Dalam kabut uap, Reina bisa melihat tubuh kekar nan sempurna Maxime. Reina pun meliriknya beberapa kali.Saat Reina sedang melamun, Maxime buru-buru mengambil handuk dan keluar dari kamar mandi.Reina langsung membuang muka dan berpura-pura melihat ponselnya.Maxime sudah dari tadi tahu Reina mengintipnya, Maxime pun berjalan mendekat, "Gimana? Bagus?"Wajah Reina memerah."Apanya yang bagus? Aku nggak liatin kamu kok.""Aku nanya yang lagi kamu lihat di ponselmu." Maxime tersenyum, "Kapan kamu melihatku? Barusan?"Reina menunduk. Setelah mendengar ucapan ini, dia baru sadar kalau dirinya sudah ketahuan."Tadi pintu kamar mandimu terbuka sedikit, aku jadi lihat sedikit."Reina bangkit berdiri sambil menggerutu, "Lagian aku juga sudah pernah lihat, nggak ada yang bagus.""Oh gitu? Terus kok kamu nggak berani menatapku?" tanya Maxime sambil menelan ludah.Reina berhenti bersikap malu-malu, lalu mengangkat kepalanya untuk menatap Maxime.Pria itu baru saja mandi, rambut pendeknya masih ba
Reina tersadar dari lamunannya dan langsung mengambil handuk mandi untuk menutupi tubuhnya. Setelah itu dia berkata, "Maaf ..."Entah mengapa, Reina tidak bisa mengendalikan diri.Wajah Maxime yang ditampar Reina terasa kaku."Nggak apa. Barusan kamu ... nggak apa-apa?"Reina merasa lebih bersalah setelah mendengar pertanyaan Maxime. "Nggak apa-apa, aku nggak sengaja menjatuhkan botol sabun mandi."Maxime merasa lega, lalu berkata dengan wajah serius, "Mulai sekarang biar aku temani kamu mandi.""Nggak perlu, beneran nggak perlu."Reina tersipu malu sambil menutupi tubuhnya dengan handuk mandi.Maxime bisa melihat gerak-gerik Reina. Wanita ini memperlakukannya seolah dia adalah penguntit.Orang lain pasti tidak menyangka kalau Reina dan Maxime sudah punya dua anak.Dulu Reina menggoda Maxime, ternyata memang demi kepentingan anakSetelah merapikan handuk mandinya, Reina mengambil gaun tidurnya dan langsung memakainya."Oke, ayo tidur.""Ya."Maxime mengikuti Reina.Reina mengambil pons
Karena dipeluk Maxime, Reina tidak bisa melihat cahaya redup di mata gelap Maxime."Tentu saja, kamu cuma boleh hidup sama aku, kecuali aku mati," sahut Maxime dengan tegas.Dulu Maxime menceraikan Reina karena Maxime pikir karena dia akan menjadi idiot dan dia tidak ingin merepotkan Reina.Lagi pula, jadi orang idiot itu sama saja dengan mati.Reina merasa marah mendengar ucapan Maxime, dia langsung mengepalkan tinjunya dan memukul bahu Maxime."Aku bisa bersama siapa pun yang aku mau. Kamu bukan lagi suamiku dan kamu nggak punya hak buat ngatur aku!"Reina hanya asal bicara. Bagaimanapun dia sudah punya dua orang anak, bahkan sekarang sedang hamil.Mana mungkin dia hidup bersama pria lain dan membuat anak-anaknya punya ayah tiri?Selain itu, dengan kondisi Reina sekarang, pasangan hidupnya pasti akan kerepotan.Faktor lainnya juga Reina tidak membutuhkan pria untuk menghidupi dirinya dan anak-anaknya.Awalnya Reina hanya asal bicara saja untuk membuat Maxime kesal. Siapa sangka Maxim
