Tamara mengekori seorang guru biologi dan juga wali kelasnya di kelas XI IPA 3, beliau bernama Bu Naomi.
“Kalau kamu ada kesulitan atau masalah, kamu bisa cerita ke Ibu sebagai wali kelasmu, ya?” tawar Bu Naomi dengan lembut.
Tamara mengangguk sembari tersenyum menjawabnya.
Kelas yang sebelumnya ramai dan gaduh, kini menjadi hening ketika guru yang sedang hamil enam bulan itu masuk disusul oleh gadis mungil yang tak lain adalah Tamara.
“Kita kedatangan teman ba—”
“Uhuy .…”
“Manisnya .…”
“Duduk sama Abang sini, Neng.”
“Jangan mau, Neng. Dia buaya.”
Belum selesai Bu Naomi berbicara, kelas kembali ramai, menggoda sang siswi baru di sampingnya itu.
“TENANG!” seru Bu Naomi berusaha menenangkan kelas. Wanita itu mengusap perutnya dan mengucapkan ‘amit-amit jabang bayi.’
Setelah kelas kembali tenang, Bu Naomi pun mulai mempersilakan Tamara mengenalkan diri.
“Nama saya Tamara Alteyzia, biasa dipanggil Rara,” kata Tamara singkat. Membuat siapa pun berdecak ‘lho, cuma segitu doang?’
“Boleh nggak kamu kupanggil ‘Sayang’ aja?” goda seorang siswa di ujung kelas. Perawakannya tinggi besar dengan rambut sedikit gondrongnya.
“Ganjar!” tegur Bu Naomi sembari mendelik tajam, membuat sang empunya nama hanya tersipu.
“Tamara, kamu bisa duduk di dekat Juna,” kata Bu Naomi sembari menunjuk bangku kosong di samping cowok berkacamata yang sedang asyik membaca komiknya itu.
Tamara mengangguk patuh, ia berjalan mendekati bangku Juna diiringi decakan kecewa dari kaum adam.
“Juna lagi, Juna lagi.” Begitulah kira-kira gerutuan mereka.
“Baiklah, Anak-anak, kalian bisa berkenalan nanti lagi, ya. Kita lanjut pelajaran dulu,” kata Bu Naomi mengalihkan perhatian.
“Hai, Rara, salam kenal, ya, aku Dimas.”
“Aku Raka.”
Tamara hanya menundukkan kepala setiap kali teman-teman barunya itu mengenalkan diri. Bukan karena tak ingin kenal, hanya saja Tamara adalah seseorang yang pemalu, ia tak mudah akrab dengan orang yang baru ia jumpai.
Akan tetapi, sikapnya itu justru mendapat gerutuan dari teman-temannya, mereka menganggap bahwa Tamara adalah gadis yang sombong.
“Kalian fokus ke pelajaran dong, jangan berisik, ganggu!” sindir Juna ketus.
“Yaelah, Si Cupu ngerusak suasana aja.”
Tamara mengalihkan pandangannya ke belakang. Matanya bersitatap dengan mata biru nan indah milik seseorang, sebelum kemudian orang itu dengan malas kembali memejamkan matanya.
Jantung Tamara berdegup dengan aneh. Kenapa sih, Ra? batinnya heran.
***
Bel istirahat berbunyi, membuat semua murid yang ada di kelas berhambur keluar. Ada yang ke kantin, ke lapangan untuk berolah raga, dan ada pula yang ke perpustakaan.
Tamara memilih menyembunyikan diri di dalam perpustakaan yang sepi, sibuk berkutat dengan novel bersampul biru karangan penulis favoritnya itu.
Ruangan perpustakaan yang luas dan sepi itu membuat Tamara nyaman duduk lama dengan novelnya, sebelum perutnya dengan jahat berbunyi.
Segera diletakkannya novel tersebut ke tempat semula lalu melangkah pergi menuju kantin.
Suasana kantin sudah mulai sepi, hanya beberapa murid saja yang tampak masih menikmati makanannya. Jelas saja karena pasti murid-murid yang lain telah kenyang dan kembali ke kelas mereka.
Tamara dengan semangat membawa nampan berisi semangkuk bakso dan segelas es teh yang sangat menggiurkan bagi perutnya di siang yang terik ini.
