Begitu putranya yang lain diseret, Joanna langsung diam.Dia juga tidak paham kenapa Morgan dan Maxime begitu bermusuhan.Maxime tahu Joanna berada di posisi yang sulit. Maxime menatap Morgan dengan dingin dan berkata, "Masalah kali ini nggak selesai gitu aja dengan minta maaf. Paman, aku nggak akan lepasin kalian cuma karena hal ini bersangkutan sama Morgan."Nada bicara Maxime tidak kasar, tapi intimidasinya begitu kental.Aarav pun tidak bisa lagi tersenyum.Saat ini, Melisha angkat bicara, "Max, kita 'kan keluarga, kali ini ayahku memang salah. Tapi kamu boleh nggak berbesar hati dan melepaskan dia?"Rendy juga ikut menimpali, "Max, kami sadar kami salah. Ayahku sudah tua, kadang dia nggak bisa berpikir jernih."Aarav sadar diri, dia tahu sekarang bukan waktunya berlagak."Max, bilang aja kamu mau aku ngapain. Aku akan melakukan dan kasih semua yang kamu minta sebagai permintaan maaf."Maxime justru menunggu kata-kata ini."Aku mau tanah yang baru kalian dapat."Tanah ini adalah wa
"Keputusan Ibu buat cerai sama dia sudah benar."Setelah itu Morgan langsung pergi.Saat melewati Maxime, dia berkata, "Aku kalah lagi, aku memang nggak mampu."Tatapan Maxime terlihat dingin.Morgan tidak khawatir dengan apa yang akan Maxime lakukan padanya, namun sekarang dia sangat sedih.Di luar, Morgan mengeluarkan ponselnya untuk mencari teman bicara, tapi dia tidak tahu harus menelepon siapa.Akhirnya, matanya tertuju pada nomor telepon Jess. Setelah ragu-ragu cukup lama, Morgan tidak jadi menelepon.Di dalam rumah.Suasana sangat sunyi dan Daniel menghela napas berulang kali, "Kok bisa Morgan jadi kayak gini? Dulu dia itu yang paling patuh dan bijak lho."Joanna tidak berkata apa-apa.Dulu' yang dimaksud Daniel itu entah berapa belas tahun yang dulu.Melihat Joanna tidak bicara, Daniel pun menatapnya, "Kamu kenapa?""Nggak ada." Joanna bangkit berdiri, "Supaya urusan perceraian kita cepat selesai, bulan ini tolong diam saja di rumah. Begitu masa tenang berakhir di akhir bulan,
Keesokan harinya, sekitar jam delapan pagi.Reina ingin bangun tapi Maxime memeluknya dengan kuat sampai Reina tidak bisa bergerak."Kok kamu bangun?" Suara malas Maxime terdengar.Reina mengernyit dan mencoba melepaskan lengan Maxime yang memeluknya, tetapi tidak berhasil.Reina pun menyerah dan pasrah."Sudah waktunya berangkat kerja, ayo lepasin. Aku mau bangun."Maxime memeluknya lebih erat, "Tidur lagi, nggak usah buru-buru."Sebagai bos, tentu mereka tidak perlu berangkat kerja tepat waktu.Reina menghela napas, "Tapi aku sudah nggak ngantuk."Maxime pun perlahan membuka matanya, menatap wajah kecil Reina dan berkata."Kalau gitu ... mau olahraga?"Reina terdiam.Dia langsung menutup matanya, "Nggak, nggak jadi. Aku ngantuk, balik tidur aja."Maxime tidak berkata apa-apa lagi, memeluk Reina dan lanjut tidur.Sejujurnya, Maxime sudah lama tidak tidur nyenyak.Sedangkan Reina tidak bisa tidur karena merasa tidak nyaman dipeluk begitu erat oleh Maxime.Namun si Maxime bersikeras unt
Maxime mengernyit saat mendengar Marshanda sakit jiwa, jelas dia tidak memercayai berita ini.Wanita seperti Marshanda adalah pembohong unggul. Siapa yang tahu dia benar-benar gila atau hanya pura-pura?Sakit jiwa itu sulit diperiksa."Oke, kita pergi bareng."Melihat Maxime langsung setuju, Reina menatap wajah tampan Maxime dan menggodanya, "Kamu sedih ya?"Maxime mengernyit bingung, "Apa?""Wanita pujaanmu jadi gila. Terus kamu buru-buru banget mau ketemu dia. Pasti karena kamu sedih? Atau khawatir?" Reina bertanya dengan sedikit cemburu.Maxime pasrah dituduh seperti ini, dia mengangkat tangannya dan mencubit wajah Reina."Sembarangan! Kan aku sudah bilang, aku itu nggak suka dia dan nggak punya perasaan apa-apa ke dia. Ngapain khawatir atau sedih?"Reina baru merasa lega setelah mendengar kata-kata ini.Namun, Reina terus bertanya, "Terus ngapain kamu ikut aku ketemu dia?""Penasaran." Maxime menjawab santai.Huft ... Reina tidak bisa membantah.Dia tidak menyangka Maxime akan pena
