Seseorang dengan baju batik merahnya dipadu dengan hijab warna senada serta sepatu pantofelnya itu dengan anggun berjalan menuju kelas XI IPA 1 – kelas penuh keributan dan tingkah para penghuninya yang luar biasa itu.
Masih terdengar alunan dangdut
yang diputar Ganjar menggunakan speaker.“Siapa yang putar lagu ini? Harap dimatikan karena pelajaran prakarya akan segera dimulai,” kata guru kimia yang kerap disapa Bu Sisca itu.
Akan tetapi, sang pelaku pemutar musik dangdut itu tak menghiraukan, ia masih asyik bergoyang.
Yo wis ben duwe bojo sing galak
Yo wis ben sing omongane sengak
Seneng nggawe aku susah
Nanging aku wegah pisah
“GANJAR JULIAN!” Teriakan Bu Sisca akhirnya mampu membuat Ganjar terkejut lalu mematikan musiknya.
“Kamu dengar nggak kalau bel masuk sudah bunyi sejak 10 menit yang lalu?”
“Nggak, Bu,” jawab Ganjar dengan tanpa merasa bersalah.
“Jelas aja kamu nggak dengar karena lagumu itu keras banget sampai ujung ruang guru terdengar.”
Ganjar hanya nyengir seperti tak berdosa.
“Kembali ke tempat dudukmu sekarang!”
Karena tak mau memperkeruh suasana, Ganjar pun menurut.
“Selamat siang, Anak-anak,” sapa Bu Sisca.
“Siang, Bu.”
“Baiklah, karena kemarin kita sudah membahas tentang pembuatan sabun, sekarang kita bagi menjadi 8 kelompok, ya. Sekretaris bisa membantu saya untuk menuliskan nama-nama perkelompok.”
Seorang siswi dengan badge nama bertuliskan Tiara Pramuditya itu mengembuskan napas pasrah – malas karena jabatannya sebagai sekretaris inilah yang mendapatkan pekerjaan paling banyak dibanding teman-teman lainnya. Bahkan Frans – sang ketua kelas itu justru tampak santai dan tak peduli akan kondisi kelasnya.
***
Dengan malas Tamara memakai helm yang diberikan oleh seorang tukang ojek untuknya. Mau tak mau, suka tak suka, ia harus pergi ke rumah Revano. Bukan tanpa alasan gadis itu datang ke sana. Ini benar-benar sangat terpaksa, apalagi kalau bukan karena tugas prakarya yang mengharuskannya sekelompok dengan cowok menyebalkan itu.
Mereka tiba di sebuah perumahan elite yang akhirnya terhenti di depan rumah bercat putih bersih. Rumah itu jauh lebih besar berkali-kali lipat jika dibandingkan dengan rumah kontrakannya saat ini.
Ini rumahnya? Gede banget, batin Tamara terkagum-kagum.
Dengan segera ia turun dari jok belakang, lalu menyerahkan lembaran uang sesuai tarif yang disebutkan oleh tukang ojek tersebut.
“Cari siapa, Neng?” tanya seorang satpam rumah itu dengan ramah.
Buset, kompleknya aja udah ada satpam, ini kenapa rumah juga dikasih satpam segala? Kurang kerjaan banget. Eh astaga, nggak boleh nyinyir, Ra.
“Neng,” panggil satpam itu sekali lagi, membuyarkan lamunan Tamara.
“Eh, saya temannya Revano, Pak. Ada tugas kelompok yang di—”
“Oh, iya, Neng, silakan masuk.” Satpam itu segera membukakan gerbang pada Tamara dengan sangat sopan, membuat gadis itu merasa tidak enak hati.
“Saya panggilkan Den Vannonya dulu ya, Neng.”
“Iya, Pak.”
Satpam itu pun berjalan masuk meninggalkan Tamara yang masih terdiam di halaman rumah.
Mata Tamara menyapu halaman sekitar, tampak hijau dan sangat bersih. Benar-benar menyenangkan. Ia membayangkan kalau saja ia memiliki rumah sebagus ini dan ….
