Para wanita sahabat itu berkunjung di kamar rawat Reina dan Riki sampai larut malam.Maxime seorang pria dewasa tentu tidak bisa ikut mengobrol, dia pun bekerja di ruangan lain.Setelah para wanita pergi, Maxime baru keluar.Riki sudah mengantuk.Maxime datang ke sisi Reina, "Kamu capek? Mau berbaring sebentar?"Reina tersipu dan teringat setiap kali mereka berbaring bersama, tangan dan kaki Maxime suka menggerayangi tubuhnya."Aku nggak capek, aku mau duduk sebentar.""Sebentar lagi 'kan kamu melahirkan, ayo kita baring bentar aja." Maxime membujuk dengan lembut.Pada akhirnya, Reina pun hanya bisa menuruti Maxime.Setelah mematikan lampu, hanya cahaya redup dari luar yang masuk ke dalam kamar."Apa Raisa dan yang lainnya baik-baik saja?" Reina bertanya.Maxime memeluknya, "Jangan khawatir, aku sudah mengutus seseorang untuk mengawasi mereka diam-diam.""Ya."Reina tetap tidak tega terjadi sesuatu pada Raisa sekeluarga."Menurutmu kenapa Liane bisa begitu kejam? Reina teringat bagaima
Setelah Syena mengetahui hal ini, dia menelepon Liane untuk memastikan. Syena seketika jadi panik."Bu, aku ikut ya. Menurutku Reina nggak punya niat baik deh. Ibu lupa terakhir kali dia mengancammu?"Ucapan Syena membuat Liane menjadi waspada, "Aku bahkan lupa. Jangan khawatir, aku bawa pengawal kok. Harusnya dia nggak berani melakukan apa pun.""Bu, aku nggak tenang, aku mau ikut." Syena sudah masuk ke dalam mobil. "Ibu kirimkan aja alamatnya, aku nggak akan membiarkan sesuatu terjadi padamu."Liane tidak bisa debat mulut dengan Syena, jadi dia menyetujuinya, "Oke."Setelah mengirimkan alamatnya, Liane merasa senang karena berpikir bahwa Syena masih peduli padanya.Sekretarisnya pun menimpali, "Meski Nona Syena kejam, dia tetap perhatian padamu."Liane pun tersenyum, "Dia sudah biasa aku manjakan. Aku khawatir bagaimana hidupnya kalau aku meninggal nanti.""Bu Liane pasti akan berumur panjang," ucap sekretaris itu.Liane menjawab dengan tidak berdaya, "Aku tahu kondisi tubuhku. Dulu
Awalnya Reina pikir Liane akan sangat senang saat melihat hasil tes DNA itu.Apalagi Liane memang sudah tahu kalau Marshanda itu bukan putri kandungnya.Namun, Reina tidak menyangka hal pertama yang Liane tanya adalah di mana dia memalsukan laporan tes DNA ini?Tenggorokan Reina terasa seperti ditusuk jarum, "Aku nggak merekayasa hasil ini, kalau Anda nggak percaya, silakan periksa sendiri."Syena langsung menyahut dengan sinis, "Karena kamu pembohong seperti inilah hidup ibuku jadi sulit! Kamu pikir ibuku harus melakukan tes DNA dengan wanita di seluruh dunia?"Syena merebut laporan tes DNA itu dari tangan Liane, merobek-robeknya dan langsung membuangnya ke tempat sampah."Bu, ayo pergi. Kita nggak perlu ngomong apa-apa lagi sama penipu ini!"Liane pun berdiri dan menatap Reina, "Sudah kubilang, jangan permainkan putri kandungku. Dia adalah titik lemah hidupku."Reina menggigit bibirnya erat-erat."Aku nggak akan melepaskanmu dan tolong jangan hubungi aku lagi!" ucap Liane sebelum per