BRAK!
Langkah Tamara terhenti ketika ia tanpa sengaja menabrak seseorang. kuah bakso itu menumpahi seragam putih orang di depannya dan meninggalkan noda.
Tamara membenarkan letak kacamatanya yang miring lalu mendongak, matanya beradu tatap dengan pemilik mata biru itu. Wajah cowok itu memerah, jemarinya terkepal hingga buku-buku jarinya memutih menahan amarah yang telah memuncak.
“LO!” Suara bariton itu membentaknya.
“Ma—maaf. Gue nggak sengaja,” ucap Tamara terbata-bata.
“Berani-beraninya lo kotorin seragam gue yang mahal ini!”
Tamara menunduk, kakinya terasa lemas seketika itu juga.
Baru sehari ia menjadi murid baru di sekolah ini, tapi ia sudah mendapatkan masalah besar.
“Jalan tuh pakai mata! Udah dikasih empat mata juga nggak dipakai.”
Tangan Tamara bergetar, tapi dengan pandai ditutupinya segera.
“Gue bisa bersihin,” kata Tamara seraya meraih lengan seragam cowok itu. Namun tangan Tamara segera ditepis.
“Nggak usah!”
Tamara bingung, apa yang harus ia perbuat kini.
“Tamara Alteyzia.” Cowok itu membaca badge namanya. “Gue tandai lo. Mulai detik ini, gue pastikan hidup lo sebagai murid di sini nggak akan tenang.”
Cowok jangkung itu pergi setelah mengeluarkan sumpah serapahnya, diiringi tatapan heran dan bingung dari orang-orang yang ada di sana.
Tamara mendudukkan diri di kursi yang tak jauh darinya. Kakinya begitu lemas mendengar ancaman cowok tadi.
Ya, hidupnya pasti tak akan tenang ke depannya. Terlebih karena cowok itu adalah teman sekelasnya.
Tamara memijat pelipisnya dengan frustrasi, membayangkan apa yang akan ia terima ke depannya.
***
“Vano, lo kenapa?” tanya Dinda dengan heboh begitu melihat seragam Revano yang kotor.
Tak seperti biasanya cowok itu memakai pakaian yang kotor.
Dinda mendekat dan mulai meraba noda di seragam putih Revano. Sikap Dinda itu sontak mengundang siswi lainnya ikut mendekat dan mengerubungi, menanyakan hal yang sama.
Revano tak sepatah kata pun menjawab. Ia memilih diam, tapi matanya masih menyalang menatap Tamara yang menunduk di bangkunya.
Kelas semakin ramai dan heboh mempersoalkan seragam mahal Revano yang kotor. Dari mana saja cowok tampan itu sehingga seragamnya menjadi kotor? Mereka tidak menyadari jika bel masuk sudah berbunyi lima menit yang lalu.
“Permisi.” Seorang pria paruh baya berseragam PNS dengan rambut disisir rapi itu mengetuk pintu, seakan menjadi tamu di sebuah rumah. Siapa lagi jika bukan Pak Anton – guru ekonomi itu berhasil membubarkan kerumunan siswi-siswi yang mengerubungi Revano dan membuat mereka kembali duduk di bangku masing-masing.
“Maaf mengganggu acara rumpinya tadi. Tapi Bapak rasa sekarang sudah jamnya ekonomi,” kata Pak Anton dengan senyuman khasnya.
Jam alam mimpi pun seakan berbunyi ketika Pak Anton menjelaskan tentang bagaimana APBN dan APBD disusun, sumber dana APBD, dan lainnya yang membuat seluruh murid menguap. Bahkan beberapa siswa di bangku belakang sudah menggapai mimpinya.
***
Bel pulang pun berbunyi, membuat semua murid di kelas XI IPA 1 itu – dengan semangat 45 mengemasi barang-barangnya. Yang tadinya mengantuk, bahkan ngiler pun kini berubah menjadi segar bugar.
Tamara bergegas berjalan keluar kelas, berusaha sebisa mungkin untuk menghindari cowok bermata biru yang tak lain adalah Revano.
Gadis itu kini tahu dengan siapa ia berurusan setelah tak sengaja menguping pembicaraan siswi-siswi kelas XII IPS 4 tadi.
