Rasa sakit membuat Maxime membuka matanya, dia terlihat kesal. Namun, begitu melihat Reina bangun di sofa, suasana hatinya seketika berubah.Riki berjalan mendekat dan berkata, "Semalam mama tidur sama papa di sofa?""Kok bisa?"Riki memasang tampang polos.Wajah Reina panas terbakar dan dia tidak tahu harus menjawab apa.Maxime bangkit berdiri dari lantai. Dia sudah tidak bertingkah seperti anak-anak, dia kembali ke sikap dinginnya yang biasa, "Anak-anak jangan ikut campur urusan orang dewasa."Riki pun cemberut.Reina melangkah maju dan mengganti topik pembicaraan."Ayo sayang, mandi. Hari ini harus sekolah."Riki mengalah dan pergi ke kamar mandi.Setelah Riki pergi, Reina menghela napas lega dan kembali menatap Maxime.Pria itu sepertinya kurang tidur, wajahnya sedikit pucat.Maxime sadar Reina sedang menatapnya. Saat mata mereka bertatapan, Maxime hendak memeluknya.Sayangnya Reina sedang hamil dan masih marah."Kemarin aku agak mabuk." Maxime menjelaskan."Oh." Reina menjawab den
Aarav juga datang ke kantor dan untuk sementara menempati kantor Rendy. Dia sedang bersantai di teras sambil menatap keluar.Melisha bergegas menghampirinya, "Ayah, ada berita tentang Rendy."Aarav pun balik badan dan bertanya."Sekarang dia di mana?"Melisha tidak menjawab, tetapi menyerahkan ponselnya dan memainkan sebuah rekaman.Dalam rekaman tersebut, Rendy sedang memohon belas kasihan dan menangis.Aarav membelalak tidak percaya, "Dari mana rekaman ini?""Aku nggak tahu, pagi tadi aku terima email berisi rekaman ini," jawab Melisha.Melisha terlihat khawatir, "Ayah, apa Rendy kenapa-kenapa ya?"Meski Rendy mengkhianatinya, dia tetap ayah dari anaknya. Keduanya telah menikah selama bertahun-tahun. Kalau terjadi sesuatu pada Rendy, bagaimana nasib Melisha dan Tommy?Aarav mengepalkan tangannya, "Siapa yang melakukannya? Berani sekali mereka menyentuh keluargaku!""Melisha, jangan khawatir. Keluarga Sunandar dan Keluarga Chalisa akan berusaha sebaik mungkin untuk menemukan Rendy." A
Reina sedang bekerja saat bawahannya datang melapor, "Bos, ada tamu.""Siapa?"Bawahan itu menggeleng, "Entahlah, tamunya wanita. Dia bilang sudah mengenalmu sejak kecil. Dia sedang menunggu di ruang tunggu sekarang."Reina berdiri dan berkata, "Oke, aku mengerti."Sisil sedang mencetak dokumen. Begitu mendengar ada teman masa kecil Reina yang datang, dia yang penasaran pun melongok beberapa kali.Reina berjalan mendekat dan sekilas melihat Marshanda.Terakhir kali Alana bilang, Marshanda sudah ditindas habis-habisan oleh Jocelyn. Ada urusan apa dia ke sini?Apa wanita ini mau cari masalah?Marshanda menyadari ada yang menatapnya dari pintu. Dia pun menoleh dan bertatapan dengan Reina, setelah itu Marshanda melirik perut Reina yang membesar.Reina memang hamil. Kalau dilihat dari besar perutnya sepertinya memang hamil anak kembar."Sisil, panggil satpam. Antar orang ini keluar." Reina malas berbasa-basi.Melihat Reina mengusirnya, Marshanda pun buru-buru keluar dan langsung jatuh berlu
