Para orang dewasa merasa malu saat mendengar ucapan Riki.Liane juga tidak menyangka Riki yang masih kecil bisa berkata demikian.Reina tidak kaget, karena Riki suka menonton sinetron. Dulu dia menonton sinetron dengan Bu Lyann dan sekarang menonton bersama Gaby dan Sisil.Melihat Riki tidak memaafkan dirinya, Doni pun mulai menangis.Raisa merasa sedih saat melihat putranya menangis, "Riki, mohon maafkan kami. Sebenarnya Doni mau menjelaskan, tapi dia nggak tahu bagaimana karena masih kecil."Liane ikut angkat bicara, "Ya, asal kamu memaafkan Doni, kamu mau minta apa pun pasti kuberi."Mendengar ini, mata Riki berbinar."Benarkah? Kalian akan memberikan apa pun yang aku mau?"Liane mengangguk, lagipula apa yang bisa seorang anak kecil minta?"Tentu saja, kamu mau apa?""Menurutku kamu nggak menghormati mamaku. Aku mau kamu minta maaf sama mamaku," jawab Riki.Karena masih kecil, Riki tidak bisa berbuat banyak hal untuk Reina. Namun jika diberi kesempatan seperti ini, tentu dia akan me
Reina yang sedang mengantarkan buah potong untuk kedua anak itu pun kebetulan mendengar kata-kata Doni.Reina selalu merasa Raisa dan Doni cukup familier, tapi dia tidak bisa mengingat di mana mereka pernah bertemu. Sekarang setelah mendengar ucapan Doni ...Reina tiba-tiba teringat peristiwa saat menolong Elly terakhir kali, yaitu untuk menyelamatkan Raisa sekeluarga.Anak ini ... Raisa ... Dia putri Elly bukan?Reina melangkah maju dan bertanya, "Doni, nama nenekmu Elly bukan?"Doni mengangguk, "Nama nenekku Elly Sahaja, semua orang memanggil nenekku, Bibi Elly."Reina keluar kamar Riki dan memeriksa informasi suster yang merawat Treya. Ternyata nama suster itu adalah Elly Sahaja.Setelah memastikan hal ini, Reina pun menepuk keningnya.Kenapa ingatannya begitu payah?Sampai sekarang dia tetap tidak mengenali Raisa. Mungkin karena waktu dia menyelamatkan Raisa, cahayanya terlalu remang-remang, jadi Reina tidak memperhatikan rupa Raisa sekeluarga.Namun, harusnya Raisa mengenalnya. Ka
Raisa jadi sedikit cemas."Doni! Kenapa nggak nurut banget sih! Kusuruh pulang ya pulang, ayo!"Kening Raisa mulai basah karena buliran keringat halus. Dia takut makin lama dia tinggal, Reina jadi tahu segalanya.Akhirnya Doni dibawa pergi secara paksa sambil menangis tersedu-sedu.Reina berdiri di depan pintu, menatap punggung Raisa dan Doni dengan tatapan yang rumit."Ma, ada apa?"Riki menatap Reina yang berdiri di depan pintu dengan bingung, lalu berpikir apa Reina tidak menyukai Raisa dan Doni? Jadi, Riki pun berkata, "Ma, kalau Mama nggak suka sama mereka, aku juga nggak akan main lagi sama Doni.""Oh nggak kok. Kalau Doni datang main lagi sama Riki besok, Riki temani main aja."Riki tidak mengerti, "Mengapa?""Anggap saja Riki bantuin Mama ya?" ucap Reina sambil membungkuk.Saat mendengar dirinya bisa membantu Reina, Riki pun langsung menjawab tanpa ragu, "Oke, asal bisa bantuin Mama, aku main sama siapa pun nggak masalah kok."Reina terkekeh."Terima kasih, tapi kalau Riki ngga
