Malam pertama di rumah berlantai dua itu, terasa begitu lama.
Walau di dalam kamar, Gendis bisa mendengar suara orang berlalu lalang melewati kamar tempat dia dan Suli berada, namun dia tidak bisa melihat dengan jelas siapa saja mereka yang berjalan di lorong depan kamarnya.
Gendis mendekati Suli yang sedang terbaring di tempat tidur, peluh membasahi kening Suli.
Di raihnya baskom berisi air lalu menyekanya dengan handuk kecil yang ada di dalamnya.
Suli memegang tangan Gendis yang tengah menyeka peluh di keningnya.
"Gendis, aku baik-baik saja. Sebaiknya kamu beristirahat untuk memulihkan tenagamu."
Lalu Suli bangkit dan menyandarkan tubuhnya di tempat tidur.
"Aku tidak bisa tidur Suli, di luar berisik sekali. Aku takut jika tiba-tiba ada orang masuk ke kamar ini."
Gendis duduk di sisi tempat tidur, sesekali matanya melihat ke arah pintu.
"Mereka tidak akan masuk ke sini sebelum memenangkan lelang."
"Apa ... lelang?" pekik Gendis.
"Iya. Orang-orang yang datang ke sini, adalah mereka yang telah memenangkan lelang sebelumnya." Suli menjelaskan.
"Benar-benar gila. Mereka menyamakan manusia seperti sebuah benda," desis Gendis.
"Mereka memang biadad, Gendis. Itulah sebabnya, kamu harus bertahan untuk bisa pergi dari tempat ini."
"Tapi bagaimana caranya, Suli? Kamu lihat, kan, di luar penuh penjaga bahkan aku lihat ada dua ekor anjing di bawah sana."
Gendis mengarahkan telunjuknya keluar jendela, dimana dia melihat dua ekor anjing ketika datang ke rumah ini.
"Kamu lihat itu, Suli. Bahkan di luar sana, para penjaga berkeliaran menjaga tempat ini 24 jam."Gendis menyibak gorden yang menutup jendela kamar.
Melihat betapa ketatnya penjagaan di rumah ini, membuat Gendis merasa putus asa. Namun dia tidak akan menyerah begitu saja. Dan untuk menjadi pemuas nafsu para pria hidung belang, juga bukan impiannya.
Gendis mondar-mandir di dalam kamarnya, Suli hanya menatap apa yang dilakukan Gendia tanpa bisa berbuat apa-apa.
Karena dia tahu betul, melarikan diri dari tempat ini adalah sebuah kemustahilan.
Suli ingat betul, bagaimana dia pernah mencoba melarikan diri dari tempat ini, di awal kedatangannya.
Bahkan, sebelum kakinya menginjak luar pagar, penjaga sudah menyeretnya kembali untuk masuk ke dalam rumah, yang mengakibatkan dia mendapat hukuman dan harus di kurung di dalam gudang selama 3 hari 3 malam.
Mengingat apa yang pernah terjadi padanya, Suli menarik nafas dalam, sambil menggelengkan kepala.
Dalam hati dia berkata "Gendis, apakah kamu juga akan melakukan seperti apa yang aku lakukan dulu?"
"Suli, lihat ... apakah kamu tahu, apa yang ada di belakang tembok itu?"
Gendis memberi isyarat pada Suli untuk mendekat padanya, yang masih berdiri di dekat jendela, sementara matanya mengawasi sekitar rumah yang di kelilingi dinding yang sangat tinggi.
Suli perlahan mendekat ke arah Gendis dan berdiri di sebelahnya, lalu dia berkata.
"Di belakang tembok itu adalah hutan yang menuju ke arah perbukitan yang ada di sebelah sana. Kamu akan melihatnya dengan jelas di siang hari."
"Jadi ... rumah ini ada di dekat hutan?" tanya Gendis.
"Iya. Jauh dari perkampungan. Butuh 3 jam perjalanan untuk sampai ke kota menggunakan mobil." Suli menjelaskan.
"Aku beberapa kali keluar dari rumah ini, ketika tamu yang membookingku membawaku keluar dari tempat ini."
"Keluar dari tempat ini? Berarti kita bisa lari ketika berada di luar, kan, Suli?" Gendis bertanya dengan naive.