Jovan sedang bekerja di rumah sakit sekarang. Mendengar apa yang dikatakan Marshanda, dia menguap."Oh."Marshanda mengira dia telah memaafkannya dan langsung berkata, "Apa kamu bersedia melepaskan aku?"Jovan terkekeh."Marshanda, kamu bercanda?"Marshanda membeku."Kamu pikir semua bisa selesai dengan minta maaf?" Jovan mengetukkan jari rampingnya di atas meja, "Aku sudah banyak berinvestasi padamu. Penghasilanmu di Klub Beautide cukup bagus, bukan?""Aku ... Aku masuk ke sana karena Jocelyn, aku nggak dapat uang dari sana." Marshanda terbata-bata."Ya kalau utang, kamu lunasi dong utangnya. Tenang, kalau kamu nggak ada tamu, biar kucarikan. Kamu bisa melayani beberapa sekaligus dengan baik, 'kan?"Setelah Jovan selesai bicara, dia menutup telepon.Dia paling benci ditipu. Dia ingin sekali Marshanda mati, namun tidak akan dibiarkannya semudah itu.Hari ini kondisi Tuan Besar Jacob tiba-tiba memburuk. Alana dan Riko bergegas ke rumah sakit.Tuan Besar Jacob langsung menggandeng Alana,
Jovan mengerutkan kening, "Kakek lupa dokter bilang apa? Nggak boleh terlalu ekspresif."Meski di mulut Jovan mengeluh, namun dalam hati dia juga takut kalau kakeknya ini meninggal.Tuan Besar Jacob mengerti pribadi Jovan. Dia bukan pria jahat, hanya saja kadang tidak bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk."Hei, kapan aku begitu bahagia? Nggak ada tuh yang membuatku bahagia."Dia melihat ke langit-langit dan menghela napas, "Aku bahkan nggak bisa menggendong cicitku, jadi apa yang bisa membahagiakan?"Tuan Besar Jacob menutupi wajahnya dan pura-pura menangis."Kalau nggak ada Riko, mungkin aku nggak pernah merasakan bahagia sebuah keluarga."Jovan sudah terbiasa menonton drama Tuan Besar Jacob.Tapi Alana belum terbiasa, jadi dia langsung menghiburnya."Kakek, jangan terlalu banyak berpikir. Kan ada kami, kok Kakek nggak bahagia?"Tuan Besar Jacob memang menunggu Alana bicara, "Tapi masih ada yang mengganjal dalam hatiku, kalau nggak selesai, aku nggak akan mati tenang.""Apa
Tidak lama setelah Reina mengusir Marshanda, dia tiba-tiba mendengar kabar ini dan terkejut."Apa? Menikah? Dengan siapa?""Jovan kayaknya."Kayaknya?Reina bingung.Reina pun bertanya, "Bukannya kamu bilang nggak mau nikah sama dia? Kamu pacaran cuma supaya Tuan Besar Jacob tenang?""Kondisi kakek makin buruk. Keinginan terakhirnya hanya melihat kami menikah. Aku benar-benar tidak mau mengecewakannya," kata Alana.Lagipula sampai sekarang Alana belum punya tambatan hati. Menikah dengan siapapun sama saja. Kalaupun tidak bisa, paling nanti setelah Tuan Besar Jacob meninggal, dia akan minta cerai.Reina pun berkata, "Alana, pernikahan itu bukan main-main. Kamu harus melakukannya dengan sukarela. Jangan menyiksa dirimu sendiri demi orang lain.""Nggak masalah, aku nggak menyiksa diri sendiri kok. Lagian ayahku benar, aku bisa naik kelas kalau menikah sama dia." Alana sangat berkompromi, "Reina kamu tenang aja, kalau dihitung-hitung, aku tetap untung kok."Alana telah lama kecewa dengan c
Reina tidak ingin mengambil apa pun yang diberikan Maxime tanpa imbalan. Karena Reina takut suatu hari nanti Maxime berubah pikiran.Apalagi keduanya sekarang sudah jadi mantan, jadi Reina tidak pantas menerima pemberian berharga seperti ini.Maxime tidak menyangka Reina akan menolak begitu saja."Kamu yakin nggak mau?"Reina mengangguk, "Yah, ini terlalu mahal.""Kalau gitu kasih buat Riko dan Riki." Maxime melanjutkan, "Sekarang mereka masih kecil dan hak asuh mereka ada di tanganmu. Sebagai wali mereka, kamu yang simpan dulu."Tanpa banyak pikir, Reina langsung menyahut, "Kamu aja yang kasih langsung waktu nanti mereka sudah besar."Suhu di dalam mobil terasa dingin.Ekki yang duduk di depan geregetan, dia tidak bisa menahan diri lagi dan angkat bicara, "Nyonya, menurutku lebih baik Nyonya terima. Sekarang Tuan Morgan memang memberikannya pada anak-anak, tapi bisa jadi suatu hari nanti bos menikah dan punya anak, mungkin saat itu dia akan berubah pikiran? Kalau itu terjadi tuan muda
