Marshanda jelas tidak menyangka Syena akan menyuruhnya. Meski enggan, karena Syena tahu rahasianya, Marshanda pun terpaksa setuju.Jadi, akhirnya Marshanda pun menghampiri Reina."Nana, Alana," panggil Marshanda.Reina dan Alana tertegun dan langsung mengenalinya.Meski Marshanda mengenakan masker dan kacamata hitam, suaranya tetap familiar.Reina dan Alana sama-sama mengenalinya."Kok kamu ada di sini?" Alana langsung bertanya tanpa basa-basi.Marshanda melepas kacamata hitamnya, "Oh, aku lagi jalan-jalan."Tatapan Marshanda terlihat tulus dan tidak berbahaya, tidak seperti sebelumnya."Oh." Alana menyahut singkat, lalu meraih tangan Reina dan memanggil Riko, "Ayo pergi."Mereka tidak perlu memedulikan pengkhianat yang tidak tahu berterima kasih seperti Marshanda.Namun belum beberapa langkah, Marshanda memanggil mereka balik. "Nana, selamat ya sekarang kamu jadi CEO Grup Yinandar. Alana, selamat ya kamu sudah jadi menantu Keluarga Tambolo."Sebelum Reina sempat menyahut, Alana yang t
Akhirnya Marshanda kembali ke sisi Syena.Hatinya yang tegang akhirnya rileks, "Nona Syena."Syena menyilangkan tangan di dada, "Kamu itu nggak berguna ya, masa ketakutan gitu pas lihat Jovan? Kamu takut dia tahu tentang penculikan Alana?"Marshanda diam-diam mengepalkan tangannya dan berkata."Ya iyalah aku takut. Tapi ... kamu 'kan juga terlibat di masalah itu."Syena menguap, "Jangan ngomong sembarangan. Kamu yang iri sama Alana. Aku sih nggak, aku 'kan nggak suka Jovan."Marshanda terlihat ketakutan."Aku tahu Jovan belakangan ini lagi menyelidiki insiden penculikan Alana. Nona Syena, sebaiknya kita berdua nggak usah saling curiga, mendingan saling bantu satu sama lain."Syena pun merasa khawatir, "Serius?""Ya.""Kalau gitu kita memang harus hati-hati. Tapi kita juga nggak bisa terus bersikap pasif. Bukannya sekarang kamu sudah banyak kenalan orang kaya? Kamu nggak bisa minta bantuan mereka?"Marshanda tidak bodoh dan tersenyum pahit, "Mereka itu cuma main-main aja. Kalau ketemu m
Dulu Jovan sama sekali tidak keberatan orang lain memotretnya, tapi sekarang dia sudah menikah. Apalagi Riko, si kecil yang berdiri di sampingnya sekarang adalah putra Reina dan Maxime.Kalau dia diberitakan dengan Reina dan Riko, pasti Jovan yang disalahkan Maxime.Jadi sepanjang jalan, para pengawal memperhatikan sekeliling untuk mencegah orang lalu lalang memotret sembarangan.Reina dan Alana tidak memperhatikan hal ini. Setelah puas belanja dan merasa lelah, Jovan mengantar mereka pulang.Setelah mengantar Reina pulang, Jovan baru membawa Alana dan Riko pulang.Riko melihat foto-foto baju yang baru Reina belikan untuknya.Jovan datang menghampirinya dan berkata, "Baju baru?""Ya." Riko mengangguk sungguh-sungguh, "Mama yang beliin buat aku."Jovan melirik Alana dan berkata, "Alana, kamu beliin apa nggak buat aku?"Seketika, Alana terkesiap."Hah?"Dia tidak berpikir untuk membeli apa pun untuk Jovan.Pertama karena Alana memang tidak peduli, kedua karena merasa Jovan tidak kekurang