Suli menggelengkan kepala lagi, lalu menjawab, "Tidak semudah itu, Gendis. Karena anak buah Dirga akan mengikuti kemananpun kita pergi."
Gendis menarik nafas berat, lalu menghempaskan tubuhnya di atas sofa.
"Apakah kita akan menjadi pelacur selamanya, Suli?" tanya Gendis, lalu gadis itupun menangis membayangkan apa yang akan menimpa dirinya setelah malam ini.
****
Brakk ....
Pintu di buka dengan kasar, hingga membuatku berjingkat dan sponpan berdiri dari ranjang yang ku duduki.
"Bawa dia kelaur!" Seorang pria berpakaian rapi memberi perintah pada pria bertato yang semalam menghanjar Suli.
Dengan kasar, pria itu menarik tanganku kasar dan membawaku ke hadapan pria tersebut.
"Beri dia pakaian yang sudah disiapkan, setelah itu bawa dia turun."
Kali ini, Tania, wanita yang mengaku sebagai istri Dirga mendekatiku.
Lalu dia memandang ke arah pria yang menarik tanganku, "Kalian keluarlah, biar aku yang menangani ini."
Pria itu memandang Tania sejenak, sebelum akhirnya beranjak meninggalkan kamar.
"Buka bajumu, dan ganti dengan ini."
Tania menyerahkan sebuah baju berwarna biru padaku. Aku membolak balik baju itu dengan perasaan bingung.
Tidak ada lengan pada paju ini, dan sangat kecil.
"Bagaimana aku memakai baju seperti ini, apakah ini baju dalaman?" tanya Gendis polos.
"Buka bajumu!" bentak Tania.
Lalu, Tania berusaha membuka paksa pakaian yang dikenakan Gendis.
"Jangan sentuh aku." Gendis mendorong tubuh Tania hingga membuatnya hampir terjengkang.
Namun Tania dengan cepat memegang tangan Gendis dan menariknya ke belakang, hingga membuatnya berteriak kesakitan.
"Sakit, lepaskan ...." Teriak Gendis.
"Ikuti perintahku, atau aku akan mematahkan tanganmu." ancam Tania, yang membuat Gendis menggangguk karena tidak sanggup lagi menahan rasa sakit.
"Baik ... tapi lepaskan tanganku."
Tania melepaskan tangan Gendis dan menyerahkan baju yang tadi sempat di lempar Gendis.
Dengan Ragu, Gendis membuka bajunya. Namun, dengan kasar Tania membuka dengan cepat baju yang dikenakan Gendis.
Hingga membuat Gendis hampir telanjang dan hanya menyisakan celana dalamnya saja.
Gendis buru-buru menutup dadanya dengan kedua tangannya.
Tania mencebik melihat apa yang dilakukan Gendis.
"Jangan konyol dan kampungan, cepat pakai baju itu."
Gendis kemudian memakai baju yang disodorkan oleh Tania. Baju dengan model 'tube' itu hanya menutupi bagian dada hingga sebagian paha tania, bahkan, dadanya terlihat begitu menonjol seperti hendak keluar.
Tania sibuk menaik turunkan baju yang kini melekat di tubuhnya. Tiap dia tarik ke atas, maka bokongnya akan menyembul keluar, apabila dia turunkan, justru dadanya yang keluar.
Hingga membuatnya hampir menangis melihat dirinya sendiri dengan penampilan setengah bugil.
Tania mengeluarkan make up dari dalam tasnya, lalu memoles wajah cantik Gendis.
Tak butuh lama, untuk merubah penampilan Gendis hingga terlihat begitu sensual dengan warna make up yang cerah.
"Jangan cengeng, tersenyum dibhadapan tamu yang datang." Perintah Tania sebelum mereka meninggalkan kamar.
Gendis memandang Suli dengan pandangan menghiba, namun Suli hanya bisa menggeleng lemah dari atas tempat tidur.
Tania menggandeng tangan Gendis menuruni tangga menuju lantai bawah, dimana banyak orang berada disana.
Beberapa gadis muda dan cantik dengan penampilan yang tidak jauh berbeda dengan dirinya berdiri berjejer.
Sementara Dirga duduk di sebuah sofa di dampingi Tania.
