Lelaki paruh baya yang Tamara sebut sebagai papa itu terdiam memandang Tamara. Ia tak percaya jika akan bertemu lagi dengan anaknya yang sudah ia buang jauh-jauh demi wanita di sampingnya itu.
“Rara,” lirihnya.
Tamara mengepalkan tangannya, wajahnya memerah menahan amarah.
Di sampingnya, seorang laki-laki jangkung dengan masker dan topi yang menutupi wajahnya itu tampak kebingungan.
Tanpa basa-basi, Tamara pergi dari hadapan pria itu.
Revano kewalahan membayar semua buku yang dipilih mereka tadi, lalu dengan segera mengejar Tamara.
Untung saja kaki Tamara tidak panjang, sehingga langkahnya tidak lebar dan bisa dikejar.
“Ra,” panggil Revano.
Akan tetapi, sang empunya nama tetap tak menghentikan langkahnya.
Dengan langkah cepat Revano dapat meraih tangan Tamara, membuat gadis itu menghentikan langkahnya.
“Kenapa sih, Van?”
“Lo yang kenapa? Kena
Sudah sebulan lebih sejak peristiwa Revano memberi hadiah pada Tamara di bukit itu dan sudah sebulan lebih hubungan keduanya semakin dekat. Tak hanya itu, bahkan Revano berani mengajak Tamara ikut berkumpul dengan anggota The Crush. Tentu saja hal tersebut membuat banyak siswi iri dan terus meneror Tamara – mengirimkan sesuatu yang aneh ke rumah Tamara secara terus-menerus dengan berbagai surat ancaman. Bahkan Tamara pernah mendapat kiriman sebuah bangkai burung yang kepalanya sudah lepas dari badannya. Di situ Tamara juga mendapati secarik kertas yang ditulis menggunakan darah dengan kata-kata penuh ancaman bahwa jika Tamara masih nekad untuk dekat dengan Revano dan tak mengakhiri hubungan mereka, Tamara akan celaka. “Lo kenapa udah jarang banget ngobrol sama gue? Lo juga kalau di sekolah terkesan kayak menjauh gitu. Setiap kali gue lihat lo dan lo lihat gue, bukannya lo nyapa gue, lo malah ngelengos gitu aja,” tanya Revano. Ia melontarkan pr
Sudah seminggu Revano dan Tamara berpacaran, tapi keduanya tak ingin memublikasikan hubungan mereka, terlebih di depan seluruh siswa di sekolah. Revano tak ingin Tamara mendapatkan teror yang lebih jahat dari bully yang dilakukan oleh beberapa siswi penggemarnya di sekolah. “Ra,” panggil Revano ketika keduanya sedang berada dirooftopsekolah berdua saja. “Hm?” “Nanti malam aku mau basket sama The Crush.” “Nggak ada acara berantem-beranteman, ‘kan?” “Nggak kok.” “Beneran?” “Iya, Sayang,” jawab Revano seraya mencubit pipicubbyTamara dengan gemas. “Ya udah, nggak apa-apa asal nggak berantem. Oh, iya, aku ke kantin dulu, ya,” kata Tamara pamit. Akan tetapi, lengannya dicekal oleh Revano. “Kenapa?” Revano merarik tubuh Tamara hingga memeluknya, lalu mencium bibir Tamara singkat. “Udah, sana. Hati-hati,” kata Revano.
