Gendis melepas kebaya koyaknya dan mengganti dengan pakaian yang tadi diberikan oleh Dirga.
Setidaknya, dia tidak terlihat seperti gembel dengan baju compang campingnya, walau sebenarnya gembel mungkin lebih berharga daripada dirinya, yang telah ternoda dan dijual.
Sekitar sepuluh menit kemudian, suara pintu terdengar dibuka oleh seseorang.
"Kita pulang sekarang," ucap Dirga yang sudah berdiri di depannya dengan memasukkan kedua tangan ke dalam kantong celana.
"Aku ingin pulang ke rumah orang tuaku."
"Apa kamu bilang? Pulang ke rumah orang tuamu? Kamu lupa, ya, kamu itu sekarang sudah menjadi istriku. Jadi kamu harus pulang kerumahku."
Lalu Dirga menarik tangan Gendis dengan paksa keluar dari rumah tersebut.
"Lepas ... lepaskan aku." Gendis meronta, berusaha melepaskan tangan Dirga yang mencengkeram tangannya.
"Jalan, dan masuk ke dalam mobil kalau kamu masih ingin melihat orang tuamu hidup!" ancam Dirga sambil mendorong tubuh Gendis masuk ke dalam mobil.
Sepanjang perjalanan, Gendis tak henti menangis.
Apalagi mengingat apa yang telah terjadi di ruangan itu, membuat Gendis benar-benar merasa benci dengan Dirga, laki-laki yang belum lama menjadi suaminya.
****
"Turunlah, kita sudah sampai," Perintah Dirga begitu mobil sudah berada di halaman sebuah rumah yang cukup luas.
"Aku tidak mau!" tolak Gendis.
"Kamu mau turun sendiri, atau aku akan menyuruh anak buahku menyeretmu keluar dari dalam mobil?!" Hardik Dirga.
Gendis menatap wajah Dirga penuh kebencian. Dia memang tidak takut dengan laki-laki itu, tapi untuk melawannya pun juga tidak mungkin.
Dengan terpaksa, Gendis menuruti perintah Dirga untuk keluar dari dalam mobil.
Begitu berada di luar mobil, Dirga mendorong tubuh Gendis untuk berjalan hingga membuat nya hampir jatuh tersungkur.
Dengan sedikit terseok, sakit di pangkal pahanya membuat Gendis meringis menahan sakit.
"Jalan cepat, jangan membuatku hilang kesabaran," bentak Dirga dari belakang.
"Aku ... aku sakit sekali," rintih Gendis.
Namun Dirga tidak menghiraukan rintihannya.
"Kamu lihat apa yang ada di sana?" tanya Dirga sambil menunjuk ke arah dua ekor anjing yang terikat rantai.
Gendis bergidik melihat dua ekor anjing penjaga yang terlihat begitu garang.
"A--apa maksumu?" tanya Gendis dengan mata terbelalak.
"Kalau kamu tidak bisa berjalan lebih cepat, maka aku akan melepaskan salah satu untuk membuatmu berlari."
Mendengar itu, dengan sekuat tenaga Gendis berusaha mempercepat langkahnya.
Dia berasakan pangkal pahanya begitu sakit dan cairan hangat merembes keluar.
Air mata meleleh di pipi Gendis, karena dia harus menahan rasa sakit hati sekaligus sakit di tubuhnya.
"Tania, bawa dia ke kamar lantai atas," perintah Dirga pada seorang wanita berpakaian seksi yang dia panggil dengan nama Tania, begitu mereka berada di dalam rumah besar itu.
Wanita seksi bernama Tania itu, menggandeng Tania dan membantunya berjalan menuju sebuah kamar yang berada di lantai atas.
Begitu berada di dalam kamar, Tania berkata pada Gendis, "Kamu pasti istri baru Dirga."
"Da--darimana kamu tahu itu?" Gendis menjawab dengan rasa penasaran.
"Karena, Dirga selalu membawa istri barunya ke rumah ini."
"Apa maksudmu?" Gendis membelalakan matanya.
