Maxime berbohong dengan tampang dingin, "Semalam kamu nggak nyenyak tidurnya terus melindur bilang kedinginan, jadi aku peluk kamu.""Hah?" Reina tidak percaya.Karena sekarang cuaca sudah menghangat, semalam Reina tidak merasa kedinginan sama sekali.Riko yang baring tidak jauh dari mereka pun keluar dari kantong tidurnya."Ma, aku bisa buktiin kok kalau semalam Mama melindur dan minta dipeluk." Riko memasang tampang serius dan sepertinya tidak berbohong sama sekali.Saat Reina mendengar ucapan Riko, wajahnya memerah karena malu.Kenapa dia bisa melindur seperti itu? Apa karena makin tua, tubuhnya makin rewel?Riko mendatangi Reina dan berkata, "Mama nggak usah malu, dulu Mama juga pernah tidur sama dia kayak gini kok."Reina makin ingin mengubur dirinya."Iya, iya." Reina menarik napas dalam-dalam lalu menatap Maxime, "Terima kasih untuk semalam, maaf ya ganggu tidurmu."Maxime menggeleng, "Nggak kok. Aku sudah minta orang siapin selimut, malam ini kita tidur pakai selimut ya.""Ngga
Matahari tepat menyinari wajah Maxime, membuat tubuhnya yang tinggi tegap pun terlihat perkasa.Reina tercengang.Bukannya rata-rata anak orang kaya tidak tahu hal kampungan seperti ini? Ternyata Maxime bisa?Maxime sadar Reina menoleh, dia pun mengangkat tangannya dan memberi tanda pada Reina untuk mengambil ikan tangkapannya.Riko sangat bersemangat, "Lempar ke sini."Maxime melemparkan seekor ikan sepanjang telapak tangan, tepat di titik yang diminta Riko.Riko langsung memungutnya.Bagaimanapun, Riko masih anak-anak yang tentu bahagia melihat ikan hidup.Riko adalah anak pertama yang mendapat ikan. Dia menggali lubang, mengisi air ke dalamnya, lalu memasukkan ikan tangkapan Maxime ke dalamnya.Teman-temannya yang lain pun datang menonton."Wah Riko, ini ikan tangkapan papamu?"Riko ragu-ragu sejenak, lalu mengangguk.Seorang gadis kecil berlutut dan berkata dengan iri, "Papamu hebat banget, papaku saja belum dapat."Anak-anak lain juga memuji Riko dan iri padanya.Tidak lama kemudi
Tiba-tiba, ponsel Melisha berdering saat pikirannya kacau balau.Ternyata Aarav yang menelepon.Melisha mengangkat panggilan itu."Malam ini bakal hujan besar, kamu bilang si Maxime sama Reina lagi di gunung bareng?" tanya Aarav."Ya.""Hmm ... wajar sih kalau terjadi sesuatu nggak terduga di pegunungan, ya, 'kan?" Suara Aarav terdengar menakutkan.Melisha tahu niat Aarav."Tapi di sini ramai. Ada orangtua dan guru.""Asal kita bisa menyingkirkan Maxime dan Reina, ngapain mentingin hidup dan mati orang lain?" Aarav sama sekali tidak peduli dengan hidup dan mati orang lain.Melisha meremas ponselnya erat-erat dan spontan teringat momen kemarin saat dirinya menyeka keringat Maxime kemarin."Oke, kalau begitu Ayah atur aja, terus kasih tahu aku.""Oke, kamu sama Tommy hati-hati ya," kata Aarav."Oke." Melisha menutup telepon.Jantung Melisha berdebar kencang, malaikat dan iblis bertarung dalam benaknya. Apa dia benar-benar akan membiarkan terjadi sesuatu pada Maxime dan Reina?Dia tidak m