Revano menyerahkan sebuah kartu berwarna biru pada Tamara. “Apa ini?” tanya Tamara bingung. “Ini ATM, Ra. Biar kamu nggak perlu bingung cari duitmu di mana lagi,” jawab Revano. Ia teringat kejadian beberapa minggu yang lalu, ketika itu Tamara panik dan mengatakan jika ia kehilangan uang. Namun, akhirnya Tamara menemukan uangnya di balik buku tebalnya. Tamaranyengirketika mengingat kejadian memalukan itu. “Gajimu udah aku transfer lewat ATM-mu ini, ya,” kata Revano lagi. Tamara manggut-manggut. Gadis itu melirik jam yang menggantung di dinding ruang tamu berwarna putih itu. Sudah pukul 19.24. “Mau ke mana?” tanya Revano ketika melihat Tamara tergesa-gesa mengemasi barang-barangnya. “Pulanglah. Udah malem ini,” jawab Tamara tanpa menoleh sedikit pun ke arah Revano. “Kalau diajak ngomong itu lihat lawan bicaranya dong,” protes Revano merajuk. Tamara tersenyum, lalu menoleh, bersamaan dengan Rev
“Lo mau ikut nggak, Van?” tanya Brian ketika anggota The Crush berkumpul. “Ikut ke mana?” “Camping, Revano.” “Lo ikut nggak?” Revano balas bertanya. Brian menggeleng. “Kenapa?” “Gue ada kumpul sama anak-anak HIMA di kampus,” jawab Brian. “Halah, alasan doang, ‘kan, lo? Tumben banget aktif di organisasi? Biasanya juga cuma jadi mahasiswa kupu-kupu alias kuliah-pulang, kuliah-pulang,” ledek Revano. Ia tahu betul jika saudara kembarnya tak serajin itu, meski tetap jauh lebih cerdas darinya. Brian terdiam mendapat ledekan itu dari Revano. “Lo lagi deketin Ody, ‘kan?” goda Revano seraya menyipitkan mata. Mata birunya yang sipit bertambah sipit ketika ia seperti itu. “Ody siapa lagi?” tanya Rizky penasara. “Ody yang—” Dengan segera Brian membungkam mulut Revano. Saudara kembarnya itu tak jarang mempermalukannya dengan tingkah-tingkahabsurddan mulut emberny
Pagi ini kelas XI IPA 1 tampak jauh lebih gaduh dari biasanya. Pasalnya usai mendengarkan amanat kepala sekolah yang begitu lama di tempat yang tak kalah panas itu, mendadak guru matematika yang terkenalkilleritu meminta izin untuk tidak mengajar selama jam pertama hingga terakhir karena anak sulungnya mengalami kecelakaan.Kejadian yang merupakan musibah itu justru menjadi sorak-sorai bagi siswa-siswi kelas XI IPA 1 tersebut. Situasi tersebut dimanfaatkan mereka untuk menjalani aktivitas masing-masing dengan bebas.Ganjarand the gangsudah melompat ke pojok belakang kelas. Apalagi kalau tidak membuka situs terlarang. Jika sudah seperti itu, mereka akan tenang, tidak mengganggu siswa lainnya.“Mau ke mana?” tanya Revano begitu melihat Tamara beranjak dari kursinya.
Sudah dua minggu sejak kejadian drama itu berlangsung, tapi Revano tetap tak ingin menegur Tamara. Bahkan lelaki itu tak pernah lagi membalas pesan Tamara.Tamara termenung di sudut taman seorang diri, memandang sekeliling dengan tatapan kosong. Pikirannya melayang entah ke mana. Hingga akhirnya matanya menatap dua sosok yang berjarak cukup jauh darinya, tapi dapat terlihat jelas siapa mereka.Revano dan Dinda tampak sangat asyik berbincang, sesekali mereka tertawa – itu tampak sangat jelas di garis wajah keduanya.Tamara mengembuskan napasnya dengan berat. Mau bagaimanapun ini sudah risikonya berpacaran dengan seorang Revano – anak ketua yayasan serta cucu pemilik rumah sakit terbesar di kota ini.Tanpa diduga, Revano juga menatap Tamara, mata mereka saling beradu tatap dalam radius lima