'Bisa jadi dia mau main-main sama kamu, tanpa perlu bertanggung jawab.Ucapan Maxime langsung terngiang di telinga Reina dan matanya langsung memerah."Ternyata ... Ternyata aku wanita yang seperti itu di matamu? Kamu terus nanya kenapa aku nggak mau balikan sama kamu, 'kan? Apa sekarang kamu sudah ngerti? Bagimu, aku itu wanita yang hatinya bisa dimainkan oleh semua orang.""Morgan, Ari, Revin ... Apa menurutmu aku wanita rendahan yang main hati dengan ketiga pria ini, di saat aku sudah punya anak tapi masih berhubungan dengan mereka?"Reina masih ingat pertama kali dirinya dan Maxime bersetubuh, yaitu saat Maxime salah paham antara dirinya dan Revin.Namun, selama lima tahun di luar negeri, Reina saja tidak pernah bergandengan tangan dengan Revin karena hubungan mereka murni sebatas teman.Maxime menatap mata merah Reina dan menyadari bahwa dia telah salah bicara.Dia langsung memeluk Reina.Entah Reina mengapa, mungkin karena merasa terlalu dipojokkan, setetes demi setetes air mata
Ari sangat percaya diri. Bagaimanapun, dia memiliki anggota tubuh yang sehat, tidak cacat, berpenampilan bagus serta punya latar belakang keluarga yang baik.Dia merasa, mustahil dirinya kalah dari Maxime.Manajer Ari pun tidak membujuknya lagi. Orang seperti Ari itu baru kapok kalau sudah terkena batunya....Di Vila Magenta.Setelah Reina tenang, dia bangun.Reina juga tidak tahu apa yang terjadi padanya, kenapa dia bisa menangis?Di luar, Maxime sudah menyiapkan sarapan. Dia menatap Reina dan berkata, "Ayo, sarapan.""Aku nggak mau makan, aku langsung berangkat kerja saja."Reina hendak langsung pergi begitu selesai bicara.Maxime menghentikannya, "Makan dulu baru pergi."Reina merasa Maxime tidak akan membiarkannya pergi sebelum dia makan.Reina pun duduk di meja makan dan makan dengan santai.Maxime terus menatap Reina dan mendapati matanya masih merah.Maxime menyesal, harusnya barusan dia tidak bicara sembarangan.Dia pernah berkonsultasi pada dokter, katanya wanita hamil tidak
Reina sudah tahu tentang Rendy, jadi dia tidak penasaran.Dia hanya penasaran siapa yang mengincar Maxime kemarin malam.Tapi kalau dipikir-pikir, harusnya Maxime sudah meminta bawahannya menyelidiki.Benar saja, Maxime sudah pergi ke rumah sakit. Alasannya sih ingin menjenguk Rendy, tapi sebenarnya dia memperingatkan Aarav sekeluarga untuk tidak berulah.Melisha sangat ketakutan, kakinya terasa lemas.Dalam hati Aarav juga takut, tapi dia menolak mengaku bahwa kemarin adalah orang suruhannya. Dia berkata, "Max, kita ini 'kan satu keluarga, mana mungkin aku menyakitimu?""Ya, ya, Max. Aku dan Rendy selalu ingin kamu bisa cepat pulih."Maxime hanya menatap Rendy sekeluarga yang pengecut."Jangan sampai terulang."Maxime pun keluar dari kamar rawat.Suasana di kamar rawat masih mencekam, Rendy mengencangkan cengkeramannya pada tangan ayahnya, "Ayah, aku takut banget.""Jangan takut. Ada Ayah di sini, dia nggak akan berani menyakitimu." Meski mulutnya berkata demikian, Aarav merasa bersal
Liane tidak mengerti. Jika Doni mewarisi penyakit ini dari Raisa, apa Raisa mewarisi dari generasi sebelumnya?Tapi di keluarga Liane dan mantannya, tidak ada riwayat penyakit diabetes.Ekspresi Liane sulit dijelaskan, namun mulutnya tidak lupa menghibur Raisa."Raisa, jangan sedih. Ini bukan salahmu. Setiap ibu berharap anaknya sehat."Raisa mengangguk, "Ya."Liane menatap mata Raisa yang terlihat penuh kecemasan dan sejenak merasa bersalah.Bagaimana dia bisa meragukan putrinya sendiri?Raisa pasti putrinya. Dia telah mencarinya selama bertahun-tahun. Bagaimanapun, dia tidak boleh kehilangannya lagi."Dokter, nggak peduli berapa biayanya, kamu harus menyembuhkan cucuku. Selama kamu bisa menyembuhkannya, aku janji akan mempromosikan rumah sakit ini dan dokter sendiri ke tingkat yang lebih tinggi," kata Liane."Jangan khawatir, Bu Liane, kami akan lakukan yang terbaik untuk merawat tuan muda."Liane mengangguk.Syena yang ada di sampingnya sudah tidak sabar.Hari ini dia membuang waktu
