Gendis dan Suli saling berpandangan, tidak ada yang berbicara di antara mereka.
Mata mereka masih fokus mengawasi pintu.Sebenarnya, tanpa mengetuk pintu, orang tersebut langsung bisa masuk. Karena pintu itu di kunci dari luar.Tok tok tok ....
Pintu kembali di ketuk, Gendis menelan ludahnya. Kerongkongan seperti tercekat.
Lalu dengan suara parau, Gendis bertanya."Kamu siapa?" tanya Gendis, matanya menatap lekat ke arah pintu.
Dengan pelan, pintu terbuka. Lalu muncul sosok Dirga dari balik pintu.
Melihat siapa yang datang, Gendis menahan nafas beberapa saat, lalu dia mengembuskan dengan kasar. Bersamaan dengan rasa kesal yang coba dia buang."Mau apa kamu datang ke sini?" tanya Gendis begitu Dirga mendekati dirinya.
Dia mundur beberapa langkah ke belakang, begitu Dirga mendekat.Dirga melirik ke arah Suli, lalu dia berkata,
"Keluarlah. Aku ingin berdua dengan istriku."Dirga memerintahkan Suli untuk keluar dari
Gendis dan Suli menghentikan tawanya, ketika mereka mendengar langkah kaki mendekat.Dan benar saja, tak lama setelah itu, pintu kamar Gendis dibuka dari luar.Sosok wanita cantik dengan memakai baju off shoulder hingga memperlihatkan leher jenjangnya memasuki kamarWajahnya tegas dengan make up tebal dan lipstick merah menyala, hingga membuat kesan garang dan penuh bibirnya."Kamu sudah pulang ... Tania?" tanya Suli, begitu wanita itu tepat berada di depannya.Wanita itu yang tidak lain adalah Tania, tersenyum sinis menatap kedua gadis yang ada di hadapannya."Sepertinya kamu kurang suka aku kembali cepat," sinis Tania."Oh ... sang primadona juga sudah kembali juga, rupanya," lanjut Tania, sambil mengalihkan pandangannya pada Gendis.Tatapan ketidak sukaan jelas terpancar dari matanya."Iya, aku baru di antar pulang," jawab Gendis pendek. Dia merasa enggan untuk berdebat dengan Tania. Baginya, hal itu hanya akan menambah rumit dir
"Wooii ... Dobleh, buruan, gue kebelet nich."Teriak seorang penjaga.Penjaga yang di panggil dengan nama Dobleh itu kemudian pergi meninggalkan gudang.Sebelum pergi, Dobleh menoleh ke arah Gendis bersembunyi.Jantung Gendis seperti berhenti berdetak, ketika Dobleh masih menatap ke arahnya.Beberapa detik menahan nafas, akhirnya penjaga itu meninggalkan gudang, hingga membuat Gendis bernafas lega."Hampir saja," gumam hati Gendis semabari keluar dari persembunyiannya dan berjingkat masuk ke dalam rumah lewat pintu belakang.Gendis berjalan sambil tersenyum, ketika mengingat nama pengawal tadi.Dobleh. Namanya terdengar lucu, tidak sesuai dengan tampang nya yang begitu sangar.Setelah melewati pintu belakang, Gendis mengendap-endap berjalan ke ruang tengah, kemudian kembali ke lantai atas, ke kamarnya.Setelah memastikan tidak ada yang melihatnya, Gendis berjalan cepat naik ke lantai atas.Setelah melewati lorong dan deretan kamar, Gen
Rencana untuk keluar dari rumah Dirga, membuat Gendis tidak bisa tidur.Bahkan, dia juga kehilangan nafsu makan, karena terlalu memikirkan rencananya untuk keluar dari rumah itu."Gendis, makanlah, kamu butuh tenaga untuk keluar dari rumah ini."Suli membujuk Gendis untuk menghabiskan makanannya.Gendis menatap wajah temannya, lalu dia mengambil sepiring nasi yang ada di atas nampan.Gendis melahap makanan yang ada di atas piring dengan cepat. Hingga membuatnya tersedak."Uhuk uhuk ....""Pelan-pelan, Gendis."Suli mengangsurkan segelas air untuk Gendis, yang langsung di teguk sampai habis oleh gadis itu."Aku tidak apa-apa, Suli. Hanya sedikit tersedak," ujar Gendis sambil mengelap mulutnya dengan tangan."Apa yang akan kamu lakukan setelah ini, Gendis?" Suli bertanya.Dia duduk di depan Gendis, dengan menopang dagu."Menunggu waktu yang tepat, Suli. Bukankah sebentar lagi Dirga dan yang lain akan pergi keluar?"