Ternyata Revano adalah anak ketua yayasan sekolah ini. Pantas saja jika ia dengan berani mengancam Tamara.
Mengetahui kenyataan itu, membuat Tamara semakin merinding. Tak dapat dibayangkan jika ia kembali membuat masalah dengan Revano, pasti ia akan ditendang dari sekolah ini. Jika ia dikeluarkan, mau di mana lagi ia bersekolah? Ia dan ibunya sudah tak punya banyak uang lagi.
Semenjak ayahnya meninggalkan mereka, ia dan ibunya tak memiliki uang sedikit pun. Mereka terpaksa kembali ke ibu kota – tempat masa kecil ibunya.
Bermodalkan uang yang sangat sedikit, Diana memberanikan diri mengontrak di sebuah kontrakan sederhana, membuka usaha menjahit yang sudah belasan tahun ia tinggalkan itu. Lalu, jika Tamara sampai dikeluarkan, apakah itu tidak melukai hati ibunya? Sementara ia dapat bersekolah lagi saja berkat bantuan malaikat baik hati yang tak lain adalah teman ibunya itu.
Tamara selamat sampai gerbang sekolah, tak melihat batang hidung Revano sedikit pun.
Dengan segera ia berlari pulang. Untung saja rumahnya tak jauh dari sekolahnya.
Glek!
“Udah pulang, Sayang?” Diana menghampiri puteri tunggalnya yang sudah berdiri di ambang pintu itu.
Tamara tersenyum, berusaha mengembalikan keceriaannya demi Diana.
“Mama udah dapat order-an?” tanya Tamara yang melihat tumpukan kain di mesin jahit Diana.
“Iya, syukurlah Tante Melati tadi bawa temannya buat jahit baju di sini.”
“Syukurlah. Rara ikut senang, Ma.”
“Ya udah, kamu ganti baju dulu aja, ya. Habis gitu makan. Di tudung saji Mama udah buatkan telur ceplok setengah matang kesukaanmu,” kata Diana membuat wajah anak gadisnya semakin berseri-seri.
Tamara menurut. Ia sudah duduk manis di lantai sembari melahap makanannya.
“Enak?”
“Kapan Mama pernah masak nggak enak?”
Diana tersenyum, anaknya itu memang suka sekali memujinya.
“Gimana di sekolah tadi? Senang nggak dapat teman baru?”
Tamara tertegun. Teman baru? Yang ada ia dapat masalah baru.
“Senang banget, Ma. Temannya baik-baik semua,” jawab Tamara bohong.
“Baguslah kalau gitu. Mama harap Rara bisa lulus dengan baik, sukses, bisa bahagiakan Mama, ya,” ucap Diana seraya mengelus puncak kepala Tamara.
Gadis itu tersenyum saja.
Maafin Rara, Ma. Maaf karena Rara udah bohong.
Jam beker bergambar Sailor Moon – kartun kesukaan Tamara sejak kecil itu berdering, menunjukkan pukul lima pagi, membuat Tamara langsung terbangun. Gadis itu mematikan jam bekernya. Hati Tamara berdesir, teringat akan seorang pria berusia 50 tahunan yang tak lain adalah ayahnya itu. Jam beker ini adalah hadiah ulang tahun yang diberikan oleh ayahnya untuknya tahun lalu. Tamara masih sangat ingat saat itu ayahnya pulang dengan keadaan basah kuyup sembari menenteng plastik berisi sekotak jam beker bergambar Sailor Moon untuk puteri cantiknya. Tamara tentu sangat bahagia mendapat hadiah tersebut dari ayahnya. Ia memeluk ayahnya dengan sangat erat sembari mengucapkan terima kasih. Tamara menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tak ingin mengingat apa pun tentang ayahnya, termasuk peristiwa bahagia mereka. Tamara berlari menuju kamar mandi, membersihkan tubuhnya dengan air dingin. Tak butuh waktu lama baginya untu
Tamara keluar toilet, melihat muka murungnya di pantulan cermin. Air matanya sudah kering dari tadi.Tamara membasuh mukanya dengan air, lalu berjalan kembali ke kelas diiringi tatapan aneh dan teriakan mengolok dari teman-teman kelasnya.Dengan segera Tamara mengemasi barang-barangnya, memasukkannya ke dalam tasnya.“Ra, ini, ‘kan, belum jam pulang,” kata Juna yang terheran-heran melihat apa yang dilakukan Tamara.Akan tetapi, Tamara tak meresponnya sedikit pun. Gadis itu justru berlari pergi membawa tasnya keluar.“Rara!” seru Juna memanggil. Namun, percuma saja, sang empunya nama sudah menghilang, entah ke mana.
