"Hei ... hei, sabar. Kita selesaikan dulu urusannya."
Dirga menepuk pundak pria yang baru saja memenangkan lelang, hingga dia mundur lalu membalikkan tubuhnya mengahadap Dirga.
"Bams."
Pria itu menjentikkan jarinya pada seorang pengawal yang masuk bersamanya.
Dengan sigap, pengawal yang di panggil Bams mengeluarkan buku cek dari kantong jas dan menyerahkan pada pria itu.
Kemudian, pria itu menulis sejumlah nominal pada sebuah cek lalu menyerahkannya ke Dirga.
Dengan cepat, Dirga mengambil cek tersebut dan senyum lebar mengembang dari bibirnya.
"Senang berbisnis dengan anda, 'Tuan Muda'."
Pria yang di panggil tuan muda itu membalas ucapan Dirga dengan menarik sedikit sudut bibirnya.
Lalu, dia melepaskan jas yang saat itu dia kenakan, dan memakaikannya pada Gendis.
Gendis sedikit kaget melihat apa yang dilakukan pria itu.
"Selamat bersenang-senang." Dirga berkata setengah berteriak, ketika pria itu membawa Gendis keluar dan memasukkannya ke dalam mobil mewah.
Gendis duduk di bagian belakang, bersama sang tuan muda.
Sementara di depan, seorang sopir dan pengawal.
"Kita ke tempat biasa." Tuan muda memberi perintah pada sopirnya.
"Baik, Tuan."
Kemudian mobil yang mereka tumpangi melaju dengan kecepatan tinggi membelah jalanan yang sepi, dimana kanan kirinya hanya ada hutan dan perbukitan.
"Benar apa yang dikatakan Suli semalam, bahwa tempat dimana dia berada, memang jauh dari pemukiman dan berada di tengah hutan." Bisik hati Gendis.
Walaupun tempat itu seperti terpencil, namun jalanan beraspal bagus.
Bahkan, Gendis melihat beberapa orang berjalan kaki atau menggunakan sepeda sambil membawa kayu bakar ataupun hasil kebun. Itu artinya, ada sebuah perkampungan atau pemukiman di sekitar sini.
Gendis duduk dengan tegang menempel di sisi kiri, menempel pada jendela. Sementara sang tuan muda berada di sebelah kanannya, duduk dengan acuh tanpa mempedulikannya.
Dalam hati, Gendis berpikir, bahwa orang di sebelahnya adalah orang baik, yang mungkin bisa menolongnya keluar dari cengkeraman Dirga, mengingat sampai detik ini, dia belum menyentuh tubuhnya atau melecehkannya. Bahkan dia merelakan jas yang dipakai menutup tubuh bagian atas Gendis.
"Jangan buang tenagamu untuk memikirkan sesuatu yang tidak kamu ketahui. Simpanlah untuk nanti. Kamu akan membutuhkan banyak tenaga."
Gendis menegakkan kepalanya, yang tadi dia sandarkan di jendela.
Ditatapnya sang tuan muda dengan rasa takut sekaligus penasaran.
"A--apa maksudmu?"
"Ckkk ... lupakanlah."
Sang tuan muda mengibaskan tangannya ke udara, dan menyuruh Gendis untuk melupakan apa yang baru saja dia ucapkan.
"Kita mau kemana, Tu--an Muda." Dengan terbata, Gendis bertanya pada pria yang duduk di sebelahnya.
"Ha ha ha ha ...."
Pria yang dipanggil tuan muda itu tertawa keras, seolah ada yang lucu dari pertanyaan Gendis.
"Apa ada yang aneh?" tanya Gendis polos.
"Inilah salah satu alasanku, memilihmu tadi. Kamu memang masih polos."
Gendis semakin tidak mengerti dengan apa yang diucapkan sang tuan muda.
"Jangan panggil aku Tuan Muda. Panggil saja Steve."
Pria itu menyebutkan namanya, Steve.
Steve, pria berkulit putih dengan tubuh tinggi dan tidak terlalu besar bahkan terkesan jangkung itu menatap lurus ke depan.