Setelah menuntaskan hasratnya, Dirga terkulai di samping tubuh Gendis, dan tak lama terdengar dengkuran keluar dari mulut Dirga.Gendis menggeser tubuhnya, lalu turun dari tempat tidur.Ada rasa jijik ketika Gendis memandang dirinya sendiri di kaca.Gendis berlari ke kamar mandi, mengguyur tubuhnya di bawah shower, seolah ingin membasuh semua noda yang melekat di tubuhnya.Aimata mengalir di antara air yang membasahi wajahnya.Setelah puas mengguyur tubuhnya, Gendis keluar dari kamar mandi, memungut bajunya yang berserakan di lantai, lalu mengenakan kembali.Di lihatnya Dirga masih tertidur pulas, bahkan dengkurannya makin kencang.Gendis membuka gorden, melihat keluar ke arah halaman belakang, yang sedikit terlihat gelap.Lalu matanya melihat jam yang tergantung di dinding, rupanya sudah menjelang sore, pukul 5 lebih 15 menit, pantas saja gelap.Di dekatinya Dirga, untuk memastikan kalau dia masih tertidur nyenyak.Gendis memasukka
Pandangan Gendis makin kabur dan gelap, yang terlihat hanya pohon-pohon yang menjulang tinggi di kegelapan malam, seperti raksasa hitam yang menyeramkan.Suara gaduh sudah tidak terdengar lagi dari balik tembok tinggi tersebut, namun suara itu kini berganti dengan gonggongan anjing yang saling bersahutan.Gendis bergidik ngeri, membayangkan dua ekor anjing penjaga yang ada di depan rumah Dirga.Tertatih, Gendis berjalan masuk ke dalam hutan, menjauh dari rumah Dirga.Lengannya terasa sakit, mungkin terjatuh tadi, karena kain yang dia gunakan sebagai tali kurang panjang.Gendis mempercepat langkahnya, tak dihiraukannya ranting pohon atau perdu yang menggores lengannya, karena dia hanya mengenakan kaos lengan pendek.Suara anjing yang menggonggong masih terdengar, walau Gendis sudah berjalan jauh ke tengah hutan.Setelah dirasa cukup jauh, Gendis melihat batu besar, dan memutuskan untuk beristirahat sebentar di sana, selain untuk memulihkan tenaga, jug
Setelah tubuh Gendis di masukkan ke dalam mobil, semua menjadi semakin gelap.Kakinya yang tertembus timah panas, kini sudah tidak merasakan apa-apa.Bahkan untuk di gerakkan pun tidak bisa, Gendis merasakan, seseorang mengikat luka di kakinya.Beberapa kali dia menjerit kesakitan sebelum akhirnya dia jatuh pingsan.Sementara itu di rumah Dirga."Dasar bodoh, menangkap seorang wanita saja tidak becus."Tania menggebrak meja yang ada di sebelahnya.Sementara, Dirga dengan kepala di balut perban, duduk di sofa, menyandarkan punggungnya dengan meletakkan lengan di atas kepalanya."Tania, jaga ucapanmu. Kami di serang sekelompok orang dengan tiba-tiba, bahkan jika kamu berada di sana, belum tentu juga bisa menangkap perempuan sialan itu."Dirga menjawab, tanpa merubah posisi duduknya.Tania yang mendengar ucapan Dirga, merasa begitu kesal.Dia berlalu meninggalkan Dirga dan anak buahnya dengan muka masam."Dobleh ...." teriak Dirga.