perawat pun berkata pada kepala rumah sakit, "Pak, ini orangnya."Kepala rumah sakit mengangguk, berdiri, lalu bicara dengan hormat pada Reina dan Maxime."Pak Maxime dan Nyonya, silakan bicara dengannya. Kalau terjadi sesuatu, langsung hubungi aku.""Oke."Kepala rumah sakit pergi, meninggalkan mereka bertiga di ruangan itu.Mata Maxime dan Reina tertuju pada Marshanda.Marshanda seperti tidak melihat kedua orang itu. Dia menunduk, memainkan rambutnya dan bergumam, "Kak Max benar-benar bakal nikah sama aku? Kalau Nana tahu, apa Nana akan marah?"Reina terdiam saat mendengar hal ini.Dia berdiri dan mendekati Marshanda selangkah demi selangkah."Marshanda."Marshanda perlahan mengangkat kepalanya dan menatap mata indah Reina. Awalnya Marshanda tertegun, namun setelah itu dia terlihat bingung."Siapa kamu?""Kamu lupa sama aku? Aku Reina," jawab Reina.Marshanda kaget saat mendengar kata-kata Reina."Nana, aku salah. Aku nggak berani ulangin lagi. Aku beneran tahu aku salah, tolong lepa
Maxime pun diam.Sambil berjalan keluar, Maxime menatap kepala Reina.Reina menghalangi pandangan Maxime sambil berkata, "Sudah nggak apa-apa, cuma dijambak dikit. Lagian ngapain kita marah-marah sama orang gila?""Ya." Maxime masih menatap Reina dengan serius dan dalam hati ingin sekali membalas Marshanda ribuan kali!Sebenarnya Reina tidak sebaik itu. Hanya saja barusan dia merasa ada yang tidak beres dengan tatapan Marshanda barusan.Apa orang gila bisa menatapnya seperti itu?Sebelum Reina pergi, dia bertanya pada kepala rumah sakit, "Apa Marshanda punya kecenderungan melakukan kekerasan?"Kepala rumah sakit menggeleng, "Nggak, sejak datang dia cukup patuh dan nggak suka cari gara-gara sama pasien lain.""Kalau dia bertemu pasien nakal, dia malah berinisiatif menghindarinya."Reina mengangguk sambil berpikir, "Terima kasih.""Nggak masalah. Barusan dia menyerangmu?" tanya kepala rumah sakit.Reina menjawab jujur sambil mengangguk, "Yah, menurutku dia perlu ditenangkan.""Oke." Kepa
Reina mendengarkan dalam diam. Karena Diego bertele-tele, Reina pun menyahut, "Aku banyak kerjaan, kalau nggak ada yang lain aku tutup telepon nih.""Jangan kak, tunggu. Aku mau tanya apa kamu bisa bantu aku?"Diego buru-buru mencegah karena takut Reina akan memutuskan sambungan telepon."Bantu apa?""Aku 'kan buka perusahaan dengan bantuan Kak Maxime. Nah, beberapa hari yang lalu, aku ketemu seorang wanita di tempat kerja. Dia klienku." Diego pun memikirkan sebentar harus bagaimana menyusun kata-katanya, "Menurutku, dia cukup cantik dan usianya sudah matang. Tolong kenalin aku dengannya."Reina tidak menyangka Diego akan jatuh cinta pada seorang gadis.Selama ini, Diego tidak punya pacar dan tahunya hanya bersenang-senang.Tapi, kali ini nada bicara Diego terdengar sangat serius."Siapa dia?""Namanya Hanna, kerabat Keluarga Sunandar. Kakak kenal nggak?"Hanna? Nama itu terdengar sangat familiar. Reina mencoba mengingat-ingat.Ketika Tuan Besar Latief meninggal, gadis itu juga datang.
