Alyana terkejut bukan main mendapati putera sulungnya sudah tak sadarkan diri di bawah lantai bawah dengan darah yang mengucur dari kepalanya.
Dengan segera ia memanggil ambulance dan membawa Revano menuju rumah sakit milik keluarganya.
Tamara yang merasa menjadi penyebab semua ini pun ikut ke rumah sakit, menunggu dengan harap-harap cemas.
Alyana dan Alex terus melirik tak suka ke arah Tamara.
Gadis mungil itu sebenarnya tahu, tapi ia tak peduli itu. Mulutnya terus komat-kamit berdoa agar Revano dapat segera disembuhkan.
Tamara tak tahu lagi bagaimana jika hal buruk terjadi pada Revano pasca insiden ini. Hidup Tamara pasti akan sangat hancur. Bisa saja ia dikeluarkan dari sekolah atau yang terburuk ia dapat dipenjara karena mencelakai seseorang. Tentu hal itu akan berdampak buruk pada Diana.
Sebuah ponsel berdering nyaring memecah keheningan di sana. Tentu saja itu bukan ponsel Tamara karena gadis itu tidak memiliki ponsel.
“Halo.”
Ternyata itu adalah ponsel Alyana.
Tamara memperhatikan ponsel Alyana yang penuh ukiran indah, sudah dapat dipastikan jika harganya fantastis.
“Saya? Ya, saya akan segera ke sana. Oh, Alex juga? Baiklah, saya dan suami saya akan ke sana sekarang.”
Alyana mematikan ponselnya, ia berbisik pada Alex yang sedari tadi menatapnya penuh tanda tanya.
Alex mengangguk-angguk dan melangkah beriringan dengan Alyana.
Langkah wanita cantik itu terhenti tepat di depan Tamara.
“Kamu yang membuat anak saya seperti ini. Jadi, jangan harap kamu bisa melarikan diri.” Mata Alyana menatap Tamara dengan tajam.
Tamara mengangguk. Bagaimana bisa ia melarikan diri dan lepas tanggung jawab? Cari mati namanya jika ia sampai seperti itu.
Alyana dan Alex pun kembali melangkah, meninggalkan Tamara seorang diri di lorong rumah sakit.
Tamara terdiam di kursi tunggu. Sesekali jemarinya mengetuk ponselnya untuk menghilangkan rasa sepi dan mencekam.
Jika saja Tamara memiliki kemampuan untuk melihat yang tak kasat mata, pasti ada berbagai macam makhluk yang lalu-lalang di hadapan Tamara.
Akan tetapi, Tamara tak peduli itu. Jikalau ia dapat melihat mereka detik ini juga, ia tetap akan bersikap cuek. Yang ada di pikirannya hanyalah kepulihan Revano.
Tak berselang lama, seorang dokter keluar dari kamar rawat Revano.
“Keluarga Revano?”
Tamara mengangguk.
“Mbak pacarnya Revano, ya?”
“Iya, Dok,” jawab Tamara sekenanya. “Gimana keadaan Revano, Dok?”
“Dia sudah membaik, hanya butuh istirahat saja.”
“Boleh saya menjenguk, Dok?”
“Oh, boleh. Silakan. Asal tidak mengganggu istirahatnya, ya,” pesan dokter.
Tamara mengangguk. Gadis itu masuk ke dalam kamar rawat Revano setelah dokter itu pamit.
Mata Tamara menanggap sesosok laki-laki jangkung yang terbaring lemah di ranjang rawat.
Tamara mendekat, menatap lekat-lekat wajah tampan Revano.
Lelaki itu kini bukan Revano yang seperti biasa dilihatnya – Revano yang terlihat menyebalkan dan membuat dirinya susah selama beberapa hari ini di sekolah.
Dengan keberanian yang terkumpul, Tamara meraih tangan Revano yang ukurannya dua kali lebih besar dari tangannya. Digenggamnya tangan itu erat-erat.
“Gue sadar gue ceroboh, Van. Maafin gue, ya, karena gue, lo selalu kena sial. Karena kecerobohan gue, nyawa lo jadi taruhannya,” ucap Tamara penuh sesal.