Di rumah Dirga.Brak ....Dirga menggebrak meja dengan keras, beberapa pengawal yang ada di sekelilingnya mundur beberapa langkah ke belakang. Tidak ada satupun dari mereka yang bersuara."Dasar bodoh semua, hanya mencari seorang perempuan saja tidak becus!" hardik Dirga geram.Kemarahannya membuncah, matanya melotot sambil mengepalkan tangan, hingga gemeretuk rahangnya jelas terdengar."Aku tidak ingin mendengar laporan kegagalan kalian. Cari tahu semua rumah sakit, jangan sampai ada yang terlewatkan."Kembali Dirga memberi perintah pada anak buahnya untuk mencari keberadaan Gendis.Harga dirinya seolah diinjak-injak andai dia tidak bisa menemukan Gendis.Terlebih Gendis sama sekali tidak mengenal daerah dimana Dirga tinggal."Dirga sayang ... kamu sepertinya melupakan sesuatu," desis Tania."Apa yang kamu ketahui, Tania?""Jika urusan wanita, harusnya kamu bertanya pada orang yang tepat.""Maksudmu?" tanya Dirga tid
Mobil yang membawa Gendis melaju kencang meninggalkan rumah sakit.Jauh dari kejaran anak buah Dirga.Entah sudah berapa jam Gendis berada di dalam mobil, hingga membuatnya tertidur untuk beberapa lama.Ketika Gendis membuka mata, dia merasakan laju mobil berjalan lambat dan guncangan halus. Beberapa kali mengucek dan mengerjapkan mata, lalu melihat keluar melalui jendela mobil.Ternyata mereka tengah berada di jalan berbukit, tampak dengan jelas, rimbun hijau pepohonan dan deretan bukit di depannya.Gendis berdecak kagum, lalu membuka jendela. Udara segar menyeruak masuk, dihirupnya dalam-dalam. Gendis melongokkan kepala juga kedua tangannya keluar, sambil berteriak, melepaskan sesak yang menggumpal di dada.Aaaaa ... aaaa ....Pak Markus hanya yang melihat apa yang dilakukan Gendis hanya tersenyum kecil.Beberapa kali bahkan pak Markus terkekeh setiap kali Gendis terpekik ketika melihat hewan liar menyeberang jalan."Pak Markus, liha
"Calon mantu?"Kali ini ayah Gendis yang mengulang kalimat.Dengan pandangan bingung, laki-laki paruh baya itu berdiri, mendekati tamu yang baru datang ke rumahnya.Ditatapnya satu persatu wajah orang-orang yang baru datang ke rumahnya itu."Gendis, apa benar, kamu kenal dengan mereka?" tanya nya.Diarahkan pandangan matanya pada anak perempuannya itu.Gendis mengerjap, merasa bingung harus dari mana dia menceritakan semuanya. Karena sejak kedatangannya kembali ke rumah, belum sempat bercerita pada kedua orang tuanya. Yang mereka tahu, kalau anak perempuannya telah pulang kembali ke rumah dan berkumpul bersama mereka."Bapak, Gendis kenal dengan mereka. Merekalah yang telah menyelamatkan Gendis dari cengkeraman jahat Dirga dan bapaknya," ujar Gendis menjelaskan."Saya Steve, Pak," ucap Steve sambil mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan bapak Gendis.Sejenak merasa ragu, lalu, disambutnya ukuran tangan pemuda jangkung yan
Steve membanting tubuhnya di atas tempat tidur, diembuskan kasar napasnya.Ada rasa kesal sekaligus kesedihan yang bercampur jadi satu.Dibukanya kembali surat yang ditulis Gladys."Bagaimana bisa dia melakukan ini padaku," dengkus Steve.Dia melempar surat itu kasar, lalu menenggelamkan tubuhnya di atas tempat tidur, tatapannya kosong, menerawang menembus langit-langit kamar.Diletakkannya sebelah tangan di atas dahi.Beberapa kali Steve merubah posisi tidurnya, lalu dia bergegas bangkit menuju lemari pakaian, mengganti piyama dengan kemeja lengan panjang, yang digulung hingga bawah siku.Rasa nyeri di perut, tidak dirasakan lagi."Tuan Muda, mau pergi? Biar saya yang nyetir mobilnya," ucap pak Markus, saat melihat Steve berjalan menuju garasi."Tidak usah, Pak. Saya bisa nyetir sendiri," jawab Steve."Tapi Tuan Muda belum sepenuhnya pulih ....""Pak Markus, aku bisa sendiri." Steve menolak."Tapi mau keman