"Terus, kamu mau bilangnya gimana ke Diego?" tanya Maxime.Maxime tahu Reina sekarang baik pada Diego bukan karena Diego, tapi karena Anthony.Bagaimanapun juga, Diego adalah putra satu-satunya Anthony."Biar aku pikirkan dulu." Reina pun memejamkan matanya untuk beristirahat sebentar. Ketika dia membuka matanya lagi, dia berkata pada Maxime, "Masalah ini nggak mendesak. Aku perlu menyelidikinya dulu."Sudah lama sekali Diego tidak mencarinya, tapi sekarang Diego mendadak meminta bantuan Reina untuk mencomblangkannya."Oke."Mobil mereka pun tiba di pintu rumah sakit.Reina hendak keluar dari mobil, tapi Maxime menggenggam tangannya dan menatap Reina dengan sepasang matanya yang dalam dan indah, "Nana.""Apa? Kenapa lagi?" tanya Reina dengan bingung."Kemarilah sebentar."Reina pun bergerak mendekat dengan bingung.Tiba-tiba, Maxime mengecup dahi Reina.Si sopir sampai buru-buru memalingkan pandangannya."Ngapain deh?" tanya Reina dengan suara pelan karena dia juga merasa agak kikuk."
Daniel mengangguk berulang kali. "Tentu saja, Kak."Setelah mengatakan itu, sebagai orang tua yang baik, dia langsung melangkah mendekati Tommy."Tommy, kalau kamu nggak mau pakai topeng ini, kamu nggak perlu memakainya."Daniel memaafkan Tommy atas nama Riko tanpa menanyakan apa yang terjadi hari itu.Riko mengerti orang seperti apa kakeknya, dia pun tidak marah.Tommy segera melepaskan topeng Siluman Babi itu dari wajahnya. Dia menginginkan topeng Raja Kera, siapa yang menginginkan topeng Siluman Babi.Aarav pura-pura memelototinya. "Tommy, cepat bilang terima kasih sama Kakek.""Terima kasih, Kakek.""Ini bukan apa-apa, nggak perlu berterima kasih," kata Daniel sambil tertawa.Aarav memperhatikan bahwa situasi di sini begitu harmonis dan bahagia, jadi dia mengutarakan tujuan kedatangannya."Max, karena kita keluarga, aku nggak akan basa-basi. Aku dengar IM Grup memiliki proyek di luar negeri yang membutuhkan penghubung? Bagaimana pendapatmu tentang perusahaan kita?"Maxime tahu bahw
"Ayah, kalau Ayah benar-benar ingin berubah, lebih baik bersikap baik pada Ibu dulu, itu yang utama." Maxime mengatakan ini dari lubuk hatinya yang terdalam. "Apa Ayah ingat, saat aku dan Reina ingin bercerai, bukankah Ayah menasihatiku biar nggak cerai dengannya atau aku akan menyesal nantinya.""Saat ini, apa Ayah menyesal?" tanya Maxime.Wajah Daniel sedikit menegang.Dalam hal hubungan dan perasaan, pihak yang menyaksikanlah yang akan sadar lebih jelas.Pada awalnya, dia bisa melihat sekilas bahwa Reina adalah menantu yang baik, dia pun memperlakukan Maxime dengan baik. Jika Maxime menceraikannya, dia pasti tidak akan bisa menemukan orang lain yang akan memperlakukannya dengan baik.Demikian pula, Maxime juga menerapkan situasi ini kepada ayahnya."Sayangnya, aku dan ibumu sudah tua dan berbeda darimu saat itu. Kamu nggak ngerti."Daniel masih tidak bisa melepaskan harga dirinya dengan meminta rujuk.Maxime sadar akan hal ini dan tidak mencoba membujuknya lebih jauh."Oh ya, bagaim