Seseorang dengan baju batik merahnya dipadu dengan hijab warna senada serta sepatu pantofelnya itu dengan anggun berjalan menuju kelas XI IPA 1 – kelas penuh keributan dan tingkah para penghuninya yang luar biasa itu. Masih terdengar alunan dangdutyang diputar Ganjar menggunakanspeaker. “Siapa yang putar lagu ini? Harap dimatikan karena pelajaran prakarya akan segera dimulai,” kata guru kimia yang kerap disapa Bu Sisca itu. Akan tetapi, sang pelaku pemutar musik dangdut itu tak menghiraukan, ia masih asyik bergoyang. Yo wis ben duwe bojo sing galak Yo wis ben sing omongane sengak Seneng nggawe aku susah Nanging aku wegah pisah “GANJAR JULIAN!” Teriakan Bu Sisca akhirnya mampu membuat Ganjar terkejut lalu mematikan musiknya. “Kamu dengar nggak kalau bel masuk sudah bunyi sejak 10 menit yang lalu?” “Nggak, Bu,” jawab Ganjar dengan tanpa mera
Alyana terkejut bukan main mendapati putera sulungnya sudah tak sadarkan diri di bawah lantai bawah dengan darah yang mengucur dari kepalanya. Dengan segera ia memanggilambulancedan membawa Revano menuju rumah sakit milik keluarganya. Tamara yang merasa menjadi penyebab semua ini pun ikut ke rumah sakit, menunggu dengan harap-harap cemas. Alyana dan Alex terus melirik tak suka ke arah Tamara. Gadis mungil itu sebenarnya tahu, tapi ia tak peduli itu. Mulutnya terus komat-kamit berdoa agar Revano dapat segera disembuhkan. Tamara tak tahu lagi bagaimana jika hal buruk terjadi pada Revano pasca insiden ini. Hidup Tamara pasti akan sangat hancur. Bisa saja ia dikeluarkan dari sekolah atau yang terburuk ia dapat dipenjara karena mencelakai seseorang. Tentu hal itu akan berdampak buruk pada Diana. Sebuah ponsel berdering nyaring memecah keheningan di sana. Tentu saja itu bukan ponsel Tamara karena gadis itu tidak me
Butuh waktu tiga hari untuk seorang Revano pulih. Saat itulah Tamara menjadi sangat kerepotan – ia harus merawat Revano sepulang sekolah hingga pukul lima sore.Setiap kali Diana menanyakannya mengapa ia sekarang sering pulang malam, Tamara selalu menjawab jika sedang banyak tugas kelompok yang harus diselesaikan.Untung saja Diana percaya dan tak menanyakan hal lebih lanjutnya.Selama ‘mengasuh’ Revano, Tamara mulai tahu jika cowok itu sangat phobia terhadap kecoa.“Lo beneran takut kecoa?” tanya Tamara suatu waktu.“Kenapa?” Revano balik bertanya.Tamara menepuk jidat. Susah memang mengajak berbicara cowok di hadapannya itu.“Gue tanya, Vano.”