Mungkin karena takut Liane akan sedih, asisten Liane pun menjelaskan, "Tapi ini normal. Bagaimanapun sejak kecil, Nona Raisa bukan dibesarkan olehmu."Liane tahu asistennya hanya sedang menghiburnya, jadi dia bertanya lagi, "Kalau gitu menurutmu Syena mirip sepertiku?"Asisten Liane tersedak dan terdiam lama.Syena adalah orang yang egois dan mementingkan diri sendiri. Syena itu tidak punya kemampuan, tapi sombong. Tiap kali membuat masalah, Liane harus selalu membereskannya.Liane dan Syena adalah orang yang sangat berbeda.Asisten Liane ini sudah bekerja untuk Liane sejak Liane belum punya apa-apa. Waktu itu Liane sangat rendah hati, tahan banting dan tidak semua orang bisa membantunya.Selama ini Liane sudah berjuang dan mengandalkan kekuatannya sendiri."Nona Syena sangat cantik, sama seperti waktu Bos masih muda." Setelah berpikir cukup lama, asisten Liane pun menjawab secara umum.Liane yang pintar hanya bisa menggeleng tanpa daya, "Sepertinya nggak satu pun dari kedua putriku ya
Morgan tidak bisa menghindar, tidak punya pilihan selain menerima pukulan keras itu.Darah keluar dari sudut mulutnya, tubuhnya limbung. Cengkeraman tangannya di lengan Jess terlepas saat dia terdorong mundur dan hampir jatuh ke tanah.Erik mengepalkan tinjunya dan berdiri di antara dia dan Jess, menatap Morgan dengan dingin."Aku sudah berbaik hati mengantarmu ke rumah sakit, tapi aku nggak menyangka kamu akan datang ke sini dan berbuat kasar sama Jess. Sepertinya kamu masih belum cukup sadar, jadi aku akan membuatmu sadar!"Jika dia tidak datang untuk menjemput Jess, dia tidak akan melihat adegan Morgan yang mengganggu Jess.Dia mengatupkan giginya karena marah, ada sedikit kejengkelan dalam tatapannya saat dia menatap Jess."Kamu baik-baik saja?" tanyanya.Jess sedikit panik saat mendengar pertanyaannya, tetapi dia mengangguk. "Ya, aku baik-baik saja."Erik menoleh ke arah Morgan dan melangkah mendekatinya.Morgan berdiri diam sebelum menatap orang di depannya. Dia mengangkat tangan
Morgan melihat ke arah panggilan yang ditutup, suasana hatinya langsung jatuh ke titik terendah.Namun, dia tidak beranjak pergi.Di dalam perusahaan.Jess mengira Morgan sudah pergi, jadi dia berkemas seperti biasa dan keluar dari perusahaan.Sebelum dia keluar, Erik bahkan mengiriminya pesan."Aku jemput, ya?"Jess membalas pesan itu, "Nggak perlu, aku pulang sendiri saja."Dia terbiasa melakukan segala sesuatunya sendiri, bahkan setelah menghabiskan banyak waktu dengan Erik, dia masih belum terbiasa untuk dijaga olehnya seperti itu."Penolakan ditolak, aku sudah di lantai bawah perusahaanmu, cepat keluar." Erik tersenyum dan mengirimkan pesan itu.Jess sedikit tidak berdaya saat melihat pesan itu, tetapi dia tidak mengatakan apa-apa lagi.Erik memang seperti itu, selalu melakukan segala sesuatu terlebih dahulu, baru memberitahunya. Jess sudah terbiasa dengan hal itu.Berjalan keluar dari pintu perusahaan, Jess mencari-cari mobil Erik. Namun, sebelum dia bisa menemukannya, sesosok tu