Liane tidak tahu kalau Reina akan melahirkan lebih cepat dari jadwal setelah mereka bertemu tadi.Pikirannya kacau dan Syena mencuci otaknya sepanjang waktu, "Bu, menurutku Reina melakukan hal konyol seperti itu karena kasus perusahaannya, dia nggak punya pilihan lain.""Marshanda 'kan sudah terbukti adalah putri kandungmu? Kalau Reina putrimu, masa iya Ibu punya anak kembar?"Liane merasakan telinganya berdengung dan tidak ingin mendengar ucapan Syena. Hatinya terasa sesak.Kalau Reina adalah putrinya, lalu apa yang dia lakukan pada Reina sebelumnya ....Dia bahkan tidak sanggup memikirkannya!"Kenapa Ibu diam saja? Ibu nggak boleh percaya sama dia, kalau Ibu percaya sama dia, Ibu bersalah sama Marshanda," ucap Syena.Liane sudah sangat pusing, dia pun berkata, "Bisa nggak biarkan aku menyendiri sebentar?"Syena tidak punya pilihan selain tutup mulut.Syena sangat takut sehingga dia diam-diam mengirim pesan ke Marshanda, memberitahunya bahwa Reina sudah mengetahui faktanya.Tubuh Mars
Akhirnya pintu ruang bersalin terbuka dan semua orang mendengar tangisan bayi yang baru lahir dari dalam.Suster pun membawa kedua bayi keluar, "Selamat, ibu dan bayinya sehat."Maxime bahkan tidak melirik bayinya yang baru lahir dan bergegas masuk ke ruang bersalin.Reina yang lelah berjuang sedang terbaring lemah di ranjang bersalin."Nana."Reina memaksa mengulas sebuah senyum, "Nggak apa-apa."Maxime merasa lebih tertekan saat melihatnya seperti ini."Sudah cukup, kamu nggak boleh hamil lagi.""Ya, oke." Setelah itu Reina melihat ke sekeliling, "Mana anak kita?""Ada di luar, sehat," jawab Maxime.Reina merasa lega, tapi dia tetap bertanya, "Laki-laki atau perempuan?"Maxime tertegun sejenak."Tunggu sebentar, aku periksa dulu."Dari tadi Maxime hanya fokus pada Reina, jadi dia lupa memeriksa kedua anaknya yang baru lahir.Sesampainya di luar, dia melihat Riki dan Riko terlihat kecewa."Mana bayinya?"Alana dibuat terdiam oleh kelakuan Maxime. "Sekarang baru ingat anakmu? Tuh dibaw
Diego pun tersenyum menyanjung, "Kak Morgan, jangan sungkan begitu padaku. Jangan khawatir, aku pasti akan membantumu."Saat mobil itu mulai melaju, Diego sudah memandang dirinya sebagai tokoh terkemuka di Kota Simaliki di masa depan.Selain mereka, di luar rumah sakit ada Syena dan Marshanda.Keduanya duduk di dalam mobil biasa, masing-masing dengan pikirannya sendiri."Katanya anaknya kembar laki-laki lagi." Syena sangat cemburu.Maxime punya empat putra dan mereka semua akan menjadi pesaing anak Syena dalam memperebutkan harta Keluarga Sunandar.Marshanda juga merasa tidak nyaman saat mendengar kabar ini, "Nona Syena, menurut rencana kita, nggak lama lagi momen kebahagiaan ini akan menjadi momen pemakaman."Syena mengangguk.Dia tidak lupa memberi tahu Melisha tentang berita tersebut.Belakangan ini Melisha tinggal di Grup Rajawali bersama ayah mertuanya, Aarav. Dia mau mengambil alih kekuasaan dari tangan Morgan. Dia pun membelalak kaget saat tiba-tiba menerima berita itu.Melisha
"Sekarang perusahaan nggak dapat beroperasi secara normal dan masih banyak pihak yang mencari masalah. Mereka membawa reporter, kami kesulitan mengusir mereka." Meski dulu di luar negeri Sisil berpengalaman membantu Reina mengelola sebuah perusahaan kecil, dia tidak pernah menghadapi situasi pertempuran seperti ini.Maxime menenangkan diri dan memberi perintah dengan rapi.Revin datang terlambat selangkah, awalnya dia berencana untuk mengambil tindakan, tetapi melihat Maxime sudah turun