Di dalam kamar, Gladys terduduk lesu.Hati kecilnya ingin sekali tinggal di rumah ini lebih lama, terlebih saat ini sikap Steve tidak sedingin sebelumnya.Namun di sisi hatinya yang lain, keinginan untuk bertemu orang tuanya semakin menggebu, apalagi sudah hampir tiga tahun sejak Dirga membawanya keluar dari rumahnya, belum pernah sekalipun dia bertemu atau sekedar mendengar kabar tentang keluarganya.Cukup lama Gladys terpekur, sesekali matanya menatap langit-langit kamar, lalu kembali menunduk. Beberapa kali dia menarik napas dalam."Dys ... kamu dari mana?" tanya Suli yang baru keluar dari kamar mandi."Oh, aku baru saja dari halaman depan. Menghirup udara pagi," jawab Gladys.Dia kembali menunduk, meremas jari jemarinya, lalu beranjak menuju lemari pakaian. Suli memperhatikan setiap gerak-gerik sahabatnya itu tanpa mengeluarkan sepatah kata."Buat apa kamu mengeluarkan tas itu, Dys? Juga pakaian itu ....?" tanya Suli keheranan saat me
Steve sudah kembali ke rumahnya, di hari kedua, dia bahkan sudah bisa berjalan-jalan di sekitar rumah, walau sedikit lambat.Namun pagi ini, rupanya ada yang sedang mengganjal hatinya, hingga membuatnya terlihat tidak tenang, wajah dinginnya terlihat sedikit murung.Akan tetapi, dia berusaha untuk tetap bersikap tenang, walau getar-getar di hatinya, membuatnya susah tidur.Beberapa kali dia menarik napas berat, lalu dengan kasar mengembuskannya."Tuan ...."Sebuah panggilan lembut mengagetkan lamunannya, Steve menoleh ke arah suara. Di sana, Gladys berdiri dengan menyembunyikan kedua tangannya ke dalam saku."Gladys, kamu sudah bangun?" tanya Steve."Sudah, Tuan sendiri ... kenapa sudah berada di luar. Ini masih sangat pagi," jawab Gladys.Steve yang mendengar pertanyaan Gladys menjadi sedikit kikuk, lalu dengan cepat dia menjawab, "Oh, aku ingin mencari udara segar. Berbaring di tempat tidur membuatku bosan.""Oh, begitu ..
Gladys berlari sepanjang koridor, di belakangnya, Suli dengan napas terengah mencoba mengejar langkah sahabatnya itu.Pikirannya sangat kacau, ketika Roy mengabarkan kalau saat ini Steve tengah menjalani operasi, walaupun Roy juga sudah mengatakan kalau semua baik-baik saja.Kedua wanita itu kemudian masuk ke dalam salah satu ruangan, di mana terdapat dua orang pria berbadan tegap berdiri di dekat pintu.Mereka adalah anak buah Steve yang sengaja ditugaskan oleh Roy untuk berjaga di luar."Steve ... bagaimana keadaanmu?" tanya Gladys begitu dia berada di dalam ruangan."Dia baik-baik saja, operasinya berjalan lancar." Roy yang duduk di kursi sebelah brankar menjawab."Syukurlah." Gladys menarik napas lega sembari mendekat ke arah Steve yang masih terbaring.Gladys duduk di sebelah Roy, sembari meraih tangan Steve."Ouh ... sakit," rintih Steve ketika tidak sengaja Gladys menyentuh bagian tubuh Steve yang terlukan."Maaf, aku