“Neng, Den Vanno bilang kalau Eneng langsung masuk aja,” kata pak satpam itu yang lagi-lagi membuyarkan lamunan Tamara.
“Terima kasih, ya, Pak,” ucap Tamara dengan ramah.
“Sama-sama, Neng. Saya ke depan lagi, ya, Neng.”
Tamara mengangguk.
Mata Tamara terkagum-kagum tatkala melihat seisi rumah itu. Perabotan mahal seharga puluhan juta itu terpajang dengan rapinya.
“Ngapain lo masih di situ?”
Tamara tersentak kaget ketika pemilik suara bariton itu telah ada di hadapannya.
“Buruan masuk!”
Tamara menganguk patuh, ia mengekori Revano – menaiki anak tangga menuju sebuah ruangan besar dan rapi, rak-rak buku berjajar dengan indahnya serta dipenuhi buku.
“Teman-temanmu belum dat—oh, udah ada yang datang, ya?” Seorang wanita berusia 50 tahunan dengan segelas jus warna kuningnya itu menghampiri.
“Siapa namamu, Cantik?” tanya Alyana pada Tamara.
“Rara, Tante.”
“Vano, kok kamu nggak pernah cerita kalau punya teman sekelas namanya Rara?”
“Ehm, anu, Ma, Rara ini baru dua hari di sini,” jawab Revano.
“Oh, pantesan kok Mama baru tahu.”
Tamara hanya tersipu. Dalam hati ia senang ketika mendengar Revano menyebut namanya tanpa emosi sedikit pun. Walau Tamara tahu jika itu hanya kepura-puraan Revano saja di depan Alyana.
“Ya sudah, Mama ke dapur dulu buatin minum untuk kalian.”
“Eh, nggak perlu repot-repot, Tante,” tolak Tamara dengan halus.
“Yang mau kerja tugas di sini nggak cuma lo, nggak usah ke-GR-an deh,” jawab Revano dingin.
Ya, Revano tetaplah Revano. Cowok es itu tidak akan pernah berubah menjadi hangat padanya. Dan Tamara tak keberatan dengan kenyataan itu.
Mereka kembali terdiam setelah Alyana pamit ke belakang. Keduanya sibuk dengan dunianya – Tamara sibuk memandangi seluruh ruangan dengan perasaan kagum dan Revano yang sibuk bermain play station.
Revano sibuk memainkan game-nya, sementara Tamara sibuk mencari kesibukan. Ia tak tahu harus memulai pembicaraan apa. Cari masalah baru namanya kalau ia mencoba mengajak Revano berbicara.
Tak lama kemudian Arya dan Aldo datang dengan hebohnya.
“Hai, Tante,” sapa Aldo pada Alyana.
“Hai! Ini Tante buatin jus mangga sama nastar yang tadi pagi Tante buat sendiri,” kata Alyana sembari meletakkan hidangannya di meja.
“Dimakan, ya.”
“Makasih, Tante.”
“Ma, kebanyakan, nih, mejanya jadi sempit,” protes Revano.
“Kan bisa pindah ke meja yang lebih luas di sana,” balas Alyana.
“Tapi nggak terang, Ma.”
“Alasan aja kamu. Dah, selamat belajar, ya, Semuanya.”
“Iya, Tante. Makasih,” jawab Tamara.
“Minyak zaitun lo keluarin sini!” kata Revano sembari mengulurkan tangannya, persis seperti seseorang yang menagih utang dengan kejam.
“Minyak zaitun?” tanya Tamara bingung.
“Lo jangan bilang kalau lo lupa, ya.”
“Bukannya gue disuruh bawa soda api?”
“Oh iya, itu. Siniin, buruan!”
“Iya, sabar.”
Tamara mulai membuka tasnya, mengeluarkan sekantong plastik soda api yang sempat dibelinya di toko bahan kimia.
Semuanya terkejut ketika yang keluar terlebih dahulu dari dalam tas Tamara adalah seekor kecoa.
Revano terkejut bukan main, keringat dingin mulai mengucur dari dahinya, jemarinya bergetar melihat benda cokelat menjijikan itu bergerak ke arahnya.