tangan, dia tidak ikut campur lagi.Brigitta minta maaf pada Revin dengan wajah pucat, "Pak Revin, aku benar-benar minta maaf. Proyek yang Anda percayakan padaku terakhir kali ... gagal lagi."Sekarang Brigitta sangat tidak yakin dengan kemampuannya dan tidak tahu apa yang salah dengan dirinya.Revin tidak menyalahkannya dan mengatakan yang sebenarnya."Brigitta, aku nggak menyalahkanmu. Kalau aku karyawan biasa sepertimu, aku juga pasti akan gagal ada bos besar yang menghalangi pekerjaanku."Brigitta t
Tatapan Maxime tidak terlihat goyah dan wajahnya tidak memancarkan emosi apa pun."Terus ngapain kalian nggak nyari? Ingat, kalau sampai anakku nggak ketemu, kalian akan kuusir dari Kota Simaliki.""Ya, baik."Sekelompok pengawal langsung pergi mencari.Maxime pun menelepon para pengawal, "Gunakan segala cara untuk menemukan anakku dan cari siapa pelakunya."Dulu Maxime terlalu berhati lembut sehingga ada beberapa lawan mengira dia mudah ditindas."Juga, habisi semua musuhku di Kota Simaliki.""Ya."Setelah Maxime mengatur semuanya dia berjalan ke kamar rawat Reina dengan langkah yang terhuyung.Reina baru saja bangun dan tidak tahu kalau bayi kembarnya hilang.Waktu melihat Maxime, Reina langsung bertanya padanya, "Max, mana anak kita? Aku mau bertemu mereka."Maxime melangkah maju dan berbohong, "Si kembar masih di inkubator karena tubuhnya agak kuning.""Oh gitu, ya sudah aku ke sana saja menemui mereka."Sejak melahirkan, Reina belum melihat kedua anaknya."Nggak, sekarang kamu ter
Maxime menginstruksikan pengawalnya, "Jangan biarkan dia tidur malam ini. Tentu saja, kalian harus bersikap lembut padanya, jangan lupa panggil dokter buat periksa keadaannya. Aku nggak mau dia sampai mati."Maxime mengatakan bahwa dia akan membuat hidup Morgan lebih buruk daripada kematian, dia akan memastikan bahwa Morgan tetap hidup.Kematian akan terlalu murah untuk Morgan. Selain itu, dia kembaran Maxime sendiri, jadi dia tidak akan membiarkan Morgan mati begitu saja....Keesokan harinya, Reina terbangun oleh dering telepon.Dia tidak membuka matanya, mengusap-usap telepon dengan lelah.Maxime mengulurkan tangannya yang panjang dan mengambilnya terlebih dahulu sambil berkata, "Ini ponselku, Ibu telepon.""Oh."Maxime mengangkat telepon dan mendengar suara cemas Joanna di sisi lain telepon, "Max, adikmu hilang. Kenapa aku nggak bisa menemukannya?"Suara ini tidak pelan dan Reina bisa mendengar apa yang dikatakan Joanna. Dia langsung menatap Maxime.Dia tahu ini pasti ulah Maxime.
"Ayo pulang." Reina berdiri.Maxime meraih tangan Reina. "Aku mau lihat lukamu."Reina membeku.Berpikir bahwa Maxime sudah tahu, dia tidak mengelak dan memperlihatkan luka di lehernya.Karena dibungkus kain kasa, Maxime tidak melihat bagian dalamnya."Aku nggak apa-apa," kata Reina."Ayo ke rumah sakit." Maxime sedikit khawatir dan dia tidak berani membuka kain kasa Reina dengan asal.Reina tidak ingin pergi, tetapi sikap Maxime begitu memaksa, jadi dia tetap mengikutinya ke rumah sakit.Di dalam rumah sakit, dokter membuka kain kasa Reina, memperlihatkan luka sepanjang jari di sana.Lukanya sangat dalam, seharusnya itu bukan luka ringan.Mata Maxime sedikit menyipit. "Dalam sekali lukanya. Kenapa menyembunyikannya dariku?""Ini sudah nggak apa-apa kok," jawab Reina.Jemari Maxime sedikit gemetar saat menyentuh leher Reina. "Jangan menyembunyikan apa pun lagi dariku, ya?"Suaranya sedikit serak.Reina mengangguk lagi. "Ya, aku mengerti."Lagi-lagi dia menjawab dengan ekspresi tidak pe