“Ra, buruan! Itu udah ditunggu Vano,” kata Diana sembari melongok ke kamar Tamara. “Iya, Ma,” jawab Tamara yang masih sibuk membenarkan letak dasinya. Gadis mungil itu pun keluar setelah merasa rapi. “Ayo, berangkat,” kata Revano. Tamara mengangguk. Keduanya lalu mencium punggung tangan Diana untuk berpamitan. Revano menyodorkan sebuah helm kecil untuk Tamara, lalu membantu gadis itu untuk bisa naik di jok belakang. Motor merah Revano melaju membelah jalanan kota. “Van.” “Hm.” “Kok tumben banget naik motor?” “Si Burhan lagi sakit.” “Burhan siapa?” tanya Tamara tak mengerti. “Mobilku yang biasanya kupakai ke mana-mana.” “Ada namanya, ya?” “Iyalah, biar keren.” Tamara terkekeh geli. Ia baru tahu jika mobil milik Revano itu bernama Burhan. Ada-ada saja cowok itu. “Emang Burhan sakit apa, sih?” “Dia sakit tonsilis, jadi mogok dan nggak mau ngapa
Sudah dua minggu sejak kejadian teror itu berlangsung. Kini rumah keluarga Pram kembali tenang setelah Revano meminta satpam kompleks untuk memperketat keamanan. “Van, besok lusa Tante Desi ulang tahun lho,” kata Alyana membuka pembicaraan ketika keduanya sedang asyik menonton film di ruang tengah. “Terus?” Revano bertanya dengan cuek, matanya masih fokus pada film yang ditontonnya. “Ih, kok terus, sih?” “Ya terus gimana, Ma? Vano harus gimana? Vano harusrolldepanrollbelakang gitu di depan Tante Desi sama Om Dedi?” Alyana mencubit perut Revano dengan kesal, membuat cowok itu berteriak kesakitan. Rupanya Alyana dan Tamara memiliki hobi yang sama, yaitu sama-sama suka mencubit perut Revano. “Bisa nggak Mama minta tolong Vano buat beli bahan-bahan bikin kuenya?” tanya Alyana sembari memasangpuppy eyesagar anaknya itu iba dan menuruti permintaannya. “Tapi, Ma, b
Lagu Superman milik Super Junior berdering dari ponsel Tamara, membuat Sang Empunya ponsel pun terbangun dan segera mematikan alarm tersebut. Memang sengaja Tamara menggunakan lagu tersebut sebagai nada dering alarm di ponselnya agar ia segera terbangun. Kembali hidup sendiri – sama ketika ia mengekos setelah kepergian Diana – setelah ia jauh dari Joseph dan Giselle, membuat Tamara mau tak mau harus kembali serba mandiri. Hidup sendiri di Kota Pelajar yang tentu jauh dari rumahnya membuatnya harus mendisiplinkan diri. Karena kalau tidak begitu, ia sendiri yang akan kehilangan waktu berharganya. Setelah memilih pakaian untuk dikenakannya ke kampus, Tamara pun berjalan menuju kamar mandi. Kamar mandi yang hanya ada tiga bilik di setiap lantainya membuat seluruh penghuni di lantai tiga – tempat Tamara tinggal pun harus berbagi dan bergantian. Seperti saat ini. Jam baru menunjukkan pukul lima kurang lima menit pagi, tapi tiga bilik kamar mandi terlihat penuh, bahkan Tama
Di suatu siang – seperti biasa – Tamara dan Giselle sedang duduk di ruang keluarga sembari menonton TV dan memperhatikan Ale bermain. Tiba-tiba ponsel Tamara berdenting, menampilkan sebuah pesan singkat dari Joseph. Papa: Ra, kamu bisa ke kantor Papa sekarang, ‘kan? Dengan cepat Tamara mengetikkan sesuatu di ponselnya. TamaraAltey: Oke, Pa. Giselle yang melihat bahwa mata Tamara tak lagi fokus pada tayangan di TV dan lebih asyik dengan ponselnya itu pun menjadi penasaran, dengan siapa anak tirinya itu berkomunikasi. “Hayo, SMS siapa tuh?” tanya Giselle sembari melongok, ikut melihat ke layar ponsel Tamara. “Papa, Bun.” “Kenapa sama Papa?” “Papa suruh aku ke kantornya.” Giselle mengernyitkan dahi. “Ada apa?” “Nggak tahu. Papa suruh aku segera ke kantornya.” “Ya udah sana. Sama Pak Dadang, ‘kan?” “Pak Dadang, ‘kan, lagi istirahat, Bun. Aku