Sementara ada beberapa pria dengan pakaian rapi ada di sana, dari penampilannya, mereka bukanlah orang sembarangan.
Dirga berdiri dan maju ke depan, lalu dia berkata, " Selamat datang tuan-tuan sekalian, sudah cukup lama kita tidak bertemu, ya. Dan beruntung sekali, kali ini, saya punya barang baru."
Lalu Dirga menatap kearahku, kemudian melanjutkan kalimatnya, " Dia baru menghabiskan malam pertamanya kemarin, jadi bisa dibilang, masih baru."
Kemudian beberapa pria itu tertawa mendengar ucapan Dirga, seorang dari mereka berkata, "Di buka dengan harga berapa?"
Dengan cepat, seorang diantara mereka mengacungkan tangan sambil nyebutkan nominal "Sepuluh juta."
"Lima belas juta," balas yang lain.
Beberapa saat ruangan menjadi hening, lalu seorang lagi berkata, "Dua puluh juta."
Gendis menggigit bibir bawahnya, merasa dirinya seperti sebuah barang dagangan yang diperjual belikan.
Setelah tawaran seharga dua puluh juta, tidak ada lagi yang memberi penawaran, hingga muncul seorang pria yang langsung bergabung dengan mereka dan memberi sebuah penawaran, "Tiga puluh juta, dan aku butuh dia dua hari."
"Dia masih baru," ucap Dirga.
"Tapi dia sudah tidak perawan, apanya yang baru."
Hati Gendis bagai teriris mendengar percakapan itu, begitu rendahnya dirinya dihadapan mereka.
"Deal!" Ucap Dirga sambil menutup acara lelang.
Pria yang baru masuk dan memenangkan lelang atas diriku, berjalan mendekat ke arahku.
Dia menatapku seperti kucing kelaparan.
****
"Hei ... hei, sabar. Kita selesaikan dulu urusannya."Dirga menepuk pundak pria yang baru saja memenangkan lelang, hingga dia mundur lalu membalikkan tubuhnya mengahadap Dirga."Bams."Pria itu menjentikkan jarinya pada seorang pengawal yang masuk bersamanya.Dengan sigap, pengawal yang di panggil Bams mengeluarkan buku cek dari kantong jas dan menyerahkan pada pria itu.Kemudian, pria itu menulis sejumlah nominal pada sebuah cek lalu menyerahkannya ke Dirga.Dengan cepat, Dirga mengambil cek tersebut dan senyum lebar mengembang dari bibirnya."Senang berbisnis dengan anda, 'Tuan Muda'."Pria yang di panggil tuan muda itu membalas ucapan Dirga dengan menarik sedikit sudut bibirnya.Lalu, dia melepaskan jas yang saat itu dia kenakan, dan memakaikannya pada Gendis.Gendis sedikit kaget melihat apa yang dilakukan pria itu."Selamat bersenang-senang."
Pria tua itu melangkah memasuki kamarnya, sesekali terlihat dia menggelengkan kepala."Kamu melakukannya lagi, Tuan muda." Pria tua itu bergumam.Matanya menatap deretan foto yang berjejer rapi di atas meja yang yang terletak di sudut kamarnya."Maafkan aku, Tuan. Yang telah gagal mendidik Steve. Aku gagal, Tuan."Pria tua yang duduk di tepi tempat tidurnya, membungkuk sambil menutup wajah dengan kedua tangannya.Pria itu merenung, bayangan masa lalu seolah berkejaran di benaknya. Bagaimana dirinya, yang saat itu berusia belasan tahun, dipungut dari jalanan oleh sang Tuan, yang merupakan Ayah dari Steve.Masih lekat di ingatannya, bagaimana Ayah Steve yang saat itu masih muda, memperlakukan dirinya seperti saudara, memberinya tempat tinggal yang layak, baju dan juga pendidikan.Hampir seumur hidupnya, dia abdikan pada keluarga yang telah mengambilnya dari jalanan hingga membawa dirinya bergaul deng
