"Kalau putrimu bukan wanita yang seperti itu, tolong kembalikan padaku semua biaya yang Diego bayar saat mereka berkencan. Harusnya bagi kalian, puluhan miliar itu uang kecil, 'kan?" ucap Nyonya Liz.Puluhan miliar!Ibu Hanna membelalak tidak percaya.Meski baginya puluhan miliar memang bukan apa-apa ....Tapi tetap saja dia tidak rela mengeluarkan puluhan miliar untuk hal yang tidak jelas."Bibi Sari, panggil Hanna."Ibu Hanna menyuruh pelayan di sampingnya."Oke."Bibi Sari langsung naik ke lantai atas, mengeluarkan Hanna dari kamar dan menceritakan bahwa terjadi sesuatu di bawah.Saat Nyonya Liz mendengar bahwa Hanna akan datang, dia malah takut berhadapan dengan Hanna, sehingga dia merasa tidak nyaman.Ketika Hanna turun, dia melihat ke arah Nyonya Liz dan berpikir ibunya sedang mencari mak comblang untuknya lagi, "Ibu nyariin aku mak comblang lagi?""Mak comblang apa? Dia datang buat minta uang!""Minta uang?" Hanna terlihat bingung, "Uang apa?""Nona Hanna lupa ya? Aku nenek Dieg
Ibu Hanna membawa selembar cek dan menandatanganinya.Hanna panik, "Ibu nggak usah ngasih dia sebanyak itu, kalau mau juga kasih satu miliar aja, anggap saja kita sedekah. Mereka itu memeras kita.""Diam!" Ibu Hanna menatap putrinya dengan dingin, "Masih belum cukup kamu bikin malu?"Ibu Hanna tahu Nyonya Liz ini bukan orang baik dan orang yang sulit dihadapi.Jadi Ibu Hanna lebih baik mengeluarkan uang sebanyak itu supaya bisa mengusir Nyonya Liz, dia tidak mau mengambil risiko reputasi Hanna di luar sana hancur.Hanna tidak punya pacar. Kalau Nyonya Liz merusak reputasi Hanna, Hanna makin sulit menemukan pasangan hidup.Nyonya Liz tidak menyangka dia bisa mendapat balik 80 miliar semudah itu. Nyonya Liz mengulurkan tangan untuk mengambil selembar cek itu, tapi ibu Hanna langsung menarik balik lembar cek itu."Kamu tanda tangan kwitansi ya, buat bukti kalau uang ini sudah kamu kembalikan. Jangan datang ke sini lagi buat minta uang sama kami."Nyonya Liz berkata tanpa malu-malu, "Ya, o
"Mmm ... Hanna." Sisil memanggilnya pelan.Hanna mengangguk berulang kali.Reina menatap dua temannya itu dan spontan tersenyum, "Oke, ayo masuk.""Oke."Mereka bertiga masuk ke dalam bersama-sama.Manajer klub langsung menyambut mereka karena dia mengenal Reina dan Sisil, teman baik istri bosnya.Karena manajer begitu menjaga Reina, para staf pun menoleh ke arah mereka dan mengenali salah satu dari kawanan Reina, Hanna.Salah satu staf menyenggol lengan rekan di sebelahnya dan mengejek, "Adrian, sudah jangan lihat dia terus. Mau kamu pelototi juga dia bukan milikmu. Sadar diri lah, kamu siapa, dia siapa?"Saat Adrian mendengar ucapan temannya, dia hanya bisa menunduk dan tidak berkata apa-apa.Rekan lainnya datang."Adrian, kemarin kan kamu sudah jadi pria sejati yang menyelamatkan si cantik. Perempuan yang kemarin kamu selamatkan itu dari Keluarga Sunandar, 'kan? Dia belum membalas kebaikanmu, 'kan? Keluarga Sunandar punya bisnis keluarga yang besar. Minta uang jajan aja sama mereka,