"Asal kamu tahu, kamu bukanlah satu-satunya perempuan yang dibawa ke sini oleh Dirga."
"Maksudnya apa?" tanya Gendis lagi.
"Kamu akan tahu nanti." Tania menjawab singkat dan bersiap meninggalkan Gendis, namun berhenti ketika Gendis memanggilnya.
"Tunggu, jangan pergi dulu. Katakan padaku, siapa kamu?"
Tania membalikkan tubuhnya, lalu menjawab,
"Aku adalah istri pertama Dirga."
Setelah menjawab pertanyaan Gendis, Tania meninggalkannya sendiri di kamar.
Gendis terduduk lemas di atas tempat tidur, rupanya, sementara dari pangkal pahanya, cairan berwarna merah merembes hingga ke kakinya.
Disibaknya gaun hitam yang dia kenakan, dan begitu melihat, dia menjerit.
Haaaa.....
Gendis panik melihat darah di kakinya, dan teriakan paniknya ternyata terdengar oleh Dirga, dan membuatnya bergegas naik ke lantai atas menuju kamar Gendis.
Ceklek....
Daun pintu kamar di buka dari luar, lalu Dirga masuk dan melihat Gendis terisak di sudut tempat tidur.
Dirga melihat kaki Gendis yang ada bercak darahnya, lalu dia berdecak.
"Jangan seperti anak kecil, itu hanya luka biasa dan akan sembuh setelah minum ini. Kamu tahu, karena itulah, kamu dihargai cukup malah oleh pelangganku."
Dirga melemparkan sebuah botol kecil berisi obat ke arah Gendis.
"Kamu jahat Dirga, benar-benar jahat!" maki Gendis. Sementara Dirga hanya menyeringai melihat Gendis menangis.
Seolah, tangisan Gendis adalah sebuah hiburan baginya.
"Aku memang jahat, dan kamu akan tahu bahwa aku sebenarnya lebih dari jahat."
Gendis mengepalkan kedua tangannya menahan marah, sementara Dirga berdiri di depannya bak monster lapar.
"Apa sebenarnya tujuanmu menikah denganku?" tanya Gendis.
Mendengar pertanyaan Gendis, Dirga tertawa terbahak-bahak.
Ha ha ha ha ....
"Tidak kah kau lihat gadis-gadis yang ada di bawah tadi?"
Dirga mendekatkan wajahnya ke wajah Gendis.
"Mereka, gadis-gadis yang kamu lihat di bawah tadi, sebagian adalah istriku."
"Apa maksudmu?" tanya Gendis tidak mengerti.
"Sebaiknya kamu tidak perlu tahu."
Lalu, Dirga keluar kamar meninggalkan Gendis. Namun sebelum dia membuka pintu, Dirga menoleh dan berkata, "Minumlah obat itu, karena sebentar lagi kamu harus bekerja untukku."
Dipandanginya punggung Dirga yang kemudian menghilang dibalik pintu.
Gendis melempar banta ke pintu melempiaskan kekesalannya.
****
Tok tok tok ....
Sebuah ketukan di kamar.
To tok tok ....
Ketukan itu kembali terdengar, setelah beberala saat, pintu perlahan terbuka.
Seorang gadis sebaya dengan Gendis masuk membawa sebuah nampan berisi makanan.
Gendis memperhatikan gadis itu, dan dia tersenyum ke arah Gendis. Dalam hati, Gendis berpikir bahwa gadis itu adalah gadis baik.
"Apakah kamu juga istri Dirga?" tanya Gendis ragu.
Gadis itu menatap Gendis, kemudian dia menggeleng.
"Apakah kamu anak buah Dirga, dan bekerja untuknya?" Gendis bertanya lagi.
Gadis itu menatap Gendis lama, lalu dengan pelan dia berkata, "Namaku Suli." Gadis itu memperkenalkan diri.
"Suli, kenapa kamu ada di sini?" tanya Gendis lagi.
"Aku-- aku ... di jual oleh bapak tiriku."
"Apa?" Gendis hampir saja memekik begitu mendengar jawaban Suli, namun buru-buru menutup mulutnya.