Reina jadi gelagapan, "Riki, setiap orangtua itu punya cara yang beda-beda dalam mengekspresikan rasa cinta."Maxime pun menyahut."Jadi caramu mengekspresikan rasa cinta dengan nggak suka dekat-dekat sama aku? kamu bahkan nggak mau gandengan sama aku?"Reina tersedak, "Aku nggak ngomong gitu?""Kalau gitu Mama peluk dan cium Papa dong." Mata besar Riki terlihat sangat berharap.Wajah Reina langsung memerah."Riki ...""Hahhh, kayaknya aku dan kakak nggak mungkin punya keluarga yang utuh. Temanku, Lisa, bilang dulu papa mamanya juga nggak mau pelukan, ciuman. Terus ternyata akhirnya bercerai, masing-masing menikah lagi dan punya anak."Setelah itu, Riki menunduk dan air matanya mulai mengalir."Kalian 'kan juga sudah bercerai, sekarang kalian cuma pura-pura di depanku, 'kan? Nanti kalau ada adik tiri, kalian pasti bakal membuangku dan kakak."Entah Riki menangis sungguhan atau hanya sandiwara, namun terlihat sangat mengharukan.Melihat rupa Riki yang seperti ini, Reina pun tidak memedu
Morgan tidak bisa menghindar, tidak punya pilihan selain menerima pukulan keras itu.Darah keluar dari sudut mulutnya, tubuhnya limbung. Cengkeraman tangannya di lengan Jess terlepas saat dia terdorong mundur dan hampir jatuh ke tanah.Erik mengepalkan tinjunya dan berdiri di antara dia dan Jess, menatap Morgan dengan dingin."Aku sudah berbaik hati mengantarmu ke rumah sakit, tapi aku nggak menyangka kamu akan datang ke sini dan berbuat kasar sama Jess. Sepertinya kamu masih belum cukup sadar, jadi aku akan membuatmu sadar!"Jika dia tidak datang untuk menjemput Jess, dia tidak akan melihat adegan Morgan yang mengganggu Jess.Dia mengatupkan giginya karena marah, ada sedikit kejengkelan dalam tatapannya saat dia menatap Jess."Kamu baik-baik saja?" tanyanya.Jess sedikit panik saat mendengar pertanyaannya, tetapi dia mengangguk. "Ya, aku baik-baik saja."Erik menoleh ke arah Morgan dan melangkah mendekatinya.Morgan berdiri diam sebelum menatap orang di depannya. Dia mengangkat tangan
Morgan melihat ke arah panggilan yang ditutup, suasana hatinya langsung jatuh ke titik terendah.Namun, dia tidak beranjak pergi.Di dalam perusahaan.Jess mengira Morgan sudah pergi, jadi dia berkemas seperti biasa dan keluar dari perusahaan.Sebelum dia keluar, Erik bahkan mengiriminya pesan."Aku jemput, ya?"Jess membalas pesan itu, "Nggak perlu, aku pulang sendiri saja."Dia terbiasa melakukan segala sesuatunya sendiri, bahkan setelah menghabiskan banyak waktu dengan Erik, dia masih belum terbiasa untuk dijaga olehnya seperti itu."Penolakan ditolak, aku sudah di lantai bawah perusahaanmu, cepat keluar." Erik tersenyum dan mengirimkan pesan itu.Jess sedikit tidak berdaya saat melihat pesan itu, tetapi dia tidak mengatakan apa-apa lagi.Erik memang seperti itu, selalu melakukan segala sesuatu terlebih dahulu, baru memberitahunya. Jess sudah terbiasa dengan hal itu.Berjalan keluar dari pintu perusahaan, Jess mencari-cari mobil Erik. Namun, sebelum dia bisa menemukannya, sesosok tu