Hanna menatap Adrian. Sepertinya mereka pernah bertemu? Tapi di mana? Hanna tidak bisa mengingat Adrian.Hanna menyahut kesal, "Kamu meremehkanku? Hah?"Adrian tertegun sejenak, lalu menggeleng."Nggak, aku cuma mengingatkanmu aja."Adrian menjawab dengan sopan.Hanna menatap wajah tampan Adrian dengan kesal dan berkata, "Hei adik kecil, kamu meremehkanku ya? Kukasih tahu, aku itu nggak akan mabuk meski minum seribu cangkir juga."Adrian hanya menatap Hanna sesaat, lalu balik badan dan pergi tanpa mengucapkan apa-apa.Perilaku Adrian membuat Hanna semakin merasa terhina.Hanna langsung berdiri dan sebelum Reina dan Sisil sempat bereaksi, dia menyusul Adrian dan menghadangnya."Siapa namamu?"Adrian jelas tidak menyangka Hanna akan menanyakan namanya, jadi dia langsung menjawab, "Adrian.""Adrian?"Sejujurnya, nama ini sangat pasaran, mungkin banyak orang punya nama yang sama.Hanna berpikir lama sebelum berkata, "Adrian, hari ini kamu nggak perlu bekerja. Aku pesan kamu seharian ini, a
Hanna kembali ke tempat duduknya, berpura-pura tidak peduli dan berkata, "Sudahlah, dia bukan pelayan yang baik. Kita aja yang minum."Beberapa pelayan tampan lainnya mendatangi Hanna dan bertanya."Nona Hanna, kalau Adrian nggak mau menemani kalian minum, kami saja yang temani. Gimana?"Hanna hanya melirik dan langsung mengibaskan tangannya, "Nggak usah deh, aku nggak mau minum sendirian aja. Sana pergi."Para pelayan itu pun pergi dengan sungkan.Mereka tidak mengerti, apa bedanya mereka dan Adrian? Kenapa Hanna cuma mau ditemani Adrian dan menolak mereka?Mereka kembali ke ruang para pelayan di belakang dan saat melihat Adrian sedang mencuci gelas bir, mereka menyindirnya."Cih, dasar sok suci. Dari luar sih kelihatan kayak pria baik-baik, tapi ternyata dari awal sudah mengincar wanita kaya itu, 'kan?""Aku nggak nyangka ada pria yang begitu licik. Kamu sengaja ya membuat Nona Hanna memperhatikanmu?""Sudah kubilang trik rendahanmu ini mungkin berhasil buat sementara, tapi kalau Non
"Kamu ... kamu ngapain?" Adrian tergagap.Sepertinya Hanna baru sadar bahwa perbuatannya salah, jadi dia langsung melepaskan tangannya."Hmm ... aku nggak bermaksud melecehkanmu, jangan ambil hati ya." Hanna menjelaskan.Karena menunduk, Hanna tidak sadar kalau mata Adrian yang menatapnya memanas."Nona Hanna, kamu benar-benar nggak mengingatku?" Adrian tiba-tiba bertanya."Hah?" Hanna mengernyit bingung, "Kita sudah saling kenal sebelum ini?"Melihat ekspresi bingung di wajah Hanna, Adrian tahu bahwa Hanna pasti sudah melupakannya atau tidak mengingatnya."Nggak, mungkin aku salah ingat. Kalau nggak ada urusan lain, aku balik dulu."Adrian meninggalkan Hanna dan buru-buru berjalan ke halte.Hanna menatap punggung Adrian dari kejauhan, tapi tidak dapat mengingat di mana dia pernah melihatnya sebelumnya.Hanna menghela napas, "Hahh sudahlah, mendingan nggak cari gara-gara sama lelaki."Hanna trauma dengan kaum pria setelah beberapa kejadian kemarin.Hanna hampir ditipu beberapa kali dan
Reina merasa jika dia berhasil mengubah Diego, dia baru bisa menerima kebaikan Anthony tanpa rasa bersalah.Kalau Diego benar-benar tidak bisa berubah, maka Reina hanya akan membantu Diego untuk terakhir kalinya.Setelah selesai mengurus semuanya, Reina memejamkan mata dan hendak istirahat. Namun tiba-tiba ponselnya berdering, Maxime melakukan panggilan video.Reina mengangkat telepon itu dan terlihatlah wajah tampan Maxime di layar ponselnya.Reina mengernyit bingung, "Ada apa?"Sebelum Maxime menjawab, sebuah wajah kecil tiba-tiba muncul di layar ponsel Reina."Mama, rumah Mama pindah di rumah sakit ya?""Hah? Ya nggak lah. Mama 'kan di rumah sakit nemenin Nenek Liane. Nanti kalau nenek sudah sembuh, Mama juga pulang."Riki bukan anak tiga tahun, tentu dia tahu Reina berbohong."Mama, gimana kalau Mama bawa pulang nenek?" ucap Riki.Reina merasa tertekan.Sebenarnya, belakangan ini Liane juga sudah merengek ingin pulang.Kondisi Liane terlalu parah, tidak bisa disembuhkan. Daripada m