Saat ini, di dalam rumah sakit swasta.Maxime sedang berdiri di kamar rawat Liane dan mengatakan bahwa dia sudah tahu akan kondisi Liane.Liane terlihat khawatir dan menatap Maxime dengan penuh harap, "Max, kamu jangan kasih tahu Nana ya soal ini. Aku nggak mau dia khawatir."Maxime terlihat ragu-ragu, "Kamu pernah kepikir nggak betapa sedihnya Reina nanti kalau kamu mati tanpa memberitahunya?"Maxime merasa, dari luar Reina terlihat tidak menerima Liane, tapi dalam hati Reina sudah menerima Liane.Terlebih lagi, Reina selalu mendambakan kasih sayang seorang ibu."Saat itu terjadi, dia mungkin akan membenci diri sendiri kenapa nggak tahu tentang penyakitmu lebih awal, kenapa nggak menghabiskan lebih banyak waktu bersamamu dan kenapa dia begitu dingin padamu."Maxime menjelaskan.Liane paham cara pikir ini, dia meremas erat selimutnya."Tapi aku nggak mau dia memaafkan aku karena aku sakit. Aku mau pelan-pelan dia maafkan karena usahaku sendiri."Liane tidak mau Reina terbebani.Maxime
"Kemarilah." Liane melambaikan tangannya.Syena langsung mendatangi Liane seperti seekor anjing penjaga, "Bu Liane, ada apa?""Mendekatlah," ucap Liane dengan lemah.Syena mendekatkan wajahnya.Tiba-tiba Liane mengangkat tangannya dan secepat kilat menampar wajah Syena.Syena tertegun dan menatap Liane dengan tidak percaya, "Kamu ... kok kamu mukul aku?"Syena hampir saja jatuh.Barusan Liane sudah menggunakan seluruh kekuatannya untuk menampar Syena. Napas Liane jadi tersengal-sengal dan setelah beristirahat beberapa saat barulah dia berkata, "Jangan mimpi kamu bisa mengubah surat wasiatku. Aku sudah menyuruh Pak Gilbert buat buang surat wasiat yang dulu."Barulah Syena sadar dia telah ketahuan.Dia tidak merasa bersalah sama sekali, malah menyalahkan Gilbert."Jadi dia ngadu? Kurang ajar! Aku nggak akan tinggal diam!""Kalau dia nggak ngasih tahu aku, apa dia harus nurutin kemauanmu?" Liane bertanya.Syena tersedak, "Bu ... Ah maksudku Bu Liane, Anda benar-benar nggak akan ngasih apa
"Bu Liane." Reina langsung menyapa Liane saat masuk.Mata Liane langsung berbinar, "Nana."Liane mengabaikan rasa sakit dan melambai pada Reina, "Nana, sini duduk di sebelahku."Reina berjalan ke sisinya dan duduk."Gimana kondisimu ...."Reina ingin bertanya, tapi ucapannya terhenti di tengah.Liane tidak memedulikannya dan menjelaskan sambil tersenyum, "Nggak apa-apa. Mungkin karena perubahan cuaca akhir-akhir ini kondisiku jadi agak memburuk, tapi dokter sudah bilang nggak ada yang gawat kok."Reina mengangguk, "Baguslah."Liane melirik ke sekretarisnya. Sekretaris itu langsung menutup pintu kamar dan pergi.Liane berduaan saja dengan Reina di kamar. Mereka duduk bersama dan terdiam beberapa saat.Liane mau menceritakan kondisinya pada Reina, tetapi entah mengapa kalimat yang sudah di ujung lidah tidak bisa terlontarkan."Nana, sekarang kamu masih benci aku?" Liane memecah kesunyian dengan bertanya.Reina ragu-ragu untuk waktu yang lama dan perlahan menggeleng, "Meski aku nggak bisa
Mobil melaju dalam keheningan.Tidak berapa lama, Revin berkata, "Aku kebetulan lewat dan ngeliat kamu, kenapa kamu berdiri di depan pintu hujan-hujanan begitu?"Hujan-hujanan?Reina menjelaskan, "Nggak, aku cuma mikirin sesuatu aja, jadi melamun."Revin sebenarnya tahu semua yang terjadi di sekitar Reina."Nana, kamu pernah nggak kepikir sebenarnya ingatanmu sudah pulih, tapi kamu cuma nggak mau terima kenyataan?"Reina mengernyit tidak mengerti.Revin melanjutkan, "Aku ingat sekitar tujuh tahun yang lalu, aku lihat kamu baring di kuburan. Waktu itu aku ketemu Treya dan Diego yang maksa kamu nikah sama pria tua. Aku jadi mikir, sebenarnya seperti apa hidupmu selama ini.""Aku ngerti kalau kamu mau menutup dirimu dan takut disakiti lagi, tapi ..." Revin terdiam sejenak, lalu melanjutkan, "Tapi kamu nggak bisa terus-terusan menutup hati. Sekarang ada yang benar-benar peduli padamu dan kamu memang pantas untuk dicintai. Juga layak mendapatkan kasih sayang keluarga."Kepala Reina langsung
