Maxime tercengang.Bukannya Reina bilang dia suka perhiasan?"Kamu yakin?"Ekspresi Maxime berangsur-angsur menjadi dingin.Melihat ekspresi Maxime, Reina yakin pria ini sudah lupa kata-katanya dulu."Aku akan terima pemberian orang lain. Aku cuma nggak mau terima pemberian dari kamu!"Setelah itu, Reina mendorong Maxime dan langsung naik ke atas.Melihat sikap dingin Reina, Maxime pun langsung melemparkan kotak hadiah itu ke tong sampah.Karena semalaman tidak makan dan ditambah sedang flu, Maxime merasa tubuhnya sakit semua.Maxime juga tidak tahu apa yang terjadi padanya hari ini. Tadi waktu melihat kliennya memberi sebuah gelang mewah, dia langsung teringat pada perkataan Reina waktu masih pura-pura amnesia."Sudah kubilang aku nggak ingat. Tapi aku bisa bilang kalau aku suka dandan dan suka baju yang terlihat cerah, aku juga suka perhiasan."Maxime merasa kesal. Dia merasa sudah mempermalukan diri sendiri.Maxime menekuk wajahnya dan kembali duduk di sofa.Sekarang Reina sudah tid
Maxime tidak berhenti beraksi dan mencibir, "Sepertinya Revin nggak terlalu cinta kamu? Sudah berapa lama dia nggak menyentuhmu?"Kali ini Reina benar-benar marah. Dia mengangkat tangan dan hendak menampar Maxime, tapi pria itu mencengkeram pergelangan tangannya."Kata-kataku tepat sasaran?"Reina sama sekali tidak ingin menjelaskan, selama ini dia dan Revin hanya teman biasa."Kayaknya Marshanda juga nggak terlalu cinta kamu, lihat aja kamu sampai 'kelaparan' begini."Ngajak ribut? Siapa takut!Maxime mencibir, "Aku nggak sama kayak kamu."Dia belum pernah menyentuh Marshanda sama sekali.Reina tersenyum, "Apa bedanya? Kita tuh sama aja, sama-sama nggak benar.""Dulu aku kira kamu itu setia banget, sekarang kayaknya biasa aja.""Apa Marshanda tahu apa yang kamu lakukan?"Maxime tidak marah sama sekali dan tidak menjawab, dia hanya memeluk Reina yang ditindihnya erat-erat.Reina menggigit bahu Maxime kuat-kuat.Maxime tersentak kesakitan, tapi tidak melepaskan Reina. Dia menunduk dan m
Maxime berjalan menuruni anak tangga dan menghampiri Reina. Maxime mengamati Reina, dia bisa melihat dengan jelas masih ada jejak air mata di wajah Reina, tangannya mengepal erat dan tidur sambil berjaga-jaga.Suhu di ruangan agak dingin, jadi Maxime pun menyelimuti Reina.Maxime hendak menyuruh orang untuk mengantarkan sarapan, saat tiba-tiba ada yang membuka pintu rumahnya.Marshanda masuk membawa sarapan."Kak Max, nih aku bawain sarapan. Bukannya hari ini acara perayaan ulang tahun perusahaan? Nanti kita pergi ba ...."Belum juga Reina sempat menyelesaikan kalimatnya, matanya sudah lebih dulu menangkap sosok Reina yang sedang tidur di sofa.Marshanda mematung di tempat dan terlihat tidak percaya.Kenapa Reina tidur di sini?Jangan-jangan mereka berduaan semalaman?Maxime menatap Marshanda dengan mata mengantuk, "Kok kamu bisa masuk?"Maxime tidak mendengar suara apa pun saat Marshanda masuk, dia pasti tidak melewati pos penjagaan. Artinya, Marshanda mendaftarkan sidik jarinya atau