"Cepat turunkan aku."Reina menepuk lengan kuat Maxime tapi tidak berpengaruh, jadi dia pun mencubitnya.Maxime mengerang dan dengan lembut membaringkannya di kasur."Temenin aku lebih lama, boleh nggak?"Maxime ikut berbaring dan memeluk Reina, "Kamu tahu nggak sejak aku buta, aku takut banget sama gelap."Takut gelap ....Reina tidak percaya. Mana mungkin seorang Maxime bisa takut gelap?Maxime memang tidak takut, dia cuma mencari alasan supaya Reina mau menemaninya.Maxime tahu Reina yang lembut hati pasti tidak akan pergi jika Maxime bicara seperti itu.Memang itulah yang terjadi. Reina tidak jadi pulang. Reina pikir, sekuat apa pun seorang pria, pasti dia memiliki sisi yang rapuh."Ya sudah aku temani, ayo cepat tidur. Nanti aku pulang kalau kamu sudah tidur."Reina menuruti permintaan Maxime.Setengah jam kemudian ... Maxime belum tidur. Satu jam kemudian ... Maxime masih belum tidur.Reina bersandar di pelukan Maxime pun ikut merasa ngantuk dan tidak lama pun terlelap.Tiba-tiba
"Lain kali jangan begini."Wajah Reina memerah, dia langsung membelakangi Maxime dan pergi ke ruang ganti.Reina melihat dirinya di cermin, ada tanda merah di lehernya ...Maxime yang seperti ini membuat jantung Reina berdebar kencang tanpa alasan. Tiba-tiba, momen yang masuk ke dalam mimpinya semalam pun melintas di benaknya.Maxime sedang duduk di luar. Di matanya, Reina tampak sangat marah.Matanya yang gelap terus menatap ke arah ruang ganti.Reina sudah selesai ganti baju dan menggerai rambutnya yang panjang untuk menutupi tanda merah di lehernya.Sekarang cuaca semakin panas dan Reina sedang hamil, jadi cara terbaik menutupinya adalah dengan rambut."Aku pulang dulu, Riki pasti ngambek parah."Nada bicara Reina agak dingin.Maxime pun meraih tangan Reina, "Kamu marah?"Sekarang Maxime makin tidak bisa memahami pikiran Reina. Dia tidak paham kenapa istrinya ini marah, siapa yang bagi Reina lebih penting, Maxime atau Morgan?Reina berpura-pura marah, "Ya iya lah aku marah. Kan aku
Setelah mengobrol dengan Riki, Reina mengantarnya ke rumah Doni.Sebenarnya Doni juga mau bertemu Riki, tapi Raisa khawatir Reina akan menemukan petunjuk akan kebohongan mereka, jadi Raisa melarang Doni menemui Riki."Huhuhuhuhuhu! Aku mau pergi main sama Kak Riki!""Kamu nakal banget sih? Kenapa nggak mau nurut? Mama nggak ngebolehin kamu pergi, ngerti nggak?" Raisa berujar dengan sangat tegas.Sekarang Liane sedang pergi mengurus pernikahan Syena.Sesampainya Reina di depan pintu, dia mendengar Doni yang menangis dan Raisa yang marah-marah.Reina pun masuk dan berkata, "Nona Raisa, apa kemarin Riki melakukan kesalahan atau aku yang sudah menyinggungmu? Kenapa kamu nggak mengizinkan Doni main sama Riki?"Begitu mendengar suara Reina, Raisa spontan menjadi gugup dan menoleh. Reina bisa melihat jelas tatapan panik Raisa."Ah ...."Ketika Doni melihat Riki, dia langsung tertawa lebar dan berlari menyambutnya, "Kak Riki."Riki mengangguk, "Ya."Reina melihat hubungan kedua anak itu baik-b
Tentu, Reina melakukannya juga karena hal ini menyangkut nyawa Elly.Reina memutuskan untuk jujur pada Raisa dan bertanya apa dia mengetahui keberadaan Elly.Raisa pulang sore harinya. Dia pikir Reina dan Riki sudah pergi karena bosan.Namun begitu Raisa masuk rumah, dia mendapati Reina sedang membaca buku sedangkan anak-anak masih bermain.Raisa hendak pergi untuk menghindari Reina.Tidak disangka, Reina angkat bicara untuk menghentikannya, "Nona Raisa, aku baru ingat. Ibu angkatmu Elly Sahaja, 'kan?"Raisa berhenti melangkah dan mau berbohong."Hah? Aku nggak tahu ...."Sebelum Raisa selesai bicara, Doni sudah berkata lebih dulu, "Tante Reina kok bisa kenal nenekku?"Sekarang, Raisa tidak bisa terus berdalih.Raisa mengernyit dan mengaku, "Ya, ibu angkatku adalah Elly Sahaja, dia adalah suster perawat ibumu waktu sakit."Reina merasa Raisa adalah orang yang aneh. Saat dia bertanya baik-baik, wanita ini tidak mau menjawab. Saat Reina tidak bertanya lebih lanjut, dia malah menjelaskan.