Akan tetapi, seseorang yang ia ajak bicara itu tak menjawab – tetap tertidur tenang.
“Gue bener-bener takut kalau lo kenapa-kenapa, Van. Gue bukan anak orang kaya yang kalau ada masalah, bisa diselesaiin sama duit. Gue mohon lo bangun, ya, Van, sehat lagi kayak biasanya. Gue rela ngapain aja supaya lo bisa bangun dan sehat lagi. Gue janji, Van.” Tamara terisak. Wajah mungilnya disembunyikannya di balik tangan Revano.
Tanpa Tamara sadari, mata biru itu telah terbuka, memandang gadis mungil yang tengah menangis di sampingnya.
Sebuah senyum terukir di sudut bibir Revano. Lucu. Gadis itu benar-benar lucu.
“Mau sampai kapan lo nangis sambil pegangin tangan gue?”
Tamara terperanjat kaget. “Vano, lo udah sadar?”
“Sejak kapan gue pingsan?”
“Tapi tadi lo …”
Revano tertawa terbahak-bahak, membuat Tamara menjadi takut.
“Ke—kenapa?”
“Lo polos banget, sih,” kata Revano sembari menyentil jidat Tamara, membuat gadis itu cemberut.
“Gue pingsan cuma bentar.”
“Terus tadi waktu gue nang—”
“Iya, gue tahu lo masuk kamar gue. Gue tahu lo ngomong apa aja ke gue sebelum lo nangis. Lo lucu ya kalau lagi panik, muka lo aneh banget hahaha ….”
“Kok lo nggak ngomong kalau lo udah sadar?”
“Lo nggak tanya.”
Wajah Tamara memerah, kesal karena telah dipermainkan.
“Kenapa?” tanya Revano bingung karena ditatap aneh oleh Tamara.
“Lo nyebelin tahu nggak, sih.” Tamara mencubit lengan Revano dengan kecil, membuat cowok itu menjerit kesakitan.
“Lo cewek tapi kayak preman.”
“Mana ada preman mainnya nyubit?”
“Ada.”
“Di mana?”
“Di depan gue.”
Tamara berdecak kesal, membuat Revano semakin kencang tertawa.
“Aduh, kok gue pusing, ya, Ra?” keluh Revano sembari memegangi kepalanya.
Tamara panik. Dengan segera ia mengelus kepala Revano.
“Makanya jangan banyak tingkah dulu. Belum juga pulih.”
“Lo doyan ngomel juga, ya?”
“Nggak tuh. Gue doyannya cilok.”
Revano memutar bola matanya dengan malas. Apakah semua perempuan di dunia ini suka cilok? Bahkan ibunya pun suka cilok.
“Eh, Ra, gue dengar lho lo tadi ngomong apa aja.”
“Hah? Emang ngomong apaan?” tanya Tamara pura-pura tak tahu. Ia berharap Revano tak mendengar perkataannya yang mengatakan bersedia melakukan apa pun asalkan Revano siuman.
“Lo ngomong lo bakal lakuin apa aja asal gue sadar, ‘kan?”
“Hah? Nggak kok.”
“Halah, alasan.”
“Emang nggak kok. Gue diem aja dari tadi,” elak Tamara berbohong. Rasa malu dan gengsinya karena janjinya telah didengar oleh Revano.
“Sumpah?”
“Apaan sih, Van, pakai sumpah-sumpah segala? Emangnya lagi pelantikan, kok disumpah segala?”
“Iya, pelantikan lo jadi pembantu gue selama setahun.”
Tamara membelalakkan matanya, tak percaya dengan yang didengar Revano.
“Maksud lo apaan?” tanya Tamara masih pura-pura tak tahu.
“Lo, ‘kan, yang janji bakal lakuin apa pun asal gue sadar, dan sekarang gue udah sadar. Sekarang gue minta lo jadi pembantu gue selama seta—”
“Nggak.”
“Kok nggak?”
“Gue nggak mau jadi pembantu lo.”
“Kan lo sendiri yang janji.”
“Tapi, ‘kan ….”
“Lo mau jilat ludah sendiri?”