Sorot matanya tajam, bahkan ketika Gendis melirik dengan ekor matanya, seperti melihat menembus dinding es, begitu dingin.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan, mereka tiba di sebuah kota kecil yang cukup ramai.
Mobil berjalan pelan, hingga akhirnya sampai pada sebuah bangunan besar dengan pagar tinggi di sekelilingnya.
"Apa yang ada di dalam sana?" pikir Gendis.
Seorang laki-laki tua menyambut kedatangan Steve, lalu membungkukkaan tubuhnya.
"Selamat datang, Tuan muda," ucapnya.
Lalu mata laki-laki tua itu beralih memandang Gendis yang berdiri di belakang Steve.
Dengan agak terkejut, dia berkata.
"Tuan ...."
"Dia akan di sini bersamaku." Steve menjawab cepat, seolah tahu apa yang akan diucapkan laki-laki itu.
"Baiklah, Tuan."
Kembali laki-laki tua itu berkata dengan sopan.
"Ikut denganku."
Steve meraih pergelangan tangan Gendis lalu membawanya menuju lantai atas rumah besar itu.
Gendis mengamati sekeliling ruangan yang dia lewati. Dan rumah itu memang begitu besar, mungkin lebih besar dari tempat dimana dia di sekap oleh Dirga.
Namun bedanya, rumah ini sepi, beda dengan tempat Dirga, yang selalu riuh ramai.
"Masuk dan tunggu aku di dalam, aku akan segera kembali."
Steve membuka pintu sebuah kamar yang luas, dengan tempat tidur besar yang di kelilingi jendela kaca.
Serta satu set sofa yang di letakkan di salah satu sudutnya, seperti yang dia lihat dalam film atau sinetron yang sering dia tonton ketika bersama orang tuanya.
Begitu mewah.
Pintu kembali di buka, dan Steve muncul dengan membawa segelas minuman berwarna merah.
Perlahan, Steve mendekati Gendis dengan masih memegang gelas di tangan kirinya.
Lalu meletakkan di atas meja.
Steve menatap Gendis tanpa berkedip, lalu dia berkata.
"Buka!"
Gendis hanya berdiri mematung di tengah ruangan, tanpa tahu apa yang harus diperbuat, sementara jas milik Steve masih dia pakai.
"Aku bilang Buka!!" teriak Steve dengan keras. Wajah dinginnya terlihat semakin dingin dengan tatapan mata yang tajam.
"Apa yang di buka?" Gendis bertanya dengan takut.
Steve memberi isyarat untuk membuka baju, Gendis yang melihatnya, buru-buru melepas jas milik Steve. Dalam hati dia berpikir, mungkin Steve menginginkan kembali bajunya.
Namun Steve justru menggelengkan kepala begitu melihat Gendis melepaskan jas miliknya.
Steve yang tadi duduk di sofa, kini berdiri dan berjalan cepat ke arah Gendis berdiri. Lalu dengan sekali sentak, baju yang di pakai Gendis sudah lepas, melorot hingga membuat dada Gendis terlihat.
Dengan cepat Gendis menutup dadanya menggunakan kedua tangannya dan berusaha menghindari Steve dengan membelakanginya.
Namun rupanya hal itu justru membuat Steve semakin kalap.
Tanpa sepengetahuan Gendis, Steve melepaskan ikat pinggang yang dia kenakan saat itu lalu ....
Plak ... Plak ....
Gendis tersungkur di atas lantai sambil berteriak kesakitan.
Dan setiap kali Gendis menjerit, Steve tersenyum puas terlebih ketika melihat tubuh mulus Gendis terluka dan mengeluarkan darah.
Tatapan mata dingin Steve semakin liar, tiap kali ikat pinggangnya menyentuh kulit Gendis.
"Ampun ... sakit ...." teriak Gendis.
Namun semakin Gendis berteriak kesakitan, Steve samakin beringas.
Hingga akhirnya tubuh Gendis tergolek tidak berdaya di lantai dan di penuhi luka dan berdarah.
Perlahan, Steve mendekati Gendis yang sudah tidak berdaya, lalu menyentuh wajahnya sambil berkata, "Maafkan aku, aku ... aku tidak sengaja menyakitimu."
Lalu, Steve membopong tubuh Gendis ke atas tempat tidur.