Morgan hanya perlu menunggu persetujuan Jess, tidak mempermasalahkan apakah Jess sudah menikah atau belum.Jess tidak tahu harus bahagia atau sedih saat ini.Ternyata orang yang dia sukai kini juga menyukainya. Ternyata cintanya tidak bertepuk sebelah tangan.Namun, yang menyedihkan adalah dia sudah menikah. Pernikahan ini diatur oleh orang tuanya, yang juga atas keinginannya sendiri. Erik memperlakukannya dengan baik, jadi dia tidak bisa melakukan sesuatu yang kiranya bisa mengkhianati Erik."Maafkan aku, Tuan Morgan. Tuan mungkin sudah salah paham dengan niatku untuk Tuan. Tuan itu atasanku, jadi aku harus bersikap baik kepada Tuan karena tuntutan pekerjaan, bukan karena aku menyukai Tuan seperti yang Tuan katakan." Jess terdiam sejenak, kemudian melanjutkan, "Selain itu, aku sudah menikah dan suamiku memperlakukanku dengan sangat baik. Kami berdua saling mencintai dan aku nggak akan menceraikannya."Kami berdua saling mencintai!Kata-kata itu sangat tajam dan menusuk ketika terdenga
Morgan membuka kontaknya dan melihat catatan panggilan pegawai tempat dia minum dengan Jess saat dia mabuk.Pikirannya kacau dan dia ingin sekali memastikannya.Entah sudah berlalu berapa lama, Morgan akhirnya berhasil menghubungi nomor Jess.Pada saat itu, Jess sedang sendirian di dalam perusahaan, sementara Erik pergi untuk menjalankan tugasnya sendiri setelah mengantarnya.Melihat panggilan dari Morgan, Jess ragu-ragu sejenak sebelum mengangkatnya."Tuan Morgan, ada apa?"Tuan Morgan?Morgan sedikit terdiam saat mendengar panggilan yang tidak biasanya digunakan Jess saat memanggilnya."Kamu yang membawaku ke rumah sakit hari ini?" tanya Morgan.Jess tidak mencoba menyembunyikan apa pun dan menjawab, "Aku dan Erik yang mengantarmu. Untung saja ada dia yang membantu. Kalau nggak, aku nggak akan bisa membawamu ke rumah sakit sendirian."Sepanjang jawabannya, dia menyebutkan nama Erik hingga beberapa kali.Morgan mengerti bahwa ini adalah untuk memberitahukan bahwa dia dan Erik sudah me
Simpul di tenggorokan Morgan bergulir. Dia menggunakan seluruh kekuatannya untuk membuka matanya dan melihat Jess. Ketika dia yakin itu adalah Jess, dia langsung mengangkat kedua tangannya.Jess tidak tahu apa yang ingin dilakukan Morgan, jadi dia mendekat dan bertanya kepadanya."Tuan Morgan, apa Tuan baik-baik saja? Apa ada yang nggak nyaman? Apa Tuan butuh air? Sebentar lagi kita sampai di rumah sakit."Begitu kata-kata terakhir itu terucap, tangan Morgan tiba-tiba mendarat di sisi wajahnya.Pria itu bergumam dengan suara pelan, "Jess? Apa aku sedang ... bermimpi?"Wajah Jess terasa panas, tubuhnya menegang dan dia menatapnya tidak percaya.Wajah Erik yang duduk di samping langsung berubah muram. Dia mengangkat tangannya untuk menepis tangan Morgan."Ngapain kamu?"Tangan Morgan jatuh dan dia benar-benar kehabisan tenaga, menutup matanya lagi.Jess menatap Erik dengan tatapan penuh rasa bersalah. "Maafkan aku."Erik kesal, tetapi tidak menunjukkannya."Dia yang menyentuhmu, jadi kam
Ketika Jess dan Erik sampai, mereka langsung dimarahi."Kalian akhirnya datang juga. Bukan hanya mabuk, dia juga merusak banyak minuman di toko kami. Jadi, jangan lupa bayar dulu sebelum kalian membawanya pergi," kata pemilik tempat itu.Mendengar itu, Jess melihat ke arah yang pria ini tunjuk.Ini adalah pertama kalinya dia melihat Morgan seperti itu.Pakaiannya sedikit acak-acakan, wajahnya berjanggut dan sedikit tidak terawat. Dia mabuk berat, duduk tidak berdaya di kursi. Ada banyak pecahan botol di sekelilingnya, membuat udara pekat oleh bau alkohol.Mata Jess terlihat khawatir. Dia hendak meminta maaf kepada pemilik tempat ini, tetapi Erik yang berada di antara mereka berkata dengan dingin, "Apa kalian nggak tanggung jawab? Apa kamu tahu, kalau sesuatu terjadi dengannya di tempatmu ini, tidak ada satu pun dari kalian yang bisa lepas dari tanggung jawab."Dia tidak sebaik Jess."Itu masalah dia, apa hubungannya dengan kita?" Pelayan tidak terintimidasi oleh perkataan Erik.Ini ada