"Ya sudah pulang sana. Nanti malam aku akan datang ke acara ulang tahun kantor kok."Maxime berkata dengan tidak sabar."Oke."Marshanda meninggalkan sarapan yang dia bawa, lalu kembali melirik Reina sebelum akhirnya pergi.Saat Maxime balik badan, dia melihat Reina berdiri di belakangnya.Entah kenapa dia merasa agak bersalah."Kapan kamu bangun?"Reina tampak tenang dan menjawab, "Pas Marshanda minta kamu menikahinya, selamat ya."Jantung Maxime tiba-tiba berdebar kencang.Udara seakan membeku selama beberapa detik.Maxime menatap Reina dalam-dalam dengan mata gelapnya, "Kalau kamu keberatan, bilang aja."Kalau Reina tidak mengizinkannya, Maxime pasti akan membatalkan janjinya pada Marshanda.Maxime akan menuruti Reina.Tidak disangka, Reina malah menggeleng dan berkata sama seperti sebelumnya, "Selamat, kalau kita perlu cerai dulu, bilang aja ya. Aku pasti bantu.""Tapi syaratnya, kamu harus balikin Riki padaku."Maxime sangat kecewa.Maxime sadar, sekarang Reina sungguh sudah tidak
Asisten Marshanda memungut ponsel itu dengan hati-hati, "Marsha, gimana?""Dia minta aku minta maaf pada Alana secara terbuka dan mengakui plagiarisme."Asisten itu mengernyit, "Mana bisa? Kalau kamu mengaku, semua usahamu selama ini jadi sia-sia dong?"Marshanda memutuskan untuk menghiraukan Master Rei. Dia tidak percaya orang itu menolak imbalan uang dan malah buang-buang waktu bermain jalur hukum dengannya.Hal terpenting baginya sekarang adalah untuk membereskan Reina dan menikahi Maxime.Bukan mengurus lagu."Malam ini ada acara ulang tahun perusahaan, aku mau siap-siap. Untuk urusan plagiat itu, sementara ini kita redakan aja dengan menyuap uang pada media."Marshanda tahu sogokannya yang kecil pasti tidak akan bertahan lama.Tapi selama dia bisa memastikan pernikahannya lancar, semua akan baik-baik saja.Di perusahaan.Tidak lama kemudian, Reina menerima telepon dari Alana."Nana, hari ini kamu datang ke rumah nggak?"Hari ini adalah akhir pekan, Alana berniat mengajak Reina dan
Setelah mengantar Reina ke depan pintu kantor Maxime, Ekki pun pergi.Pintunya tidak ditutup, jadi Reina pun hanya mendorong pelan.Maxime sedang duduk di kursi bos dan membaca beberapa dokumen dengan saksama.Pria tampan yang sedang serius bekerja memang terlihat makin tampan.Mungkin dulu Reina terperdaya karena ketampanan ini.Maxime yang sudah tahu Reina akan datang pun memanggil Reina tanpa meliriknya.Reina berjalan mendekat, "Ada apa?""Kamu nggak perlu bekerja di bawah lagi."Maxime meletakkan dokumen di tangannya lalu menatap Reina dan melanjutkan, "Mulai sekarang kamu juga kerja di sini."Reina bertanya bingung, "Kenapa?""Nggak ada alasan khusus, perusahaan sudah mengaturnya begitu."Beraninya dia bilang ini diatur perusahaan, dia 'kan bosnya. Sudah jelas dia yang mengatur semua ini.Karena status Reina disini adalah karyawan, dia pun tidak bisa membantah perintah bos."Oke."Tidak masalah, justru Reina jadi punya lebih banyak kesempatan untuk mendekati Maxime.Reina sudah m
Setelah sekian lama, Reina merasa ada yang tidak beres.Maxime terus menciumnya tapi dia tidak lanjut ke tahap berikutnya.Tepat saat napas Reina mulai memburu dan pikirannya menjadi kosong karena kekurangan oksigen, pintu ruangan Maxime pun diketuk.Barulah Maxime berhenti.Ternyata sekretarisnya datang untuk melapor pekerjaan.Reina langsung duduk kembali.Dia lagi-lagi gagal.Siang harinya, mereka makan siang bersama.Sopir mengantar mereka ke restoran privat yang sering Maxime kunjungi.Sambil makan, Maxime menguji perasaan Reina. "Jangan khawatir, aku nggak akan menceraikanmu."Reina tercengang.Reina tidak langsung paham maksud Maxime, tapi pria itu sudah lebih dulu melanjutkan, "Marshanda itu cuma mau status, jadi aku kasih.""Aku nggak akan menikahinya secara sah. Jadi jangan khawatir, aku nggak akan menceraikanmu."Reina menatap Maxime dengan tatapan tidak percaya, "Kamu bercanda?""Kalau kamu nggak puas dengan keputusanku, kamu boleh kasih solusi lain."Reina tidak sadar kala