Perlahan, Steve membuka pakaian yang dia kenakan satu persatu hingga tidak menyisakan satupun di sana.
Dipandanginya tubuh penuh luka Gendis dengan beringas, bibir Gendis yang mengeluarkan darah, dia usap pelan dengan jarinya, lalu menjilat darah yang ada di jarinya.
Sementara itu, di luar kamar, di bawah tangga rumah besar itu, pria tua yang tadi menyambut kedatangan Steve, hanya berdiri terpaku menatapap ke arah kamar, dimana Gendis berada.
Lalu, pria tua itu perlahan beranjak pergi.
Sementara di dalam kamar, dimana Gendis berada, Steve sudah berada di puncak birahinya, melampiaskan pada tubuh tak berdaya Gendis.
Samar, terdengar rintihan Gendis.
Seperti berada diantara mati dan hidup, Gendis berusaha untuk tetap sadar namun disisi lain, apa yang telah dilakukan Steve terhadap dirinya, sungguh tidak dapat dia terima.
Steve memperlakukan dirinya seperti binatang, luka fisik yang Gendis rasakan, memang begitu sakit. Namun apa yang dilakukan Steve padanya, jauh lebih menyakitkan.
Mencumbu tubuh Gendis setelah menyiksa dirinya dan membuatnya terkapar tak berdaya.
Airmata Gendis membasahi kedua pipinya, tak lagi dia hiraukan Steve yang telah berkali-kali mencapai klimaks. Yang dia rasakan hanyalah sakit hati yang tidak akan dia lupakan selama hidupnya.
****
Pria tua itu melangkah memasuki kamarnya, sesekali terlihat dia menggelengkan kepala."Kamu melakukannya lagi, Tuan muda." Pria tua itu bergumam.Matanya menatap deretan foto yang berjejer rapi di atas meja yang yang terletak di sudut kamarnya."Maafkan aku, Tuan. Yang telah gagal mendidik Steve. Aku gagal, Tuan."Pria tua yang duduk di tepi tempat tidurnya, membungkuk sambil menutup wajah dengan kedua tangannya.Pria itu merenung, bayangan masa lalu seolah berkejaran di benaknya. Bagaimana dirinya, yang saat itu berusia belasan tahun, dipungut dari jalanan oleh sang Tuan, yang merupakan Ayah dari Steve.Masih lekat di ingatannya, bagaimana Ayah Steve yang saat itu masih muda, memperlakukan dirinya seperti saudara, memberinya tempat tinggal yang layak, baju dan juga pendidikan.Hampir seumur hidupnya, dia abdikan pada keluarga yang telah mengambilnya dari jalanan hingga membawa dirinya bergaul deng
Setelah Gendis menghabiskan makanan yang dibawakan oleh pak Markus, dia mencoba untuk merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, namun apa daya, luka-luka di punggungnya belum kering dan terasa perih setiap kali tergesek.Hingga akhirnya Gendis memutuskan untuk bersandar dengan memiringkan tubuhnya. Dia berusaha untuk memejamkan matanya, kalau bisa tidur, itu lebih baik. Setidaknya, dia tidak merasa begitu sakit ketika tertidur.Ketika kesadarannya mulai berkurang, antara tidur dan terjaga, Gendis merasakan sesuatu menyentuh pipinya dengan halus.Ingin sekali dia membuka mata, namun matanya terasa begitu berat untuk di buka."Tidurlah, kamu pasti merasa lelah." Dia berkata, sambil membetulkan selimut yang di pakai GendisMendengar suara itu, Gendis begitu terhenyak.Jantungnya berdetak lebih kencang dan tidak beraturan.Lalu perlahan, dia membuka matanya dan melihat seorang laki-laki duduk di tepi ranjang.Laki-laki bertubuh jangkung dengan t