"Tommy, Alfian 'kan nggak beneran mukul kamu. Pria itu punya harga diri, nggak boleh berlutut sembarangan," kata papa Alfian.Mama Alfian juga menatap Melisha dengan tatapan memohon, "Bu Melisha, ini cuma kesalahpahaman kecil. Nggak perlu sampai minta maaf, bukan?"Melisha mungkin tidak bisa mengendalikan Reina, tapi masa dia tidak bisa mengendalikan Keluarga Crisie?Apalagi Keluarga Crisie adalah keluarga Alana, sahabat Reina. Melisha pun lebih keras hati, "Maaf, kalau kalian nggak mau minta maaf, aku akan menuntut kalian."Tuntutan ini pasti adalah cara lain Melisha untuk menindas Keluarga Crisie.Mama Alfian tidak ingin putranya begitu tertindas, jadi dia langsung memeluk Alfian.Alfian juga jadi ketakutan.Padahal jelas-jelas ini semua kesalahan Tommy, kenapa dia yang harus minta maaf?Alfian masih terlalu muda untuk memahami liku-liku antara orang dewasa."Mama, aku nggak salah," ucap Alfian dengan lirih.Mama Alfian juga tidak tahu harus berbuat apa, dia menatap suaminya dengan t
Mama Alfian menatap Reina dengan penuh rasa terima kasih.Begitu Reina angkat bicara, mama Diera membantu, "Bu Melisha, mereka semua cuma anak-anak. Lagian nggak ada masalah besar kok, sudah nggak usah memperbesar masalah."Begitu ada yang membela Alfian, orangtua lainnya juga menasihati Melisha untuk tidak memperbesar masalah ini."Lihat si Alfian sudah nangis sampai segitunya, dia pasti sudah sadar kalau salah.""Ya, ya."Melisha mengepalkan tangannya erat-erat, dia kesal.Namun karena ditonton banyak orang, dia tidak enak terus menindas anak kecil."Ya sudah, jangan sampai terulang lagi ya."Papa Alfian menebalkan muka dan berkata, "Terima kasih atas kemurahan hati Bu Melisha."Begitu masalah sudah selesai, mama Alfian mendorong suaminya pergi."Aku sudah buta, salah aku nikah sama kamu! Kamu nggak ada apa-apanya sama adikmu!"Saat kedua orangtuanya bertengkar Alfian merasa semakin tidak nyaman.Dia semakin merasa bersalah karena sudah membuat situasi jadi seperti ini.Setelah Alfia
Sore hari, langit dengan cepat menggelap. Reina dan yang lainnya duduk di lereng bukit, menikmati angin semilir sambil makan ikan bakar.Riko sengaja menyisakan ikan hidup untuk Alfian."Ikan ini nggak bisa hidup lama," katanya.Alfian menatap Riko dengan penuh kekaguman, "Terima kasih Riko, kamu baik banget."Reina tersenyum melihat momen ini.Riko benar-benar bijak, ke depannya pasti tidak akan kekurangan teman."Nggak masalah, cuma ikan aja kok." Riko tidak terbiasa menerima ucapan terima kasih.Alfian sangat tersentuh, tapi dia merasa tidak nyaman saat teringat kejadian tadi."Tante Nana, apa menurutmu tadi aku salah?"Dunia anak-anak itu hitam dan putih.Alfian merasa dirinya tidak salah, tetapi saat teringat papanya menyuruhnya minta maaf, dia jadi ragu.Reina berpikir sejenak sebelum menjawab."Menurut Tante sih nggak salah. Kamu cuma membela diri, lagian Tommy yang salah duluan."Alfian menjadi semakin bingung, "Terus kenapa papa minta aku minta maaf?""Karena di dunia orang de
Makan malam hari ini disiapkan oleh pihak sekolah.Tidak banyak ikan yang tertangkap siang tadi, jadi tangkapan ikan para ayah hanya sebagai tambahan lauk.Karena sedari siang sudah kerja keras, para orangtua dan murid semuanya kelelahan, jadi mereka semua makan banyak dan tidak lagi pilih-pilih makanan.Tommy makan sambil sesekali melirik Riko.Dalam hati dia iri pada Riko yang disukai banyak teman-teman, Riko jadi pemimpin, bukan pengikut.Melisha tidak nafsu makan, dia merasa sangat gugup karena tahu akan terjadi sesuatu malam ini.Dia juga sesekali melirik Reina dan cemburu saat melihat Reina sekeluarga bersenang-senang dengan bahagia.Setelah makan malam, semua orang beristirahat.Melisha mendatangi Maxime, "Max, makanannya oke? Kalau kamu nggak suka, aku punya makanan di sana, pastinya lebih sehat."Maxime tidak repot-repot melirik Melisha dan menjawab dengan nada dingin, "Nggak usah, terima kasih."Melisha mengernyit bingung. Kenapa sekarang sikapnya dingin sekali? Beda sekali d