"Keluar, atau aku akan menyeretmu dari sana!" Gladys kembali berteriak. Suaranya menggema ke seluruh ruangan.Setelah menunggu beberapa saat, tidak ada tanda-tanda ada orang lain di dalam ruangan itu.Gladys berjalan pelan menuju meja, suara sepatunya memaku lantai.Tok tok tok ....Baru beberapa langkah, Gladys berhenti.Dari bawah meja, tampak seseorang berjongkok, lalu perlahan dia bangkit berdiri menghadap arah Gladys.Melihat siapa yang muncul dari balik meja, Gladys tersenyum. Lalu dia berkata."Kita bertemu lagi, Tania. Walau dalam suasana yang berbeda," ucap Gladys."Iya, senang bisa bertemu denganmu lagi, Gendis."Tania berkata sambil merapikan rambutnya, dia berusaha bersikap tenang, namun tetap saja, kegugupan tampak jelas di wajahnya.Tiba-tiba, Suli yang sejak tadi diam di depan pintu, berlari menghampiri Tania, dan tangan kanannya langsung bergerak cepat meninju wajah Tania.Mendapat serangan yang tib
"Jangan sentuh aku!" teriak Gladys.Sementara Dirga merasa semakin bergairah, melihat kemarahan Gladys. Tidak ada rasa ketakutan dari sorot mata wanita yang ada di hadapannya itu, berbeda sekali saat pertama kali dia membawanya dulu, wanita polos dengan sorot mata penuh ketakutan.Apa yang dilihatnya pada diri Gladys saat ini, membuat Dirga semakin tertantang untuk kembali menguasai dan memilikinya seperti yang pernah dia lakukan waktu itu.Brukk!!Gladys dengan sekuat tenaga menendang selangkangan Dirga, hingga membuatnya meringis kesakitan.Dirga memegang bagian sensitifnya, yang baru saja ditendang oleh Gladys. Beberapa saat kemudian, dia kembali berdiri, matanya merah, lalu .... Plak!!Sebuah tamparan keras mendarat keras di pipi kiri Gladys, hingga membuatnya jatuh terjengkang.Gaun yang dia kenakan tersingkap hingga menampakkan pahanya yang putih mulus.Melihat itu, Dirga membulatkan kedua matanya.Perlahan, dia mendekat
Roy berlari mengejar pria yang tadi hendak mencelakai Suli.Akan tetapi, dengan cepat, pria bertubuh gempal itu berbalik dan berlari menjauh dari Roy.Tepat di saat itu, sebuah mobil melaju kencang dari arah berlawanan, dan tiba-tiba berhenti di depan pria bertubuh gempal, hingga meninggalkan suara ban derdecit."Buruan masuk!" teriak seseorang dari dalam.Dalam beberapa detik saja, pria tersebut sudah masuk ke dalam mobil, dan langsung meninggalkan Roy yang terengah-engah karena berlari.Roy bisa melihat dengan jelas, Gladys dengan tangan terikat ke belakang dan mulut di tutup lakban duduk sambil meronta, ketika pintu mobil tersebut terbuka."Gladys ... Gladys ...!" Roy berusaha memanggil Gladys, sambil berlari di belakang mobil yang melaju.Hingga mobil itu makin menjauh, Roy berbalik menuju ke mobilnya."Suli, cepat masuk!" perintah Roy.Dengan sigap, Suli masuk ke dalam mobil dan langsung memasang sabuk pengaman, dan di saat
Tania terlihat begitu anggun dan cantik dengan gaun hitam selutut yang dia kenakan.Sesekali tangan dengan jari lentiknya mengusap keringat dingin di dahi dengan tisu.Dia begitu gugup, walaupun sebelumnya pernah tinggal serumah dengan Gladys, namun yang akan dia temui saat ini, bukanlah wanita yang sama seperti beberapa tahun yang lalu.Matanya melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.Sementara itu, dua orang pria berkemeja hitam yang duduk di pojok ruangan, terlihat sama, tegang dan terlihat gelisah. Berkali-kali keduanya melihat ke arah pintu, untuk melihat apakah orang yang mereka tunggu telah datang."Maaf, saya terlambat, tadi sedikit macet soalnya."Sebuah suara lembut membuat Tania mendongak. Di depannya, seorang wanita cantik dengan gaun berwarna lila berdiri anggun, tangan kirinya memegang clutch warna senada dengan bajunya."Oh, hai ... Nona Gladys, silahkan duduk."Tania berdiri lalu dengan sikap