Morgan hanya perlu menunggu persetujuan Jess, tidak mempermasalahkan apakah Jess sudah menikah atau belum.Jess tidak tahu harus bahagia atau sedih saat ini.Ternyata orang yang dia sukai kini juga menyukainya. Ternyata cintanya tidak bertepuk sebelah tangan.Namun, yang menyedihkan adalah dia sudah menikah. Pernikahan ini diatur oleh orang tuanya, yang juga atas keinginannya sendiri. Erik memperlakukannya dengan baik, jadi dia tidak bisa melakukan sesuatu yang kiranya bisa mengkhianati Erik."Maafkan aku, Tuan Morgan. Tuan mungkin sudah salah paham dengan niatku untuk Tuan. Tuan itu atasanku, jadi aku harus bersikap baik kepada Tuan karena tuntutan pekerjaan, bukan karena aku menyukai Tuan seperti yang Tuan katakan." Jess terdiam sejenak, kemudian melanjutkan, "Selain itu, aku sudah menikah dan suamiku memperlakukanku dengan sangat baik. Kami berdua saling mencintai dan aku nggak akan menceraikannya."Kami berdua saling mencintai!Kata-kata itu sangat tajam dan menusuk ketika terdenga
Morgan membuka kontaknya dan melihat catatan panggilan pegawai tempat dia minum dengan Jess saat dia mabuk.Pikirannya kacau dan dia ingin sekali memastikannya.Entah sudah berlalu berapa lama, Morgan akhirnya berhasil menghubungi nomor Jess.Pada saat itu, Jess sedang sendirian di dalam perusahaan, sementara Erik pergi untuk menjalankan tugasnya sendiri setelah mengantarnya.Melihat panggilan dari Morgan, Jess ragu-ragu sejenak sebelum mengangkatnya."Tuan Morgan, ada apa?"Tuan Morgan?Morgan sedikit terdiam saat mendengar panggilan yang tidak biasanya digunakan Jess saat memanggilnya."Kamu yang membawaku ke rumah sakit hari ini?" tanya Morgan.Jess tidak mencoba menyembunyikan apa pun dan menjawab, "Aku dan Erik yang mengantarmu. Untung saja ada dia yang membantu. Kalau nggak, aku nggak akan bisa membawamu ke rumah sakit sendirian."Sepanjang jawabannya, dia menyebutkan nama Erik hingga beberapa kali.Morgan mengerti bahwa ini adalah untuk memberitahukan bahwa dia dan Erik sudah me
Simpul di tenggorokan Morgan bergulir. Dia menggunakan seluruh kekuatannya untuk membuka matanya dan melihat Jess. Ketika dia yakin itu adalah Jess, dia langsung mengangkat kedua tangannya.Jess tidak tahu apa yang ingin dilakukan Morgan, jadi dia mendekat dan bertanya kepadanya."Tuan Morgan, apa Tuan baik-baik saja? Apa ada yang nggak nyaman? Apa Tuan butuh air? Sebentar lagi kita sampai di rumah sakit."Begitu kata-kata terakhir itu terucap, tangan Morgan tiba-tiba mendarat di sisi wajahnya.Pria itu bergumam dengan suara pelan, "Jess? Apa aku sedang ... bermimpi?"Wajah Jess terasa panas, tubuhnya menegang dan dia menatapnya tidak percaya.Wajah Erik yang duduk di samping langsung berubah muram. Dia mengangkat tangannya untuk menepis tangan Morgan."Ngapain kamu?"Tangan Morgan jatuh dan dia benar-benar kehabisan tenaga, menutup matanya lagi.Jess menatap Erik dengan tatapan penuh rasa bersalah. "Maafkan aku."Erik kesal, tetapi tidak menunjukkannya."Dia yang menyentuhmu, jadi kam
Ketika Jess dan Erik sampai, mereka langsung dimarahi."Kalian akhirnya datang juga. Bukan hanya mabuk, dia juga merusak banyak minuman di toko kami. Jadi, jangan lupa bayar dulu sebelum kalian membawanya pergi," kata pemilik tempat itu.Mendengar itu, Jess melihat ke arah yang pria ini tunjuk.Ini adalah pertama kalinya dia melihat Morgan seperti itu.Pakaiannya sedikit acak-acakan, wajahnya berjanggut dan sedikit tidak terawat. Dia mabuk berat, duduk tidak berdaya di kursi. Ada banyak pecahan botol di sekelilingnya, membuat udara pekat oleh bau alkohol.Mata Jess terlihat khawatir. Dia hendak meminta maaf kepada pemilik tempat ini, tetapi Erik yang berada di antara mereka berkata dengan dingin, "Apa kalian nggak tanggung jawab? Apa kamu tahu, kalau sesuatu terjadi dengannya di tempatmu ini, tidak ada satu pun dari kalian yang bisa lepas dari tanggung jawab."Dia tidak sebaik Jess."Itu masalah dia, apa hubungannya dengan kita?" Pelayan tidak terintimidasi oleh perkataan Erik.Ini ada