"Maaf, aku harus pergi."
"Tunggu, jangan pergi dulu." Gendis memegang tangan Suli dan memintanya untuk tidak buru-buru pergi.
"Aku takut, ada anak buah Dirga di luar," ucap Suli lirih.
"Kamu harus berhati-hati dan jaga dirimu, jangan sampai membuat Dirga marah. Atau kamu akan dihajarnya."
"Dirga menghajarmu?" tanya Gendis sambil menatap Suli.
Kemudia suli memperlihatkan lengan kirinya, disana terlihat banyak sekali memar bekas pukulan.
Gendis terbeliak melihat luka di tangan Suli.
"Dirga adalah orang jahat, dia akan menyiksa siapa saja jika ada yang berani melawan atau menolak melayani tamu yang datang. Maaf, aku harus pergi."
Suli kemudian meninggalkan Gendis yang masih syok dengan apa yang dia lihat dan dengar.
Rupanya saat ini, Gendis berada di dalam kandang srigala, yang kapan saja siap menerkam dirinya.
Gendis bingung sekaligus takut, hingga membuatnya mondar-mandir di dalam kamar, mencari cara untuk bisa lepas dari jeratan para durjana yang ada di rumah itu.
****
Brak ....Terdengar seperti sesuatu yang terjatuh di lantai.Dan bersamaan dengan itu, terdengar suara teriakan seorang perempuan dari luar."Ampuun ... sakit, jangan pukul saya."Jeritan dan rintihan itu begitu menyayat hati, hingga membuat Gendis penasaran dan mencoba mencari tahu apa yang terjadi di luar kamar.Gendis berusaha membuka pintu kamar, namun sia-sia.Karena pintu tersebut terkunci rapat.Tak kekurangan akal, Gendis lalu membungkuk dan mengintip dari lobang kunci di kamarnya.Dari lobang kunci tersebut, Gendis melihat seorang gadis muda sedang di tendang dan di pukul oleh seorang pria berbadan tegap serta berkulit gelap dengan tubuh yang dipenuhi dengan tato."Sakit ... ampuun ...." Rintih gadis itu sambil memegangi perutnya yang di tendang berkali-kali. Darah menetes dari sudut bibir dan juga pelipisnya."Suli ...." teriak Gendis begitu m
Malam pertama di rumah berlantai dua itu, terasa begitu lama.Walau di dalam kamar, Gendis bisa mendengar suara orang berlalu lalang melewati kamar tempat dia dan Suli berada, namun dia tidak bisa melihat dengan jelas siapa saja mereka yang berjalan di lorong depan kamarnya.Gendis mendekati Suli yang sedang terbaring di tempat tidur, peluh membasahi kening Suli.Di raihnya baskom berisi air lalu menyekanya dengan handuk kecil yang ada di dalamnya.Suli memegang tangan Gendis yang tengah menyeka peluh di keningnya."Gendis, aku baik-baik saja. Sebaiknya kamu beristirahat untuk memulihkan tenagamu."Lalu Suli bangkit dan menyandarkan tubuhnya di tempat tidur."Aku tidak bisa tidur Suli, di luar berisik sekali. Aku takut jika tiba-tiba ada orang masuk ke kamar ini."Gendis duduk di sisi tempat tidur, sesekali matanya melihat ke arah pintu."Mereka tidak akan masuk ke sini
"Hei ... hei, sabar. Kita selesaikan dulu urusannya."Dirga menepuk pundak pria yang baru saja memenangkan lelang, hingga dia mundur lalu membalikkan tubuhnya mengahadap Dirga."Bams."Pria itu menjentikkan jarinya pada seorang pengawal yang masuk bersamanya.Dengan sigap, pengawal yang di panggil Bams mengeluarkan buku cek dari kantong jas dan menyerahkan pada pria itu.Kemudian, pria itu menulis sejumlah nominal pada sebuah cek lalu menyerahkannya ke Dirga.Dengan cepat, Dirga mengambil cek tersebut dan senyum lebar mengembang dari bibirnya."Senang berbisnis dengan anda, 'Tuan Muda'."Pria yang di panggil tuan muda itu membalas ucapan Dirga dengan menarik sedikit sudut bibirnya.Lalu, dia melepaskan jas yang saat itu dia kenakan, dan memakaikannya pada Gendis.Gendis sedikit kaget melihat apa yang dilakukan pria itu."Selamat bersenang-senang."