Tahan, Vano, tahan. Jangan sampai tuh cewek tahu kelemahan lo, batinnya menguatkan.
Akan tetapi, terlambat karena kecoa itu mulai masuk ke dalam celananya.
“HUAAAA!!!!!!!” Revano terperajat kaget. Dihentak-hentakkannya kakinya agar hewan mengerikan itu keluar, dan berhasil.
Kecoa itu lantas kabur ke sisi ruangan yang lainnya, membuat Revano bergidik ngeri.
“Ke mana dia?” tanya Revano was-was. Matanya terus menyapu sekitar – bersiap kalau-kalau kecoa itu ada di dekatnya.
“Tuh, dia,” tunjuk Aldo ke sudut kanan ruangan.
Tampak kecoa itu menempel dengan tenangnya di sana, tak peduli betapa Revano bergetar hebat saat ini. Seluruh tubuhnya lemas, terutama kakinya. Ia merasa tak kuat terus berdiri seperti ini.
“Biar gue tangkap,” kata Tamara memberanikan diri.
Sebenarnya gadis itu tak cukup berani untuk menangkap seekor kecoa, namun kekacauan ini disebabkan karena dirinya. Kecoa itu keluar dari tasnya, bukan?
Tinggal beberapa langkah lagi tangan Tamara mampu meraih, kecoa itu mengepakkan sayapnya dan terbang menuju Revano.
Menyadari hal itu, Revano langsung lari tunggang langgang – menuruni anak tangga menuju lantai bawah.
Akan tetapi, karena kecerobohannya, Revano jatuh terguling dan tak sadarkan diri.
“VANO!”
Alyana terkejut bukan main mendapati putera sulungnya sudah tak sadarkan diri di bawah lantai bawah dengan darah yang mengucur dari kepalanya. Dengan segera ia memanggilambulancedan membawa Revano menuju rumah sakit milik keluarganya. Tamara yang merasa menjadi penyebab semua ini pun ikut ke rumah sakit, menunggu dengan harap-harap cemas. Alyana dan Alex terus melirik tak suka ke arah Tamara. Gadis mungil itu sebenarnya tahu, tapi ia tak peduli itu. Mulutnya terus komat-kamit berdoa agar Revano dapat segera disembuhkan. Tamara tak tahu lagi bagaimana jika hal buruk terjadi pada Revano pasca insiden ini. Hidup Tamara pasti akan sangat hancur. Bisa saja ia dikeluarkan dari sekolah atau yang terburuk ia dapat dipenjara karena mencelakai seseorang. Tentu hal itu akan berdampak buruk pada Diana. Sebuah ponsel berdering nyaring memecah keheningan di sana. Tentu saja itu bukan ponsel Tamara karena gadis itu tidak me
Butuh waktu tiga hari untuk seorang Revano pulih. Saat itulah Tamara menjadi sangat kerepotan – ia harus merawat Revano sepulang sekolah hingga pukul lima sore.Setiap kali Diana menanyakannya mengapa ia sekarang sering pulang malam, Tamara selalu menjawab jika sedang banyak tugas kelompok yang harus diselesaikan.Untung saja Diana percaya dan tak menanyakan hal lebih lanjutnya.Selama ‘mengasuh’ Revano, Tamara mulai tahu jika cowok itu sangat phobia terhadap kecoa.“Lo beneran takut kecoa?” tanya Tamara suatu waktu.“Kenapa?” Revano balik bertanya.Tamara menepuk jidat. Susah memang mengajak berbicara cowok di hadapannya itu.“Gue tanya, Vano.”