Tidak disangka, jawaban dari pertanyaan Riki selanjutnya akan membuatnya melompat kaget."Doni, kok kamu bisa yakin banget Liane itu nenekmu?"Doni berhenti bermain, menatap Riki, lalu berpikir sejenak sebelum bicara, "Mamaku bilang dia nenek palsu.""Nenek palsu?" Riki membelalak tidak percaya.Doni mengangguk, lalu merendahkan suaranya, "Kak Riki, aku cuma ngasih tahu Kak Riki aja. Jangan sampai bocor ke orang lain ya.""Oke."Riki langsung setuju, kemudian dia membawa Doni ke sudut kamar untuk mendengarkan ceritanya.Doni memberi tahu Riki, "Aku dengar percakapan mama dan nenekku di telepon. Mereka bilang Bu Liane bukan ibu mamaku."Padahal awalnya Riki hanya ingin bertanya tentang gambaran umum kehidupan Doni, tidak disangka dia malah mendapat rahasia yang begitu mengejutkan.Namun, Doni hanya anak berumur empat tahun, belum tentu semua ucapannya benar.Bagaimana seorang wanita secerdas Liane bisa menerima orang lain sebagai putri kandungnya?Memangnya dia tidak pernah melakukan te
Kediaman Keluarga Andara.Reina mengalami mimpi buruk lagi. Ketika terbangun dari mimpi buruknya, dia secara naluriah memeluk Maxime di sampingnya.Namun, tangannya yang terulur tidak meraih apa pun.Reina menyalakan lampu di samping tempat tidur dan menyadari bahwa Maxime tidak ada di sampingnya."Pergi ke toilet?" Reina sedikit bingung dan melihat ke arah toilet, lampu di sana juga tidak menyala.Dia jadi sulit tidur dan sedikit takut karena Maxime tidak ada. Dia langsung bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke luar.Ketika masuk ke aula, tidak ada lampu yang menyala. Rumah dalam keadaan gelap gulita.Maxime juga tidak ada di sini, kemana dia pergi selarut ini?Reina ingat bahwa mereka berdua tidur bersama, apakah ada sesuatu yang terjadi di kantor?Saat dia bertanya-tanya, pintu depan dibuka dari luar. Bersamaan dengan itu, lampu-lampu juga dinyalakan.Maxime mengenakan jas hitam, berdiri di ambang pintu. Saat mendongak, kebetulan dia melihat Reina berdiri di tangga."Kenapa kamu
Maxime tidak tahan saat melihat sikap Joanna yang seperti ini. Dia akhirnya berbicara, "Ya, aku bakal bantu cari. Ibu pulanglah.""Ya, ya." Baru setelah itu Joanna melepaskan tangannya, lalu melangkah masuk ke dalam mobil.Mobil melaju menjauh.Maxime hanya berdiri di sana.Reina berjalan ke sisinya. "Lepaskan Morgan."Dia tahu bahwa Morgan pasti sudah sangat menderita akhir-akhir ini, jadi dia tidak akan berani melakukan apa pun padanya.Dia awalnya mengira Maxime akan setuju, tetapi dia menoleh ke arah Reina. "Melepaskannya? Apa kamu bercanda?"Morgan telah melakukan sesuatu yang lebih buruk dari binatang. Dia sudah sangat berbelas kasihan karena tidak merenggut nyawanya.Reina sedikit bingung saat mendengar itu. "Tapi ibumu ....""Kamu nggak perlu khawatir soal Ibu. Kamu harus tahu, nggak peduli siapa pun yang nyakitin kamu, aku bakal selalu ada di pihakmu."Maxime berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Apa yang aku katakan pada Riki sama Riko barusan semuanya benar. Kamu itu orang ya