Tamara mengembuskan napas kasar. Ia tak ada pilihan lain selain menyetujuinya.
Cukup sudah insiden kecoa itu masalahnya. Ia tak ingin menambah beban, terutama dalam sekolahnya. Ia ingin hidup tenang menjadi seorang siswi SMA biasa.
“Woy! Ngelamun aja lo,” seru Revano mengejutkan Tamara.
“Hah? Apa?”
“Lo mau nggak?”
“Mau apa?”
Revano lagi-lagi menyentil jidat Tamara.
“Lo telmi banget, sih.”
Tamara mendelik tajam, tak terima disebut telmi atau telat mikir oleh cowok itu.
“Jadi lo mau nggak jadi pembantu gue?”
“Nggak.”
“Nggak ada penolakan, Tamara.”
“Lo tadi tanya gue mau nggak jadi pembantu lo. Ya gue jawab nggaklah.”
“Harus!”
“Nggak, ah, lo nggak ngegaji gue,” tolak Tamara jual mahal.
“Lo butuh duit berapa, sih, emangnya?”
Tamara membulatkan matanya. “Maksud lo?”
“Lo lupa gue siapa? Lo ngeraguin jumlah duit di ATM gue?”
Tamara terdiam. Bukan dia meragukan kekayaan Revano. Siapa yang bisa meragukan kekayaan anak seorang pemilik yayasan dan cucu direktur itu? Hanya Tamara merasa kalau Revano mungkin akan memanfaatkannya saja – melampiaskan dendamnya selama ini kepada Tamara.
“Gue bisa bayar lo semau lo, gue juga nggak akan biarin siapa pun ganggu lo di sekolah, privasi lo bakal aman, lo bebas minta bayaran berapa pun.”
“Satu juta per jam?” tawar Tamara hati-hati.
“Kenapa nggak tiga juta per jam?”
“Nggak apa-apa?” tanya Tamara ragu-ragu.
Revano mengangguk mantap.
“Oke. Gue mau jadi pembantu lo.”
Butuh waktu tiga hari untuk seorang Revano pulih. Saat itulah Tamara menjadi sangat kerepotan – ia harus merawat Revano sepulang sekolah hingga pukul lima sore.Setiap kali Diana menanyakannya mengapa ia sekarang sering pulang malam, Tamara selalu menjawab jika sedang banyak tugas kelompok yang harus diselesaikan.Untung saja Diana percaya dan tak menanyakan hal lebih lanjutnya.Selama ‘mengasuh’ Revano, Tamara mulai tahu jika cowok itu sangat phobia terhadap kecoa.“Lo beneran takut kecoa?” tanya Tamara suatu waktu.“Kenapa?” Revano balik bertanya.Tamara menepuk jidat. Susah memang mengajak berbicara cowok di hadapannya itu.“Gue tanya, Vano.”
Tamara tersenyum geli membaca pesan Revano. Cowok itu semakin hari semakin tidak jelas saja, tingkahnya semakin aneh dari hari ke hari. Menjadi ‘pembantu’ Revano tidaklah buruk. Bahkan cowok itu membelikannya ponsel untuk mereka berkomunikasi. “Rara,” panggil Diana dari arah ruang jahit. “Ya, Ma?” Dengan segera Tamara bergegas menghampiri ibunya itu. “Tolong antar ini ke rumah Tante Desi, ya. Alamatnya udah Mama tulis di kertas ini,” pinta Diana seraya menyodorkan sekantung plastikkresekbesar berisi beberapa pakaian itu dan juga secarik kertas bertuliskan sebuah alamat milik seseorang. “Notanya udah ada di dalam,” lanjut Diana. Tamara mengangguk paham. Segera saja ia mengambil sepeda warna biru tuanya di samping rumahnya itu, lalu mengayuh dengan penuh semangat. Tamara memasuki pekarangan rumah itu yang begitu luas, lalu perlahan mengetuk pintu rumah. Seorang wanita dengan daster merah yang ke
Revano melepaskan gandengannya ketika sudah memasuki area sekolah, ia tak ingin seluruh siswa tahu jika ia menggandeng tangan Tamara – gadis yang mencari masalah dengannya di awal sekolah.Tamara memperhatikan sikap Revano dengan pandangan tak terbaca. Ia sendiri bingung, kenapa lelaki itu kembali dingin padanya.Akan tetapi, kembali lagi ke kenyataan bahwa Tamara hanyalah seorang ‘pembantu’ bagi Revano, tidak lebih.Gadis itu tak boleh terlalu berharap.“Lo duluan yang ke kelas,” kata Revano mempersilakan.Tamara masih terdiam, menikmati setiap inci wajah tampan dan sempurna seorang Revano dalam diam.“Nggak ada gurunya, gue udah chat Aldo tadi,” lanjut Revano yang sepertinya tahu apa yang dikhawatirkan