Jess sedikit tidak percaya. Kesehatan Morgan tidak baik. Selama bertahun-tahun dia merawatnya, dia tidak pernah melihat Morgan minum.Sekarang, mendengar nada bicara pria itu, Morgan sepertinya sedang mabuk berat.Namun ....Jess menoleh ke arah Erik, hatinya terkoyak.Dia sudah menikah dan bertekad untuk menjauhi Morgan. Dia tidak akan pernah bisa mengkhianati Erik."Itu, aku nggak bisa ke sana. Kalau kamu ada waktu, tolong antar dia ke rumah sakit. Setelah dia sadar dari mabuk, dia pasti akan sangat berterima kasih kepadamu," jawab Jess dengan sopan."Apa kamu bercanda? Kamu yang temannya saja nggak mau antar dia ke rumah sakit, apalagi aku yang cuma orang asing? Kamu ingin aku mengantarnya? Aku masih harus kerja." Pria itu menjawab dengan tidak sabar. "Kalau kamu nggak datang, aku juga nggak peduli lagi."Setelah mengatakan itu, pria di seberang sana menutup telepon.Wajah Jess terlihat cemas.Melihat ini, Erik tidak bisa menahan diri dan bertanya, "Ada apa?""Morgan mabuk." Jess me
"Nona Reina." Jess memanggilnya terlebih dahulu.Reina mengangguk dan menuntun kedua anaknya berjalan ke arah mereka.Kedua anak itu dengan sopan memanggil mereka, "Om Erik, Tante Jess.""Hmm." Jess tersenyum, menunjukkan senyuman lembut.Erik juga tersenyum. "Kita baru sebentar nggak bertemu, kalian sudah tambah tinggi rupanya."Dulu, ketika berada di luar negeri, Erik pernah bertemu kedua anak ini beberapa kali saat mengikuti Revin. Jadi, dia cukup akrab dengan keduanya.Kedua anak itu juga memiliki cukup akrab dengannya."Om Erik kapan punya anak? Hari ini kami ikut Mama ke rumah sakit dan melihat bayi yang dilahirkan Tante Alana, lucu sekali." Riki bertanya sambil mengedipkan mata.Mendengar kata anak, wajah Erik dan Jess langsung berubah.Namun, semua itu menghilang dengan cepat.Erik terbatuk-batuk dua kali. "Hal semacam ini nggak bisa dipaksakan, nggak boleh buru-buru juga.""Oh." Riki sepertinya mengerti, dia pun mengangguk. "Om Erik dan Tante Jess harus lebih semangat. Setelah
Alana sengaja menggoda Riki. "Riki, kenapa kamu bilang begitu? Aku dan mamamu sudah seperti kakak adik, jadi wajar saja kalau kami jadi mak comblang anak kami sendiri. Bukankah kamu sering melihat itu di drama TV?""Jangan khawatir, kali ini Tante memang belum melahirkan anak perempuan, tapi lain kali Tante baka berusaha lebih keras lagi agar bisa melahirkan anak perempuan yang cantik. Saat itu tiba, aku akan menikahkannya denganmu, ya? Kamu sangat pengertian, pasti kamu akan memperlakukannya dengan baik, bukan?"Riki jauh mudah ditipu ketimbang Riko. Berpikir bahwa Alana berencana akan melahirkan anak perempuan di kemudian hari, dia langsung merasa ngeri."Tante Alana, aku ... mungkin aku nggak akan nikah."Dia ketakutan sampai punya pikiran untuk tidak menikah.Reina menggodanya, "Tapi bukannya kamu pernah bilang kalau Talitha cantik? Katamu, siapa yang bisa nikah sama dia, orang itu pasti sangat bahagia.""Hah? Kamu suka punya seseorang yang kamu suka?" Alana memasang wajah terkejut