Tamara tersenyum geli membaca pesan Revano. Cowok itu semakin hari semakin tidak jelas saja, tingkahnya semakin aneh dari hari ke hari. Menjadi ‘pembantu’ Revano tidaklah buruk. Bahkan cowok itu membelikannya ponsel untuk mereka berkomunikasi. “Rara,” panggil Diana dari arah ruang jahit. “Ya, Ma?” Dengan segera Tamara bergegas menghampiri ibunya itu. “Tolong antar ini ke rumah Tante Desi, ya. Alamatnya udah Mama tulis di kertas ini,” pinta Diana seraya menyodorkan sekantung plastikkresekbesar berisi beberapa pakaian itu dan juga secarik kertas bertuliskan sebuah alamat milik seseorang. “Notanya udah ada di dalam,” lanjut Diana. Tamara mengangguk paham. Segera saja ia mengambil sepeda warna biru tuanya di samping rumahnya itu, lalu mengayuh dengan penuh semangat. Tamara memasuki pekarangan rumah itu yang begitu luas, lalu perlahan mengetuk pintu rumah. Seorang wanita dengan daster merah yang ke
Revano melepaskan gandengannya ketika sudah memasuki area sekolah, ia tak ingin seluruh siswa tahu jika ia menggandeng tangan Tamara – gadis yang mencari masalah dengannya di awal sekolah.Tamara memperhatikan sikap Revano dengan pandangan tak terbaca. Ia sendiri bingung, kenapa lelaki itu kembali dingin padanya.Akan tetapi, kembali lagi ke kenyataan bahwa Tamara hanyalah seorang ‘pembantu’ bagi Revano, tidak lebih.Gadis itu tak boleh terlalu berharap.“Lo duluan yang ke kelas,” kata Revano mempersilakan.Tamara masih terdiam, menikmati setiap inci wajah tampan dan sempurna seorang Revano dalam diam.“Nggak ada gurunya, gue udah chat Aldo tadi,” lanjut Revano yang sepertinya tahu apa yang dikhawatirkan
Sesi curhat antara Juna dengan Tamara itu terpaksa terhenti ketika seisi kelas menjadi semakin gaduh. “Woy, woy, woy, Vano berantem lagi, Cuy,” teriak Jaya dengan hebohnya, mengundang perhatian seisi kelas, tak terkecuali Tamara dan Juna. Vano berantem lagi?tanya Tamara dalam hati. Seberapa sering cowok itu berantem? Apakah ia sudah langganan bertempur dengan siapapun. Dengan segera Tamara berlari keluar, meninggalkan Juna di bangkunya dengan perasaan bingung. Langkah gadis itu menuju lapangan sekolah, ia sangat yakin jika Revano berada di sana. Benar saja. Kerumunan semakin ramai, tak terkecuali bapak dan ibu guru yang berusaha menenangkan. Dengan berani Tamara mendekat, berusaha menembus kerumunan itu untuk melihat lebih jelas bagaimana keadaan Revano. Tamara menutup mulutnya dengan telapak tangannya begitu melihat keadaan Revano yang benar-benar kacau itu. Rambut Revano tampak acak-acakan
Lelaki paruh baya yang Tamara sebut sebagai papa itu terdiam memandang Tamara. Ia tak percaya jika akan bertemu lagi dengan anaknya yang sudah ia buang jauh-jauh demi wanita di sampingnya itu. “Rara,” lirihnya. Tamara mengepalkan tangannya, wajahnya memerah menahan amarah. Di sampingnya, seorang laki-laki jangkung dengan masker dan topi yang menutupi wajahnya itu tampak kebingungan. Tanpa basa-basi, Tamara pergi dari hadapan pria itu. Revanokewalahanmembayar semua buku yang dipilih mereka tadi, lalu dengan segera mengejar Tamara. Untung saja kaki Tamara tidak panjang, sehingga langkahnya tidak lebar dan bisa dikejar. “Ra,” panggil Revano. Akan tetapi, sang empunya nama tetap tak menghentikan langkahnya. Dengan langkah cepat Revano dapat meraih tangan Tamara, membuat gadis itu menghentikan langkahnya. “Kenapa sih, Van?” “Lo yang kenapa? Kena