"Kembalilah beristirahat di atas tempat tidur, karena besok Tuan muda akan mengantarmu kembali."Pak Markus membantu Gendis untuk kembali ke atas tempat tidur.Namun, Gendis justru memegang erat tangan lelaki tua itu sambil berkata, "Kembali? Apakah aku akan kembali ke rumah orang tuaku."Tanya Gendis dengan mata berbinar. Dia membayangkan esok dirinya akan di antar kembali ke rumah orang tuanya di kampung.Pak Markus melepaskan tangan Gendis yang masih memegang tangannya, kemudia dia menatap lekat wajah Gendis.Dengan tatapan penuh iba, pak Markus berkata pada Gendis, "Tidak."Jawaban yang sangat singkat, namun cukup membuat binar mata Gendis hilang dalam sekejap."Lalu, kemana aku akan di kembalikan? Apakah kalian akan mengembalikanku ke rumah itu lagi?"Gendis menutup kedua telinganya, menggelengkan kepala dengan cepat. Wajahnya di penuhi kecemasan dan ketakutan."Beristirahatlah, karena Tuan muda akan membawamu keluar
Gaun hitam melekat sempurna di tubuh Gendis.Beberapa kali dia memutar tubuhnya di depan cermin, memastikan penampilannya sudah sempurna.Sungguh konyol memang, jika beberapa waktu yang lalu, Steve hampir saja membuat tubuh Gendis tidak lagi sempurna, namun saat ini, Gendis justru ingin terlihat sempurna di hadapan Steve.Gendis berjalan menuju tempat tidur, meletakkan bobot tubuhnya di tepi tempat tidur. Rasa jengah menyerang, matanya menatap ke bawah, melihat kaki jenjangnya yang tanpa alas.Gendis menarik nafas dalam, lalu mengembuskannya dengan kasar."Apa aku harus keluar seperti ini? Dia bisa membelikanku baju, tapi kenapa tidak sekalian membeli sepatu," omel Gendis.Mata Gendis menyapu seluruh kamar, mencari-cari keberadaan sandal selop yang dia pakai ketika datang ke rumah ini.Namun tidak dia temukan keberadaan benda tersebut di kamar itu."Apakah pak Markus sudah membuangnya?" pikir Gendis.Dengan rasa gamang, Gendis membu
Gendis duduk dalam dalam diam, sementara Steve yang duduk di depannya pun melakukan hal yang sama.Mereka sama-sama terdiam, bahkan embusan nafas mereka sampai bisa terdengar.Seorang pelayan datang membawa dua buah gelas berisi minuman, lalu meletakkan di atas meja.Pelayan tersebut mengangguk dengan hormat begitu melihat Steve."Tuan, apakah makan malamnya bisa kami siapkan sekarang?" tanya pelayan tersebur dengan sopan dan kepala menunduk."Iya, siapkan sekarang." Steve menjawab.Tidak lama kemudian, beberapa pelayan datang sambil membawa berbagai hidangan dan menata rapi di atas meja.Sementara itu, Gendis hanya bisa menyaksikan semua tanpa bisa mengeluarkan sepatah katapun.Karena, di hapadapannya kini, telah terhidang aneka makanan yang selama ini hanya bisa dia lihat di acara televisi atau film-film saja.Sulit sekali untuk membuat pikirannya mempercayai bahwa semua yang ada di hadapannya saat ini adalah nyata, bukan sekedar mimpi
"Si--siapa yang melakukan ini padamu, Gendis?" tanya Steve dengan suara terbata.Sementara Gendis memandang Steve dengan tatapan ketakutan. Airmatanya masih terus mengalir dan membasahi kedua pipinya."Jangan ... jangan mendekat."Gendis memohon sambil meronta, berusaha melepaskan ikatan pada kedua tangan dan kakinya. Dia menarik-narik tali yang mengikat dengan sekuat tenaganya, namun ikatan pada tangan dan kakinya tidak juga lepas.Justru, tali ikatan itu seolah semakin mengencang. Hingga pergelangan tangannya memerah dan lecet, begitu juga dengan pergelangan kakinya.Walau demikian, tidak membuat Gendis menghentikan usahanya, dan terus menarik tangannya untuk melepas ikatan tersebut.Tubuh polos Gendis yang terikat pada dua sisi tempat tidur dan sedang meronta-ronta, berhasil membuat Steve menjatuhkan ikat pinggang dan mengurungkan niatnya untuk melampiaskan hasrat untuk menyakiti, namun, melihat Gendis dalam posisi seperti itu, justru memban