Jantung Maxime berdebar kencang, dia sadar tangan dan kaki Reina terluka. Jadi, Maxime langsung menyeret Reina kembali ke dalam mobil dan mengantarnya ke rumah sakit.Meski sudah duduk di dalam mobil, Reina masih merasa ketakutan. Tadi dia memang terlalu gegabah dan lupa bahwa dia punya Riko dan Riki yang bergantung padanya.Maxime yang tegang pun bertanya, "Untuk apa marah-marah!"Reina tidak menjawab, rasa sakit di tangan dan kakinya mulai terasa.Suasana di dalam mobil kembali hening.Maxime benci saat Reina tidak bicara.Padahal dulu Reina sangat bawel, apalagi waktu masih kecil. Reina bisa berceloteh tanpa henti.Tapi sekarang, Reina membisu.Maxime bertanya dengan kesal, "Barusan kamu mau ke mana?""Aku cuma mau jalan. Aku nggak terpikir mau ke mana."Memangnya Reina bisa pergi ke mana? Riki 'kan ada di tangan Maxime.Mobil mereka akhirnya tiba di pintu rumah sakit dan Maxime langsung turun bersama Reina.Di luar ruang UGD.Maxime hendak membuka pintu."Kak Max, kok kamu ada di s
Robi langsung bertingkah seperti orang yang sangat bersemangat. "Aku dan Ibumu merasa makin bersemangat akhir-akhir ini. Sepertinya setelah kita kembali untuk merayakan Tahun Baru, kita nggak perlu lagi dirawat di rumah sakit."Melihat wajah pucat kedua orang tuanya, Sophia tahu bahwa mereka hanya ingin menghibur dan membohonginya.Namun, dengan momen hangat seperti ini, tentu saja dia tidak akan merusaknya."Hmm, baguslah."Robi berencana untuk menanyakan identitas Diego.Sophia berdiri. "Kita kembali dulu saja dan lanjutkan pembicaraan di sana. Tempat ini terlalu kecil dan nggak ada tempat istirahat. Setelah pulang nanti, aku akan memasak makanan untuk kalian. Kalian bisa bicara dengan Diego pelan-pelan.""Ya, ya, ya."Keduanya mengangguk berkali-kali.Sejujurnya, mereka sangat ingin keluar, tidak ingin terus tinggal di rumah sakit.Namun, penyakit mereka sangat serius. Jika mereka meninggalkan rumah sakit terlalu lama, nyawa mereka mungkin akan jadi taruhannya.Sophia juga mengetahu
Manajer agak tidak percaya saat mendengar hal ini, tetapi dia cepat mengerti."Tentu saja nggak ada masalah. Banyak orang pulang kampung saat Tahun Baru dan pergi liburan. Kebetulan sekali kalau kamu ingin menghasilkan lebih banyak uang, kamu bisa membantu rekan kerjamu untuk mendapatkan lebih banyak pekerjaan."Diego mengangguk. "Hmm."Dia sudah memikirkannya. Dia bisa bekerja di malam hari dan pulang bersama Sophia di siang hari untuk mengunjungi orang tua Sophia.Dengan begitu, dia bisa menghasilkan sedikit lebih banyak uang. Jadi, ketika menemui orang tua Sophia, dia bisa memberi mereka hadiah.Setelah keluar, dia bekerja lebih keras.Keduanya pulang kerja lebih awal hari ini.Sophia dan Diego berboncengan menuju rumah sakit.Diego sangat gugup karena dia membawa tas besar berisi buah-buahan dan suplemen.Sophia menatapnya dan tidak bisa menahan senyum. "Sebenarnya kamu nggak perlu bawa apa-apa. Orang tuaku nggak sehat, jadi ada beberapa buah yang nggak boleh mereka makan.""Begitu