Maxime keras kepala, membuat Reina sedikit tidak berdaya. "Nggak perlu, sungguh. Kalau kamu di sini, gimana aku bisa kerja?""Bagaimana kalau aku kerja sama kamu?" Maxime menambahkan.Reina tidak tahu harus berkata apa lagi saat Maxime begitu serius, tidak terlihat seperti berbohong."Kalau begitu kamu bisa tetap di sini hari ini." Pada akhirnya, Reina terpaksa harus berkompromi.Maxime menyuruh seseorang untuk membawa dokumen-dokumen yang harus dikerjakan.Asisten Reina sedikit ragu. Bagaimanapun juga, Maxime adalah orang luar.Reina berkata kepadanya, "Nggak apa-apa, suamiku nggak sejahat itu sampai ingin mengambil alih properti keluargaku."Perusahaan Maxime sendiri tidak kalah dengan perusahaannya.Keduanya juga punya empat anak laki-laki. Ketika mereka meninggal kelak, bukankah harta mereka akan menjadi milik anak-anak mereka?Keempat anak itu adalah putra Maxime, jadi dia tidak perlu sampai berbuat seperti itu.Selain itu, Maxime orang yang sangat berprinsip, mana mungkin dia men
Entah sudah berapa lama, Maxime meminta sopir mengemudikan mobilnya ke Grup Yinandar.Jika benar seperti yang dikatakan Morgan, bahwa hal seperti itu menimpa Reina, apa yang harus dia lakukan agar bisa menghiburnya?Tidak lama kemudian, mobil tiba di lantai bawah Grup Yinandar.Maxime keluar dari mobil dan berjalan menuju bagian dalam perusahaan.Orang-orang di Grup Yinandar tentu saja mengenal Maxime. Ketika melihatnya, mereka langsung mengantarnya ke kantor Reina.Kantor presdir.Reina sedang bekerja ketika asistennya mengetuk pintu. "Bu Reina, Pak Maxime datang."Dia mengangkat kepalanya dan melihat ke arah pintu.Maxime mengenakan setelan jas dan memiliki bentuk tubuh yang tegap. Namun, saat ini wajahnya terlihat sedikit lelah."Kenapa kamu ke sini?" Reina agak terkejut, di jam-jam seperti ini, bukankah seharusnya dia berada di tempat kerja?Setelah asisten pergi dan menutup pintu, Maxime berjalan lurus ke arah Reina."Nana." Matanya dalam, ada emosi kompleks yang tersembunyi di da
Maxime menopang dagunya dengan satu tangan dan menatapnya dengan tatapan dingin. "Reina nggak bilang apa-apa, karena itulah aku bawa kamu ke sini. Katakan, apa yang kamu lakukan padanya kemarin malam?"Ekspresi Morgan langsung berubah ketika mendengar ini."Aku tahu kalau Nana bukan orang yang suka menyebarkan berita."Dia menarik napas dalam-dalam. "Apa aku boleh bicara sambil duduk?"Maxime menoleh ke pengawalnya, yang dengan cepat memindahkan kursi untuk Morgan.Morgan duduk dengan pandangan tajam."Tadi malam aku sama Nana melakukan sesuatu yang seharusnya terjadi sejak dulu."Sesuatu yang seharusnya terjadi sejak dulu?Maxime mengerutkan kening. "Terus terang saja, apa yang terjadi sebenarnya."Dia tidak suka dengan pernyataan bodoh itu."Hal-hal yang berhubungan dengan suami istri!" kata Morgan.Detik berikutnya, Maxime bangkit dan menendang tepat di jantungnya."Braak!" Dengan gebrakan keras, Morgan jatuh tersungkur ke lantai. Tangannya menutupi dadanya, napasnya terengah-engah.