"Apa yang dikatakan Papa menyebalkan memang benar." Riki memuji sambil mengusap-usap kepalanya.Riko juga setuju dengan pemikiran Maxime. "Hmm."Dia mengangguk tanda setuju.Maxime duduk. "Sudah, makan yang banyak. Kalian cuma peduli sama rasa suka kalian, tapi kalian saja nggak tahu apakah mereka suka sama kalian atau nggak."Riki menjawab dengan sangat bangga, "Papa, lihatlah wajahku dan Kakak. Apa kami perlu khawatir ada yang nggak suka sama kami?"Reina tertawa lagi.Memang benar bahwa pria sangat egois, tidak peduli apakah mereka anak kecil atau orang dewasa."Sudah, ayo makan. Kalian memang yang paling tampan."Setelah itu, Riko dan Riki menyantap makanan mereka dengan tenang.Mereka duduk mengelilingi meja makan dengan suasana bahagia.Setelah selesai makan, Reina keluar untuk berjalan-jalan dan Maxime mengikutinya lagi.Reina bingung. "Kenapa kamu ngikutin aku terus?"Maxime seperti seorang pengikut akhir-akhir ini, tidak bisa disingkirkan.Riki sedang makan buah, tetapi dia tu
Reina tidak bisa menahan senyumnya saat melihat sikap kedua putranya. "Riki, kamu kangen sama Talitha dan Erina? Kamu bisa telepon Tante Sisca sama Tante Brigitta. Bukannya Mama sudah kasih nomor mereka ke kalian?"Riki memainkan jari tangannya."Ini ... bukannya nggak baik kalau menghubungi ibu mertua terlalu cepat? Lagipula, aku belum nyiapin apa-apa."Reina, "..."Riko. "Jangan bilang kalau kamu suka sama mereka berdua?"Riki menoleh ke arahnya. "Tentu saja, mereka sama-sama lucu."Itu hanya bisa dikatakan oleh seorang anak kecil. Kalau orang dewasa yang mengatakannya, mereka akan dimarahi."Riki, kita hanya boleh suka sama satu orang. Yang namanya hati nggak bisa dibagi jadi dua." Reina menjelaskan.Riki mengangguk dengan berat, lalu menjawab, "Mama, kalian salah paham denganku. Aku suka sama mereka berdua, tapi cuma satu yang mau aku nikahi.""Oh, siapa?" Reina bertanya dengan penasaran.Riki mengerutkan keningnya, lalu mengedipkan matanya yang indah. "Mama, itu rahasia."Reina me
Reina mengikuti Gaby keluar dan mereka berdua sampai di luar mal.Maxime sudah lama menantikan kesempatan ini dan menunggu mereka di luar.Dia melihat Ekki menggigil karena angin dingin dan langsung mencibirnya. "Kamu minggat dari kantor?"Melihat Maxime di sini, Ekki menggigil seperti melihat hantu."Bos, lain kali jangan bicara aneh-aneh. Aku nggak minggat, aku pergi karena terdesak."Pergi karena terdesak?Sudut mulut Maxime terangkat naik. Apa yang ada di dalam pikirannya sampai berpikir bahwa seorang bos suka mendengar alasan seperti ini?Saat ini, Reina dan Gaby sudah sampai di depan mereka berdua."Kenapa kalian bareng begini?" tanya Reina pada Maxime.Maxime berbohong, "Karena sudah pulang kerja, jadi aku jemput ke sini. Kebetulan ketemu sama dia."Ekki tentu saja tidak tahu bahwa Maxime telah mengikuti Reina dan Gaby, jadi dia mengangguk. "Hmm.""Ayo pulang." Maxime menambahkan."Ya."Reina menghampiri Maxime dan melambaikan tangan pada Gaby dan Ekki.Di belakangnya, Gaby menc
Gaby mengucapkan selamat tinggal pada Brigitta hari itu, mengemasi barang-barangnya dan pindah ke Grup Yinandar.Grup Yinandar.Begitu Gaby tiba, Reina meninggalkan Maxime dan pergi berbelanja dengannya.Maxime sedikit khawatir. "Aku ikut kalian."Reina langsung menggelengkan kepalanya."Kita para wanita mau belanja, nggak nyaman kalau ada pria ikut. Gaby juga nggak terbiasa. Kalau kamu ikut, nanti dia jadi obat nyamuk."Maxime menghela napas panjang. "Kalau begitu aku panggil Ekki juga.""Ekki masih harus kerja, ngapain panggil dia? Selain itu, bukannya kamu bilang mau bantu kerjaanku, ingin aku istirahat dan senang-senang?" kata Reina sambil tersenyum.Maxime makin tidak nyaman saat melihat senyum di wajah Reina.Dia pikir Reina hanya berpura-pura menjadi kuat. Namun, memang lebih baik jika dia membuat Reina bergaul dengan Gaby sebentar."Baiklah." Dia mengangguk. "Kalian bersenang-senanglah. Kalau butuh sesuatu, hubungi aku.""Terima kasih." Reina membungkuk dan mencium sisi wajahny