Setelah Gendis menghabiskan makanan yang dibawakan oleh pak Markus, dia mencoba untuk merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, namun apa daya, luka-luka di punggungnya belum kering dan terasa perih setiap kali tergesek.Hingga akhirnya Gendis memutuskan untuk bersandar dengan memiringkan tubuhnya. Dia berusaha untuk memejamkan matanya, kalau bisa tidur, itu lebih baik. Setidaknya, dia tidak merasa begitu sakit ketika tertidur.Ketika kesadarannya mulai berkurang, antara tidur dan terjaga, Gendis merasakan sesuatu menyentuh pipinya dengan halus.Ingin sekali dia membuka mata, namun matanya terasa begitu berat untuk di buka."Tidurlah, kamu pasti merasa lelah." Dia berkata, sambil membetulkan selimut yang di pakai GendisMendengar suara itu, Gendis begitu terhenyak.Jantungnya berdetak lebih kencang dan tidak beraturan.Lalu perlahan, dia membuka matanya dan melihat seorang laki-laki duduk di tepi ranjang.Laki-laki bertubuh jangkung dengan t
"Kembalilah beristirahat di atas tempat tidur, karena besok Tuan muda akan mengantarmu kembali."Pak Markus membantu Gendis untuk kembali ke atas tempat tidur.Namun, Gendis justru memegang erat tangan lelaki tua itu sambil berkata, "Kembali? Apakah aku akan kembali ke rumah orang tuaku."Tanya Gendis dengan mata berbinar. Dia membayangkan esok dirinya akan di antar kembali ke rumah orang tuanya di kampung.Pak Markus melepaskan tangan Gendis yang masih memegang tangannya, kemudia dia menatap lekat wajah Gendis.Dengan tatapan penuh iba, pak Markus berkata pada Gendis, "Tidak."Jawaban yang sangat singkat, namun cukup membuat binar mata Gendis hilang dalam sekejap."Lalu, kemana aku akan di kembalikan? Apakah kalian akan mengembalikanku ke rumah itu lagi?"Gendis menutup kedua telinganya, menggelengkan kepala dengan cepat. Wajahnya di penuhi kecemasan dan ketakutan."Beristirahatlah, karena Tuan muda akan membawamu keluar
Gaun hitam melekat sempurna di tubuh Gendis.Beberapa kali dia memutar tubuhnya di depan cermin, memastikan penampilannya sudah sempurna.Sungguh konyol memang, jika beberapa waktu yang lalu, Steve hampir saja membuat tubuh Gendis tidak lagi sempurna, namun saat ini, Gendis justru ingin terlihat sempurna di hadapan Steve.Gendis berjalan menuju tempat tidur, meletakkan bobot tubuhnya di tepi tempat tidur. Rasa jengah menyerang, matanya menatap ke bawah, melihat kaki jenjangnya yang tanpa alas.Gendis menarik nafas dalam, lalu mengembuskannya dengan kasar."Apa aku harus keluar seperti ini? Dia bisa membelikanku baju, tapi kenapa tidak sekalian membeli sepatu," omel Gendis.Mata Gendis menyapu seluruh kamar, mencari-cari keberadaan sandal selop yang dia pakai ketika datang ke rumah ini.Namun tidak dia temukan keberadaan benda tersebut di kamar itu."Apakah pak Markus sudah membuangnya?" pikir Gendis.Dengan rasa gamang, Gendis membu
Gendis duduk dalam dalam diam, sementara Steve yang duduk di depannya pun melakukan hal yang sama.Mereka sama-sama terdiam, bahkan embusan nafas mereka sampai bisa terdengar.Seorang pelayan datang membawa dua buah gelas berisi minuman, lalu meletakkan di atas meja.Pelayan tersebut mengangguk dengan hormat begitu melihat Steve."Tuan, apakah makan malamnya bisa kami siapkan sekarang?" tanya pelayan tersebur dengan sopan dan kepala menunduk."Iya, siapkan sekarang." Steve menjawab.Tidak lama kemudian, beberapa pelayan datang sambil membawa berbagai hidangan dan menata rapi di atas meja.Sementara itu, Gendis hanya bisa menyaksikan semua tanpa bisa mengeluarkan sepatah katapun.Karena, di hapadapannya kini, telah terhidang aneka makanan yang selama ini hanya bisa dia lihat di acara televisi atau film-film saja.Sulit sekali untuk membuat pikirannya mempercayai bahwa semua yang ada di hadapannya saat ini adalah nyata, bukan sekedar mimpi