“Geser dikit bisa nggak, sih, Ran?” tanya Alice seraya mendorong tubuh Rani agar sedikit menjauh supaya memberinya banyak tempat untuk berbaring. “Hih, lo apaan, sih, Lice? Banyak tempat tuh,” jawab Rani tak suka jika keasyikannya menonton film diganggu oleh Alice. “Di situ nanti tempatnya Karina sama Rara. Lo mikir dong, badan lo aja segede itu masih juga kaki sama tangan ke mana-mana,” protes Alice. “Lo nggak ngomong pun gue juga tahu kalau itu tempatnya Rara sama Karina. Tapi, ‘kan, mereka masih keluar. Lo yang santai dikit kenapa, sih? Ganggu aja gue lagi nonton pacar gue nih – Leonardo DiCaprio,” gerutu Rani. “Kalian kenapa, sih? Berisik banget dari tadi,” tanya Tamara yang sudah muncul di hadapan mereka bersama Karina dan beberapa kantung plastik berisi makanan dan minuman yang mereka inginkan. Dengan segera Alice dan Rani membaur bersama Tamara dan Karina, seakan lupa dengan perdebatan mereka beberapa detik yang lalu itu. “Ra,”
Tamara mulai membiasakan diri hidup mandiri, bertemankan kesendirian di tengah ingar bingarnya ibu kota setiap harinya. Semenjak Revano pergi, justru Tamara mendapatkan banyak teman. Alice, Karina, dan Rani resmi sudah menjadi sahabat Tamara. Entah apa yang membuat mereka tiba-tiba mau bersahabat dengan Tamara. Meski hidupnya dikelilingi oleh banyak teman, Tamara tetap merasa ada yang kurang di hidupnya. Siapa lagi kalau bukan Revano? Kepergian Revano rupanya menyisakan ketidakrelaan dalam hati Tamara. Sekuat apa pun Tamara menghibur diri, tetap saja tak berhasil. Kini seseorang yang ia cintai setelah Diana juga meninggalkannya. Terlebih karena Revano lah yang mengambil ciuman pertamanya. Mungkin bagi sebagian perempuan, ciuman bukanlah hal yang luar biasa, tapi bagi Tamara, itu adalah hal yang sangat berarti. Tamara tak akan semudah itu menyerahkan ciumannya pada lelaki. Tamara menghela napas.Hm, ya udahlah, mau gimana
Revano mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi mengikuti ambulan yang membawa Pram tersebut ke rumah sakit. “Vano!” seru Alyana memanggil puteranya. Akan tetapi, sang pemilik nama tak menyahut, ia justru berjalan masuk bersama dengan para dokter dan perawat yang membawa brankar dengan seseorang bertutupkan kain putih di atasnya. Alyana memandang heran pada Revano. “Biar aku saja yang menemui dia.” Di sinilah Revano berada – di kamar jenazah. Ia menangisi seseorang yang terbaring kaku bertutupkan kain tersebut. “Pa, Papa jangan pergi tinggalin Vano. Vano sayang sama Papa. Apa Papa nggak kasihan sama Mama yang kesepian kalau Papa tinggal? Papa tahu sendiri, ‘kan, kalau Mama itu nggak bisa berlama-lama jauh sama Papa. Gimana aku sama Brian, Pa? Kami masih butuh Papa. Kami ingin Pap—HUWAAAAA!!! SETAAANNN!!!” Alex membungkam mulut anaknya yang berteriak seperti toa di tempat sepi. “Jaga mulutmu, Vano!” bisik Alex semba