Liane tersenyum penuh arti saat melihat ruangan itu penuh dengan orang datang menanti kedatangannya."Terima kasih."Kelopak mata Liane terasa berat, dia hanya punya sedikit tenaga untuk mengobrol dengan orang-orang ini.Semua orang paham situasi Liane. Reina menyuruh suster mengantar Liane ke kamar untuk beristirahat.Riki ikut masuk ke kamar untuk menghibur Liane.Liane sedang berbaring di kasur, dia bahagia menatap Riki yang energik.Dia memanggil Reina dan berkata dengan lemah, "Meski hanya sebentar, Ibu merasa hidupku sangat bahagia."Reina menggenggam tangan Liane dan menyelimutinya."Ibu harus cepat sembuh supaya bisa main bareng sama keempat cucu ibu.""Oke."Liane kehilangan energinya, dia menutup matanya dan tertidur.Reina menatap wajah Liane yang sedang tidur cukup lama. Setelah itu dia menoleh menatap Riki dan berkata, "Riki, ayo keluar biar nenek bisa tidur nyenyak.""Oke."Riki mengangguk berulang kali dan mengikuti Reina keluar sambil berjinjit.Di lantai bawah, semua o
Maxime bahkan terlalu malas untuk menatap Daniel."Aku nggak bisa bantu." Kemudian, Maxime menatap Aarav, "Paman, dalam bisnis, Paman sebagai bos harusnya tahu nggak bisa mengabaikan kepentingan perusahaan demi keegoisan pribadi."Aarav jadi terlihat malu. Dia menyesap anggurnya, berdeham dan mengangguk, "Max benar. Daniel, sudah jangan nyusahin Max. Meski kita satu keluarga, tapi tetap aja di antara saudara harus ada hitungan yang jelas."Daniel tidak menyangka Maxime akan terang-terangan membantahnya.Daniel mengernyit dan sebagai kepala keluarga, dia berkata pada Maxime lagi."Max, kita ini satu keluarga besar. Kamu nggak bisa diam saja melihat bisnis pamanmu semakin terpuruk."Maxime tahu ayahnya adalah pria yang baik.Namun, Maxime langsung menyahut, "Ayah, bukannya aku nggak mandang saudara. Gini aja, aku punya manajer yang sangat hebat dan berbakat, aku taruh dia di perusahaan paman buat bantu dia di sana, gimana?"Jawaban ini membuat semua orang tercengang.Terutama Aarav sekel
Tommy langsung tersenyum berseri-seri, menatap pelayan dengan sinis, lalu berkata pada Daniel sambil tersenyum, "Terima kasih, Kakek.""Sama-sama."Daniel menatapnya penuh dengan kasih sayang sampai tidak sadar kalau Maxime sekeluarga sudah datang.Maxime tidak menyangka Aarav sekeluarga akan datang.Riki dan Riko kebetulan mendengar percakapan Daniel dan Tommy tadi. Ternyata kakeknya bisa memberikan hadiah yang sengaja disiapkan untuk mereka pada orang lain begitu mudahnya.Sejak kembali ke Keluarga Sunandar, Joanna sangat menyayangi Riki dan Riko. Riki pun membela neneknya yang sudah bercerai, berpura-pura menjadi anak pada umumnya dan berlari ke depan Tommy."Balikin! Ini punyaku!"Riki merebut mainan itu dari tangan Tommy.Tommy langsung tercengang.Daniel buru-buru menasihati, "Riki, nanti Kakek beliin mainan lain. Mainan ini kamu kasih Tommy dulu ya."Riki tidak menyerah begitu saja. Dia langsung cemberut dan menyahut, "Kakek, bukannya tadi Kakek bilang Kakek sengaja beliin maina