"Si--siapa yang melakukan ini padamu, Gendis?" tanya Steve dengan suara terbata.Sementara Gendis memandang Steve dengan tatapan ketakutan. Airmatanya masih terus mengalir dan membasahi kedua pipinya."Jangan ... jangan mendekat."Gendis memohon sambil meronta, berusaha melepaskan ikatan pada kedua tangan dan kakinya. Dia menarik-narik tali yang mengikat dengan sekuat tenaganya, namun ikatan pada tangan dan kakinya tidak juga lepas.Justru, tali ikatan itu seolah semakin mengencang. Hingga pergelangan tangannya memerah dan lecet, begitu juga dengan pergelangan kakinya.Walau demikian, tidak membuat Gendis menghentikan usahanya, dan terus menarik tangannya untuk melepas ikatan tersebut.Tubuh polos Gendis yang terikat pada dua sisi tempat tidur dan sedang meronta-ronta, berhasil membuat Steve menjatuhkan ikat pinggang dan mengurungkan niatnya untuk melampiaskan hasrat untuk menyakiti, namun, melihat Gendis dalam posisi seperti itu, justru memban
Gendis menantap dirinya sekali lagi di cermin.Setelah itu, itu perlahan keluar dari kamar.Dengan mengenakan sepatu kristal, dia berjalan menyusuri koridor lalu menuruni tangga.Langkah kaki Gendis memalu lantai, bergema di seluruh ruangan rumah mewah itu.Dari atas tangga, dia melihat Steve duduk sambil menikmati makan paginya.Sementara pak Markus duduk di sebelahnya.Melihat kedatangan Gendis, pak Markus berdiri lalu menarik salah satu kursi untuk Gendis.Sementara Steve tidak menghiraukan kehadiran Gendis, dan tetap menikmati makanannya."Pak Markus, aku berangkat duluan. Jangan lupa kamu antar dia setelah ini."Steve mengelap bibirnya dengan sapu tangan putih yang ada di atas meja.Sementara pak Markus mengangguk hormat mendengar perintahnya."Baik, Tuan," jawab pak Markus sopan.Setelah mengelap mulutnya, Steve bangkit lalu meninggalkan meja makan.Tak lama setelah itu, terdengar derit mobil yang meninggalkan halaman rumah
"Calon mantu?"Kali ini ayah Gendis yang mengulang kalimat.Dengan pandangan bingung, laki-laki paruh baya itu berdiri, mendekati tamu yang baru datang ke rumahnya.Ditatapnya satu persatu wajah orang-orang yang baru datang ke rumahnya itu."Gendis, apa benar, kamu kenal dengan mereka?" tanya nya.Diarahkan pandangan matanya pada anak perempuannya itu.Gendis mengerjap, merasa bingung harus dari mana dia menceritakan semuanya. Karena sejak kedatangannya kembali ke rumah, belum sempat bercerita pada kedua orang tuanya. Yang mereka tahu, kalau anak perempuannya telah pulang kembali ke rumah dan berkumpul bersama mereka."Bapak, Gendis kenal dengan mereka. Merekalah yang telah menyelamatkan Gendis dari cengkeraman jahat Dirga dan bapaknya," ujar Gendis menjelaskan."Saya Steve, Pak," ucap Steve sambil mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan bapak Gendis.Sejenak merasa ragu, lalu, disambutnya ukuran tangan pemuda jangkung yan
Steve membanting tubuhnya di atas tempat tidur, diembuskan kasar napasnya.Ada rasa kesal sekaligus kesedihan yang bercampur jadi satu.Dibukanya kembali surat yang ditulis Gladys."Bagaimana bisa dia melakukan ini padaku," dengkus Steve.Dia melempar surat itu kasar, lalu menenggelamkan tubuhnya di atas tempat tidur, tatapannya kosong, menerawang menembus langit-langit kamar.Diletakkannya sebelah tangan di atas dahi.Beberapa kali Steve merubah posisi tidurnya, lalu dia bergegas bangkit menuju lemari pakaian, mengganti piyama dengan kemeja lengan panjang, yang digulung hingga bawah siku.Rasa nyeri di perut, tidak dirasakan lagi."Tuan Muda, mau pergi? Biar saya yang nyetir mobilnya," ucap pak Markus, saat melihat Steve berjalan menuju garasi."Tidak usah, Pak. Saya bisa nyetir sendiri," jawab Steve."Tapi Tuan Muda belum sepenuhnya pulih ....""Pak Markus, aku bisa sendiri." Steve menolak."Tapi mau keman