Hidup memang tidak bisa diprediksi.Diego memandang Sophia yang terbaring tidak jauh dari sana melalui cahaya yang redup, tiba-tiba merasa bahwa kehidupan seperti ini tampaknya menyenangkan.Dia memejamkan mata dan memasuki alam mimpi.Pada hari pertama tahun ini, ada kegembiraan di mana-mana.Reina mengajak keempat anaknya membuat boneka salju di halaman rumah, sementara Maxime mengawasi mereka dari jauh.Mereka tampak harmonis.Pada saat itu, sebuah mobil melaju di luar rumah.Morgan duduk di dalam mobil mewah, menyaksikan pemandangan ini dari jauh. Dia tidak merasakan apa pun di dalam hatinya.Simpul di tenggorokannya bergulir pelan saat dia memberi isyarat kepada pengemudi untuk menepi.Saat Morgan turun, Reina juga memperhatikannya.Baru satu atau dua bulan sejak terakhir kali Reina melihatnya, tetapi Morgan terlihat kehilangan sebagian besar berat badannya. Bahkan wajahnya terlihat sangat tirus.Dia dan Maxime adalah saudara kembar, dulu mereka terlihat persis sama. Namun, sekara
Sophia bisa memahami pemikiran keduanya.Di masa lalu, semua orang biasanya pulang ke pedesaan untuk merayakan malam Tahun Baru, di mana kerabat dan tetangga tinggal bersama, berbicara dan mengobrol dengan gembira.Namun, Tahun Baru kali ini mereka harus tinggal di kota karena khawatir penyakit kedua orang tuanya kambuh dan tidak bisa sampai ke rumah sakit tepat waktu."Ya, kalau sudah selesai, kalian harus tidur." Sophia membujuk keduanya, seakan mereka adalah anak kecil.Erna dan Robi pun bersimpati padanya. Mereka menganggukkan kepala tanda setuju. "Ya."Diego juga menemani di samping, membicarakan tentang acara yang mereka saksikan kepada keduanya."Program-program sekarang nggak sebagus dulu. Sayang sekali, Tahun Baru sudah nggak semeriah dulu," kata Robi pelan.Dia juga tahu bahwa di pedesaan pun demikian. Semua orang bermain dengan ponsel mereka, jadi komunikasi secara langsung pun jadi berkurang."Kalau tahun depan kita pulang kampung, pasti akan lebih meriah," kata Sophia samb
Tahun Baru hampir tiba.Reina menyiapkan banyak kebutuhan Tahun Baru, mengirimkan sebagian untuk kakek dan neneknya.Sebagian lagi, dia tetap menyimpannya di rumah sendiri.Pada malam Tahun Baru.Reina dan Maxime membawa anak-anak mereka kembali ke kediaman Keluarga Sunandar. Pertemuan ini membuat suasana menjadi sangat meriah.Namun, di meja makan, hubungan Joanna dan Daniel agak renggang.Daniel menunjukkan wajah muram. "Max, tolong hubungi Morgan. Katakan padanya bahwa hari ini, di malam Tahun Baru, dia harus kembali."Morgan sudah lama tidak kembali ke kediaman Keluarga Sunandar.Daniel menghubunginya beberapa kali, tetapi panggilannya selalu ditolak."Ayah, Morgan bukan anak kecil lagi, dia akan pulang kalau memang ingin pulang. Kalau nggak, jangan diambil pusing," kata Maxime dengan tenang."Bicara apa kamu ini. Malam Tahun Baru harusnya jadi reuni keluarga, mana bisa dibenarkan kalau Morgan nggak pulang?" tegur Daniel.Di sampingnya, Joanna menyuapi Leo makanan pendamping ASI de
Setelah makan sampai kenyang, semua orang duduk bersama dan mengobrol cukup lama.Ketika tiba waktunya untuk tidur di malam hari, Sophia dan Diego tidur secara terpisah.Namun, Erna berpikiran sangat terbuka. "Kalian berdua akan menikah, nggak masalah kalau tidur di satu kamar.""Apa boleh begini?" Sophia sedikit tidak percaya.Dia pernah menjalin hubungan, tetapi Erna selalu menyuruhnya untuk menjaga diri dan tidak melakukan hubungan badan atau apa pun sebelum mereka menikah.Sekarang, ibunya ini malah menawarinya tidur dengan Diego?"Tentu saja boleh, masyarakat sekarang sudah nggak seperti dulu lagi," kata Erna sambil tersenyum.Zaman sudah berbeda. Sekarang, kondisinya dan suaminya sudah seperti ini, jadi Sophia harus mempertahankan pria sebaik Diego."Tapi ...." Sophia masih ragu, merasa ada yang aneh dengan kedua orang tuanya.Erna mendorongnya ke kamar Diego. "Sudah, masuk sana. Ayahmu sudah ingin menggendong cucu."Kata-kata itu membuat Sophia makin tidak percaya.Dia didorong