Tamara tersenyum geli membaca pesan Revano. Cowok itu semakin hari semakin tidak jelas saja, tingkahnya semakin aneh dari hari ke hari. Menjadi ‘pembantu’ Revano tidaklah buruk. Bahkan cowok itu membelikannya ponsel untuk mereka berkomunikasi. “Rara,” panggil Diana dari arah ruang jahit. “Ya, Ma?” Dengan segera Tamara bergegas menghampiri ibunya itu. “Tolong antar ini ke rumah Tante Desi, ya. Alamatnya udah Mama tulis di kertas ini,” pinta Diana seraya menyodorkan sekantung plastikkresekbesar berisi beberapa pakaian itu dan juga secarik kertas bertuliskan sebuah alamat milik seseorang. “Notanya udah ada di dalam,” lanjut Diana. Tamara mengangguk paham. Segera saja ia mengambil sepeda warna biru tuanya di samping rumahnya itu, lalu mengayuh dengan penuh semangat. Tamara memasuki pekarangan rumah itu yang begitu luas, lalu perlahan mengetuk pintu rumah. Seorang wanita dengan daster merah yang ke
Revano melepaskan gandengannya ketika sudah memasuki area sekolah, ia tak ingin seluruh siswa tahu jika ia menggandeng tangan Tamara – gadis yang mencari masalah dengannya di awal sekolah.Tamara memperhatikan sikap Revano dengan pandangan tak terbaca. Ia sendiri bingung, kenapa lelaki itu kembali dingin padanya.Akan tetapi, kembali lagi ke kenyataan bahwa Tamara hanyalah seorang ‘pembantu’ bagi Revano, tidak lebih.Gadis itu tak boleh terlalu berharap.“Lo duluan yang ke kelas,” kata Revano mempersilakan.Tamara masih terdiam, menikmati setiap inci wajah tampan dan sempurna seorang Revano dalam diam.“Nggak ada gurunya, gue udah chat Aldo tadi,” lanjut Revano yang sepertinya tahu apa yang dikhawatirkan
Sesi curhat antara Juna dengan Tamara itu terpaksa terhenti ketika seisi kelas menjadi semakin gaduh. “Woy, woy, woy, Vano berantem lagi, Cuy,” teriak Jaya dengan hebohnya, mengundang perhatian seisi kelas, tak terkecuali Tamara dan Juna. Vano berantem lagi?tanya Tamara dalam hati. Seberapa sering cowok itu berantem? Apakah ia sudah langganan bertempur dengan siapapun. Dengan segera Tamara berlari keluar, meninggalkan Juna di bangkunya dengan perasaan bingung. Langkah gadis itu menuju lapangan sekolah, ia sangat yakin jika Revano berada di sana. Benar saja. Kerumunan semakin ramai, tak terkecuali bapak dan ibu guru yang berusaha menenangkan. Dengan berani Tamara mendekat, berusaha menembus kerumunan itu untuk melihat lebih jelas bagaimana keadaan Revano. Tamara menutup mulutnya dengan telapak tangannya begitu melihat keadaan Revano yang benar-benar kacau itu. Rambut Revano tampak acak-acakan
Lagu Superman milik Super Junior berdering dari ponsel Tamara, membuat Sang Empunya ponsel pun terbangun dan segera mematikan alarm tersebut. Memang sengaja Tamara menggunakan lagu tersebut sebagai nada dering alarm di ponselnya agar ia segera terbangun. Kembali hidup sendiri – sama ketika ia mengekos setelah kepergian Diana – setelah ia jauh dari Joseph dan Giselle, membuat Tamara mau tak mau harus kembali serba mandiri. Hidup sendiri di Kota Pelajar yang tentu jauh dari rumahnya membuatnya harus mendisiplinkan diri. Karena kalau tidak begitu, ia sendiri yang akan kehilangan waktu berharganya. Setelah memilih pakaian untuk dikenakannya ke kampus, Tamara pun berjalan menuju kamar mandi. Kamar mandi yang hanya ada tiga bilik di setiap lantainya membuat seluruh penghuni di lantai tiga – tempat Tamara tinggal pun harus berbagi dan bergantian. Seperti saat ini. Jam baru menunjukkan pukul lima kurang lima menit pagi, tapi tiga bilik kamar mandi terlihat penuh, bahkan Tama