"Kamu sudah bangun? Bagaimana perasaanmu?" Reina bertanya dengan penuh perhatian.Maxime menatapnya. "Baik, hanya ada sedikit kotoran di wajahku yang nggak bisa dibersihkan. Apa kamu tahu siapa yang melakukannya?"Reina menggelengkan kepalanya dengan gusar."Nggak tahu, itu. Saat aku pulang sudah ada. Apa sebelum pulang ke rumah, ada yang merias wajahmu saat kamu mabuk?"Melihatnya berbohong, Maxime tidak bisa menahan kemarahannya. "Kemarilah."Reina melangkah ke arahnya.Detik berikutnya, Maxime mengulurkan tangan dan menariknya sambil menekannya ke dadanya."Nana, aku nggak enak badan," gumamnya."Bukankah itu cuma riasan? Kalau kita nggak pergi minum, bukankah hal seperti itu nggak akan terjadi?" Reina mengangkat tangannya dan menepuk pundaknya dengan lembut untuk menenangkan.Maxime menunduk mendekatinya. "Kamu nggak ingin aku minum?""Nggak apa-apa kalau minum sedikit, tapi kalau minum terlalu banyak nggak baik buat kesehatanmu. Jadi, lebih baik kurangi minum alkohol setelah ini,"
Maxime tidak tahu seperti apa penampilannya. Dia berjalan-jalan di dalam rumah untuk menjernihkan pikirannya sebelum menuju ke kamar mandi, berniat untuk mandi.Ketika sampai di kamar mandi dan melihat dirinya di cermin, tubuh Maxime langsung membeku.Wajahnya secara mengejutkan telah dirias, dengan alas bedak, lipstik dan bahkan alis.Tidak masalah kalau riasannya biasa saja, tetapi riasan di wajahnya cukup tebal, membuatnya terlihat sedikit aneh."Riki!"Seketika, Maxime mengira ini perbuatan Riki, bocah nakal itu.Bagaimanapun juga, Maxime sudah sering dikerjai oleh Riki dan memiliki semacam trauma dengan sikapnya.Rasa dingin menyelimuti bagian bawah mata Maxime. Dia menyalakan keran air dan membilas wajahnya.Kualitas riasan ini sangat bagus. Maxime sudah menggunakan banyak air dan sabun cuci muka, tetapi riasan ini tidak kunjung menghilang, malah membuat wajahnya makin aneh.Setelah mengeringkan wajahnya, dia berlari ke kamar Riki.Riki sedang melakukan siaran langsung dan sosok
Sorenya setelah Reina kembali dari luar, ketika dia baru masuk ke ruang tamu, dia sudah bisa mencium bau alkohol yang menyengat.Dia langsung mengerutkan kening, "Ada apa ini?"Reina berjalan masuk dan melihat sosok Maxime yang mabuk di sofa.Maxime menarik-narik dasinya dengan keras dan menggumamkan sesuatu.Reina menurunkan barang yang dia bawa, lalu berjalan mendekat. "Max?"Dia memanggilnya.Di sofa, Maxime tidak tidur, pikirannya buram, tidak mendengar Reina memanggilnya.Reina mengerutkan kening saat mencium bau alkohol di tubuhnya. Dia berniat meminta pelayan untuk membuatkan sup pereda mabuk.Namun, Maxime tiba-tiba meraih tangannya."Nana ... Nana ...."Dia memanggilnya berulang kali.Reina merasa seperti namanya meleleh karena dipanggil begitu olehnya.""Ya," jawabnya."Nana ...." Namun, Maxime masih memanggilnya, lalu berkata, "Apa kamu mencintaiku?""Hmm?" Reina bingung.Apa yang ditanyakan Maxime?Biasanya hanya orang-orang yang baru menjalin hubungan yang suka memikirkan
"Maxime, apa kamu ada waktu?" tanya Ethan.Maxime kebetulan sedang senggang. "Ya, ada.""Kalau begitu, mau ikut minum?" Ethan menambahkan.Maxime berpikir bahwa tidak ada yang bisa dia dilakukan karena dia sendirian di rumah. Jadi, dia menyetujuinya.Dia pun pergi ke Bar Eurios.Ethan sudah meminta seseorang untuk menyiapkan ruang pribadi.Biasanya pada jam-jam seperti ini, tidak ada seorang pun di dalam Bar Eurios.Ketika Maxime tiba, Ethan adalah satu-satunya orang yang ada di dalam ruangan mewah itu.Di atas meja di depannya, ada berbagai macam wine berkualitas."Maxime, kemarilah dan duduklah." Dia melambaikan tangan ke arah Maxime.Maxime berjalan lurus ke arahnya, duduk, menuangkan segelas wine dan meminumnya sekaligus.Saat itulah dia bertanya kepada Ethan, "Kenapa tiba-tiba mengajakku minum?"Ethan tersenyum tidak berdaya. "Lagi nggak senang saja."Setelah mengatakan itu, dia bertanya kepada Maxime, "Maxime, sebentar lagi Tahun baru, apa kamu nggak sibuk? Kenapa kamu ada waktu