Sesi curhat antara Juna dengan Tamara itu terpaksa terhenti ketika seisi kelas menjadi semakin gaduh. “Woy, woy, woy, Vano berantem lagi, Cuy,” teriak Jaya dengan hebohnya, mengundang perhatian seisi kelas, tak terkecuali Tamara dan Juna. Vano berantem lagi?tanya Tamara dalam hati. Seberapa sering cowok itu berantem? Apakah ia sudah langganan bertempur dengan siapapun. Dengan segera Tamara berlari keluar, meninggalkan Juna di bangkunya dengan perasaan bingung. Langkah gadis itu menuju lapangan sekolah, ia sangat yakin jika Revano berada di sana. Benar saja. Kerumunan semakin ramai, tak terkecuali bapak dan ibu guru yang berusaha menenangkan. Dengan berani Tamara mendekat, berusaha menembus kerumunan itu untuk melihat lebih jelas bagaimana keadaan Revano. Tamara menutup mulutnya dengan telapak tangannya begitu melihat keadaan Revano yang benar-benar kacau itu. Rambut Revano tampak acak-acakan
Lelaki paruh baya yang Tamara sebut sebagai papa itu terdiam memandang Tamara. Ia tak percaya jika akan bertemu lagi dengan anaknya yang sudah ia buang jauh-jauh demi wanita di sampingnya itu. “Rara,” lirihnya. Tamara mengepalkan tangannya, wajahnya memerah menahan amarah. Di sampingnya, seorang laki-laki jangkung dengan masker dan topi yang menutupi wajahnya itu tampak kebingungan. Tanpa basa-basi, Tamara pergi dari hadapan pria itu. Revanokewalahanmembayar semua buku yang dipilih mereka tadi, lalu dengan segera mengejar Tamara. Untung saja kaki Tamara tidak panjang, sehingga langkahnya tidak lebar dan bisa dikejar. “Ra,” panggil Revano. Akan tetapi, sang empunya nama tetap tak menghentikan langkahnya. Dengan langkah cepat Revano dapat meraih tangan Tamara, membuat gadis itu menghentikan langkahnya. “Kenapa sih, Van?” “Lo yang kenapa? Kena
Sudah sebulan lebih sejak peristiwa Revano memberi hadiah pada Tamara di bukit itu dan sudah sebulan lebih hubungan keduanya semakin dekat. Tak hanya itu, bahkan Revano berani mengajak Tamara ikut berkumpul dengan anggota The Crush. Tentu saja hal tersebut membuat banyak siswi iri dan terus meneror Tamara – mengirimkan sesuatu yang aneh ke rumah Tamara secara terus-menerus dengan berbagai surat ancaman. Bahkan Tamara pernah mendapat kiriman sebuah bangkai burung yang kepalanya sudah lepas dari badannya. Di situ Tamara juga mendapati secarik kertas yang ditulis menggunakan darah dengan kata-kata penuh ancaman bahwa jika Tamara masih nekad untuk dekat dengan Revano dan tak mengakhiri hubungan mereka, Tamara akan celaka. “Lo kenapa udah jarang banget ngobrol sama gue? Lo juga kalau di sekolah terkesan kayak menjauh gitu. Setiap kali gue lihat lo dan lo lihat gue, bukannya lo nyapa gue, lo malah ngelengos gitu aja,” tanya Revano. Ia melontarkan pr
Sudah seminggu Revano dan Tamara berpacaran, tapi keduanya tak ingin memublikasikan hubungan mereka, terlebih di depan seluruh siswa di sekolah. Revano tak ingin Tamara mendapatkan teror yang lebih jahat dari bully yang dilakukan oleh beberapa siswi penggemarnya di sekolah. “Ra,” panggil Revano ketika keduanya sedang berada dirooftopsekolah berdua saja. “Hm?” “Nanti malam aku mau basket sama The Crush.” “Nggak ada acara berantem-beranteman, ‘kan?” “Nggak kok.” “Beneran?” “Iya, Sayang,” jawab Revano seraya mencubit pipicubbyTamara dengan gemas. “Ya udah, nggak apa-apa asal nggak berantem. Oh, iya, aku ke kantin dulu, ya,” kata Tamara pamit. Akan tetapi, lengannya dicekal oleh Revano. “Kenapa?” Revano merarik tubuh Tamara hingga memeluknya, lalu mencium bibir Tamara singkat. “Udah, sana. Hati-hati,” kata Revano.