Di suatu siang – seperti biasa – Tamara dan Giselle sedang duduk di ruang keluarga sembari menonton TV dan memperhatikan Ale bermain. Tiba-tiba ponsel Tamara berdenting, menampilkan sebuah pesan singkat dari Joseph. Papa: Ra, kamu bisa ke kantor Papa sekarang, ‘kan? Dengan cepat Tamara mengetikkan sesuatu di ponselnya. TamaraAltey: Oke, Pa. Giselle yang melihat bahwa mata Tamara tak lagi fokus pada tayangan di TV dan lebih asyik dengan ponselnya itu pun menjadi penasaran, dengan siapa anak tirinya itu berkomunikasi. “Hayo, SMS siapa tuh?” tanya Giselle sembari melongok, ikut melihat ke layar ponsel Tamara. “Papa, Bun.” “Kenapa sama Papa?” “Papa suruh aku ke kantornya.” Giselle mengernyitkan dahi. “Ada apa?” “Nggak tahu. Papa suruh aku segera ke kantornya.” “Ya udah sana. Sama Pak Dadang, ‘kan?” “Pak Dadang, ‘kan, lagi istirahat, Bun. Aku
“Geser dikit bisa nggak, sih, Ran?” tanya Alice seraya mendorong tubuh Rani agar sedikit menjauh supaya memberinya banyak tempat untuk berbaring. “Hih, lo apaan, sih, Lice? Banyak tempat tuh,” jawab Rani tak suka jika keasyikannya menonton film diganggu oleh Alice. “Di situ nanti tempatnya Karina sama Rara. Lo mikir dong, badan lo aja segede itu masih juga kaki sama tangan ke mana-mana,” protes Alice. “Lo nggak ngomong pun gue juga tahu kalau itu tempatnya Rara sama Karina. Tapi, ‘kan, mereka masih keluar. Lo yang santai dikit kenapa, sih? Ganggu aja gue lagi nonton pacar gue nih – Leonardo DiCaprio,” gerutu Rani. “Kalian kenapa, sih? Berisik banget dari tadi,” tanya Tamara yang sudah muncul di hadapan mereka bersama Karina dan beberapa kantung plastik berisi makanan dan minuman yang mereka inginkan. Dengan segera Alice dan Rani membaur bersama Tamara dan Karina, seakan lupa dengan perdebatan mereka beberapa detik yang lalu itu. “Ra,”
Tamara mulai membiasakan diri hidup mandiri, bertemankan kesendirian di tengah ingar bingarnya ibu kota setiap harinya. Semenjak Revano pergi, justru Tamara mendapatkan banyak teman. Alice, Karina, dan Rani resmi sudah menjadi sahabat Tamara. Entah apa yang membuat mereka tiba-tiba mau bersahabat dengan Tamara. Meski hidupnya dikelilingi oleh banyak teman, Tamara tetap merasa ada yang kurang di hidupnya. Siapa lagi kalau bukan Revano? Kepergian Revano rupanya menyisakan ketidakrelaan dalam hati Tamara. Sekuat apa pun Tamara menghibur diri, tetap saja tak berhasil. Kini seseorang yang ia cintai setelah Diana juga meninggalkannya. Terlebih karena Revano lah yang mengambil ciuman pertamanya. Mungkin bagi sebagian perempuan, ciuman bukanlah hal yang luar biasa, tapi bagi Tamara, itu adalah hal yang sangat berarti. Tamara tak akan semudah itu menyerahkan ciumannya pada lelaki. Tamara menghela napas.Hm, ya udahlah, mau gimana
Revano mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi mengikuti ambulan yang membawa Pram tersebut ke rumah sakit. “Vano!” seru Alyana memanggil puteranya. Akan tetapi, sang pemilik nama tak menyahut, ia justru berjalan masuk bersama dengan para dokter dan perawat yang membawa brankar dengan seseorang bertutupkan kain putih di atasnya. Alyana memandang heran pada Revano. “Biar aku saja yang menemui dia.” Di sinilah Revano berada – di kamar jenazah. Ia menangisi seseorang yang terbaring kaku bertutupkan kain tersebut. “Pa, Papa jangan pergi tinggalin Vano. Vano sayang sama Papa. Apa Papa nggak kasihan sama Mama yang kesepian kalau Papa tinggal? Papa tahu sendiri, ‘kan, kalau Mama itu nggak bisa berlama-lama jauh sama Papa. Gimana aku sama Brian, Pa? Kami masih butuh Papa. Kami ingin Pap—HUWAAAAA!!! SETAAANNN!!!” Alex membungkam mulut anaknya yang berteriak seperti toa di tempat sepi. “Jaga mulutmu, Vano!” bisik Alex semba