Di dalam kamar, Gladys terduduk lesu.Hati kecilnya ingin sekali tinggal di rumah ini lebih lama, terlebih saat ini sikap Steve tidak sedingin sebelumnya.Namun di sisi hatinya yang lain, keinginan untuk bertemu orang tuanya semakin menggebu, apalagi sudah hampir tiga tahun sejak Dirga membawanya keluar dari rumahnya, belum pernah sekalipun dia bertemu atau sekedar mendengar kabar tentang keluarganya.Cukup lama Gladys terpekur, sesekali matanya menatap langit-langit kamar, lalu kembali menunduk. Beberapa kali dia menarik napas dalam."Dys ... kamu dari mana?" tanya Suli yang baru keluar dari kamar mandi."Oh, aku baru saja dari halaman depan. Menghirup udara pagi," jawab Gladys.Dia kembali menunduk, meremas jari jemarinya, lalu beranjak menuju lemari pakaian. Suli memperhatikan setiap gerak-gerik sahabatnya itu tanpa mengeluarkan sepatah kata."Buat apa kamu mengeluarkan tas itu, Dys? Juga pakaian itu ....?" tanya Suli keheranan saat me
Steve sudah kembali ke rumahnya, di hari kedua, dia bahkan sudah bisa berjalan-jalan di sekitar rumah, walau sedikit lambat.Namun pagi ini, rupanya ada yang sedang mengganjal hatinya, hingga membuatnya terlihat tidak tenang, wajah dinginnya terlihat sedikit murung.Akan tetapi, dia berusaha untuk tetap bersikap tenang, walau getar-getar di hatinya, membuatnya susah tidur.Beberapa kali dia menarik napas berat, lalu dengan kasar mengembuskannya."Tuan ...."Sebuah panggilan lembut mengagetkan lamunannya, Steve menoleh ke arah suara. Di sana, Gladys berdiri dengan menyembunyikan kedua tangannya ke dalam saku."Gladys, kamu sudah bangun?" tanya Steve."Sudah, Tuan sendiri ... kenapa sudah berada di luar. Ini masih sangat pagi," jawab Gladys.Steve yang mendengar pertanyaan Gladys menjadi sedikit kikuk, lalu dengan cepat dia menjawab, "Oh, aku ingin mencari udara segar. Berbaring di tempat tidur membuatku bosan.""Oh, begitu ..
Gladys berlari sepanjang koridor, di belakangnya, Suli dengan napas terengah mencoba mengejar langkah sahabatnya itu.Pikirannya sangat kacau, ketika Roy mengabarkan kalau saat ini Steve tengah menjalani operasi, walaupun Roy juga sudah mengatakan kalau semua baik-baik saja.Kedua wanita itu kemudian masuk ke dalam salah satu ruangan, di mana terdapat dua orang pria berbadan tegap berdiri di dekat pintu.Mereka adalah anak buah Steve yang sengaja ditugaskan oleh Roy untuk berjaga di luar."Steve ... bagaimana keadaanmu?" tanya Gladys begitu dia berada di dalam ruangan."Dia baik-baik saja, operasinya berjalan lancar." Roy yang duduk di kursi sebelah brankar menjawab."Syukurlah." Gladys menarik napas lega sembari mendekat ke arah Steve yang masih terbaring.Gladys duduk di sebelah Roy, sembari meraih tangan Steve."Ouh ... sakit," rintih Steve ketika tidak sengaja Gladys menyentuh bagian tubuh Steve yang terlukan."Maaf, aku