Pria tua itu melangkah memasuki kamarnya, sesekali terlihat dia menggelengkan kepala."Kamu melakukannya lagi, Tuan muda." Pria tua itu bergumam.Matanya menatap deretan foto yang berjejer rapi di atas meja yang yang terletak di sudut kamarnya."Maafkan aku, Tuan. Yang telah gagal mendidik Steve. Aku gagal, Tuan."Pria tua yang duduk di tepi tempat tidurnya, membungkuk sambil menutup wajah dengan kedua tangannya.Pria itu merenung, bayangan masa lalu seolah berkejaran di benaknya. Bagaimana dirinya, yang saat itu berusia belasan tahun, dipungut dari jalanan oleh sang Tuan, yang merupakan Ayah dari Steve.Masih lekat di ingatannya, bagaimana Ayah Steve yang saat itu masih muda, memperlakukan dirinya seperti saudara, memberinya tempat tinggal yang layak, baju dan juga pendidikan.Hampir seumur hidupnya, dia abdikan pada keluarga yang telah mengambilnya dari jalanan hingga membawa dirinya bergaul deng
Setelah Gendis menghabiskan makanan yang dibawakan oleh pak Markus, dia mencoba untuk merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, namun apa daya, luka-luka di punggungnya belum kering dan terasa perih setiap kali tergesek.Hingga akhirnya Gendis memutuskan untuk bersandar dengan memiringkan tubuhnya. Dia berusaha untuk memejamkan matanya, kalau bisa tidur, itu lebih baik. Setidaknya, dia tidak merasa begitu sakit ketika tertidur.Ketika kesadarannya mulai berkurang, antara tidur dan terjaga, Gendis merasakan sesuatu menyentuh pipinya dengan halus.Ingin sekali dia membuka mata, namun matanya terasa begitu berat untuk di buka."Tidurlah, kamu pasti merasa lelah." Dia berkata, sambil membetulkan selimut yang di pakai GendisMendengar suara itu, Gendis begitu terhenyak.Jantungnya berdetak lebih kencang dan tidak beraturan.Lalu perlahan, dia membuka matanya dan melihat seorang laki-laki duduk di tepi ranjang.Laki-laki bertubuh jangkung dengan t
"Kembalilah beristirahat di atas tempat tidur, karena besok Tuan muda akan mengantarmu kembali."Pak Markus membantu Gendis untuk kembali ke atas tempat tidur.Namun, Gendis justru memegang erat tangan lelaki tua itu sambil berkata, "Kembali? Apakah aku akan kembali ke rumah orang tuaku."Tanya Gendis dengan mata berbinar. Dia membayangkan esok dirinya akan di antar kembali ke rumah orang tuanya di kampung.Pak Markus melepaskan tangan Gendis yang masih memegang tangannya, kemudia dia menatap lekat wajah Gendis.Dengan tatapan penuh iba, pak Markus berkata pada Gendis, "Tidak."Jawaban yang sangat singkat, namun cukup membuat binar mata Gendis hilang dalam sekejap."Lalu, kemana aku akan di kembalikan? Apakah kalian akan mengembalikanku ke rumah itu lagi?"Gendis menutup kedua telinganya, menggelengkan kepala dengan cepat. Wajahnya di penuhi kecemasan dan ketakutan."Beristirahatlah, karena Tuan muda akan membawamu keluar