Reina menunduk dan mengernyit bingung saat melihat kotak makan di depannya."Apa ini?""Melisha yang kasih, katanya ada daging. Kamu belum kenyang, 'kan? Nih makan sedikit," ucap Maxime.Melisha bisa mendengar ucapan Maxime dengan jelas.Api kecil yang menyala dalam hatinya langsung padam dalam sekejap.Kurang ajar! Dia pikir Maxime tertarik padanya makanya mau menerima pemberiannya, dia tidak menyangka Maxime melakukannya demi Reina."Max, kamu sayang banget ya sama istrimu. Aku ngasih banyak makanan, tapi kamu malah ngasih ke Nana." Nada bicara Melisha agak aneh.Reina benar-benar belum kenyang.Makan malam yang disajikan pihak sekolah terlalu sederhana dan sedikit.Reina melihat makanan yang diantarkan oleh Maxime, lalu menatap Melisha.Sebelum Reina sempat menolak, Maxime kembali berujar, "Ayo cepat makan, jangan kemalaman makannya, nggak sehat."Reina pun tidak sungkan lagi.Dia mengangguk, lalu berkata pada Melisha, "Terima kasih ya, Kak Melisha."Melisha tersenyum lembut, "Sama-
"Terserah kalau begitu." Joanna berdiri dan hendak pergi.Melihat itu, Daniel langsung memanggilnya, "Kamu pasti juga kesulitan mengurus dua anak selama ini."Dulu, Daniel tidak secara langsung membesarkan anak-anaknya, jadi dia tidak mengerti. Dia merasa bahwa di rumah sudah ada pelayan, jadi membesarkan anak tidaklah melelahkan.Namun, sekarang kedua anaknya sudah besar, tetapi masih membuatnya khawatir. Dari sini dia sadar bahwa menjadi seorang ibu tidaklah mudah.Langkah kaki Joanna terhenti, tetapi dia tidak menoleh ke belakang dan kembali melangkah pergi.Di luar rumah, angin dingin menerpa wajahnya, seperti pisau dan terasa sangat menyakitkan.Kepala pelayan yang mengikuti di belakang Joanna segera menggunakan payung untuk menghalangi angin dingin untuknya.Joanna melambaikan tangannya ke arahnya. "Ini hanya angin dingin, nggak perlu pakai payung."Setelah itu, barulah kepala pelayan menarik kembali payung dari atas kepalanya.Joanna membiarkan angin dingin menerpa wajahnya, tet
Di dalam kamar hotel.Morgan setengah berbaring di tempat tidur, di depannya ada seorang wanita yang sedang menangis.Tubuh wanita itu penuh dengan luka dan seluruh tubuhnya menggigil. "Tuan Morgan, tolong lepaskan aku."Morgan menatapnya dengan malas."Aku nggak ingin ada yang tahu tentang apa yang terjadi hari ini."Wanita itu membeku, lalu mengangguk dengan cepat, "Ya.""Kamu boleh pergi."Wanita itu buru-buru beranjak dari lantai, mengambil tasnya dan segera pergi.Dia mengira bahwa dia telah mendapatkan berlian, tetapi tidak disangka bahwa Morgan tidak bisa.Wanita itu sedikit takut. Dia sengaja menyewa seseorang untuk mengambil foto mereka berdua setelah Morgan mabuk.Setelah keluar, dia buru-buru menelepon pria itu. "Fotonya jangan disebarkan.""Hah? Kenapa nggak bilang sejak tadi? Foto sudah diunggah di sosial media," jawab orang di ujung telepon.Hati wanita itu langsung berubah dingin. "Kamu benar-benar membunuhku!"Dia menutup telepon dan membuka ponselnya, mencoba melihat b