Jess sedikit tidak percaya. Kesehatan Morgan tidak baik. Selama bertahun-tahun dia merawatnya, dia tidak pernah melihat Morgan minum.Sekarang, mendengar nada bicara pria itu, Morgan sepertinya sedang mabuk berat.Namun ....Jess menoleh ke arah Erik, hatinya terkoyak.Dia sudah menikah dan bertekad untuk menjauhi Morgan. Dia tidak akan pernah bisa mengkhianati Erik."Itu, aku nggak bisa ke sana. Kalau kamu ada waktu, tolong antar dia ke rumah sakit. Setelah dia sadar dari mabuk, dia pasti akan sangat berterima kasih kepadamu," jawab Jess dengan sopan."Apa kamu bercanda? Kamu yang temannya saja nggak mau antar dia ke rumah sakit, apalagi aku yang cuma orang asing? Kamu ingin aku mengantarnya? Aku masih harus kerja." Pria itu menjawab dengan tidak sabar. "Kalau kamu nggak datang, aku juga nggak peduli lagi."Setelah mengatakan itu, pria di seberang sana menutup telepon.Wajah Jess terlihat cemas.Melihat ini, Erik tidak bisa menahan diri dan bertanya, "Ada apa?""Morgan mabuk." Jess me
"Nona Reina." Jess memanggilnya terlebih dahulu.Reina mengangguk dan menuntun kedua anaknya berjalan ke arah mereka.Kedua anak itu dengan sopan memanggil mereka, "Om Erik, Tante Jess.""Hmm." Jess tersenyum, menunjukkan senyuman lembut.Erik juga tersenyum. "Kita baru sebentar nggak bertemu, kalian sudah tambah tinggi rupanya."Dulu, ketika berada di luar negeri, Erik pernah bertemu kedua anak ini beberapa kali saat mengikuti Revin. Jadi, dia cukup akrab dengan keduanya.Kedua anak itu juga memiliki cukup akrab dengannya."Om Erik kapan punya anak? Hari ini kami ikut Mama ke rumah sakit dan melihat bayi yang dilahirkan Tante Alana, lucu sekali." Riki bertanya sambil mengedipkan mata.Mendengar kata anak, wajah Erik dan Jess langsung berubah.Namun, semua itu menghilang dengan cepat.Erik terbatuk-batuk dua kali. "Hal semacam ini nggak bisa dipaksakan, nggak boleh buru-buru juga.""Oh." Riki sepertinya mengerti, dia pun mengangguk. "Om Erik dan Tante Jess harus lebih semangat. Setelah
Alana sengaja menggoda Riki. "Riki, kenapa kamu bilang begitu? Aku dan mamamu sudah seperti kakak adik, jadi wajar saja kalau kami jadi mak comblang anak kami sendiri. Bukankah kamu sering melihat itu di drama TV?""Jangan khawatir, kali ini Tante memang belum melahirkan anak perempuan, tapi lain kali Tante baka berusaha lebih keras lagi agar bisa melahirkan anak perempuan yang cantik. Saat itu tiba, aku akan menikahkannya denganmu, ya? Kamu sangat pengertian, pasti kamu akan memperlakukannya dengan baik, bukan?"Riki jauh mudah ditipu ketimbang Riko. Berpikir bahwa Alana berencana akan melahirkan anak perempuan di kemudian hari, dia langsung merasa ngeri."Tante Alana, aku ... mungkin aku nggak akan nikah."Dia ketakutan sampai punya pikiran untuk tidak menikah.Reina menggodanya, "Tapi bukannya kamu pernah bilang kalau Talitha cantik? Katamu, siapa yang bisa nikah sama dia, orang itu pasti sangat bahagia.""Hah? Kamu suka punya seseorang yang kamu suka?" Alana memasang wajah terkejut