Maxime mengangkat tangannya dan ujung jarinya mendarat di wajah Reina. "Kamu nggak adil.""Hmm?""Kamu nggak bisa berpisah sama anakmu, tapi kamu bisa berpisah denganku?" Maxime terdiam sejenak sebelum menambahkan, "Kamu harus tahu, kita akan menghabiskan sisa hidup ini bersama, kenapa aku merasa seperti berada di urutan terbawah dalam pikiranmu?"Reina menyadari bahwa pria ini cemburu pada anak-anak mereka.Sadar akan hal itu, Reina tidak bisa menahan tawa, kemudian berkata, "Tentu saja anak-anak lebih penting darimu. Mereka adalah orang yang aku lahirkan dengan hidupku sebagai taruhannya."Sorot mata Maxime sedikit berubah.Reina mengambil kesempatan untuk melepaskan diri dari pelukannya dan pergi dengan cepat.Maxime tidak menyangka Reina akan melarikan diri secara tiba-tiba. Dia bangun dan berjalan mengikutinya dengan kaki panjangnya.Untung saja dia memiliki kaki yang panjang. Sebelum Reina menutup pintu, Maxime sudah berhasil mengejarnya, menahan pintu dengannya. "Kenapa tutup pi
Setelah kematian Liane, kakek dan nenek tidak menunjukkan kesedihan mereka. Namun, Reina bisa melihat bahwa mereka berdua sangat sedih.Reina takut kedua orang tua itu akan kesepian, jadi setiap hari dia akan membagikan apa saja yang ada di keluarga mereka dengan keduanya. Dia juga akan menunjukkan foto dan video anak-anak kepada mereka.Keduanya juga sering melakukan panggilan video untuk mengecek keadaan anak-anak dan Reina.Hidup sepertinya kembali berjalan normal."Nana, apa kalian akan pulang Tahun Baru nanti?" Nenek bertanya dengan hati-hati.Dia mengerti bahwa Reina telah menikah dan menjadi bagian dari Keluarga Sunandar, jadi tentu saja segala sesuatunya harus dilakukan dengan memikirkan Keluarga Sunandar terlebih dahulu.Reina langsung mengetikkan jawaban, "Aku sama Max sudah memutuskan akan mengunjungi kalian setelah Tahun Baru.""Syukurlah. Datanglah lebih awal, aku dan kakekmu akan menyiapkan makanan enak." Kata-kata nenek penuh dengan kegembiraan.Reina juga turut bahagia.
Sembelit?Riko sangat terkejut, sejak kapan dia mengalami sembelit?Maxime terbatuk pelan, menatapnya penuh makna. Melihat itu, Riko langsung mengerti apa yang sedang terjadi.Dia terpaksa harus menerima alasan sembelit ini."Hmm, mungkin karena aku kurang minum air putih akhir-akhir ini."Mendengar ini, Reina merasa prihatin sekaligus khawatir, lalu memeluk Riko."Riko, Mama akan membawamu ke dokter. Kamu masih kecil, kenapa bisa sembelit?"Mendengar bahwa Riko benar-benar mengalami sembelit, hati Reina hancur.Hanya mereka yang pernah melahirkan seorang anak dan menjadi seorang ibu yang akan mengerti bahwa rasa sakit fisik sekecil apa pun pada seorang anak akan terlalu berat untuk ditanggung oleh seorang ibu.Wajah Riko terasa panas seperti api ketika Reina tiba-tiba memeluknya.Dia tidak menyangka akan dipeluk dan dibujuk oleh mamanya ketika dia mengaku sedang sembelit.Sudah lama dia tidak dipeluk Mama seperti itu."Mama, nggak perlu. Aku hanya perlu minum lebih banyak air dan aku