Jess menarik kembali tangannya secara refleks, menatap Erik dengan tatapan mendesak."Jangan begitu. Kita nikah dulu, baru tidur satu ranjang."Erik menatap wajahnya yang terlihat ketakutan, lalu menarik kembali tangannya tanpa daya. "Ya, terserah kamu saja. Kamu pasti lelah karena seharian bekerja. Kembalilah dan istirahatlah. Aku akan merapikan tempat tidur sendiri."Jess menggelengkan kepalanya dan merapikan tempat tidur dulu sebelum pergi.Setelah Jess pergi, Erik berbaring di tempat tidur. Dia sudah berpindah posisi berkali-kali, tetapi tidak bisa tidur.Dia mengambil ponselnya dan melihat pesan dari Revin, "Kenapa nggak angkat telepon?"Saat makan malam, dia dan Jess terlalu asyik mengobrol dan ponselnya dalam mode diam, jadi dia tidak tahu kalau Revin menelepon.Erik langsung menelepon balik."Kak, ada apa?""Kenapa baru telepon?" Revin bertanya dengan cemas."Oh, aku baru pulang dan nggak pegang ponsel, jadi nggak tahu kalau ada telepon," jawab Erik.Revin merasa lega mendengar
Jess membutuhkan sedikit waktu untuk kembali tersadar."Nggak ... nggak kok."Erik memeluknya erat-erat. "Aku sangat merindukanmu. Apa satu bulan ini kamu juga merindukanku?"Jess tidak tahu harus menjawab apa saat mendengar pertanyaan itu.Selama sebulan ini, mereka berdua sangat jarang berhubungan. Setiap kali mengobrol, itu hanya berupa kata-kata sapaan sederhana.Jess terdiam sejenak, baru menjawab, "Ya, begitulah."Erik mengulurkan tangannya untuk menyalakan lampu, menatap Jess dalam-dalam.Dia menunduk dan mencoba menciumnya lagi. Namun, detik berikutnya Jess terlepas dari pelukannya."Kapan kamu kembali? Sudah makan belum?" Jess mengganti topik pembicaraan setelah terlepas dari pelukan Erik dan bertanya dengan gugup.Erik sedikit bingung, tetapi sikapnya kembali pulih dengan cepat."Baru, belum lama, kok. Aku belum makan, kamu sudah makan?" tanyanya.Jess menggelengkan kepalanya. "Aku baru pulang kerja, jadi belum makan. Aku buatkan makanan dulu.""Ya, aku bantu." Erik mengikuti
Menit demi menit berlalu dan akhirnya tiba saatnya liburan sekolah.Reina membawa pulang kedua anaknya ke kediaman utama Keluarga Sunandar.Sekarang Reina pulang sekali atau dua kali seminggu agar dia bisa bersama kedua putranya yang masih kecil dan berkumpul bersama mereka.Karena sudah libur, anak-anaknya akan segera tiba. Orang-orang yang bekerja di luar juga akan segera pulang.Hari ini, Reina akhirnya menerima telepon dari Revin."Nana, Deron akhirnya ketemu.""Benarkah? Bagaimana kabarnya sekarang?"Reina belum mendengar kabar dari Deron yang sudah hilang selama lebih dari sebulan."Dia baik-baik saja, tapi sekarang dia dirawat di rumah sakit. Dia nggak bisa menghubungimu ataupun pacarnya untuk sementara waktu," kata Revin.Di rumah sakit?Firasat Reina mengatakan ada hal lain di balik semua ini."Apa lagi?" tanya Reina."Untuk detailnya, lebih baik kamu tunggu saja Deron sendiri yang menghubungimu dan menjelaskan," jawab Revin."Oke." Reina pun berhenti bertanya.Setelah menutup
Alana tidak punya waktu untuk bertanya pada Tuan Besar Jacob.Dia tahu bahwa Tuan Besar Jacob pasti akan membantu Jovan berbohong."Kalau gitu, sana periksa ke rumah sakit biar sembuh. Kalau sampai ini terulang lagi, aku nggak akan segan-segan kepadamu."Jovan menghela napas lega , lalu berdiri.Alana menunggu Jovan pergi, lalu buru-buru menyentuh seluruh tubuhnya untuk memastikan bahwa tidak terjadi apa-apa di antara mereka. Barulah setelah itu dia menyerah.Sementara itu, Tuan Besar Jacob bangun pagi-pagi dan tidak terlihat di mana pun.Itu karena dia datang ke rumah sakit jiwa tempat Marshanda berada.Si direktur rumah sakit pun membawanya menemui Marshanda dengan hormat, "Tuan Besar Jacob, pasien ada di sini.""Jangan sampai Jovan tahu aku ke sini, paham?" kata Jacob.Si direktur rumah sakit langsung mengangguk, "Baik."Dia jadi bertanya-tanya siapa Marshanda. Bukan hanya Reina dan Jovan yang peduli, tapi sekarang Tuan Besar Jacob juga sampai datang ke sini.Tuan Besar Jacob meliha
