahwa Aarav bukanlah orang yang baik.Riki dengan ramah berkata kepada Daniel, "Kakek, jangan terlalu percaya sama orang lain.""Riki, nggak usah bujuk kakekmu. Kalau dia sudah bertekad melakukan sesuatu, dia nggak akan mengubahnya."Riki mengiakan, lalu menggelengkan kepalanya sambil berkata dengan tenang, "Sayang sekali, aku pikir semua orang dewasa lebih pintar."Daniel, "Riki, kamu nggak sopan kalau bilang begitu sama Kakek."Riki menatap kakeknya lagi."Aku mengerti. Kakek sangat pintar."Semua orang hampir tertawa terbahak-bahak untuk sekali lagi.Wajah Daniel memerah dan dia berhenti berbicara.Melihat reaksi Daniel, mereka mulai fokus makan dan tid
Mendengar perkataan mereka, Aarav marah bukan main.Dia dengan susah payah mendapatkan informasi bahwa pemerintah akan mengambil alih tanah itu. Setelah itu terjadi, harganya tidak akan terhitung.Jika dia menyerahkannya begitu saja, bukankah ini akan menguntungkan Maxime?Dia tidak boleh melakukannya."Joanna, Max, begini saja, aku benar-benar ingin berbakti kepada nenek moyangku. Aku bisa menambahkan sejumlah uang dari harga aslinya, bagaimana?"Maxime menatapnya. "Mana boleh. Om itu keluargaku, mana mungkin aku ngambil uang dari Om?""Ngapain bilang begitu. Lebih baik perjelas saja semuanya. Begini saja, bagaimana kalau aku tambah dua puluh miliar?" kata Aarav.Maxime menatapnya dan tidak mengatakan apa-apa.Sudut mulut Aarav sedikit tertarik, dia segera mengubah kata-katanya, "Aku cuma bercanda, seratus miliar?"Seratus miliar?"Maxime mendapatkan ini hanya dengan menelepon dan bicara singkat.Dia mengetuk-ngetukkan jari-jarinya dengan pelan ke meja.Aarav sedikit terganggu, ingin
"Nggak usah terburu-buru mau memperluas makam keluarga. Kita harus minta orang buat periksa tempat itu, biar lebih aman," kata Aarav.Maxime melanjutkan perkataannya, "Dari apa yang Om katakan, Om kenal sama orang ahli?"Aarav mengangguk. "Ya, aku kenal satu orang. Dia yang mengurus pemakaman Ayah dulu."Dia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Max, kalau kamu percaya padaku, bagaimana kalau kamu serahkan semua ini padaku?"Maxime menunjukkan ekspresi kesulitan.Dia sangat mengenal om-nya satu ini.Joanna juga merasakan sesuatu yang tidak biasa ketika melihat putranya tiba-tiba berbicara baik-baik dengan Aarav.Dia menyela, "Kak, anakku beli tanah itu dengan harga mahal, tapi kamu bilang ingin mengurusnya. Rasanya kurang etis."Aarav meringis."Joanna benar. Begini saja, aku akan kasih setengah dari harga itu, Max kasih surat-surat tanahnya kepadaku. Aku akan atur pekerja buat ngurus konstruksinya. Masalah biaya pembangunan serahkan padaku."Maxime mendengus dingin dalam hati.Dia ingi