Sudah dua minggu ini Revano rutin menjenguk Tamara. Sejak meninggalnya Diana, Melati – sahabat Diana itu lah yang merawat Tamara. Wanita paruh baya yang belum menikah itu memutuskan untuk membawa Tamara tinggal bersamanya di rumahnya yang cukup mewah itu. Meski ia yang merawat Tamara kini, tapi Melati tak pernah membatasi siapa pun menjenguk puteri dari mendiang sahabatnya itu, termasuk Revano. Tamara mengamati Revano yang dengan lahap menyantap salat buah yang tadi dibawakan Revano untuk Tamara. “Kenapa?” tanya Revano bingung karena sedari tadi Tamara terus memandanginya. Tamara menggeleng. Revano menghela napas dengan berat, ia meletakkan mangkuk berisi salat buah yang sudah habis setengah wadahnya itu. “Kenapa?” tanya Revano lagi. Kini ia memilih untuk duduk lebih dekat dengan Tamara. “Van, aku sebenarnya nggak apa-apa kalau ditinggal. Beneran deh,” tolak Tamara. “Ra, sini deh,” kata Revano meminta Tamara lebih dekat lagi de
Sudah dua minggu sejak kejadian teror itu berlangsung. Kini rumah keluarga Pram kembali tenang setelah Revano meminta satpam kompleks untuk memperketat keamanan. “Van, besok lusa Tante Desi ulang tahun lho,” kata Alyana membuka pembicaraan ketika keduanya sedang asyik menonton film di ruang tengah. “Terus?” Revano bertanya dengan cuek, matanya masih fokus pada film yang ditontonnya. “Ih, kok terus, sih?” “Ya terus gimana, Ma? Vano harus gimana? Vano harusrolldepanrollbelakang gitu di depan Tante Desi sama Om Dedi?” Alyana mencubit perut Revano dengan kesal, membuat cowok itu berteriak kesakitan. Rupanya Alyana dan Tamara memiliki hobi yang sama, yaitu sama-sama suka mencubit perut Revano. “Bisa nggak Mama minta tolong Vano buat beli bahan-bahan bikin kuenya?” tanya Alyana sembari memasangpuppy eyesagar anaknya itu iba dan menuruti permintaannya. “Tapi, Ma, b
“Ra, buruan! Itu udah ditunggu Vano,” kata Diana sembari melongok ke kamar Tamara. “Iya, Ma,” jawab Tamara yang masih sibuk membenarkan letak dasinya. Gadis mungil itu pun keluar setelah merasa rapi. “Ayo, berangkat,” kata Revano. Tamara mengangguk. Keduanya lalu mencium punggung tangan Diana untuk berpamitan. Revano menyodorkan sebuah helm kecil untuk Tamara, lalu membantu gadis itu untuk bisa naik di jok belakang. Motor merah Revano melaju membelah jalanan kota. “Van.” “Hm.” “Kok tumben banget naik motor?” “Si Burhan lagi sakit.” “Burhan siapa?” tanya Tamara tak mengerti. “Mobilku yang biasanya kupakai ke mana-mana.” “Ada namanya, ya?” “Iyalah, biar keren.” Tamara terkekeh geli. Ia baru tahu jika mobil milik Revano itu bernama Burhan. Ada-ada saja cowok itu. “Emang Burhan sakit apa, sih?” “Dia sakit tonsilis, jadi mogok dan nggak mau ngapa
Sudah dua minggu sejak kejadian drama itu berlangsung, tapi Revano tetap tak ingin menegur Tamara. Bahkan lelaki itu tak pernah lagi membalas pesan Tamara.Tamara termenung di sudut taman seorang diri, memandang sekeliling dengan tatapan kosong. Pikirannya melayang entah ke mana. Hingga akhirnya matanya menatap dua sosok yang berjarak cukup jauh darinya, tapi dapat terlihat jelas siapa mereka.Revano dan Dinda tampak sangat asyik berbincang, sesekali mereka tertawa – itu tampak sangat jelas di garis wajah keduanya.Tamara mengembuskan napasnya dengan berat. Mau bagaimanapun ini sudah risikonya berpacaran dengan seorang Revano – anak ketua yayasan serta cucu pemilik rumah sakit terbesar di kota ini.Tanpa diduga, Revano juga menatap Tamara, mata mereka saling beradu tatap dalam radius lima