Sudah dua minggu ini Revano rutin menjenguk Tamara. Sejak meninggalnya Diana, Melati – sahabat Diana itu lah yang merawat Tamara. Wanita paruh baya yang belum menikah itu memutuskan untuk membawa Tamara tinggal bersamanya di rumahnya yang cukup mewah itu. Meski ia yang merawat Tamara kini, tapi Melati tak pernah membatasi siapa pun menjenguk puteri dari mendiang sahabatnya itu, termasuk Revano. Tamara mengamati Revano yang dengan lahap menyantap salat buah yang tadi dibawakan Revano untuk Tamara. “Kenapa?” tanya Revano bingung karena sedari tadi Tamara terus memandanginya. Tamara menggeleng. Revano menghela napas dengan berat, ia meletakkan mangkuk berisi salat buah yang sudah habis setengah wadahnya itu. “Kenapa?” tanya Revano lagi. Kini ia memilih untuk duduk lebih dekat dengan Tamara. “Van, aku sebenarnya nggak apa-apa kalau ditinggal. Beneran deh,” tolak Tamara. “Ra, sini deh,” kata Revano meminta Tamara lebih dekat lagi de
Sudah dua minggu sejak kejadian teror itu berlangsung. Kini rumah keluarga Pram kembali tenang setelah Revano meminta satpam kompleks untuk memperketat keamanan. “Van, besok lusa Tante Desi ulang tahun lho,” kata Alyana membuka pembicaraan ketika keduanya sedang asyik menonton film di ruang tengah. “Terus?” Revano bertanya dengan cuek, matanya masih fokus pada film yang ditontonnya. “Ih, kok terus, sih?” “Ya terus gimana, Ma? Vano harus gimana? Vano harusrolldepanrollbelakang gitu di depan Tante Desi sama Om Dedi?” Alyana mencubit perut Revano dengan kesal, membuat cowok itu berteriak kesakitan. Rupanya Alyana dan Tamara memiliki hobi yang sama, yaitu sama-sama suka mencubit perut Revano. “Bisa nggak Mama minta tolong Vano buat beli bahan-bahan bikin kuenya?” tanya Alyana sembari memasangpuppy eyesagar anaknya itu iba dan menuruti permintaannya. “Tapi, Ma, b
“Ra, buruan! Itu udah ditunggu Vano,” kata Diana sembari melongok ke kamar Tamara. “Iya, Ma,” jawab Tamara yang masih sibuk membenarkan letak dasinya. Gadis mungil itu pun keluar setelah merasa rapi. “Ayo, berangkat,” kata Revano. Tamara mengangguk. Keduanya lalu mencium punggung tangan Diana untuk berpamitan. Revano menyodorkan sebuah helm kecil untuk Tamara, lalu membantu gadis itu untuk bisa naik di jok belakang. Motor merah Revano melaju membelah jalanan kota. “Van.” “Hm.” “Kok tumben banget naik motor?” “Si Burhan lagi sakit.” “Burhan siapa?” tanya Tamara tak mengerti. “Mobilku yang biasanya kupakai ke mana-mana.” “Ada namanya, ya?” “Iyalah, biar keren.” Tamara terkekeh geli. Ia baru tahu jika mobil milik Revano itu bernama Burhan. Ada-ada saja cowok itu. “Emang Burhan sakit apa, sih?” “Dia sakit tonsilis, jadi mogok dan nggak mau ngapa
Sudah dua minggu sejak kejadian drama itu berlangsung, tapi Revano tetap tak ingin menegur Tamara. Bahkan lelaki itu tak pernah lagi membalas pesan Tamara.Tamara termenung di sudut taman seorang diri, memandang sekeliling dengan tatapan kosong. Pikirannya melayang entah ke mana. Hingga akhirnya matanya menatap dua sosok yang berjarak cukup jauh darinya, tapi dapat terlihat jelas siapa mereka.Revano dan Dinda tampak sangat asyik berbincang, sesekali mereka tertawa – itu tampak sangat jelas di garis wajah keduanya.Tamara mengembuskan napasnya dengan berat. Mau bagaimanapun ini sudah risikonya berpacaran dengan seorang Revano – anak ketua yayasan serta cucu pemilik rumah sakit terbesar di kota ini.Tanpa diduga, Revano juga menatap Tamara, mata mereka saling beradu tatap dalam radius lima