Gaun hitam melekat sempurna di tubuh Gendis.Beberapa kali dia memutar tubuhnya di depan cermin, memastikan penampilannya sudah sempurna.Sungguh konyol memang, jika beberapa waktu yang lalu, Steve hampir saja membuat tubuh Gendis tidak lagi sempurna, namun saat ini, Gendis justru ingin terlihat sempurna di hadapan Steve.Gendis berjalan menuju tempat tidur, meletakkan bobot tubuhnya di tepi tempat tidur. Rasa jengah menyerang, matanya menatap ke bawah, melihat kaki jenjangnya yang tanpa alas.Gendis menarik nafas dalam, lalu mengembuskannya dengan kasar."Apa aku harus keluar seperti ini? Dia bisa membelikanku baju, tapi kenapa tidak sekalian membeli sepatu," omel Gendis.Mata Gendis menyapu seluruh kamar, mencari-cari keberadaan sandal selop yang dia pakai ketika datang ke rumah ini.Namun tidak dia temukan keberadaan benda tersebut di kamar itu."Apakah pak Markus sudah membuangnya?" pikir Gendis.Dengan rasa gamang, Gendis membu
Gendis duduk dalam dalam diam, sementara Steve yang duduk di depannya pun melakukan hal yang sama.Mereka sama-sama terdiam, bahkan embusan nafas mereka sampai bisa terdengar.Seorang pelayan datang membawa dua buah gelas berisi minuman, lalu meletakkan di atas meja.Pelayan tersebut mengangguk dengan hormat begitu melihat Steve."Tuan, apakah makan malamnya bisa kami siapkan sekarang?" tanya pelayan tersebur dengan sopan dan kepala menunduk."Iya, siapkan sekarang." Steve menjawab.Tidak lama kemudian, beberapa pelayan datang sambil membawa berbagai hidangan dan menata rapi di atas meja.Sementara itu, Gendis hanya bisa menyaksikan semua tanpa bisa mengeluarkan sepatah katapun.Karena, di hapadapannya kini, telah terhidang aneka makanan yang selama ini hanya bisa dia lihat di acara televisi atau film-film saja.Sulit sekali untuk membuat pikirannya mempercayai bahwa semua yang ada di hadapannya saat ini adalah nyata, bukan sekedar mimpi
"Calon mantu?"Kali ini ayah Gendis yang mengulang kalimat.Dengan pandangan bingung, laki-laki paruh baya itu berdiri, mendekati tamu yang baru datang ke rumahnya.Ditatapnya satu persatu wajah orang-orang yang baru datang ke rumahnya itu."Gendis, apa benar, kamu kenal dengan mereka?" tanya nya.Diarahkan pandangan matanya pada anak perempuannya itu.Gendis mengerjap, merasa bingung harus dari mana dia menceritakan semuanya. Karena sejak kedatangannya kembali ke rumah, belum sempat bercerita pada kedua orang tuanya. Yang mereka tahu, kalau anak perempuannya telah pulang kembali ke rumah dan berkumpul bersama mereka."Bapak, Gendis kenal dengan mereka. Merekalah yang telah menyelamatkan Gendis dari cengkeraman jahat Dirga dan bapaknya," ujar Gendis menjelaskan."Saya Steve, Pak," ucap Steve sambil mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan bapak Gendis.Sejenak merasa ragu, lalu, disambutnya ukuran tangan pemuda jangkung yan
Steve membanting tubuhnya di atas tempat tidur, diembuskan kasar napasnya.Ada rasa kesal sekaligus kesedihan yang bercampur jadi satu.Dibukanya kembali surat yang ditulis Gladys."Bagaimana bisa dia melakukan ini padaku," dengkus Steve.Dia melempar surat itu kasar, lalu menenggelamkan tubuhnya di atas tempat tidur, tatapannya kosong, menerawang menembus langit-langit kamar.Diletakkannya sebelah tangan di atas dahi.Beberapa kali Steve merubah posisi tidurnya, lalu dia bergegas bangkit menuju lemari pakaian, mengganti piyama dengan kemeja lengan panjang, yang digulung hingga bawah siku.Rasa nyeri di perut, tidak dirasakan lagi."Tuan Muda, mau pergi? Biar saya yang nyetir mobilnya," ucap pak Markus, saat melihat Steve berjalan menuju garasi."Tidak usah, Pak. Saya bisa nyetir sendiri," jawab Steve."Tapi Tuan Muda belum sepenuhnya pulih ....""Pak Markus, aku bisa sendiri." Steve menolak."Tapi mau keman