Reina tidak menganggap Maxime serius, "Nggak perlu. Aku bisa bawa mobil perusahaan, ada sopir juga kok, jadi kamu nggak perlu jemput."Maxime hanya bisa mengangguk , "Oke."Mereka sekeluarga pun masuk rumah.Reina berbaring di sofa dengan lelah. Dari ekspresi sih tidak terlihat ada yang berubah, namun hatinya sudah berubah karena ucapan Revin dan Liane.Reina tidak bisa mendiskusikan hal ini pada siapa-siapa, dia pun menghampiri Maxime di ruang kerja dan menceritakan isi hatinya.Maxime tidak terkejut, "Bu Liane benar. Kamu itu putrinya, apalagi dia sukarela ngasih kamu. Jadi kamu nggak perlu merasa terbebani menerima hartanya."Reina paham logika ini."Aku cuma ... merasa nggak nyaman."Sekarang Reina sebenarnya ingin mengakui hubungannya dengan Liane, tapi dia takut.Reina sudah terlalu sering terluka dan kecewa.Dulu Treya yang menyandang status sebagai 'ibu' berulang kali mencuci pola pikir Reina yang membuatnya selalu merasa bersalah.Reina masih ingat perasaan saat merasa kelahir
Reina menutup telepon dan akhirnya merasa lega.Selama Syena tidak melakukan sesuatu yang buruk, semuanya tidak apa-apa.Dia sudah makin berumur dan hanya ingin menjalani hidupnya dengan baik.Jika Syena melakukan sesuatu yang salah lagi, dia akan menghabisinya....Musim semi berganti menjadi musim gugur.Waktu berlalu dalam sekejap.Dalam sekejap mata, rambut Reina pun dipenuhi dengan uban. Saat ini, Reina hampir berusia tujuh puluh tahun.Beberapa anak laki-lakinya akhirnya menikah. Anak-anak Riko dan Riki sudah duduk di bangku sekolah dasar.Reina mengambil ponselnya. Pada hari itu, dia mendengar anak buahnya berkata, "Bos, Marshanda meninggal."Meninggal adalah sebuah kata yang sering didengar Reina di masa tuanya.Selama bertahun-tahun, mertuanya juga sudah meninggal dunia.Mantan saudara perempuannya, Brigitta, juga meninggal tahun lalu.Ethan menyusul pada paruh pertama tahun ini.Hanya Erina dan suaminya yang tersisa untuk menjaga bisnis Keluarga Yusdwindra.Suami yang Erina d
Sisca pergi ke sekolah dan hendak meminta guru untuk memanggil Talitha. Namun, dia melihat Talitha berdiri di depan gedung sekolah dari kejauhan.Di seberang Talitha ada Syena!Ekspresi Sisca langsung berubah.Dia berjalan cepat menghampiri keduanya. "Talitha."Talitha menoleh ke arahnya. "Ibu."Syena langsung marah mendengar putrinya memanggil wanita lain dengan sebutan ibu."Talitha, aku ini ibumu, dia nggak ada hubungan darah denganmu."Setelah bertahun-tahun tidak bertemu, wajah Syena sangat pucat dan kuyu. Tatapan matanya menatap Sisca lekat-lekat.Sisca juga tidak merasa terintimidasi olehnya, menarik putrinya untuk berdiri di sisinya."Syena, saat itu kamulah yang nggak menginginkan Talitha. Sekarang, kamu ingin mendapatkan anakmu lagi?"Talitha menimpali, "Aku cuma punya satu ibu, namanya Sisca. Nama keluargaku juga Santiago. Jadi, kamu pergi saja dan berhenti mencariku."Mendengar apa yang dikatakan putrinya, gelenyar kelegaan menyelimuti benak Sisca.Syena terlihat makin mura