Gendis menantap dirinya sekali lagi di cermin.Setelah itu, itu perlahan keluar dari kamar.Dengan mengenakan sepatu kristal, dia berjalan menyusuri koridor lalu menuruni tangga.Langkah kaki Gendis memalu lantai, bergema di seluruh ruangan rumah mewah itu.Dari atas tangga, dia melihat Steve duduk sambil menikmati makan paginya.Sementara pak Markus duduk di sebelahnya.Melihat kedatangan Gendis, pak Markus berdiri lalu menarik salah satu kursi untuk Gendis.Sementara Steve tidak menghiraukan kehadiran Gendis, dan tetap menikmati makanannya."Pak Markus, aku berangkat duluan. Jangan lupa kamu antar dia setelah ini."Steve mengelap bibirnya dengan sapu tangan putih yang ada di atas meja.Sementara pak Markus mengangguk hormat mendengar perintahnya."Baik, Tuan," jawab pak Markus sopan.Setelah mengelap mulutnya, Steve bangkit lalu meninggalkan meja makan.Tak lama setelah itu, terdengar derit mobil yang meninggalkan halaman rumah
Gendis dan Suli saling berpandangan, tidak ada yang berbicara di antara mereka.Mata mereka masih fokus mengawasi pintu.Sebenarnya, tanpa mengetuk pintu, orang tersebut langsung bisa masuk. Karena pintu itu di kunci dari luar.Tok tok tok ....Pintu kembali di ketuk, Gendis menelan ludahnya. Kerongkongan seperti tercekat.Lalu dengan suara parau, Gendis bertanya."Kamu siapa?" tanya Gendis, matanya menatap lekat ke arah pintu.Dengan pelan, pintu terbuka. Lalu muncul sosok Dirga dari balik pintu.Melihat siapa yang datang, Gendis menahan nafas beberapa saat, lalu dia mengembuskan dengan kasar. Bersamaan dengan rasa kesal yang coba dia buang."Mau apa kamu datang ke sini?" tanya Gendis begitu Dirga mendekati dirinya.Dia mundur beberapa langkah ke belakang, begitu Dirga mendekat.Dirga melirik ke arah Suli, lalu dia berkata,"Keluarlah. Aku ingin berdua dengan istriku."Dirga memerintahkan Suli untuk keluar dari
"Calon mantu?"Kali ini ayah Gendis yang mengulang kalimat.Dengan pandangan bingung, laki-laki paruh baya itu berdiri, mendekati tamu yang baru datang ke rumahnya.Ditatapnya satu persatu wajah orang-orang yang baru datang ke rumahnya itu."Gendis, apa benar, kamu kenal dengan mereka?" tanya nya.Diarahkan pandangan matanya pada anak perempuannya itu.Gendis mengerjap, merasa bingung harus dari mana dia menceritakan semuanya. Karena sejak kedatangannya kembali ke rumah, belum sempat bercerita pada kedua orang tuanya. Yang mereka tahu, kalau anak perempuannya telah pulang kembali ke rumah dan berkumpul bersama mereka."Bapak, Gendis kenal dengan mereka. Merekalah yang telah menyelamatkan Gendis dari cengkeraman jahat Dirga dan bapaknya," ujar Gendis menjelaskan."Saya Steve, Pak," ucap Steve sambil mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan bapak Gendis.Sejenak merasa ragu, lalu, disambutnya ukuran tangan pemuda jangkung yan
Steve membanting tubuhnya di atas tempat tidur, diembuskan kasar napasnya.Ada rasa kesal sekaligus kesedihan yang bercampur jadi satu.Dibukanya kembali surat yang ditulis Gladys."Bagaimana bisa dia melakukan ini padaku," dengkus Steve.Dia melempar surat itu kasar, lalu menenggelamkan tubuhnya di atas tempat tidur, tatapannya kosong, menerawang menembus langit-langit kamar.Diletakkannya sebelah tangan di atas dahi.Beberapa kali Steve merubah posisi tidurnya, lalu dia bergegas bangkit menuju lemari pakaian, mengganti piyama dengan kemeja lengan panjang, yang digulung hingga bawah siku.Rasa nyeri di perut, tidak dirasakan lagi."Tuan Muda, mau pergi? Biar saya yang nyetir mobilnya," ucap pak Markus, saat melihat Steve berjalan menuju garasi."Tidak usah, Pak. Saya bisa nyetir sendiri," jawab Steve."Tapi Tuan Muda belum sepenuhnya pulih ....""Pak Markus, aku bisa sendiri." Steve menolak."Tapi mau keman