Di dalam kamar, Gladys terduduk lesu.Hati kecilnya ingin sekali tinggal di rumah ini lebih lama, terlebih saat ini sikap Steve tidak sedingin sebelumnya.Namun di sisi hatinya yang lain, keinginan untuk bertemu orang tuanya semakin menggebu, apalagi sudah hampir tiga tahun sejak Dirga membawanya keluar dari rumahnya, belum pernah sekalipun dia bertemu atau sekedar mendengar kabar tentang keluarganya.Cukup lama Gladys terpekur, sesekali matanya menatap langit-langit kamar, lalu kembali menunduk. Beberapa kali dia menarik napas dalam."Dys ... kamu dari mana?" tanya Suli yang baru keluar dari kamar mandi."Oh, aku baru saja dari halaman depan. Menghirup udara pagi," jawab Gladys.Dia kembali menunduk, meremas jari jemarinya, lalu beranjak menuju lemari pakaian. Suli memperhatikan setiap gerak-gerik sahabatnya itu tanpa mengeluarkan sepatah kata."Buat apa kamu mengeluarkan tas itu, Dys? Juga pakaian itu ....?" tanya Suli keheranan saat me
Steve sudah kembali ke rumahnya, di hari kedua, dia bahkan sudah bisa berjalan-jalan di sekitar rumah, walau sedikit lambat.Namun pagi ini, rupanya ada yang sedang mengganjal hatinya, hingga membuatnya terlihat tidak tenang, wajah dinginnya terlihat sedikit murung.Akan tetapi, dia berusaha untuk tetap bersikap tenang, walau getar-getar di hatinya, membuatnya susah tidur.Beberapa kali dia menarik napas berat, lalu dengan kasar mengembuskannya."Tuan ...."Sebuah panggilan lembut mengagetkan lamunannya, Steve menoleh ke arah suara. Di sana, Gladys berdiri dengan menyembunyikan kedua tangannya ke dalam saku."Gladys, kamu sudah bangun?" tanya Steve."Sudah, Tuan sendiri ... kenapa sudah berada di luar. Ini masih sangat pagi," jawab Gladys.Steve yang mendengar pertanyaan Gladys menjadi sedikit kikuk, lalu dengan cepat dia menjawab, "Oh, aku ingin mencari udara segar. Berbaring di tempat tidur membuatku bosan.""Oh, begitu ..
Gladys berlari sepanjang koridor, di belakangnya, Suli dengan napas terengah mencoba mengejar langkah sahabatnya itu.Pikirannya sangat kacau, ketika Roy mengabarkan kalau saat ini Steve tengah menjalani operasi, walaupun Roy juga sudah mengatakan kalau semua baik-baik saja.Kedua wanita itu kemudian masuk ke dalam salah satu ruangan, di mana terdapat dua orang pria berbadan tegap berdiri di dekat pintu.Mereka adalah anak buah Steve yang sengaja ditugaskan oleh Roy untuk berjaga di luar."Steve ... bagaimana keadaanmu?" tanya Gladys begitu dia berada di dalam ruangan."Dia baik-baik saja, operasinya berjalan lancar." Roy yang duduk di kursi sebelah brankar menjawab."Syukurlah." Gladys menarik napas lega sembari mendekat ke arah Steve yang masih terbaring.Gladys duduk di sebelah Roy, sembari meraih tangan Steve."Ouh ... sakit," rintih Steve ketika tidak sengaja Gladys menyentuh bagian tubuh Steve yang terlukan."Maaf, aku