Reina beranjak dan melangkah pergi.Marshanda menatap punggungnya dan tiba-tiba berdiri. "Reina."Langkah kaki Reina terhenti dan dia berbalik untuk menatapnya.Tiba-tiba, mata Marshanda menjadi sedikit memerah."Reina! Aku merasa sepertinya aku melakukan kesalahan."Selama sepuluh tahun terakhir, Marshanda telah bermimpi tentang masa lalu hingga berulang kali.Mimpi itu terjadi di masa lalu, ketika dia baru dijemput oleh Anthony.Saat itu, dia tidak memiliki niat licik. Saat pertama kali bertemu Reina, dia merasa bahwa Reina sangat baik.Reina akan memberinya pakaian yang bagus untuk dipakai!Memberikan makanan yang enak untuknya!Reina juga akan berbagi uang saku dengannya!Mungkin karena dia makin tua, ingatannya tentang ketika dia masih muda menjadi begitu jelas, dia pun bernostalgia.Mendengar Marshanda mengakui kesalahannya, Reina menunjukkan kerumitan di antara kedua alisnya."Itu semua sudah berlalu."Dia hanya mengatakan beberapa kata tanpa menyebutkan maaf.Marshanda memperha
Riki benar-benar tidak berubah, ucapannya sangat manis dan masih terus menempel kepadanya.Maxime hendak mengatakan sesuatu tentangnya.Riki melepaskan pelukannya pada Reina dan memujinya."Papa, hari ini Papa bersinar banget dan makin jantan saja. Aku mau belajar dari Papa."Maxime tidak terbujuk oleh perkataannya. "Kalau mau belajar dariku, ikuti kakakmu dan uruslah perusahaan keluarga."Riki menggaruk-garuk kepalanya ketika diminta mengurus perusahaan.Sayangnya, dia benar-benar tidak suka menjadi bos.Dia hanya ingin menjadi seorang penyanyi.Dia mewarisi bakat musik yang kuat dari Reina dan merupakan penyanyi generasi baru.Reina juga memahami kebenaran bahwa setiap anak memiliki potensinya sendiri dan keempat anaknya pun berbeda."Sudah, biarkan Riki melakukan apa pun yang dia inginkan, toh ada Riko yang ngurus perusahaan.""Atau nanti kalau Leo dan Liam sudah besar, mereka juga bisa bantu ngurus perusahaan."Maxime langsung diam begitu Reina berbicara.Riki berterima kasih kepad
Revin memang cukup terlambat saat menikah. Belakangan, dia menelepon Reina dan mengatakan bahwa dia punya anak.Maxime sedikit tercengang. "Dia punya anak dari mana? Bukannya dia nggak nikah?"Sejujurnya, Maxime juga mengagumi Revin.Sebagai seorang pria, dia sangat menyukai Reina dengan sepenuh hati dan perasannya tidak pernah berubah.Maxime menduga bahwa Revin tidak pernah menikah karena Reina.Setiap kali mendengar tentang Revin, Maxime langsung ketakutan, takut pria ini akan datang dan merebut istrinya."Katanya sih bayi tabung," kata Reina.Maxime mendengarkan dengan serius. "Siapa ibu dari anak itu?"Reina menggelengkan kepalanya. "Aku nggak tahu, katanya sih rahasia dan nggak ada yang tahu siapa ibu dari anak itu. Tapi, Revin sangat luar biasa. Gen yang dia pilih pasti sangat bagus juga."Mendengar ini, Maxime mengangguk setuju.Hatinya sangat lega.Dia sudah sangat tua, sekarang Revin akhirnya memiliki seorang anak sendiri. Dia seharusnya tidak lagi akan memiliki ketertarikan
Jess tidak tahu apa yang ada di pikiran Erik. Dia mengangkat tangannya dan menepuk pundaknya. "Bodoh, mana mungkin aku nikah sama orang lain, aku saja sudah punya kamu sama anak kita."Erik menganggukkan kepalanya dan tersenyum. "Aku tahu kalau istriku ini memang sangat mencintaiku. Cuma aku, 'kan?"Jess ragu-ragu sejenak, tetapi dengan cepat mengangguk."Ya, tentu saja."Keraguannya yang sangat tipis ini masih bisa ditangkap oleh Erik.Itu juga pertama kalinya Erik menyadari bahwa dia bisa menjadi begitu peka dan perasa, seperti seorang wanita.Dulu, hanya wanita yang selalu khawatir dia macam-macam. Sekarang, keadaan berbalik dan dia selalu mengkhawatirkan Jess.Ada pepatah yang ternyata memang benar.Jika dunia bertanya apa itu cinta, cinta adalah sesuatu yang bisa menaklukkan segalanya.Jess adalah orang yang bisa menaklukkannya....Lima belas tahun telah berlalu.Tanpa disadari, keempat putra Reina dan Maxime telah tumbuh dewasa dan semuanya sangat tampan.Riko adalah yang paling