Di dalam kamar, Gladys terduduk lesu.Hati kecilnya ingin sekali tinggal di rumah ini lebih lama, terlebih saat ini sikap Steve tidak sedingin sebelumnya.Namun di sisi hatinya yang lain, keinginan untuk bertemu orang tuanya semakin menggebu, apalagi sudah hampir tiga tahun sejak Dirga membawanya keluar dari rumahnya, belum pernah sekalipun dia bertemu atau sekedar mendengar kabar tentang keluarganya.Cukup lama Gladys terpekur, sesekali matanya menatap langit-langit kamar, lalu kembali menunduk. Beberapa kali dia menarik napas dalam."Dys ... kamu dari mana?" tanya Suli yang baru keluar dari kamar mandi."Oh, aku baru saja dari halaman depan. Menghirup udara pagi," jawab Gladys.Dia kembali menunduk, meremas jari jemarinya, lalu beranjak menuju lemari pakaian. Suli memperhatikan setiap gerak-gerik sahabatnya itu tanpa mengeluarkan sepatah kata."Buat apa kamu mengeluarkan tas itu, Dys? Juga pakaian itu ....?" tanya Suli keheranan saat me
Steve sudah kembali ke rumahnya, di hari kedua, dia bahkan sudah bisa berjalan-jalan di sekitar rumah, walau sedikit lambat.Namun pagi ini, rupanya ada yang sedang mengganjal hatinya, hingga membuatnya terlihat tidak tenang, wajah dinginnya terlihat sedikit murung.Akan tetapi, dia berusaha untuk tetap bersikap tenang, walau getar-getar di hatinya, membuatnya susah tidur.Beberapa kali dia menarik napas berat, lalu dengan kasar mengembuskannya."Tuan ...."Sebuah panggilan lembut mengagetkan lamunannya, Steve menoleh ke arah suara. Di sana, Gladys berdiri dengan menyembunyikan kedua tangannya ke dalam saku."Gladys, kamu sudah bangun?" tanya Steve."Sudah, Tuan sendiri ... kenapa sudah berada di luar. Ini masih sangat pagi," jawab Gladys.Steve yang mendengar pertanyaan Gladys menjadi sedikit kikuk, lalu dengan cepat dia menjawab, "Oh, aku ingin mencari udara segar. Berbaring di tempat tidur membuatku bosan.""Oh, begitu ..
Gladys berlari sepanjang koridor, di belakangnya, Suli dengan napas terengah mencoba mengejar langkah sahabatnya itu.Pikirannya sangat kacau, ketika Roy mengabarkan kalau saat ini Steve tengah menjalani operasi, walaupun Roy juga sudah mengatakan kalau semua baik-baik saja.Kedua wanita itu kemudian masuk ke dalam salah satu ruangan, di mana terdapat dua orang pria berbadan tegap berdiri di dekat pintu.Mereka adalah anak buah Steve yang sengaja ditugaskan oleh Roy untuk berjaga di luar."Steve ... bagaimana keadaanmu?" tanya Gladys begitu dia berada di dalam ruangan."Dia baik-baik saja, operasinya berjalan lancar." Roy yang duduk di kursi sebelah brankar menjawab."Syukurlah." Gladys menarik napas lega sembari mendekat ke arah Steve yang masih terbaring.Gladys duduk di sebelah Roy, sembari meraih tangan Steve."Ouh ... sakit," rintih Steve ketika tidak sengaja Gladys menyentuh bagian tubuh Steve yang terlukan."Maaf, aku