Sudah sebulan lebih sejak peristiwa Revano memberi hadiah pada Tamara di bukit itu dan sudah sebulan lebih hubungan keduanya semakin dekat. Tak hanya itu, bahkan Revano berani mengajak Tamara ikut berkumpul dengan anggota The Crush. Tentu saja hal tersebut membuat banyak siswi iri dan terus meneror Tamara – mengirimkan sesuatu yang aneh ke rumah Tamara secara terus-menerus dengan berbagai surat ancaman. Bahkan Tamara pernah mendapat kiriman sebuah bangkai burung yang kepalanya sudah lepas dari badannya. Di situ Tamara juga mendapati secarik kertas yang ditulis menggunakan darah dengan kata-kata penuh ancaman bahwa jika Tamara masih nekad untuk dekat dengan Revano dan tak mengakhiri hubungan mereka, Tamara akan celaka. “Lo kenapa udah jarang banget ngobrol sama gue? Lo juga kalau di sekolah terkesan kayak menjauh gitu. Setiap kali gue lihat lo dan lo lihat gue, bukannya lo nyapa gue, lo malah ngelengos gitu aja,” tanya Revano. Ia melontarkan pr
Sudah seminggu Revano dan Tamara berpacaran, tapi keduanya tak ingin memublikasikan hubungan mereka, terlebih di depan seluruh siswa di sekolah. Revano tak ingin Tamara mendapatkan teror yang lebih jahat dari bully yang dilakukan oleh beberapa siswi penggemarnya di sekolah. “Ra,” panggil Revano ketika keduanya sedang berada dirooftopsekolah berdua saja. “Hm?” “Nanti malam aku mau basket sama The Crush.” “Nggak ada acara berantem-beranteman, ‘kan?” “Nggak kok.” “Beneran?” “Iya, Sayang,” jawab Revano seraya mencubit pipicubbyTamara dengan gemas. “Ya udah, nggak apa-apa asal nggak berantem. Oh, iya, aku ke kantin dulu, ya,” kata Tamara pamit. Akan tetapi, lengannya dicekal oleh Revano. “Kenapa?” Revano merarik tubuh Tamara hingga memeluknya, lalu mencium bibir Tamara singkat. “Udah, sana. Hati-hati,” kata Revano.
Lagu Superman milik Super Junior berdering dari ponsel Tamara, membuat Sang Empunya ponsel pun terbangun dan segera mematikan alarm tersebut. Memang sengaja Tamara menggunakan lagu tersebut sebagai nada dering alarm di ponselnya agar ia segera terbangun. Kembali hidup sendiri – sama ketika ia mengekos setelah kepergian Diana – setelah ia jauh dari Joseph dan Giselle, membuat Tamara mau tak mau harus kembali serba mandiri. Hidup sendiri di Kota Pelajar yang tentu jauh dari rumahnya membuatnya harus mendisiplinkan diri. Karena kalau tidak begitu, ia sendiri yang akan kehilangan waktu berharganya. Setelah memilih pakaian untuk dikenakannya ke kampus, Tamara pun berjalan menuju kamar mandi. Kamar mandi yang hanya ada tiga bilik di setiap lantainya membuat seluruh penghuni di lantai tiga – tempat Tamara tinggal pun harus berbagi dan bergantian. Seperti saat ini. Jam baru menunjukkan pukul lima kurang lima menit pagi, tapi tiga bilik kamar mandi terlihat penuh, bahkan Tama
Di suatu siang – seperti biasa – Tamara dan Giselle sedang duduk di ruang keluarga sembari menonton TV dan memperhatikan Ale bermain. Tiba-tiba ponsel Tamara berdenting, menampilkan sebuah pesan singkat dari Joseph. Papa: Ra, kamu bisa ke kantor Papa sekarang, ‘kan? Dengan cepat Tamara mengetikkan sesuatu di ponselnya. TamaraAltey: Oke, Pa. Giselle yang melihat bahwa mata Tamara tak lagi fokus pada tayangan di TV dan lebih asyik dengan ponselnya itu pun menjadi penasaran, dengan siapa anak tirinya itu berkomunikasi. “Hayo, SMS siapa tuh?” tanya Giselle sembari melongok, ikut melihat ke layar ponsel Tamara. “Papa, Bun.” “Kenapa sama Papa?” “Papa suruh aku ke kantornya.” Giselle mengernyitkan dahi. “Ada apa?” “Nggak tahu. Papa suruh aku segera ke kantornya.” “Ya udah sana. Sama Pak Dadang, ‘kan?” “Pak Dadang, ‘kan, lagi istirahat, Bun. Aku