"Apa kakakmu sudah menikah?" Erna bertanya, mengambil alih pembicaraan.Para wanita biasanya khawatir akan memiliki seorang kakak ipar yang terlalu mendominasi di dalam keluarga mertua."Sudah menikah dan punya beberapa anak," kata Diego dengan jujur."Oh, begitu rupanya." Mata Erna tertuju pada Robi.Robi tidak basa-basi lagi dan bicara langsung pada intinya, "Diego, sejujurnya sejak bertemu denganmu, kami merasa kamu anak yang baik.""Hanya saja, kami nggak tahu bagaimana pendapatmu tentang Sophia ...."Sebelum Robi sempat menyelesaikan kalimatnya, Diego mengambil alih pembicaraan, "Aku sangat menyukai Sophia dan aku pasti akan memperlakukannya dengan baik di masa depan."Sophia menyantap makanannya dengan menunduk tanpa berkata apa-apa.Meskipun ini adalah kalimat yang telah mereka bicarakan dan sepakati, dia masih agak malu ketika mendengar ada seorang pria mengatakan bahwa dia mencintainya dan akan memperlakukannya dengan baik.Melihat Sophia bersikap seperti itu, Robi dan Erna ma
Ketika Robi dan Erna mendengar bahwa orang tua Diego sudah meninggal dunia, mereka menatapnya dengan kesedihan di matanya."Orang tuamu seharusnya belum terlalu tua, kenapa mereka bisa meninggal?"Diego berkata dengan jujur, "Ayah mengalami kecelakaan mobil dan ibu meninggal karena kanker."Mendengar ini, Erna makin merasa tidak tega kepada Diego."Anak baik, jangan sedih. Mulai sekarang, kami akan jadi keluargamu."Diego mengangguk berulang kali. "Ya."Sophia berdiri di samping, melihat keakraban Diego dan kedua orang tuanya. Pembicaraan ini seakan dia dan Diego benar-benar bersama."Ayah dan Ibu, kalian bicara dulu saja, aku akan menyiapkan makanan," kata Sophia.Diego langsung berdiri. "Sophia, aku akan membantumu. Om, Tante, kalian istirahat dulu saja.""Ya."Senyum di wajah Erna dan Robi belum hilang sejak mereka melihat Diego.Ketika putri mereka dan Diego pergi ke dapur untuk memasak bersama ....Erna tidak bisa menahan diri lagi dan berkata, "Diego anak yang sangat baik, tampan
Robi langsung bertingkah seperti orang yang sangat bersemangat. "Aku dan Ibumu merasa makin bersemangat akhir-akhir ini. Sepertinya setelah kita kembali untuk merayakan Tahun Baru, kita nggak perlu lagi dirawat di rumah sakit."Melihat wajah pucat kedua orang tuanya, Sophia tahu bahwa mereka hanya ingin menghibur dan membohonginya.Namun, dengan momen hangat seperti ini, tentu saja dia tidak akan merusaknya."Hmm, baguslah."Robi berencana untuk menanyakan identitas Diego.Sophia berdiri. "Kita kembali dulu saja dan lanjutkan pembicaraan di sana. Tempat ini terlalu kecil dan nggak ada tempat istirahat. Setelah pulang nanti, aku akan memasak makanan untuk kalian. Kalian bisa bicara dengan Diego pelan-pelan.""Ya, ya, ya."Keduanya mengangguk berkali-kali.Sejujurnya, mereka sangat ingin keluar, tidak ingin terus tinggal di rumah sakit.Namun, penyakit mereka sangat serius. Jika mereka meninggalkan rumah sakit terlalu lama, nyawa mereka mungkin akan jadi taruhannya.Sophia juga mengetahu