Detik berikutnya, Reina membuka matanya dan bertemu dengan tatapan Maxime yang penuh perhatian.Dia buru-buru meraih tangan Maxime. "Kenapa belum tidur?""Nggak bisa tidur, jadi nggak tidur lagi," jawab Maxime."Ya, tutup matamu dan tidur lagi. Besok kamu masih harus kerja," kata Reina.Maxime mengangguk, tetapi tidak melepaskan pelukannya.Dia bertanya dengan ragu-ragu, "Sepertinya kamu belum nyenyak sejak kembali dari tempat Sisil. Apa terjadi sesuatu di sana?"Reina membeku, tetapi kembali tenang dengan cepat."Memangnya apa yang bisa terjadi? Aku cuma nggak bisa tidur kalau bukan di kamar sendiri, jadi kurang tidur."Melihat Reina terus berbohong dan tidak mau mengatakannya, Maxime memutuskan untuk tidak melanjutkan masalah ini.Besok dia akan menemui Morgan dan menanyakan langsung kepada Morgan apa yang terjadi.Keesokan harinya.Reina terbangun dari tidurnya dengan perasaan yang jauh lebih baik dan sudah tidak terlalu mengantuk lagi.Mungkin karena dipeluk oleh Maxime, jadi dia t
Mungkin terlalu mengantuk, Reina langsung tertidur setelah berbaring.Dia tidak tahu bahwa Maxime masih belum tertidur.Maxime perlahan membuka matanya setelah mendengar suara napas teratur Reina.Cahaya di dalam kamar membuatnya bisa melihat garis-garis wajah Reina. Maxime menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu, tatapannya tertuju pada lehernya.Reina sudah mandi dan berganti pakaian. Dia mengenakan pakaian yang menutupi bagian lehernya.Itu bukan baju tidur ....Maxime awalnya bertanya-tanya, mungkin saja syal itu yang jadi masalah. Sekarang, dia merasa bahwa Reina mengenakan syal untuk menghalangi sesuatu di lehernya.Tangannya terulur, berusaha untuk mencari tahu.Reina tertidur pulas.Gerakan Maxime ringan, cukup lembut untuk menurunkan kerah bajunya. Dia melihat sekilas bahwa ternyata ada kain kasa yang menutupi leher Reina. Dia samar-samar bisa melihat sedikit warna merah terang keluar dari kain kasa tersebut.Reina merasa lehernya gatal, jadi dia bergerak.Maxime segera menari
Mata Maxime menyipit saat mendengar Reina mengatakan itu.Matanya memperhatikan syal di leher Reina. "Baru?"Reina mengangguk. "Hmm.""Kamu sudah di kamar, jadi nggak dingin, lepas saja." Maxime menambahkan, sambil mengulurkan tangannya.Reina langsung bersandar mundur ke belakang. "Nggak apa. Aku masih kedinginan, jadi lebih baik pakai saja."Tangan Maxime yang terangkat membeku di udara, lalu dia menariknya kembali."Baiklah, nggak usah dilepas kalau kamu nggak mau."Kekhawatiran di hati Reina akhirnya menghilang.Dia memaksa dirinya untuk bangun walau masih mengantuk. "Aku agak lapar, ayo kita makan.""Ya."Reina berjalan melewati pandangan Maxime dan pergi menuju ruang makan di lantai bawah.Maxime hanya mengamatinya, merasa bahwa Reina menyembunyikan sesuatu darinya.Kenapa Reina tidak mengizinkannya melepas syal itu?Maxime tidak mengerti.Reina tiba di ruang makan di lantai bawah, di mana koki telah menyiapkan makanan dan membawanya ke meja makan.Dia juga memanggil anak-anak un
"Kenapa bawa aku ke sini?" tanya Reina.Maxime tidak menjawab, meraih tangannya dan berjalan ke depan.Reina dituntun olehnya ke dalam tempat bermain. Sejauh mata memandang, ada tempat permainan."Kamu?""Ngajak kamu main game," jawab Maxime.Reina sedikit terdiam. "Ekki benar, kamu cemburu."Maxime menunduk, mulutnya tertutup wajahnya begitu bangga."Aku nggak cemburu. Aku tahu kalian cuma teman biasa." Dia melanjutkan, "Bukannya barusan kamu bilang jarang main game? Kebetulan hari ini aku senggang, jadi aku bakal nemenin kamu."Saat mengatakan itu, dia menarik Reina ke depan sebuah mesin lempar koin.Sebelum Reina duduk, petugas membawa sekantong besar koin permainan dan meletakkannya di sampingnya."Nona bos, silakan main sampai puas."Reina tidak bisa berkata-kata saat melihat sekantong besar koin yang disodorkan kepadanya.Bukankah bermain game lempar koin agar bisa mendapatkan koin?Maxime memberinya begitu banyak koin, lalu dari mana tantangan jika memainkan game ini?"Katakan,