“Geser dikit bisa nggak, sih, Ran?” tanya Alice seraya mendorong tubuh Rani agar sedikit menjauh supaya memberinya banyak tempat untuk berbaring. “Hih, lo apaan, sih, Lice? Banyak tempat tuh,” jawab Rani tak suka jika keasyikannya menonton film diganggu oleh Alice. “Di situ nanti tempatnya Karina sama Rara. Lo mikir dong, badan lo aja segede itu masih juga kaki sama tangan ke mana-mana,” protes Alice. “Lo nggak ngomong pun gue juga tahu kalau itu tempatnya Rara sama Karina. Tapi, ‘kan, mereka masih keluar. Lo yang santai dikit kenapa, sih? Ganggu aja gue lagi nonton pacar gue nih – Leonardo DiCaprio,” gerutu Rani. “Kalian kenapa, sih? Berisik banget dari tadi,” tanya Tamara yang sudah muncul di hadapan mereka bersama Karina dan beberapa kantung plastik berisi makanan dan minuman yang mereka inginkan. Dengan segera Alice dan Rani membaur bersama Tamara dan Karina, seakan lupa dengan perdebatan mereka beberapa detik yang lalu itu. “Ra,”
Tamara mulai membiasakan diri hidup mandiri, bertemankan kesendirian di tengah ingar bingarnya ibu kota setiap harinya. Semenjak Revano pergi, justru Tamara mendapatkan banyak teman. Alice, Karina, dan Rani resmi sudah menjadi sahabat Tamara. Entah apa yang membuat mereka tiba-tiba mau bersahabat dengan Tamara. Meski hidupnya dikelilingi oleh banyak teman, Tamara tetap merasa ada yang kurang di hidupnya. Siapa lagi kalau bukan Revano? Kepergian Revano rupanya menyisakan ketidakrelaan dalam hati Tamara. Sekuat apa pun Tamara menghibur diri, tetap saja tak berhasil. Kini seseorang yang ia cintai setelah Diana juga meninggalkannya. Terlebih karena Revano lah yang mengambil ciuman pertamanya. Mungkin bagi sebagian perempuan, ciuman bukanlah hal yang luar biasa, tapi bagi Tamara, itu adalah hal yang sangat berarti. Tamara tak akan semudah itu menyerahkan ciumannya pada lelaki. Tamara menghela napas.Hm, ya udahlah, mau gimana
Revano mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi mengikuti ambulan yang membawa Pram tersebut ke rumah sakit. “Vano!” seru Alyana memanggil puteranya. Akan tetapi, sang pemilik nama tak menyahut, ia justru berjalan masuk bersama dengan para dokter dan perawat yang membawa brankar dengan seseorang bertutupkan kain putih di atasnya. Alyana memandang heran pada Revano. “Biar aku saja yang menemui dia.” Di sinilah Revano berada – di kamar jenazah. Ia menangisi seseorang yang terbaring kaku bertutupkan kain tersebut. “Pa, Papa jangan pergi tinggalin Vano. Vano sayang sama Papa. Apa Papa nggak kasihan sama Mama yang kesepian kalau Papa tinggal? Papa tahu sendiri, ‘kan, kalau Mama itu nggak bisa berlama-lama jauh sama Papa. Gimana aku sama Brian, Pa? Kami masih butuh Papa. Kami ingin Pap—HUWAAAAA!!! SETAAANNN!!!” Alex membungkam mulut anaknya yang berteriak seperti toa di tempat sepi. “Jaga mulutmu, Vano!” bisik Alex semba