Entah kebetulan atau tidak, Jess yang saat itu berada jauh di Kota Simaliki juga bermimpi.Dalam mimpi itu, dia benar-benar menikah dengan Morgan dan memiliki seorang anak.Ketika terbangun dari mimpi itu, entah kenapa hati Jess terasa kosong. Dia tidak tahu kenapa ada emosi rumit di dalam hatinya.Dia menoleh ke samping, melihat seorang anak kecil yang sedang tidur di sampingnya.Di sisi anak itu ada suaminya, Erik.Wajah pria itu terlihat tampan saat tidur. Saat sinar matahari menyinarinya, dia terlihat makin memukau.Sudut mulut Jess tanpa sadar terangkat. Dia mengulurkan tangan dan menyentuh putranya yang menggemaskan, sebelum meletakkan tangannya di sisi wajah Erik dan menyentuhnya.Erik merasakan sentuhan di wajahnya. Dengan mata terpejam, dia mengangkat tangannya dan meraih tangan Jess, menariknya ke pelukannya."Tanganmu dingin? Sini aku hangatkan." Dia bahkan tidak membuka matanya dan apa yang dia lakukan tampak natural.Jess memperhatikan tindakannya dan hatinya menjadi hanga
Mata sipit Maxime sedikit menyipit. "Apa itu?"Sulit untuk menyembunyikan ketegangan di wajah Morgan."Itu cuma koran. Aku bosan dan mau mengisi waktu luang. Jangan diambil, ya?"Melihat raut wajahnya, Maxime tahu bahwa itu jelas bukan koran biasa.Maxime kembali menepis Morgan, berjalan dengan cepat untuk mengambil koran itu.Maxime membukanya dan isinya penuh dengan informasi tentang Jess.Morgan menerjang ke arah Maxime, seolah-olah rahasianya telah terbongkar.Namun, dengan kondisi fisiknya saat ini, Maxime bisa menghindar dengan mudah.Suara Morgan terdengar serak, "Kembalikan, ini milikku!"Maxime menatapnya dengan acuh."Sepertinya kamu lebih peduli sama asistenmu itu daripada Nana."Morgan tersipu malu."Apa kamu bercanda? Siapa juga yang suka sama dia. Aku nggak tertarik sedikit pun sama dia."Dia masih bersikap keras kepala.Maxime bisa melihatnya. Aktingnya benar-benar sangat kentara."Kalau begitu akan aku bawakan koran lain biar kamu bisa baca."Setelah mengatakan itu, Max
"Sekarang, semuanya sudah jelas, jadi mulai sekarang kamu nggak perlu menjagaku lagi. Aku baik-baik saja," kata Reina.Namun, Maxime menggelengkan kepalanya. "Nggak, sekarang aku nggak terbiasa."Dia mengikuti Reina setiap hari, jadi tidak terbiasa jika harus terpisah darinya.Reina tidak berdaya ketika melihat ini."Baiklah, tapi kamu harus berubah secara perlahan."Terus menempel pada orang lain juga cukup merepotkan.Dia juga menginginkan waktu untuk dirinya sendiri.Maxime mengiakan, "Ya, terserah kamu saja."Keesokan harinya.Maxime benar-benar tidak mengikuti Reina ke tempat kerja. Dia mengutus seseorang untuk menjaganya, sementara dia sendiri kembali ke IM Group untuk bekerja.Ketika Gaby dan Sisil mengetahui bahwa Maxime telah kembali ke IM Group, mereka semua terlihat terkejut."Kenapa Pak Maxime tiba-tiba berubah pikiran?" Gaby terkejut.Sisil berbisik, "Bos, apa kalian bertengkar?"Reina menggelengkan kepalanya. "Nggak kok, hubungan kami baik-baik saja. Aku mencoba bicara ba