Mendengar itu, Reina menaruh tangannya di dagunya. "Kamu nggak mau digaji, apa kamu nggak rugi?""Habiskan lebih banyak waktu denganku saja kalau malam," kata Maxime.Perkataan Maxime membuat Reina tersipu malu. "Dasar nggak waras.""Aku cuma minta kamu ngabisin lebih banyak waktu denganku saat malam, sisi mananya yang nggak sopan? Nana, kamu mikir ke mana sih?" tanya Maxime.Wajah Reina makin memerah, mengambil pulpen dan melemparkannya ke arahnya. Namun, Maxime menangkapnya dengan satu tangan. "Kita sudah nikah lama, jadi jangan mikir aneh-aneh.""Kamu itu yang aneh-aneh."Reina tidak berbicara dengannya lagi, menunduk untuk melanjutkan meninjau dokumen.Di dalam perusahaan, sebagian besar pekerjaan Reina adalah meninjau beberapa rencana bisnis bawahannya dan membuat keputusan.Selebihnya, dia memiliki janji dengan klien atau rapat.Dengan adanya Maxime yang membantunya dalam pekerjaannya, dia bisa meluangkan sebagian besar waktunya dan masih bisa berkeliling perusahaan tanpa harus m
Maxime menginstruksikan pengawalnya, "Jangan biarkan dia tidur malam ini. Tentu saja, kalian harus bersikap lembut padanya, jangan lupa panggil dokter buat periksa keadaannya. Aku nggak mau dia sampai mati."Maxime mengatakan bahwa dia akan membuat hidup Morgan lebih buruk daripada kematian, dia akan memastikan bahwa Morgan tetap hidup.Kematian akan terlalu murah untuk Morgan. Selain itu, dia kembaran Maxime sendiri, jadi dia tidak akan membiarkan Morgan mati begitu saja....Keesokan harinya, Reina terbangun oleh dering telepon.Dia tidak membuka matanya, mengusap-usap telepon dengan lelah.Maxime mengulurkan tangannya yang panjang dan mengambilnya terlebih dahulu sambil berkata, "Ini ponselku, Ibu telepon.""Oh."Maxime mengangkat telepon dan mendengar suara cemas Joanna di sisi lain telepon, "Max, adikmu hilang. Kenapa aku nggak bisa menemukannya?"Suara ini tidak pelan dan Reina bisa mendengar apa yang dikatakan Joanna. Dia langsung menatap Maxime.Dia tahu ini pasti ulah Maxime.
"Ayo pulang." Reina berdiri.Maxime meraih tangan Reina. "Aku mau lihat lukamu."Reina membeku.Berpikir bahwa Maxime sudah tahu, dia tidak mengelak dan memperlihatkan luka di lehernya.Karena dibungkus kain kasa, Maxime tidak melihat bagian dalamnya."Aku nggak apa-apa," kata Reina."Ayo ke rumah sakit." Maxime sedikit khawatir dan dia tidak berani membuka kain kasa Reina dengan asal.Reina tidak ingin pergi, tetapi sikap Maxime begitu memaksa, jadi dia tetap mengikutinya ke rumah sakit.Di dalam rumah sakit, dokter membuka kain kasa Reina, memperlihatkan luka sepanjang jari di sana.Lukanya sangat dalam, seharusnya itu bukan luka ringan.Mata Maxime sedikit menyipit. "Dalam sekali lukanya. Kenapa menyembunyikannya dariku?""Ini sudah nggak apa-apa kok," jawab Reina.Jemari Maxime sedikit gemetar saat menyentuh leher Reina. "Jangan menyembunyikan apa pun lagi dariku, ya?"Suaranya sedikit serak.Reina mengangguk lagi. "Ya, aku mengerti."Lagi-lagi dia menjawab dengan ekspresi tidak pe