Sudah dua minggu ini Revano rutin menjenguk Tamara. Sejak meninggalnya Diana, Melati – sahabat Diana itu lah yang merawat Tamara. Wanita paruh baya yang belum menikah itu memutuskan untuk membawa Tamara tinggal bersamanya di rumahnya yang cukup mewah itu. Meski ia yang merawat Tamara kini, tapi Melati tak pernah membatasi siapa pun menjenguk puteri dari mendiang sahabatnya itu, termasuk Revano. Tamara mengamati Revano yang dengan lahap menyantap salat buah yang tadi dibawakan Revano untuk Tamara. “Kenapa?” tanya Revano bingung karena sedari tadi Tamara terus memandanginya. Tamara menggeleng. Revano menghela napas dengan berat, ia meletakkan mangkuk berisi salat buah yang sudah habis setengah wadahnya itu. “Kenapa?” tanya Revano lagi. Kini ia memilih untuk duduk lebih dekat dengan Tamara. “Van, aku sebenarnya nggak apa-apa kalau ditinggal. Beneran deh,” tolak Tamara. “Ra, sini deh,” kata Revano meminta Tamara lebih dekat lagi de
Sudah dua minggu sejak kejadian teror itu berlangsung. Kini rumah keluarga Pram kembali tenang setelah Revano meminta satpam kompleks untuk memperketat keamanan. “Van, besok lusa Tante Desi ulang tahun lho,” kata Alyana membuka pembicaraan ketika keduanya sedang asyik menonton film di ruang tengah. “Terus?” Revano bertanya dengan cuek, matanya masih fokus pada film yang ditontonnya. “Ih, kok terus, sih?” “Ya terus gimana, Ma? Vano harus gimana? Vano harusrolldepanrollbelakang gitu di depan Tante Desi sama Om Dedi?” Alyana mencubit perut Revano dengan kesal, membuat cowok itu berteriak kesakitan. Rupanya Alyana dan Tamara memiliki hobi yang sama, yaitu sama-sama suka mencubit perut Revano. “Bisa nggak Mama minta tolong Vano buat beli bahan-bahan bikin kuenya?” tanya Alyana sembari memasangpuppy eyesagar anaknya itu iba dan menuruti permintaannya. “Tapi, Ma, b
“Ra, buruan! Itu udah ditunggu Vano,” kata Diana sembari melongok ke kamar Tamara. “Iya, Ma,” jawab Tamara yang masih sibuk membenarkan letak dasinya. Gadis mungil itu pun keluar setelah merasa rapi. “Ayo, berangkat,” kata Revano. Tamara mengangguk. Keduanya lalu mencium punggung tangan Diana untuk berpamitan. Revano menyodorkan sebuah helm kecil untuk Tamara, lalu membantu gadis itu untuk bisa naik di jok belakang. Motor merah Revano melaju membelah jalanan kota. “Van.” “Hm.” “Kok tumben banget naik motor?” “Si Burhan lagi sakit.” “Burhan siapa?” tanya Tamara tak mengerti. “Mobilku yang biasanya kupakai ke mana-mana.” “Ada namanya, ya?” “Iyalah, biar keren.” Tamara terkekeh geli. Ia baru tahu jika mobil milik Revano itu bernama Burhan. Ada-ada saja cowok itu. “Emang Burhan sakit apa, sih?” “Dia sakit tonsilis, jadi mogok dan nggak mau ngapa
Sudah dua minggu sejak kejadian drama itu berlangsung, tapi Revano tetap tak ingin menegur Tamara. Bahkan lelaki itu tak pernah lagi membalas pesan Tamara.Tamara termenung di sudut taman seorang diri, memandang sekeliling dengan tatapan kosong. Pikirannya melayang entah ke mana. Hingga akhirnya matanya menatap dua sosok yang berjarak cukup jauh darinya, tapi dapat terlihat jelas siapa mereka.Revano dan Dinda tampak sangat asyik berbincang, sesekali mereka tertawa – itu tampak sangat jelas di garis wajah keduanya.Tamara mengembuskan napasnya dengan berat. Mau bagaimanapun ini sudah risikonya berpacaran dengan seorang Revano – anak ketua yayasan serta cucu pemilik rumah sakit terbesar di kota ini.Tanpa diduga, Revano juga menatap Tamara, mata mereka saling beradu tatap dalam radius lima