Revano menyerahkan sebuah kartu berwarna biru pada Tamara. “Apa ini?” tanya Tamara bingung. “Ini ATM, Ra. Biar kamu nggak perlu bingung cari duitmu di mana lagi,” jawab Revano. Ia teringat kejadian beberapa minggu yang lalu, ketika itu Tamara panik dan mengatakan jika ia kehilangan uang. Namun, akhirnya Tamara menemukan uangnya di balik buku tebalnya. Tamaranyengirketika mengingat kejadian memalukan itu. “Gajimu udah aku transfer lewat ATM-mu ini, ya,” kata Revano lagi. Tamara manggut-manggut. Gadis itu melirik jam yang menggantung di dinding ruang tamu berwarna putih itu. Sudah pukul 19.24. “Mau ke mana?” tanya Revano ketika melihat Tamara tergesa-gesa mengemasi barang-barangnya. “Pulanglah. Udah malem ini,” jawab Tamara tanpa menoleh sedikit pun ke arah Revano. “Kalau diajak ngomong itu lihat lawan bicaranya dong,” protes Revano merajuk. Tamara tersenyum, lalu menoleh, bersamaan dengan Rev
Lagu Superman milik Super Junior berdering dari ponsel Tamara, membuat Sang Empunya ponsel pun terbangun dan segera mematikan alarm tersebut. Memang sengaja Tamara menggunakan lagu tersebut sebagai nada dering alarm di ponselnya agar ia segera terbangun. Kembali hidup sendiri – sama ketika ia mengekos setelah kepergian Diana – setelah ia jauh dari Joseph dan Giselle, membuat Tamara mau tak mau harus kembali serba mandiri. Hidup sendiri di Kota Pelajar yang tentu jauh dari rumahnya membuatnya harus mendisiplinkan diri. Karena kalau tidak begitu, ia sendiri yang akan kehilangan waktu berharganya. Setelah memilih pakaian untuk dikenakannya ke kampus, Tamara pun berjalan menuju kamar mandi. Kamar mandi yang hanya ada tiga bilik di setiap lantainya membuat seluruh penghuni di lantai tiga – tempat Tamara tinggal pun harus berbagi dan bergantian. Seperti saat ini. Jam baru menunjukkan pukul lima kurang lima menit pagi, tapi tiga bilik kamar mandi terlihat penuh, bahkan Tama
Di suatu siang – seperti biasa – Tamara dan Giselle sedang duduk di ruang keluarga sembari menonton TV dan memperhatikan Ale bermain. Tiba-tiba ponsel Tamara berdenting, menampilkan sebuah pesan singkat dari Joseph. Papa: Ra, kamu bisa ke kantor Papa sekarang, ‘kan? Dengan cepat Tamara mengetikkan sesuatu di ponselnya. TamaraAltey: Oke, Pa. Giselle yang melihat bahwa mata Tamara tak lagi fokus pada tayangan di TV dan lebih asyik dengan ponselnya itu pun menjadi penasaran, dengan siapa anak tirinya itu berkomunikasi. “Hayo, SMS siapa tuh?” tanya Giselle sembari melongok, ikut melihat ke layar ponsel Tamara. “Papa, Bun.” “Kenapa sama Papa?” “Papa suruh aku ke kantornya.” Giselle mengernyitkan dahi. “Ada apa?” “Nggak tahu. Papa suruh aku segera ke kantornya.” “Ya udah sana. Sama Pak Dadang, ‘kan?” “Pak Dadang, ‘kan, lagi istirahat, Bun. Aku