Daniel tentu langsung setuju."Oke, kita sekeluarga memang harus menjaga hubungan dan harus harmonis.""Harusnya memang gitu. Kali ini aku mau ngomong baik-baik sama Max dan minta maaf sama dia." Aarav berkata dengan sangat tulus."Kita semua 'kan satu keluarga. Kamu itu paman Max, lagian semua itu sudah masa lalu."Daniel adalah orangtua yang baik, dia hanya memikirkan keharmonisan keluarganya dan tidak menganggap kakaknya sudah keterlaluan."Kuharap Max juga berpikir begitu."Aarav menghela napas dan tampak sedih.Daniel menyadarinya dan bertanya, "Kak, apa terjadi sesuatu? Kok kamu kelihatan gelisah?""Nggak apa-apa sih, cuma perusahaanku belakangan ini mengalami masalah. Tapi jangan khawatir, meski aku makin tua, aku masih bisa bertahan." Aarav berpura-pura baik-baik saja.Daniel pun bertanya, "Apa yang terjadi? Kamu bisa cerita sama aku, kita bisa duduk dan diskusi bareng."Aarav kemudian memberi tahu Daniel tentang kondisi perusahaan yang buruk belakangan ini dan menuduh ini semu
Daniel mematung di tempat waktu Liam lepas dari pelukannya."Leo, Liam, ini Kakek."Daniel menatap Leo dan hendak menggendongnya, tapi Leo langsung menghindar dan berlari.Joanna langsung mencibir saat melihat kejadian ini, "Kamu ketemu mereka aja bisa dihitung jari, sekarang tiba-tiba main peluk. Kamu meremehkan mereka ya? Di mata mereka, kamu itu orang asing."Daniel berjongkok dan tidak bisa menyangkal ucapan Joanna.Daniel pun mengepalkan kedua tangannya, "Aku itu pria, mana mungkin bisa ngurus dua anak?""Oh, jadi kamu pikir itu kewajiban wanita?"Joanna sangat marah, dia terus mencibir, "Kalau kamu nggak mau ngurus anak? Kalau gitu kamu pernah tanggung jawab sebagai ayah nggak? Coba lihat Max, Morgan, siapa dari mereka yang nggak aku besarkan? Terus Grup Sunandar, kalau dulu bukan aku yang putar otak menjalankan perusahaan, perusahaan keluargamu itu sudah bangkrut!"Melihat Joanna akan berdebat dengannya, Daniel langsung mengganti topik pembicaraan."Oke, sudah cukup."Dia menghe
Meski Joanna tidak harus mengelola perusahaan, dia harus mengurus semua urusan internal Keluarga Sunandar.Selain itu, dia juga perlu menjalin hubungan baik dengan para nyonya dari perusahaan besar lain supaya usaha suaminya lancar.Dan untuk keperluan itu, ada kalanya Joanna harus menyuap beberapa orang demi bisa menyenangkan para nyonya kaya itu.Jadi, pelayan itu pun membela Joanna dan berkata, "Tuan, yang kamu lakukan sekarang itu yang dulu dilakukan Nyonya."Daniel yang duduk terkulai di sofa langsung membuka matanya saat mendengar ucapan ini.Pelayan itu ketakutan dengan tatapan Daniel dan mundur selangkah, tapi tidak minta maaf.Daniel tidak pandai dalam hal lain, tapi dia adalah pria baik hati dan tidak mudah marah."Ini sudah tugasnya sebagai menantu Keluarga Sunandar.""Tapi sekarang 'kan Nyonya sudah bercerai," tambah pelayan itu.Daniel benar-benar terdiam.Dia mengubah topik pembicaraan, "Sebentar lagi tahun baru. Sudah waktunya bersiap buat perkumpulan tahunan keluarga. K
Saat Sophia mendengar ucapan Diego, dia menjawab perlahan, "Semua karena terpaksa, aku putri tunggal, kalau bukan aku, siapa yang ngurus?"Kalau bisa, Sophia juga ingin jadi anak yang tidak bertanggung jawab dan tidak berbakti yang tidak peduli dengan hidup mati orangtuanya.Jika menjadi anak yang tidak berbakti, setidaknya dia tidak perlu terlalu lelah.Tapi, hal ini bertentangan dengan kata hatinya. Sophia merasa alasan dia bisa bertahan dalam cobaan yang begitu berat ini adalah karena dia sayang pada orangtuanya.Jika orangtuanya benar-benar meninggalkan dunia ini, dia tidak punya alasan untuk terus hidup."Ya." Diego mengangguk.Sophia hendak masuk ke rumah saat dia sadar, dari tadi Diego menggandengnya.Sophia menarik diri dengan malu-malu, lalu bertanya pada Diego dengan penuh arti, "Diego, kok tiba-tiba kamu ngasih aku sesuatu? Kamu ... nggak jatuh cinta sama aku, 'kan?"Wajah Diego langsung terasa panas seperti terbakar.Dia langsung menjawab dengan gugup, "Kamu bercanda? Mana