Jovan pun mencondongkan tubuh ke arah Alana."Sungguh?""Terus, kenapa wajahmu merah begitu?" tanya Jovan sambil memperhatikan wajah Alana.Alana langsung berdiri membelakangi Jovan."Kayaknya kepanasan, suhu pemanas ruangan terlalu tinggi. Biar kukecilkan."Alana pun berjalan pergi untuk mengatur suhu pemanas.Jovan mengikutinya, "Hati-hati, pelan-pelan jalannya. Jangan terburu-buru."Entah kenapa, Alana merasa sangat panik."Iya, nggak buru-buru," jawab Alana dengan tegas.Jovan hanya tersenyum melihatnya tanpa mengatakan apa-apa.Alana memperhatikan tatapannya dan wajahnya menjadi semakin merah. Dia menurunkan suhu pemanas, lalu berbalik dan berkata, "Sudah, ayo tidur. Aku ngantuk."Mereka berdua sekarang tidur di ranjang yang terpisah, tapi masih satu kamar.Alana bergegas ke tempat tidur, lalu melepas mantelnya dan bergelung di bawah selimut.Jovan juga tidak bisa terus mengusik Alana, jadi dia berbaring di tempat tidur di sebelah Alana.Malam belum terlalu larut. Alana sama sekal
"Masa selama itu?" tanya Jovan sambil menggaruk kepalanya.Paling hanya sepuluh menit dari dia keluar, menelepon, lalu kembali masuk, 'kan?"Menurutmu? Kayaknya kamu sudah nggak perlu makan lagi," sahut Tuan Besar Jacob dengan dingin.Jovan menyadari kakeknya sedang marah. Dia pun mengerjapkan matanya pada Alana untuk bertanya apa yang sedang terjadi.Alana memperhatikan kode dari Jovan, tetapi dia berpura-pura tidak melihatnya. Dia menundukkan kepalanya dan melanjutkan makan sambil berkata, "Kakek, makanan hari ini enak juga.""Makanlah lebih banyak kalau enak," jawab Tuan Besar Jacob dengan lembut dan ramah, nada bicaranya dengan Alana bertolak belakang sekali saat dengan Jovan.Jovan berjalan, duduk untuk makan dan berkata sambil tersenyum, "Keterampilan memasakku lumayan juga, 'kan? Aku sudah bisa masak delapan macam hidangan sekarang."Namun, tidak ada yang memberikannya tanggapan apa pun sehingga Jovan terdiam kikuk.Alana dan Tuan Besar Jacob sibuk makan dan terus mengabaikan Jo
Jovan sontak terkejut. Marshanda sudah gila, ya?Dia ternyata masih berpura-pura gila!"Oke."Jovan pun melangkah maju dan mengambil ponselnya, "Kalian makan duluan saja, nanti kususul. Aku mau telepon balik dulu buat menanyakan detail situasinya."Jovan pun berjalan keluar sambil membawa ponselnya.Alana membantu Tuan Besar Jacob duduk di sebelah meja makan sambil bergumam, "Memangnya itu sesuatu yang nggak bisa kamu bicarakan di rumah? Masa iya harus pergi ke luar segala?"Tuan Besar Jacob menyadari Alana terlihat kesal, jadi setelah duduk pun dia bertanya, "Kenapa sih si Marshanda itu selalu menghantui Jovan?"Dia paling membenci wanita seperti Marshanda."Entahlah," jawab Alana dengan jujur."Kakek kenal Marshanda juga?" tanya Alana dengan penasaran."Mana mungkin nggak? Dia nyaris membuat Jovan kehilangan akal sehatnya beberapa tahun yang lalu. Setelah itu Jovan tersadar, jadi berhenti berinteraksi dengannya.""Ternyata dia malah menghubungi Jovan lagi," kata Tuan Besar Jacob samb