"Keluar, atau aku akan menyeretmu dari sana!" Gladys kembali berteriak. Suaranya menggema ke seluruh ruangan.Setelah menunggu beberapa saat, tidak ada tanda-tanda ada orang lain di dalam ruangan itu.Gladys berjalan pelan menuju meja, suara sepatunya memaku lantai.Tok tok tok ....Baru beberapa langkah, Gladys berhenti.Dari bawah meja, tampak seseorang berjongkok, lalu perlahan dia bangkit berdiri menghadap arah Gladys.Melihat siapa yang muncul dari balik meja, Gladys tersenyum. Lalu dia berkata."Kita bertemu lagi, Tania. Walau dalam suasana yang berbeda," ucap Gladys."Iya, senang bisa bertemu denganmu lagi, Gendis."Tania berkata sambil merapikan rambutnya, dia berusaha bersikap tenang, namun tetap saja, kegugupan tampak jelas di wajahnya.Tiba-tiba, Suli yang sejak tadi diam di depan pintu, berlari menghampiri Tania, dan tangan kanannya langsung bergerak cepat meninju wajah Tania.Mendapat serangan yang tib
"Jangan sentuh aku!" teriak Gladys.Sementara Dirga merasa semakin bergairah, melihat kemarahan Gladys. Tidak ada rasa ketakutan dari sorot mata wanita yang ada di hadapannya itu, berbeda sekali saat pertama kali dia membawanya dulu, wanita polos dengan sorot mata penuh ketakutan.Apa yang dilihatnya pada diri Gladys saat ini, membuat Dirga semakin tertantang untuk kembali menguasai dan memilikinya seperti yang pernah dia lakukan waktu itu.Brukk!!Gladys dengan sekuat tenaga menendang selangkangan Dirga, hingga membuatnya meringis kesakitan.Dirga memegang bagian sensitifnya, yang baru saja ditendang oleh Gladys. Beberapa saat kemudian, dia kembali berdiri, matanya merah, lalu .... Plak!!Sebuah tamparan keras mendarat keras di pipi kiri Gladys, hingga membuatnya jatuh terjengkang.Gaun yang dia kenakan tersingkap hingga menampakkan pahanya yang putih mulus.Melihat itu, Dirga membulatkan kedua matanya.Perlahan, dia mendekat
Roy berlari mengejar pria yang tadi hendak mencelakai Suli.Akan tetapi, dengan cepat, pria bertubuh gempal itu berbalik dan berlari menjauh dari Roy.Tepat di saat itu, sebuah mobil melaju kencang dari arah berlawanan, dan tiba-tiba berhenti di depan pria bertubuh gempal, hingga meninggalkan suara ban derdecit."Buruan masuk!" teriak seseorang dari dalam.Dalam beberapa detik saja, pria tersebut sudah masuk ke dalam mobil, dan langsung meninggalkan Roy yang terengah-engah karena berlari.Roy bisa melihat dengan jelas, Gladys dengan tangan terikat ke belakang dan mulut di tutup lakban duduk sambil meronta, ketika pintu mobil tersebut terbuka."Gladys ... Gladys ...!" Roy berusaha memanggil Gladys, sambil berlari di belakang mobil yang melaju.Hingga mobil itu makin menjauh, Roy berbalik menuju ke mobilnya."Suli, cepat masuk!" perintah Roy.Dengan sigap, Suli masuk ke dalam mobil dan langsung memasang sabuk pengaman, dan di saat
Tania terlihat begitu anggun dan cantik dengan gaun hitam selutut yang dia kenakan.Sesekali tangan dengan jari lentiknya mengusap keringat dingin di dahi dengan tisu.Dia begitu gugup, walaupun sebelumnya pernah tinggal serumah dengan Gladys, namun yang akan dia temui saat ini, bukanlah wanita yang sama seperti beberapa tahun yang lalu.Matanya melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.Sementara itu, dua orang pria berkemeja hitam yang duduk di pojok ruangan, terlihat sama, tegang dan terlihat gelisah. Berkali-kali keduanya melihat ke arah pintu, untuk melihat apakah orang yang mereka tunggu telah datang."Maaf, saya terlambat, tadi sedikit macet soalnya."Sebuah suara lembut membuat Tania mendongak. Di depannya, seorang wanita cantik dengan gaun berwarna lila berdiri anggun, tangan kirinya memegang clutch warna senada dengan bajunya."Oh, hai ... Nona Gladys, silahkan duduk."Tania berdiri lalu dengan sikap