“Geser dikit bisa nggak, sih, Ran?” tanya Alice seraya mendorong tubuh Rani agar sedikit menjauh supaya memberinya banyak tempat untuk berbaring. “Hih, lo apaan, sih, Lice? Banyak tempat tuh,” jawab Rani tak suka jika keasyikannya menonton film diganggu oleh Alice. “Di situ nanti tempatnya Karina sama Rara. Lo mikir dong, badan lo aja segede itu masih juga kaki sama tangan ke mana-mana,” protes Alice. “Lo nggak ngomong pun gue juga tahu kalau itu tempatnya Rara sama Karina. Tapi, ‘kan, mereka masih keluar. Lo yang santai dikit kenapa, sih? Ganggu aja gue lagi nonton pacar gue nih – Leonardo DiCaprio,” gerutu Rani. “Kalian kenapa, sih? Berisik banget dari tadi,” tanya Tamara yang sudah muncul di hadapan mereka bersama Karina dan beberapa kantung plastik berisi makanan dan minuman yang mereka inginkan. Dengan segera Alice dan Rani membaur bersama Tamara dan Karina, seakan lupa dengan perdebatan mereka beberapa detik yang lalu itu. “Ra,”
Tamara mulai membiasakan diri hidup mandiri, bertemankan kesendirian di tengah ingar bingarnya ibu kota setiap harinya. Semenjak Revano pergi, justru Tamara mendapatkan banyak teman. Alice, Karina, dan Rani resmi sudah menjadi sahabat Tamara. Entah apa yang membuat mereka tiba-tiba mau bersahabat dengan Tamara. Meski hidupnya dikelilingi oleh banyak teman, Tamara tetap merasa ada yang kurang di hidupnya. Siapa lagi kalau bukan Revano? Kepergian Revano rupanya menyisakan ketidakrelaan dalam hati Tamara. Sekuat apa pun Tamara menghibur diri, tetap saja tak berhasil. Kini seseorang yang ia cintai setelah Diana juga meninggalkannya. Terlebih karena Revano lah yang mengambil ciuman pertamanya. Mungkin bagi sebagian perempuan, ciuman bukanlah hal yang luar biasa, tapi bagi Tamara, itu adalah hal yang sangat berarti. Tamara tak akan semudah itu menyerahkan ciumannya pada lelaki. Tamara menghela napas.Hm, ya udahlah, mau gimana
Revano mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi mengikuti ambulan yang membawa Pram tersebut ke rumah sakit. “Vano!” seru Alyana memanggil puteranya. Akan tetapi, sang pemilik nama tak menyahut, ia justru berjalan masuk bersama dengan para dokter dan perawat yang membawa brankar dengan seseorang bertutupkan kain putih di atasnya. Alyana memandang heran pada Revano. “Biar aku saja yang menemui dia.” Di sinilah Revano berada – di kamar jenazah. Ia menangisi seseorang yang terbaring kaku bertutupkan kain tersebut. “Pa, Papa jangan pergi tinggalin Vano. Vano sayang sama Papa. Apa Papa nggak kasihan sama Mama yang kesepian kalau Papa tinggal? Papa tahu sendiri, ‘kan, kalau Mama itu nggak bisa berlama-lama jauh sama Papa. Gimana aku sama Brian, Pa? Kami masih butuh Papa. Kami ingin Pap—HUWAAAAA!!! SETAAANNN!!!” Alex membungkam mulut anaknya yang berteriak seperti toa di tempat sepi. “Jaga mulutmu, Vano!” bisik Alex semba
Sudah dua minggu ini Revano rutin menjenguk Tamara. Sejak meninggalnya Diana, Melati – sahabat Diana itu lah yang merawat Tamara. Wanita paruh baya yang belum menikah itu memutuskan untuk membawa Tamara tinggal bersamanya di rumahnya yang cukup mewah itu. Meski ia yang merawat Tamara kini, tapi Melati tak pernah membatasi siapa pun menjenguk puteri dari mendiang sahabatnya itu, termasuk Revano. Tamara mengamati Revano yang dengan lahap menyantap salat