Diego terdiam.Melihat ekspresi Diego, Sophia pun menghela napas, "Sekarang kamu menyesal, 'kan? Mulai sekarang, kamu harus memperlakukan kakakmu itu sebaik mungkin.""Ya." Diego mengangguk sungguh-sungguh, "Dulu aku terlalu hidup enak. Sekarang aku sudah ngerti dan nggak akan menyakiti dia lagi."Sayang sekali Diego baru sadar semua sekarang.Dia menatap Sophia dengan rasa terima kasih, "Kamu benar-benar mengajariku banyak hal."Sophia tersenyum malu-malu."Jangan ngomong gitu. Aku nggak hebat, jadi kamu harus memahaminya sendiri."Diego menatap Sophia dengan tatapan kasih sayang, bahkan Diego sendiri pun tidak sadar."Coba aku ketemu sama kamu lebih cepat."Diego pun merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah kotak kecil, lalu memberikannya pada SophiaSophia terlihat bingung, "Apa ini?""Buka, lihat saja."Sophia membuka kotak itu di bawah tatapan mata Diego dan melihat sepasang anting-anting indah di dalamnya."Ini ....""Aku beli. Kulihat kamu punya lubang tindik tapi nggak pakai ant
Diego merasa lega dan menutup telepon.Sekarang Diego sudah jauh lebih dewasa dan bijaksana.Diego tahu Reina tidak mau membantunya bukan karena Reina tidak punya uang, tapi karena Reina tidak mau membantunya tanpa syarat.Apalagi sebenarnya mereka bukan saudara kandung. Diego juga sudah berutang banyak pada Reina, mana mungkin dia berani memohon pada Reina seperti dulu?Setelah Diego pulang kerja, dia membawa pulang dua porsi sate yang dibelinya.Sophia baru pulang setelah mengunjungi orangtuanya, tapi Sophia tetap hanya makan mi rebus tanpa tambahan lauk sedikit pun.Waktu Diego pulang dan melihat makanan Sophia, dia langsung mengernyit kesal."Bukannya aku sudah beli daging? Kan ada di kulkas, kok kamu nggak masak? Nggak ada gizinya lah kalau makan mi tiap hari."Sophia tidak peduli, "Aku pulang telat, jadi nggak punya waktu buat masak. Masak mi paling cepat buat ngisi perut kosongku."Diego tahu ini hanya alasan Sophia semata, sebenarnya Sophia tidak mau makan makanan yang dibeliny
Suasana di ruangan Sisil hening dan mencekam, meski begitu di luar angin dingin menderu-deru dan hujan turun lebat.Setelah sekian lama, Deron bicara, "Kalau kamu setuju, kita putus aja."Ternyata benar ....Sisil mengepalkan tangannya erat-erat dan terlihat sangat pilu, "Apa maksudmu kalau aku setuju? Kalau aku nggak setuju?"Deron terdiam lagi dan tidak bicara.Sisil menarik balik isak tangisnya, berusaha untuk tidak menangis dan mempermalukan dirinya."Kalau mau putusin aku, kamu harus ngasih aku alasan yang masuk akal. Kamu pikir hubungan kita ini apa. Masa kamu putusin aku karena mau pulang ngurus urusan keluarga?"Deron terdiam, dia tidak tahu harus memberikan jawaban apa.Tingkah laku Deron membuat Sisil semakin marah.Sisil berdiri, berjalan ke arah Deron dan menatapnya, "Kenapa kamu diam aja?"Deron akhirnya bicara."Kalau kamu nggak mau putus, kamu harus nunggu aku."Sisil menjadi semakin bingung, "Kenapa? Sebenarnya kamu ngapain sih? Terus aku harus nunggu berapa lama?"Sisi