"Keluar, atau aku akan menyeretmu dari sana!" Gladys kembali berteriak. Suaranya menggema ke seluruh ruangan.Setelah menunggu beberapa saat, tidak ada tanda-tanda ada orang lain di dalam ruangan itu.Gladys berjalan pelan menuju meja, suara sepatunya memaku lantai.Tok tok tok ....Baru beberapa langkah, Gladys berhenti.Dari bawah meja, tampak seseorang berjongkok, lalu perlahan dia bangkit berdiri menghadap arah Gladys.Melihat siapa yang muncul dari balik meja, Gladys tersenyum. Lalu dia berkata."Kita bertemu lagi, Tania. Walau dalam suasana yang berbeda," ucap Gladys."Iya, senang bisa bertemu denganmu lagi, Gendis."Tania berkata sambil merapikan rambutnya, dia berusaha bersikap tenang, namun tetap saja, kegugupan tampak jelas di wajahnya.Tiba-tiba, Suli yang sejak tadi diam di depan pintu, berlari menghampiri Tania, dan tangan kanannya langsung bergerak cepat meninju wajah Tania.Mendapat serangan yang tib
"Jangan sentuh aku!" teriak Gladys.Sementara Dirga merasa semakin bergairah, melihat kemarahan Gladys. Tidak ada rasa ketakutan dari sorot mata wanita yang ada di hadapannya itu, berbeda sekali saat pertama kali dia membawanya dulu, wanita polos dengan sorot mata penuh ketakutan.Apa yang dilihatnya pada diri Gladys saat ini, membuat Dirga semakin tertantang untuk kembali menguasai dan memilikinya seperti yang pernah dia lakukan waktu itu.Brukk!!Gladys dengan sekuat tenaga menendang selangkangan Dirga, hingga membuatnya meringis kesakitan.Dirga memegang bagian sensitifnya, yang baru saja ditendang oleh Gladys. Beberapa saat kemudian, dia kembali berdiri, matanya merah, lalu .... Plak!!Sebuah tamparan keras mendarat keras di pipi kiri Gladys, hingga membuatnya jatuh terjengkang.Gaun yang dia kenakan tersingkap hingga menampakkan pahanya yang putih mulus.Melihat itu, Dirga membulatkan kedua matanya.Perlahan, dia mendekat
Roy berlari mengejar pria yang tadi hendak mencelakai Suli.Akan tetapi, dengan cepat, pria bertubuh gempal itu berbalik dan berlari menjauh dari Roy.Tepat di saat itu, sebuah mobil melaju kencang dari arah berlawanan, dan tiba-tiba berhenti di depan pria bertubuh gempal, hingga meninggalkan suara ban derdecit."Buruan masuk!" teriak seseorang dari dalam.Dalam beberapa detik saja, pria tersebut sudah masuk ke dalam mobil, dan langsung meninggalkan Roy yang terengah-engah karena berlari.Roy bisa melihat dengan jelas, Gladys dengan tangan terikat ke belakang dan mulut di tutup lakban duduk sambil meronta, ketika pintu mobil tersebut terbuka."Gladys ... Gladys ...!" Roy berusaha memanggil Gladys, sambil berlari di belakang mobil yang melaju.Hingga mobil itu makin menjauh, Roy berbalik menuju ke mobilnya."Suli, cepat masuk!" perintah Roy.Dengan sigap, Suli masuk ke dalam mobil dan langsung memasang sabuk pengaman, dan di saat
Tania terlihat begitu anggun dan cantik dengan gaun hitam selutut yang dia kenakan.Sesekali tangan dengan jari lentiknya mengusap keringat dingin di dahi dengan tisu.Dia begitu gugup, walaupun sebelumnya pernah tinggal serumah dengan Gladys, namun yang akan dia temui saat ini, bukanlah wanita yang sama seperti beberapa tahun yang lalu.Matanya melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.Sementara itu, dua orang pria berkemeja hitam yang duduk di pojok ruangan, terlihat sama, tegang dan terlihat gelisah. Berkali-kali keduanya melihat ke arah pintu, untuk melihat apakah orang yang mereka tunggu telah datang."Maaf, saya terlambat, tadi sedikit macet soalnya."Sebuah suara lembut membuat Tania mendongak. Di depannya, seorang wanita cantik dengan gaun berwarna lila berdiri anggun, tangan kirinya memegang clutch warna senada dengan bajunya."Oh, hai ... Nona Gladys, silahkan duduk."Tania berdiri lalu dengan sikap