buah yang tadi dibawakan Revano untuk Tamara. “Kenapa?” tanya Revano bingung karena sedari tadi Tamara terus memandanginya. Tamara menggeleng. Revano menghela napas dengan berat, ia meletakkan mangkuk berisi salat buah yang sudah habis setengah wadahnya itu. “Kenapa?” tanya Revano lagi. Kini ia memilih untuk duduk lebih dekat dengan Tamara. “Van, aku sebenarnya nggak apa-apa kalau ditinggal. Beneran deh,” tolak Tamara. “Ra, sini deh,” kata Revano meminta Tamara lebih dekat lagi de
Sudah dua minggu sejak kejadian teror itu berlangsung. Kini rumah keluarga Pram kembali tenang setelah Revano meminta satpam kompleks untuk memperketat keamanan. “Van, besok lusa Tante Desi ulang tahun lho,” kata Alyana membuka pembicaraan ketika keduanya sedang asyik menonton film di ruang tengah. “Terus?” Revano bertanya dengan cuek, matanya masih fokus pada film yang ditontonnya. “Ih, kok terus, sih?” “Ya terus gimana, Ma? Vano harus gimana? Vano harusrolldepanrollbelakang gitu di depan Tante Desi sama Om Dedi?” Alyana mencubit perut Revano dengan kesal, membuat cowok itu berteriak kesakitan. Rupanya Alyana dan Tamara memiliki hobi yang sama, yaitu sama-sama suka mencubit perut Revano. “Bisa nggak Mama minta tolong Vano buat beli bahan-bahan bikin kuenya?” tanya Alyana sembari memasangpuppy eyesagar anaknya itu iba dan menuruti permintaannya. “Tapi, Ma, b
“Ra, buruan! Itu udah ditunggu Vano,” kata Diana sembari melongok ke kamar Tamara. “Iya, Ma,” jawab Tamara yang masih sibuk membenarkan letak dasinya. Gadis mungil itu pun keluar setelah merasa rapi. “Ayo, berangkat,” kata Revano. Tamara mengangguk. Keduanya lalu mencium punggung tangan Diana untuk berpamitan. Revano menyodorkan sebuah helm kecil untuk Tamara, lalu membantu gadis itu untuk bisa naik di jok belakang. Motor merah Revano melaju membelah jalanan kota. “Van.” “Hm.” “Kok tumben banget naik motor?” “Si Burhan lagi sakit.” “Burhan siapa?” tanya Tamara tak mengerti. “Mobilku yang biasanya kupakai ke mana-mana.” “Ada namanya, ya?” “Iyalah, biar keren.” Tamara terkekeh geli. Ia baru tahu jika mobil milik Revano itu bernama Burhan. Ada-ada saja cowok itu. “Emang Burhan sakit apa, sih?” “Dia sakit tonsilis, jadi mogok dan nggak mau ngapa
Sudah dua minggu sejak kejadian drama itu berlangsung, tapi Revano tetap tak ingin menegur Tamara. Bahkan lelaki itu tak pernah lagi membalas pesan Tamara.Tamara termenung di sudut taman seorang diri, memandang sekeliling dengan tatapan kosong. Pikirannya melayang entah ke mana. Hingga akhirnya matanya menatap dua sosok yang berjarak cukup jauh darinya, tapi dapat terlihat jelas siapa mereka.Revano dan Dinda tampak sangat asyik berbincang, sesekali mereka tertawa – itu tampak sangat jelas di garis wajah keduanya.Tamara mengembuskan napasnya dengan berat. Mau bagaimanapun ini sudah risikonya berpacaran dengan seorang Revano – anak ketua yayasan serta cucu pemilik rumah sakit terbesar di kota ini.Tanpa diduga, Revano juga menatap Tamara, mata mereka saling beradu tatap dalam radius lima