"Keluar, atau aku akan menyeretmu dari sana!" Gladys kembali berteriak. Suaranya menggema ke seluruh ruangan.Setelah menunggu beberapa saat, tidak ada tanda-tanda ada orang lain di dalam ruangan itu.Gladys berjalan pelan menuju meja, suara sepatunya memaku lantai.Tok tok tok ....Baru beberapa langkah, Gladys berhenti.Dari bawah meja, tampak seseorang berjongkok, lalu perlahan dia bangkit berdiri menghadap arah Gladys.Melihat siapa yang muncul dari balik meja, Gladys tersenyum. Lalu dia berkata."Kita bertemu lagi, Tania. Walau dalam suasana yang berbeda," ucap Gladys."Iya, senang bisa bertemu denganmu lagi, Gendis."Tania berkata sambil merapikan rambutnya, dia berusaha bersikap tenang, namun tetap saja, kegugupan tampak jelas di wajahnya.Tiba-tiba, Suli yang sejak tadi diam di depan pintu, berlari menghampiri Tania, dan tangan kanannya langsung bergerak cepat meninju wajah Tania.Mendapat serangan yang tib
"Jangan sentuh aku!" teriak Gladys.Sementara Dirga merasa semakin bergairah, melihat kemarahan Gladys. Tidak ada rasa ketakutan dari sorot mata wanita yang ada di hadapannya itu, berbeda sekali saat pertama kali dia membawanya dulu, wanita polos dengan sorot mata penuh ketakutan.Apa yang dilihatnya pada diri Gladys saat ini, membuat Dirga semakin tertantang untuk kembali menguasai dan memilikinya seperti yang pernah dia lakukan waktu itu.Brukk!!Gladys dengan sekuat tenaga menendang selangkangan Dirga, hingga membuatnya meringis kesakitan.Dirga memegang bagian sensitifnya, yang baru saja ditendang oleh Gladys. Beberapa saat kemudian, dia kembali berdiri, matanya merah, lalu .... Plak!!Sebuah tamparan keras mendarat keras di pipi kiri Gladys, hingga membuatnya jatuh terjengkang.Gaun yang dia kenakan tersingkap hingga menampakkan pahanya yang putih mulus.Melihat itu, Dirga membulatkan kedua matanya.Perlahan, dia mendekat
Roy berlari mengejar pria yang tadi hendak mencelakai Suli.Akan tetapi, dengan cepat, pria bertubuh gempal itu berbalik dan berlari menjauh dari Roy.Tepat di saat itu, sebuah mobil melaju kencang dari arah berlawanan, dan tiba-tiba berhenti di depan pria bertubuh gempal, hingga meninggalkan suara ban derdecit."Buruan masuk!" teriak seseorang dari dalam.Dalam beberapa detik saja, pria tersebut sudah masuk ke dalam mobil, dan langsung meninggalkan Roy yang terengah-engah karena berlari.Roy bisa melihat dengan jelas, Gladys dengan tangan terikat ke belakang dan mulut di tutup lakban duduk sambil meronta, ketika pintu mobil tersebut terbuka."Gladys ... Gladys ...!" Roy berusaha memanggil Gladys, sambil berlari di belakang mobil yang melaju.Hingga mobil itu makin menjauh, Roy berbalik menuju ke mobilnya."Suli, cepat masuk!" perintah Roy.Dengan sigap, Suli masuk ke dalam mobil dan langsung memasang sabuk pengaman, dan di saat
Tania terlihat begitu anggun dan cantik dengan gaun hitam selutut yang dia kenakan.Sesekali tangan dengan jari lentiknya mengusap keringat dingin di dahi dengan tisu.Dia begitu gugup, walaupun sebelumnya pernah tinggal serumah dengan Gladys, namun yang akan dia temui saat ini, bukanlah wanita yang sama seperti beberapa tahun yang lalu.Matanya melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.Sementara itu, dua orang pria berkemeja hitam yang duduk di pojok ruangan, terlihat sama, tegang dan terlihat gelisah. Berkali-kali keduanya melihat ke arah pintu, untuk melihat apakah orang yang mereka tunggu telah datang."Maaf, saya terlambat, tadi sedikit macet soalnya."Sebuah suara lembut membuat Tania mendongak. Di depannya, seorang wanita cantik dengan gaun berwarna lila berdiri anggun, tangan kirinya memegang clutch warna senada dengan bajunya."Oh, hai ... Nona Gladys, silahkan duduk."Tania berdiri lalu dengan sikap